𝕭𝖆𝖇 47

Kai tidak membawa Ree ke kediaman kru. Para kontestan sejatinya tidak bisa saling mengunjungi kediaman kru lain. Kecuali Ree dan Nareen yang menggunakan kekuatan bayangan. 

Oh, dan satu anggota kru Pandawa yang dapat berteleportasi.

Ia justru membawa Ree ke lantai paling atas dari bangunan serba guna. Lagipula, mereka tidak akan bisa kembali ke kediaman kecuali diantar oleh pelayan kolsoeum. Kai bisa saja memanggilkan Wiseman untuk mengantar Ree pulang –setiap kontestan membawa bel magis itu kemana-mana. Tetapi Kai belum mau berpisah dari Ree...

Ree bahkan tidak berkomentar apapun. Keheningan gadis itu membuat Kai merasa miris. Kai tidak begitu mengerti kenapa dia peduli, kenapa dia ingin berusaha sedemikian rupa.

Lantai atas adalah lantai yang kosong. Kai selalu mengunjungi tempat itu dan setiap kali ruangan itu selalu hampa. Bahkan tanpa debu sekalipun. Pria itu mulai menaiki pagar balkon yang mengelilingi lantai, lalu menggapai atap bangunan. Ia meloncat untuk menaiki atap gedung. Atap itu rata dengan beton sehingga Kai dapat berdiri dengan leluasa.

Lalu ia memunculkan kepalanya dari atas atap dan mengulurkan tangan kepada Ree. 

Ree tidak menyambut uluran itu. Gadis itu justru meleburkan diri dengan bayangan lalu memunculkan dirinya kembali di belakang Kai.

"Kenapa kau membawaku ke sini?" Tanya Ree.

Kai menarik ulurannya. Ia berdiri lalu berjalan menuju sisi atap yang menghadap matahari. Hari itu sudah senja, sehingga langit dihiasi corak oranye, kuning, dan sedikit ungu. Matahari baru saja memulai penurunannya dari cakrawala. 

Kai duduk di pinggir atap, kedua kakinya menjuntai bebas ke bawah. Seakan ditarik untuk melakukan hal yang sama, gadis itu duduk di samping Kai. Untuk sejenak mereka mengawasi dunia melahap matahari.

"Kau mematung tadi..." lanjut Kai, "Aku bisa tebak karena kau sudah mengetahui siapa yang akan mengkhianati Rosea."

Ree memang tidak bisa bersembunyi dari ketajaman observasi Kai. Pria itu mengingatkannya pada Rangga tapi pada level yang jauh lebih tinggi. Bila ini berlanjut, Kai mungkin dapat mengetahui siapa Ree sebenarnya...

"Aku punya tebakan siapa orang itu... tapi aku tidak mau memercayainya."

"Maka tidak usah percaya."

Ree menoleh kepada Kai, tatapannya tidak mengerti.

"Kita percaya yang ingin kita percayai. Pikiran manusia selalu ingin mencari kesimpulan berdasarkan apa yang kita ingin percayai. Apa yang dianggap tidak bermoral ratusan tahun lalu mejadi hal keseharian di masa kini. Begitu juga sebaliknya," lanjut Kai, "Aku sudah hidup terlalu lama untuk tahu bahwa tiada gunanya melawan hal itu. Kehendak manusia adalah hal yang membingungkan."

"Kau tahu? Ayahku pernah bercerita ada masa di mana Sang Ramalan dianggap omong kosong. Sebelum Turnamen Mentari ada." 

Kai mengibaskan jemarinya pelan, seketika itu juga Ree dapat merasakan udara di sekitarnya menghangat. 

"Beliau juga berkata ramalan bekerja dengan misterius. Banyak interpretasi yang dapat diambil dari kalimat dengan makna kabur. Misalnya saja, bunga mawar hitam."

Mereka saling menatap satu sama lain.

Kai mengibaskan pergelangan tangan yang sama, jemarinya bersinar ketika molekul-molekul air mulai bertumpuk dan membuat sebuah bentuk. Setelah sinar redup, Kai sedang menggenggam sebuah bunga mawar hitam.

