𝕭𝖆𝖇 44
Dalam perjalanan pulang, Ree sudah siap untuk menolak menjawab apapun pertanyaan baik dari Rangga yang intens maupun Danum yang penasaran. Namun nyatanya di dalam kereta kuda, semuanya tampak tidak ingin berbicara.
Rangga terlihat sibuk dengan pikirannya sendiri. Begitu juga Lex. Danum terkadang melirik pada Ree, bisa Ree lihat gadis itu gatal untuk bertanya. Sedangkan Bima justru terkadang memberikan Ree tatapan lembut.
ɪᴀ ᴋᴀɢᴇᴛ ᴀᴋᴀɴ ᴘᴇʀɪʟᴀᴋᴜ ʀᴏꜱᴇᴀ, kata bayangan Lex.
Ree menduga hal yang sama memenuhi benak semua orang. Semua di kru ini adalah rakyat Judistia. Rosea adalah Putri Pertama mereka.
Baguslah, tidak ada pertanyaan tentang dirinya selama perjalanan pulang.
Untuk sejenak Ree lupa tentang Rosea, Penyihir Putih, turnamen, dan segalanya.
Seharusnya ia membaca bayangan-bayangan di pesta dansa. Tapi Xoltar menyita perhatiannya, pun kekuatannya melemah sehingga perlu tenaga lebih untuk membaca bayangan orang lain. Apalagi untuk memanipulasi bayangan.
Sesampainya di ruangan mereka, Ree langsung pamit.
"Aku butuh udara segar malam."
Di kamarnya, ia langsung meleburkan diri dalam bayangan dan menuju perpustakaan. Barro telah menunggunya di meja biasa. Buku yang sama tergeletak di satu sisi meja, terbuka di halaman terakhir Ree membukanya.
Masih menatap buku tebalnya, Barro berkata dengan nada datar, "Selamat atas kemenanganmu."
Ree menatapnya lama. Pria yang bukan pria ini dengan acuh tak acuh membalikkan halaman bukunya.
"Kau sudah tahu aku akan menang," kata Ree.
Barro adalah makhluk yang sama dengan Wiseman. Meski selama ini mereka tampaknya membantu Ree, gadis itu masih waspada. Ia tidak mau lengah dan berakhir dimanfaatkan oleh mereka.
"Aku tahu persis apa yang kau lakukan di si–"
"Apapun itu, aku tidak peduli," Ree memotong pria tua itu, "Katakan bagaimana caranya untuk keluar dari turnamen ini."
Akhirnya Barro memasang perhatiannya pada Ree. Ia menutup bukunya, duduk lebih tegak dan meletakkan kedua tangan yang saling bertautan di meja.
"Berlari dari takdir, maka kau akan dikejar. Berlari dari dirimu sendiri, maka kau akan kehilangan," katanya serius, "Berlari dari keduanya, kau tidak akan bisa bertahan."
Napas Ree menjadi lebih cepat, cuping hidungnya membesar. Katanya dengan nada hampir menggeram, "Aku tidak butuh teka-teki lebih darimu. Katakan saja bagaimana cara–"
"Kau sudah dibekali kemampuan itu dari awal, Nak," jawab Barro masih dengan nada serius yang sama.
"Tenggelamlah dalam bayanganmu. Sangat dalam. Galilah kegelapan hingga dasar. Hingga magis kuno tidak bisa mencapaimu. Lalu melangkahlah dalam dasar kegelapan itu sebanyak..." Ia memasang muka seakan berhitung, bibirnya berbisik-bisik. "...Seratus tujuh puluh... tidak, dua ratus langkah. Lalu kembalilah ke terang."
Ree menggeleng pelan. "Kekuatan bayanganku... sudah di ambangnya."
"Kau pikir pisau yang kau menangkan itu hanya hiasan?"
"Huh?" Ree memasang wajah tidak mengerti.
"Pisau itu adalah esensi kehidupan Xoltar, Sang Naga Merah," lanjut Barro, "Apa tujuan hidup seekor naga merah?"
Ree tampak berpikir, berusaha menggali sedikit dari pelajaran yang pernah ibunya ajarkan.
"Untuk... menjadi pilar kekuatan bagi... majikannya."
Barro menaikkan kedua alisnya seakan mengatakan, 'Sekarang, kau mengerti?' Dan Ree memang sudah mengerti.
