𝕭𝖆𝖇 39
Terlalu menyesakkan. Semua mata memandang, mengikuti semua pergerakkan Ree. Ia hampir muntah ketika menari dengan Rangga, mendengar bisikan bayangan-bayangan para pria dan perempuan di sekitarnya.
Para pria dengan hasrat menjijikkan mereka terhadap tubuh Ree dan para perempuan dengan kecemburuan tanpa otak mereka.
Butuh segenap dedikasinya untuk terus memasang tatapan lembut kepada Rangga. Ia benar-benar benci mendengar luka pria itu diolok. Terutama diolok oleh orang-orang yang setiap hari dimanjakan kehidupan yang enak. Mereka yang tidak pernah tahu rasa sakit. Mereka yang hidup di dalam gelembung fana.
Ree cukup puas melihat para perempuan langsung mengerumuni Rangga setelah dansa mereka. Ia semacam telah mempromosikan kejantanan Rangga pada para perempuan bangsawan. Dugaan Ree benar, banyak sekali perempuan bangsawan yang tertarik. Dengan begini mereka akan berhenti mengolok luka Rangga, dan lebih banyak kemungkinan sponsor yang akan mereka terima.
Sekarang Ree dapat keluar dari ruangan dansa. Ia butuh setidaknya untuk mengambil udara segar. Pandangannya mulai mengabur dan pelipisnya mulai mengeluarkan keringat. Tubuhnya serasa melayang.
Ketika ia berhasil keluar dari kerumunan, ia tidak menoleh ke belakang sedikitpun.
Ree berhenti di depan sebuah air mancur besar untuk mengambil napas dalam. Tidak ada orang lain di taman, sehingga ia merasa lebih tenang sekarang.
Kedua tangannya ia letakkan pada marbel air mancur untuk menopang tubuhnya. Kemudian ia duduk di pinggir air mancur. Jemarinya ia celupkan pada kolam air yang dingin.
Menyegarkan.
"Kukira kau benar-benar menikmati berdansa dengan Si Pangeran," sebuah suara bariton mengagetkan Ree dari lamunannya.
Ia menoleh mengikuti arah suara. Seorang pria dalam balutan tuxedo merah berjalan santai menuju Ree. Tuxedo itu juga dihiasi oleh pola rambat berwarna emas yang sama seperti gaun Ree. Warna merahnya pun merupakan warna merah yang sama dengan gaun Ree. Rambut pria itu pun juga berwarna yang sama.
"Kairav."
"Halo, Bocah," sapa Kai.
"Kau terlihat seperti kepiting rebus," cecar Ree. Ia jengkel mendengar sebutan 'Bocah.'
Kairav justru tertawa terbahak-bahak mendengar komentar itu.
Ia berhenti sekitar dua langkah dari Ree. Dan dari dekat, Ree bisa melihat rambut pria itu ditata rapi dengan gel. Hidungnya masih sedikit bengkok. Namun rahangnya yang kuat, alisnya yang tebal, dan mata besarnya membuat wajahnya... tampan.
Lumayanlah untuk seorang yang sudah tua, pikir Ree.
"Kau merasa baikan?"
Ree mengangguk. "Berdansa dengannya terasa... nostalgik. Memunculkan banyak kenangan..."
"Kenangan baik atau buruk?"
"Dua-duanya."
Untuk sesaat mereka terdiam. Kairav tetap berdiri, posturnya santai dengan kedua tangan di saku celananya.
"Aku sudah tahu apa yang kau lakukan padaku pada Hari Perkenalan," kata Rangga memecah keheningan, "Kau membuat bayanganku berbisik padamu."
Bukannya mengkonfirmasi hal itu Ree justru bertanya, "Kenapa Penyihir Putih menyuruhmu untuk menolong Rangga?"
"Siapa bilang kami menolong Rangga?"
"Kalau begitu kenapa–" Ree berpikir, siapa lagi kalau bukan Rangga?
"Siapa yang sebenarnya kalian tolong?"
Kai mengangkat kedua bahunya. "Hanya Penyihir Putih yang tahu."
Pikiran Ree berputar. Siapa di kru mereka yang akan memberikan keuntungan bagi Penyihir Putih? Siapa yang memiliki relasi dengan Penyihir Putih?
Ree sendiri tidak tahu banyak mengenai penyihir satu itu. Ia harus mencari lebih banyak mengenai sosok satu itu terlebih dahulu. Namun dengan Kai sudah mengetahui kemampuan aslinya, pria itu akan lebih waspada bila Ree mengutak-atik bayangannya. Pun Kai sepertinya tidak tahu banyak pula mengenai Penyihir Putih.
Ah, pertanyaan demi pertanyaan terus saja bermunculan.
"Dan... apa yang Penyihir Putih tawarkan untukmu, Sang Pahlawan?" Ree putuskan untuk menggali lebih dulu mengenai motif Kai.
Tak disangka, ekspresi Kai menggelap. Tanda jenaka dari wajahnya menghilang, tergantikan oleh kesedihan yang tersamarkan.