"Kebanyakan orang akan berpikir bunga mawar hitam berarti kematian. Tapi ada makna lain dari bunga ini." 

Jemari Kai bersinar kembali lalu bunga mawar hitam itu berubah menjadi berwarna putih. Kai seakan menghembuskan kata-kata berikutnya, "Kebangkitan kembali."

Saat itu Ree sangat yakin, pria ini tahu bahwa Ree tidak menyukai warna gaunnya kemarin malam. Warna merah darah. Pria ini tahu warna itu mengingatkan Ree pada masa lalunya, apapun itu. Maka, bukannya mawar merah yang ia bentuk, tetapi mawar putih. Bagi Ree, itu adalah tindakan kecil yang manis. 

Rasanya 'goresan kecil' yang pria ini torehkan semakin besar... 

"Apa kau sedang menggodaku?" Tanya Ree. Ia harus mencari kejelasan. Ia tidak mau dibawa terombang-ambing oleh sesuatu yang fana. Ia harus menghentikan hatinya tergores lebih dalam. 

Goresan semacam itu hanya akan menjadi distraksi.

Kairav tertegun melihat Ree, tampangnya kosong. Ree melirik ke bunga di tangan Kairav yang seakan terulur kepada Ree.

Lalu Kairav meledak penuh tawa. Ia memegangi perut dan mulutnya untuk menahan tawanya tapi tidak berhasil. Kali ini Ree yang tatapannya seakan kosong, ia bingung kenapa pria di depannya tertawa.

Kai berhenti tertawa, namun sekali melihat tatapan kosong di wajah Ree, pria itu meledak dalam tawa kembali.

Ree menjadi jengkel dengan pria tua ini. 

"Hey, supaya kau tahu saja ya, kau terlalu tua untukku, buyut!"

Akhirnya Kai berhenti tertawa. Napasnya tersengal ketika ia berkata, "ini adalah pertama kalinya aku dapat tertawa lepas semenjak..." 

Kai tidak melanjutkan, tapi Ree dapat menebaknya. Semenjak istrinya meninggal, batin Ree. 

"Ini menyedihkan, Ree," lanjut Kai, "Bila kau menganggap tadi sebagai godaan. Biar kutebak, kau masih perawan?"

Muka Ree memerah, dan ini digunakan Kai sebagai konfirmasi dari jawabannya.

"Apa kau bahkan pernah dicium?"

"Tutup mulutmu, buyut!" Pipi Ree bersemu merah tepat ketika langit mulai menggelap.

"Oke, bagaimana kalo pacaran, hm?"

Ree memalingkan wajahnya dari Kai. Suasana sekitar mereka berdua menjadi canggung. Kai menunggu Ree untuk bercerita. Dan meski otak Ree menyatakan dirinya tidak berhutang cerita apapun pada Buyut itu... lidah Ree seakan bergerak dengan sendirinya. 

"Namanya Xi. Dia bilang ketika aku beranjak delapan belas tahun ia akan melamarku." Ree mendengus ringan. "Aku menonjoknya karena aku belum siap menikah. Meski... aku bahagia saat itu." Sebuah senyuman tipis terukir di wajah Ree untuk waktu yang sebentar. Sebelum akhirnya tergantikan dengan wajah murung.

"Tapi, Nareen dan Naga Hitam terjadi." 

Bulir-bulir air mulai mengumpul di pelupuk mata Ree tanpa gadis itu sadari. Kai yang melihat itu mengusapkan jari telunjuknya tepat di bawah mata Ree. Jemari itu bersinar kembali, menarik bulir-bulir air dari mata Ree lalu membentuknya menjadi sebuah kristal yang bulat. 

Kristal itu berwarna biru laut yang transparan. Kai mengepalkan kristal itu di jemarinya dan sinar magisnya berhenti seketika. Ketika Kai membuka tangannya kembali, ia menunjukkan sebuah kalung dengan kristal itu sebagai pusatnya.

Kedua tangan Ree menerima kalung itu. "Kita percaya yang ingin kita percayai. Kita bisa memercayai mereka telah hilang atau kita bisa memercayai mereka tetap hidup dalam memori kita, dalam hati kita."