Naga Merah hidup untuk mendukung majikannya. Esensi kehidupannya adalah sebagai pilar kekuatan. Sehingga pisau yang telah Ree menangkan, entah bagaimana caranya, dapat meningkatkan kekuatan Ree.
"Bagaimana cara untuk mengaktifkannya?"
"Sama seperti cara menggunakan magis kuno. Tidak perlu kontrak, kau cukup menghendakinya."
Satu sudut mulut Ree terangkat. Ternyata menjadi Sang Karma ada keuntungannya pula. Kendati demikian, kekuatan magis bayangannya sudah sangat menipis. Sehingga meski mendapatkan kekuatan tambahan dari pisau legendaris, Ree tampaknya hanya dapat melaksanakan usaha itu sekali saja. Sekali sebelum magis bayangannya habis total.
"Jangan senang dulu," kata Barro tiba-tiba, "Kau sudah berlari dari takdirmu terlalu lama. Kau pun mulai melupakan dirimu sendiri."
Ia mencondongkan tubuhnya. "Berhati-hatilah, Ree."
"Hati-hati atas apa? Kehancuran?" Ree mendengus, "Para dewa sudah menghancurkan hidupku dari awal. Tidak ada yang bisa mereka lakukan lagi untuk memperburuknya."
Mata Barro tiba-tiba berubah penuh iba, alisnya melembut, dan ia menatap Ree lama dengan tatapan menghasiani itu.
"Kau salah Ree," katanya, "Yang terburuk bahkan belum dimulai."
Ree tidak suka mendengar hal itu.
"Ketika kau sudah siap menghadapi dirimu sendiri, kembalilah untuk buku itu." Dagu Barro mengarah pada buku di depan Ree. Buku yang selalu berada di meja itu, selalu muncul di hadapan Ree.
Rangga mencoba mengatur napasnya. Adrenalin mengalir di tubuhnya, waspada akan sosok yang muncul dari pintu ruangan.
Setelah melihat Ree dan Rosea memperebutkan hadiah Ujian Putri Pertama, Rangga dihampiri oleh seorang pelayan kerajaan.
"Perpustakaan istana, sekarang," bisik pelayan itu.
Sementara pesta dilanjutkan, Rangga mencari jalan menuju perpustakaan istana. Ia tidak pamit pada siapapun karena tidak ingin membuat anggota kru miliknya menjadi lebih waspada. Bisa saja pelayan itu adalah suruhan kru lain yang ingin mencelakainya. Rangga hanya akan memeriksa, memastikan identitas yang mengajaknya bicara lalu kembali.
Perpustakaan istana itu megah dan luar biasa besarnya.
Rosea muncul dari balik pintu perpustakaan. Rambutnya sedikit kusut, napasnya sedikit tersengal, wajahnya yang tertutup topeng tak memberikan tanda apapun. Hingga ia melepas topeng itu–
Astaga! Ia begitu mirip dengan Ratu Gayatri!
"Halo, Rangga," katanya.
Rangga menelan ludahnya sendiri. "Rosea," kata Rangga akhirnya dengan napas yang berat.
"Aku akan berterus terang saja," kata Rosea, "Kau membutuhkanku."
Rangga menelan ludahnya untuk kesekian kalinya.
"Jadi memang hanya keturunan Janya lah yang dapat menurunkan pelindung kota itu?"
Rosea mengangguk.
"Tanah Judistia akan selamanya mengenali dan tunduk hanya pada darah Janya. Itu adalah berkat Sang Bunda pada Janya. Sebagai gantinya Janya menjadikan Sang Bunda sebagai dewi sakral mereka."
Tatapan Rangga masih waswas, masih ada keraguan bahwa perempuan di depannya adalah Putri Pertama yang dimaksudkan. Apalagi perbuatannya tadi di pesta dansa... entah mengapa Rangga berpikir Ree sepuluh kali lebih menunjukkan karakter seorang putri kerajaan daripada Rosea.
Tapi tidak mungkin Ree adalah seorang putri kerajaan, bukan?
Ah, Ree... perempuan itu memang misterius. Memikirkannya kembali, Rangga teringat tatkala ia berdansa dengan Ree tadi. Ia ingin kembali ke momen itu.
"Apa kau akan membantu kami?" Tanya Rangga tanpa basa-basi.
"Tentu!" Seru Rosea, "Akulah Putri Pertama. Aku hidup untuk melindungi rakyatku."