"Jangan panggil aku itu," geram Kai. Bulu kuduk Ree sedikit berdiri. Ia sudah membuat seorang Basma marah dan mereka berada di sebuah taman tanpa orang lain. Tempat yang sempurna untuk mengadakan pembunuhan, terutama untuk menyabotase kru lain kendati terdapat peraturan tidak boleh melukai baik kontestan maupun non-kontestan. Meski sebelumnya kru Penyihir Putih menolong kru mereka, tidak ada jaminan niat mereka tidak akan berubah.
Ree menelan gumpalan air liur di tenggorokannya. "Aku tidak berpikir," kata Ree pelan, "Maafkan aku."
Kai hanya memerhatikan Ree dengan mata tajamnya. Seperti predator yang mengintai mangsanya.
Dari cerita Barro, Ree sudah dapat menebak dengan pasti apa bayaran kontrak Kai untuk menjadi Basma untuk mengalahkan kontraktor siluman itu, Gordilock. Bayaran yang harus Kai berikan adalah istrinya sendiri. Perempuan jelita yang Ree temui di hari pertama turnamen.
Sesakitnya dirimu di luar, rasa sakit di dalam selalu dapat berteriak lebih kencang. Ree teringat perkataan Kai kembali.
"Kau pasti menganggapku sebagai monster," kata Kai. Nadanya berubah drastis menjadi.. seperti Ia sudah lelah. Ia mendesah.
Menggunakan magis hasil nyawa orang lain bisa dibilang merupakan hal yang keji. Para kontraktor yang menggunakan jalan ini dengan cepat dicap sebagai pembunuh berdarah dingin. Tetapi, bagaimanapun para kontraktor itu tetaplah manusia. Penyesalan dapat datang, rasa bersalah dapat menghancurkan diri. Terutama bila mereka terjebak tanpa pilihan selain mengorbankan orang lain.
Ree dapat mengerti tatapan Kai. Tatapan penuh penyesalan dan kesedihan serta amarah. Ree dapat bersimpati pada Kai yang membenci dirinya sendiri karena kehilangan istrinya. Bila Kai dapat mengulang balik waktu, ia pasti akan memilih jalan lain. Ree dapat mengerti karena itulah yang Ree rasakan pula.
Ree menahan tatapan Kai. "Siapalah aku untuk menilaimu?"
Lanjut Ree, "Aku sudah menjadi monster semenjak kontrak pertamaku."
Ree memerhatikan bagian dalam lengan kirinya. Tempat di mana satu tanda kontrak bersemayam, bersama dengan guratan-guratan merah muda.
"Bahkan kupikir... aku diberikan gaun berwarna merah untuk mengingatkanku akan semua nyawa yang telah kuambil."
"Kalau begitu, kita berdua diberi peringatan yang sama," suara Kai melembut.
Kemudian pria itu mengernyitkan dahinya, sesuatu masih belum masuk akal.
"Tunggu, bila kau mendapatkan magis bayangan dari Naga Hitam... Jadi, apa kekuatanmu sesungguhnya?" Tanyanya.
"Aku sudah hidup terlalu lama untuk tahu bahwa magis penyembuh tidak pernah membutuhkan korban nyawa."
Ree tidak bisa menemui tatapan Kai. Ia sangat malu akan dirinya sendiri karena memiliki kekuatan magis itu. Sudah lama tidak ada yang menanyakan magis aslinya.
Karena tidak pernah ada yang memiliki magis seperti Ree.
Kai mengambil dua langkah, menutupi jarak di antara mereka. Ia berlutut tepat di hadapan Ree. Jemarinya mengambil dagu Ree, memaksa Ree menemui tatapannya.
"Melihat mata Naga Hitam tidak memberikanmu kekuatan bayangan," kata Kai pelan, "Kau sendirilah yang mengambil kekuatan Naga Hitam. Magismu dapat mengambil kekuatan magis dari orang ataupun makhluk lain."
Tatapan Kai tidak menghakimi.
ᴋᴇᴋᴜᴀᴛᴀɴ ʏᴀɴɢ ꜱᴀɴɢᴀᴛ ʙᴇꜱᴀʀ. ʙᴇʀᴀᴘᴀ ʙᴀɴʏᴀᴋ ɴʏᴀᴡᴀ ʏᴀɴɢ ᴅɪᴍɪɴᴛᴀ ᴅᴇᴡᴀ ꜱᴇʙᴀɢᴀɪ ᴛɪᴍʙᴀʟ ʙᴀʟɪᴋ? ɪᴛᴜ ᴀᴅᴀʟᴀʜ ᴋᴇᴋᴜᴀᴛᴀɴ ʏᴀɴɢ ᴍᴇɴᴀᴋᴜᴛᴋᴀɴ. ᴅᴇᴡᴀ ꜱɪᴀᴘᴀ ʏᴀɴɢ ᴅᴀᴘᴀᴛ ᴍᴇɴɢᴀʙᴜʟᴋᴀɴ ᴋᴇᴋᴜᴀᴛᴀɴ ꜱᴇᴘᴇʀᴛɪ ɪᴛᴜ? ᴀᴋᴜ ᴛɪᴅᴀᴋ ᴘᴇʀɴᴀʜ ᴍᴇɴᴅᴇɴɢᴀʀ ᴋᴇᴋᴜᴀᴛᴀɴ ꜱᴇᴘᴇʀᴛɪ ɪɴɪ...