"Bagaimana dengan kau? Apa yang kau ingin percayai?" Mata Ree melirik dada pria itu. Kai mengerti Ree memaksudkan luka-luka di tubuhnya. Ree hendak bertanya apa yang dipercayai Kai dengan kepergian istrinya hingga ia mengumpulkan banyak luka di tubuhnya. Mengapa Kai memilih jalan demikian?

Kai menghela napas, "Aku percaya aku tersesat tanpa Giannina. Aku ingin percaya dia adalah pusat duniaku dan aku sudah kehilangannya."

Saat itu juga langit malam di atas mereka sudah sempurna. Bulan sabit memunculkan diri beserta bintang-bintang. Suara angin menemani mereka tapi Ree tidak terasa sedikitpun dingin karena magis Kai yang dapat menghangatkan molekul air di udara. Di kejauhan, Ree dapat mendengar suara jangkrik dengan samar. 

Di bawah kaki mereka, koloseum terlihat gelap. Tetapi di kejauhan, sebuah kota terlihat dengan berbagai lampu menyala. Titik-titik cahaya di kejauhan membuat kota itu terlihat hidup meski sudah malam hari. Cahaya kota itu sebanding dengan jutaan kerlip bintang di langit malam.

Ini adalah malam yang tenang. Malam yang indah.

"Aku percaya kita masih punya kemampuan untuk memercayai yang tidak dinginkan," lanjut Ree. Tatapannya tidak terlepas dari Kota Ridealle. 

"Aku ingin percaya keluargaku masih hidup, ingin percaya teman-temanku masih hidup. Tapi nyatanya tidak."

Ree memasang kalung itu pada lehernya perlahan. "Kau bisa mengatakan versi yang kau inginkan terjadi sebagai realita, itu mudah. Tapi menurutku..." 

Gadis itu akhirnya menahan mata Kai yang berwarna biru laut –warna yang sama dengan kalung kristal yang sekarang bergantung di lehernya. 

"...Aku percaya semua manusia mencari kebenaran, meski menyakitkan."

Kai dapat melihat mata Ree seakan menyala dalam kegelapan malam. Bukan berubah warna atau bersinar... tapi mata itu 'menyala', membuat semua orang yang menatapnya tidak bisa berpaling. Seakan mata itu sudah berada di dunia lama sekali dan menunjukkan bungkusan demi bungkusan rahasia kehidupan. Seakan mata beriris hitam itu adalah galaksi satu semesta ini. Sebegitu megahnya tatapan Ree di malam itu, Kai bergeming. 

Gadis berusia sembilan belas tahun yang membawa kepedihan di hatinya, seorang bayi bila dibandingkan dengan umur Kai yang ratusan tahun. Kendati demikian kata-katanya dan tatapannya mengandung kedalaman. 

Seperti ada sihir dalam mata Ree. Sihir yang ingin membuat Kai terus terlarut di kedalaman tatapannya.

Kebenaran, gadis itu bilang? Bisakah Kai mendapatkan kebenaran itu?

Ah, selama ratusan tahun lamanya ia mengelana dunia mencari marabahaya, berusaha mencari sesuatu yang hilang... dan gadis itu baru saja melemparkan hal itu tepat di depan kedua matanya.

Kebenaran.

Jauh di dalam hati Kai, ia sebenarnya sudah tahu. Ia mampu berjalan terus, melanjutkan kehidupan. Ia mampu bahagia kembali... tanpa Giannina... dan kebenaran itulah yang membuatnya ketakutan setengah mati. 

Ia bahkan tidak tahu apakah ia menginginkan kebenaran itu.

Kai tidak tahu seberapa lama mereka telah menatap satu sama lain. Deru napas mereka kini menjadi seirama. Hingga akhirnya Ree memalingkan wajah dan berkata, "Aku harus kembali." Gadis itu berdiri dan mulai berjalan mundur.

"Terima kasih, buyut." Sudut bibir gadis itu terangkat sebentar. Namun dengan cepat senyum itu hilang. 