Begitu saja? Kenapa rasanya terlalu baik untuk menjadi nyata...?
"Kalau begitu kau memiliki cara yang aneh untuk melindungi rakyatmu... dengan kau hanya bersembunyi di Andalas."
Sudut bibir gadis itu sekaan berkedut, tatapannya memberikan perasaan tak suka mendengar perkataan Rangga. Saat itulah Rangga melihat Putri Pertama ini masih terpaut muda sekali. Ia masih bertindak kekanak-kanakan.
"Mengapa kau tidak berkaca, Pangeran Pemberontak? Ayahmu-lah yang mendorongku untuk bersembunyi," balas Rosea telak, "Hanya karena aku membantumu bukan berarti aku memaafkanmu!"
Rangga gelapagapan seketika. Ia merasa malu dan... sangat bersalah.
Teringat kata Ree sebelumnya, 'Kalau begitu kau hanya butuh dirimu untuk memaafkan dirimu sendiri.' Tapi berdiri di hadapan Rosea... bagaimana bisa ia memaafkan dirinya sendiri ketika Rosea tidak?
Mungkin, memang sepantasnya Rangga hidup dengan penyesalan ini, sebagai hukumannya. Pangeran itu hanya dapat melihat ke bawah lantai, tak berani menangkap tatapan gadis muda di depannya.
Rosea menghembuskan napas berat. "Kau mirip sekali dengan pria itu..."
Dada Rangga seakan dihujam jutaan pedang. Pria itu. Jagrav.
"Ketika aku bangun, Jagrav adalah yang pertama kali kulihat. Dengan lugunya aku pikir dia lah yang menyelamatkanku," jelas Rosea, "Aku hanya berusia 4 tahun saat itu. Kupikir Jagrav masihlah teman Ayah yang suka memberikan cokelat padaku dan pada kakakku. Tak lama ia mengirimku ke Andalas. Setelah dua tahun barulah aku benar-benar mengerti bahwa segalanya telah hancur... dan Jagrav adalah dalangnya."
Wajah cantik Rosea seakan terdistorsi. Alisnya mengerut, cuping hidungnya membesar. Garis bibirnya menipis dan pipinya memerah padam.Sementara tatapan matanya seperti membara di kegelapan. Penuh dengan amarah.
"Ratu Andalas dan para bangsawan di sini menganggapku bodoh."
"Mereka lebih menganggapku sebagai hiburan dan bahan buah bibir daripada seorang manusia. Sebuah boneka. Mereka bahkan memberikanku topeng sialan ini. Bagi mereka, dengan aku memenuhi ramalan, mereka akan mendapatkan kehormatan karena telah 'membantu' Sang Putri Pertama."
Rosea meninggikan suaranya.
"Tapi aku akan menunjukkan pada semua orang, ketika ramalan terpenuhi... aku akan memutarbalik keadaan."
Tatapan gadis remaja itu seakan membara di ruangan yang temaram itu. Rangga merasa prihatin akan cerita Rosea. Namun... Ia telah berjanji akan mengubah Judistia menjadi lebih baik. Pernyataan Rosea tadi... Rangga yakin gadis itu lebih ingin balas dendam daripada memperbaiki Judistia.
Bila memang Rangga harus berpura-pura sejalan dengan Rosea demi gadis itu meluluhkan pelindung kota, ia akan melakukannya. Bila hanya seorang Janya yang dapat menurunkan pelindung itu, ia tidak akan segan mempergunakan Rosea. Setelah pelindung itu runtuh... Janya tidak boleh berkuasa kembali.
Dari balik pintu, muncullah satu sosok lain.
Andreas.
Secara insting, Rangga mengambil ancang-ancang dan meluruskan tangannya. Siap untuk meluncurkan magis api terhadap penyihir murni itu.
"Kenapa dia ada di sini?" Tanya Rangga tidak suka.
"Ah. Andreas," sapa Rosea.
Nada gadis itu seketika berubah menjadi manis sekali. Andreas tersenyum mendengar suara Rosea. "Apa kau sudah memberitahu Sang Karma?"
"Tu– tunggu, kau bekerja sama dengan Pandawa?" Tanya Rangga terhadap Rosea.
Namun pertanyaan lain muncul di benaknya, "Apa yang kau rencanakan terhadap Ree?"
Melihat penyihir murni bersikap ringan, Rangga menurunkan tangannya pula namun ia tetap siaga.
Rosea tersenyum sinis.