Bayangan Kai berbisik pada Ree.
ɪᴛᴜ ᴀᴅᴀʟᴀʜ ᴋᴇᴋᴜᴀᴛᴀɴ ʏᴀɴɢ ᴍᴇɴᴀᴋᴜᴛᴋᴀɴ. ᴅᴇᴡᴀ ꜱɪᴀᴘᴀ ʏᴀɴɢ ᴅᴀᴘᴀᴛ ᴍᴇɴɢᴀʙᴜʟᴋᴀɴ ᴋᴇᴋᴜᴀᴛᴀɴ ꜱᴇᴘᴇʀᴛɪ ɪᴛᴜ? ᴀᴋᴜ ᴛɪᴅᴀᴋ ᴘᴇʀɴᴀʜ ᴍᴇɴᴅᴇɴɢᴀʀ ᴋᴇᴋᴜᴀᴛᴀɴ ꜱᴇᴘᴇʀᴛɪ ɪɴɪ...
Suara banyak namun satu itu berkumandang dalam benak Ree. Menyuarakan pemikiran Kai.
Itu adalah kekuatan yang menakutkan.
Itu adalah kekuatan yang
"Mengapa..." Suara Kairav memelan, seperti ia tidak tahu bagaimana membentuk kalimat untuk pertanyaannya. Ree dapat mengetahui sisa kalimat pertanyaan yang tidak diselesaikan itu.
'Mengapa kau memilih magis ini?'
Ree merasakan matanya serasa terbakar, bulir-bulir air mengumpul di bagian bawah matanya, mengancam untuk jatuh. Ia menggerakkan dagunya ke atas, seakan melepaskan genggaman Kai. Nyatanya, ia berusaha memaksa air mata itu kembali.
"Itu bukan pilihanku," jawab Ree pelan akhirnya.
Seandainya Ree melihat tatapan Kai, Ia akan menyadari bahwa Kai menatapnya dengan pengertian. Kai memang berpikir kekuatan itu menakutkan, tapi dirinya sendiri telah terlalu sering disebut menakutkan pula. Seandainya Ree tahu... mungkin Ree tidak akan merasa sendirian. Seandainya bayangan membisikkan hal itu pada Ree, mungkin Ree akan merasa lebih baik.
Tetapi bayangan membungkam diri. Dan Ree tetap tidak mau menatap Kai. Kai pun tidak memaksa.
Setelah beberapa lama dalam keheningan akhirnya Kai berkata, "Penyihir Putih menjanjikan padaku bahwa aku akan menemukan apa yang kucari di turnamen ini."
"Aku tidak tahu apa hal itu. Tapi aku sudah merana selama ratusan tahun, merasa kosong dan tanpa tujuan, merasa diriku tidak utuh. Aku merasa seperti berada di terowongan yang gelap tanpa ujung."
Lanjut Kai, "Sebegitu gelapnya sehingga aku bersedia mengikuti perkataan penyihir itu untuk menemukan apapun itu yang selama ini kucari. Mungkin hal itu dapat menghantarku ke ujung terowongan yang terang."
Aku tahu rasanya," balas Ree, "...Berada di terowongan gelap itu."
ʜᴀʟᴏ, ʙᴇʀᴊᴜᴍᴘᴀ ʟᴀɢɪ ᴅᴇɴɢᴀɴ ᴋᴀᴍɪ, ᴘᴀʀᴀ ʙᴀʏᴀɴɢᴀɴ.
ᴋᴀᴍɪ ᴛᴀʜᴜ ᴀᴘᴀ ʏᴀɴɢ ɪɴɢɪɴ ᴋᴀᴜ ᴛᴀɴʏᴀᴋᴀɴ.
ᴀᴘᴀ ᴋᴀᴍɪ ꜱᴇɴɢᴀᴊᴀ ᴛɪᴅᴀᴋ ᴍᴇᴍʙᴇʀɪᴛᴀʜᴜ ʀᴇᴇ ᴍᴇɴɢᴇɴᴀɪ ᴘᴇᴍɪᴋɪʀᴀɴ ᴋᴀɪʀᴀᴠ?
ᴍᴜɴɢᴋɪɴ.
ᴍᴜɴɢᴋɪɴ ᴛɪᴅᴀᴋ.
(ꜱᴇɴʏᴜᴍ ʟᴇʙᴀʀ)
ᴍᴇɴᴜʀᴜᴛᴍᴜ ꜱᴇɴᴅɪʀɪ ʙᴀɢᴀɪᴍᴀɴᴀ?
ꜱᴀʟᴀᴍ,
ᴘᴀʀᴀ ʙᴀʏᴀɴɢᴀɴ ᴅɪ ʙᴀᴡᴀʜ ʙᴜᴋᴜ ɴᴏᴠᴇʟᴍᴜ.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top