"Tapi sebaiknya kita tidak bertemu seperti ini lagi."

Kairav masih bergeming.

"Kita adalah kontestan dari kru yang berbeda. Sekalipun kau lumayan untuk seorang yang sangat tua... tapi bila dalam turnamen pilihannya antara kau dan aku... Aku akan berusaha membunuhmu. Dan kau juga tidak akan segan melakukan hal yang sama."

Kai tidak menolak ataupun mengiyakan pernyataan itu. Tetapi ia tertegun. Karena meski ia tahu perkataan Ree ada benarnya... Berbeda dengan Ree yang sepertinya sudah memutuskan, ia kini tidak yakin dapat mencelakai gadis itu.

Mungkin ini adalah hukuman bagiku, pikir Kai, karma bagi seorang yang melepas tanggung jawabnya sebagai kesatria Judistia. Karma karena kepergianku waktu itu memberikan luka yang besar pada Ree.

Kurasa... tidak apa-apa bila Ree yang akhirnya membunuhku...

"Kau sendiri lumayan untuk seorang bocah yang temperamental," kata Kairav akhirnya.

Gadis itu memberikan satu tatapan terakhir pada Kairav. Tanpa kata-kata, kebisuan di antara mereka menyampaikan banyak hal. Keduanya mengerti mereka bertemu di waktu dan tempat yang salah. Di turnamen penuh tumpah darah ini, tidak ada ruang untuk perasaan apapun yang mulai timbul.

Meski keduanya belum begitu yakin perasaan apakah itu, tatapan mereka berdua saling menjawab satu sama lain. Kebersamaan mereka yang singkat sebaiknya diberhentikan di sini. Untuk dua orang yang mengenal pahitnya ditinggalkan, akan menyakitkan bagi mereka untuk melanjutkan ketertarikan itu. 

Bagi Ree, ia sudah memilih keselamatan dirinya dan Andreas. Ia tidak akan bisa memaafkan dirinya bila kehilangan kesempatan menyelamatkan Andreas karena terlena oleh rasa fana itu.

Bagi Kairav yang merasa sudah terlalu lama hidup... bila akhirnya Ree akan membunuhnya, ia rela. Dan ia tidak mau membuat Ree bimbang ketika waktunya tiba.

Dalam keheningan, mereka telah memutuskan untuk menutup goresan satu sama lain di hati masing-masing.

Lalu gadis itu melebur menjadi bayangan. 

Kai merebahkan tubuhnya di atas atap, melihat bintang-bintang di langit. Namun, pikirannya masih terngiang tatapan Ree. Langit di atas tidak dapat menandingi galaksi di mata hitam gadis itu.

Satu tangannya masih memegang bunga mawar putih. Ia menggunakan magisnya lalu membuat mawar putih itu menjadi tato di pergelangan tangan kanannya.

Meski terowongan gelap itu masih panjang bagi Kai, setidaknya sekarang ia menemukan sesuatu. Sebuah titik cahaya di tengah-tengah kehampaan. Sebuah mawar putih.

Andaikan mereka bukan kontestan turnamen, akankah ia menanam lebih taman itu? 

Kai menutup mata, berusaha mengubur dalam jawaban di hatinya. 



ᴋᴀᴍɪ ʙᴇʀᴛᴇᴘᴜᴋ ᴊɪᴅᴀᴛ ᴍᴇʟɪʜᴀᴛ ᴍᴇʀᴇᴋᴀ ʙᴇʀᴅᴜᴀ 

 ᴄᴋᴄᴋᴄᴋᴄᴋ 

 ᴘɪɴɢɪɴ ᴋᴀᴍɪ ꜱᴇɴᴛɪʟ 

 ᴋᴀᴍᴜ ᴊᴜɢᴀ ᴍᴀᴜ ᴍᴇɴʏᴇɴᴛɪʟ ᴍᴇʀᴇᴋᴀ ᴋᴀɴ? 


 ꜱᴀʟᴀᴍ, 

 ᴘᴀʀᴀ ʙᴀʏᴀɴɢᴀɴ ʏᴀɴɢ ɢᴇʀᴇɢᴇᴛ.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top