"Aku memerlukan dia untuk memenuhi ramalan."
"Apa maksudmu?"
Kali ini Andreas lah yang menjawab, "Sejak aku mengikuti turnamen ini, Rosea sudah memberitahuku segalanya. Ramalan itu sepatutnya terwujud dan aku adalah salah satu instrument yang dibutuhkan."
Rangga tidak begitu menyukai pernyataan itu.
"Aku tidak mengerti..." Rangga tidak suka bahwa Rosea bekerja sama dengan penyihir murni ini. Apalagi mereka merencanakan sesuatu terhadap Ree.
"Kau tahu bait kedua dari ramalan itu, Pangeran?" Tanya Andreas dengan nada sombong. Seakan dia senang merasa penting dan merasa lebih tahu daripada Pangeran Janya.
"Meski... pada akhirnya tahta kerajaan Janya akan kembali pada Rosea, aku jadi bingung harus memanggilmu apa. Tuan, kah?"
Rahang Rangga mengeras, begitu juga suaranya, "Tidak. Dan apa yang kau rencanakan terhadap Ree? Bukankah dia kakakmu?"
Andreas tertegun seketika. Rangga menggunakan kesempatan ini untuk benar-benar memerhatikan fitur Andreas. Rahangnya yang lebar, mata besar dan berwarna birunya, rambut pirang –tidak ada kesamaan sedikit pun dengan Ree...
"Aku bukan adik kandung Ree," jawaban Andreas seakan menjawab pikiran Rangga. "Dan meski aku bersyukur dia memberikanku tempat tinggal ketika orangtuaku dibunuh..." Andreas mengambil napas berat.
"Demi keselamatan dunia ini, aku bersedia melakukan apapun."
Rangga tidak pernah mendengar hal yang lebih konyol daripada jawaban Andreas. Ia tertawa keras, "Hah? Kau serius?" Muka Andreas mendadak menjadi masam.
"Oke, Pahlawan Dunia, apa bait kedua dari ramalan itu?" Olok Rangga, "Meski Pahlawan Dunia dalam ramalan seharusnya adalah Rosea, jadi aku bingung di mana dirimu dalam ramalan ini?"
Kuping Andreas memanas. Ia tidak menyangka Si Pangeran Pemberontak dapat mengoloknya sedemikian rupa. Pangeraan itu sama saja dengan kakaknya. Selalu meremehkan aspirasi Andreas.
Tapi Andreas tahu. Ia selalu tahu bahwa dirinya spesial. Dirinya akan menyelamatkan dunia. Bila tidak, untuk apa ia mendapatkan kekuatan murni dari para dewa? Dalam seribu tahun hanya Andreas yang diberkati sedemikian rupa. Ia pasti ditakdirkan untuk kebesaran. Ia pasti diberikan kekuatan untuk–
Kemudian Andreas teringat sehari yang lalu. Ketika ia berusaha menyelamatkan Rema namun gagal. Wajah perempuan itu yang masih membelalak horror, dan... suara patah yang bergaung di goa.
Tidak. Tidak. Tidak. Ree lah yang menyebabkan Rema ketakutan dan berlaku aneh pada awalnya. Andreas hanya mencoba membantu... hanya mencoba membantu...
Iya, Ree lah yang bersalah.
Bukan aku
Ree yang harus menanggung–
Alur pikiran Andreas terhenti dengan suara Rosea, membacakan bait kedua ramalan itu.
"Kegelapan menjadi kawan
Waktu kan mengungkap kebenaran
Jiwa menjadi pahlawan
Satu sedarah, semua dapat kau ambil
Satu murni, semua dapat kau bentuk
Satu sakral, panggillah ia"
Rangga terkesima. Ia baru pertama kalinya mendengar bait kedua dari ramalan itu.
Andreas kembali dengan tatapan sombong itu. Sesuai ramalan, seorang yang 'murni' ditakdirkan dalam ramalan ini dan masuk akal bila jawabannya adalah 'Pemagis Murni'
"Kata-kata di ramalan penuh dengan teka-teki. Tidak berarti kau adalah Pahlawan, Andreas," itu adalah kali pertama Rangga menyebut nama bocah itu.
"Kalian belum menjawab pertanyaanku, apa yang kalian rencanakan pada Ree?"
"Tidakkah kau mengerti?" Lanjut Rosea, "Ree memiliki magis penyembuh yang kebetulan sama dengan magis orang yang ia gantikan di tim milikmu."
Rangga teringat Tia. Betul, kekuatan mereka sama–
"Di saat yang sama ternyata dia adalah Sang Karma yang ternyata memiliki kekuatan bayangan seperti Naga Hitam. Dan bila aku tidak salah, Ree memiliki tanda kontrak satu kali."
Tentu Rosea melihat pergelangan tangan Ree ketika mereka bertikai di pesta tadi.
"Ia bilang ia mengorbankan nyawa untuk mendapatkan kontrak pertamanya, yaitu dua magis..." meski demikian, sebuah pemikiran mulai berwujud di pikiran Rangga. Tapi ia tidak ingin memercayainya.
"Tidakkah kau mengerti?" Lanjut Andreas, "Tidak mungkin ini hanya kebetulan belaka. Sudah pasti magis Ree yang sebenarnya adalah kemampuan menyerap semua jenis magis. Kekuatan yang diramalkan untuk Rosea."
Sampai sejauh itu Rangga sudah dapat menarik kesimpulan. Meski ia masih tidak mengerti apa yang Rosea dan Andreas ingin rencanakan untuk Ree.
Kali ini dengan pelan Rosea berkata kembali.
"Tetapi aku belum memiliki kontrak apapun dan... meski kutahu aku harus melakukan kontrak dengan Sang Bunda, hanya dengan menyebut nama asli Sang Bunda lah aku dapat melakukannya. Ratusan tahun lamanya, nama sakral itu diturun-temurunkan pada semua keturunan Janya. Sayangnya aku hanya berumur empat tahun ketika pembantaian itu terjadi. Aku tidak tahu nama asli Sang Bunda."
"Jagrav pernah berkata seseorang di turnamen ini akan menjadi kunci bagiku untuk mendapatkan kekuatanku." Mata besar Rosea menahan tatapan Rangga.
"Dan kuyakin orang itu adalah Sang Karma. Aku yakin aku ditakdirkan untuk mempelajari nama Sang Bunda darinya."
Tunggu... ada sesuatu yang ganjal... Rangga bertanya, "Bagaimana Ree dapat mengetahui nama Sang Bunda pada awalnya bila ia sendiri bukan seorang Janya?"
Rosea mengedikkan bahu, "Menguping, melihat seseorang pernah menuliskannya di Judistia– itu tidak penting."
Rangga tidak dapat membalas kalimat itu. Ia terlalu sibuk dengan kesadaran bahwa selama ini...
Ree masih berbohong.
Selama ini Ree memiliki kemampuan untuk mengambil semua jenis magis.
"Jadi kau ingin aku untuk bertanya padanya–"
"Aku ingin kau membunuhnya."
Rangga membeku mendengar pernyataan itu. Matanya membelalak kaget serta tubuhnya menjadi tegang, dan Rosea dapat melihat itu semua.
"Kau harus membunuhnya. Sang Bunda hanya melakukan kontrak dengan satu orang setiap waktu. Untuk orang lain dapat melakukan kontrak dengannya, kontrak sebelumnya harus dihanguskan. Dan hanya ada satu cara untuk menghanguskan kontrak."
Udara terasa berat untuk Rangga hirup. Tiba-tiba ia merasa panas pada tubuhnya. Bahkan ia mulai berkeringat, telapak tangannya menjadi basah. Matanya melayang cepat kepada Andreas.
"Dan kau tidak apa-apa dengan ini?" Rangga hampir berteriak melontarkan pertanyaan itu.
Andreas tidak menjawab. Ia hanya menunduk, menghindari tatapan Rangga. Bocah lelaki itu memain-mainkan jemarinya tanda kegelisahan. Rosea mendecih melihat tingkah laku Andreas tapi tidak menggubrisnya lebih lagi.
"Pikirkan rakyat Judistia, Pangeran," kata Rosea dengan penekanan, "Apa yang tidak akan kau lakukan untuk mereka?"
ᴏʜᴏᴏᴏ...
ʟᴀɢᴜ ᴋᴀʟɪ ɪɴɪ ꜱᴀɴɢᴀᴛ ᴄᴏᴄᴏᴋ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴀᴅᴇɢᴀɴ ɪɴɪ
ʜᴀ ʜᴀ ʜᴀ
ꜱᴀʟᴀᴍ,
ᴘᴀʀᴀ ʙᴀʏᴀɴɢᴀɴ.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top