𝕭𝖆𝖇 38
Ree mengikuti arah yang kru miliknya lewati. Ketika ia memasuki lorong yang baru, ia mendapati sebuah pintu besar di ujung lorong, dijaga oleh dua pengawal.
Melihat Ree, salah satu pengawal itu seakan menyapa, "Selamat malam Non, pestanya di balik pintu ini."
Mereka berdua membuka pintu besar itu. Menunjukkan kemewahan tiada tanding di baliknya. Sebuah ruangan dansa yang sangat luas terlihat. Di pinggir kanan dan kiri, meja-meja panjang berisi makanan dan minuman terpajang. Di ujung ruangan berhadapan dengan Ree, dua buah tangga setengah melingkar berdiri, menyambungkan lantai dengan podium di lantai atas. Di podium itu sebuah kursi besar dan tiga kursi kecil tertata. Dan di bawah kaki Ree, sebuah karpet beludru berwarna merah memanjang dari pintu, menuruni tiga tangga kecil, dan berhenti di lantai dansa yang terbuat dari marmer berwarna hitam, ungu, dan biru tua. Setiap marmer dicoraki cipratan berwarna putih. Sehingga dari atas, lantai dansa tersebut terlihat seperti langit malam yang penuh bintang.
Ree bisa saja mengagumi ruangan itu lebih lama, bila ia tidak menyadari semua orang sedang memandanginya. Baik peserta maupun para bangsawan.
Oh ya, aku adalah Sang Karma yang terkenal...
Melalui bayangannya, Ree dapat dengan mudah menemukan anggota kru lainnya. Mengetahui semua orang memandanginya, membuat Ree merasa tidak nyaman. Ia merasa gerah, merasa semua mata itu hendak menerkamnya bila ia menunjukkan sekecil apapun kelemahan. Tapi ia menjaga dagunya terangkat dan menjaga langkahnya agar tidak gontai.
Dengan mulus, ia menuju tempat kru miliknya berdiri. Orang-orang memberikannya jalan. Lex memberikannya gelas berisi anggur, namun semua orang masih memerhatikannya... Hingga sebuah suara cekikan muncul di sisi timur ruangan. Semua orang mulai memindahkan pusat perhatian mereka ke sumber suara.
Kai sedang melakukan trik. Ia membuat bentuk naga menggunakan cairan anggur merah. Para gadis di sekitarnya terpukau akan hal itu. Begitu juga orang-orang lain di sekitarnya. Setelah itu, semua orang melanjutkan aktivitas mereka masing-masing. Ree sangat bersyukur akan itu.
"Hanya kau yang dapat menghentikan semua orang seperti itu," kata Lex ringan. Ree tidak bisa mendeteksi nada jengkel seperti biasanya. Apakah Lex sudah mulai menolerir keberadaanku?
"Karena aku adalah Sang Karma yang legendaris," kata Ree dengan sinis.
Lex mendecih. "Jangan terlalu memuji dirimu sendiri." Katanya, "Mereka mematung seperti itu karena kau adalah yang tercantik di ruangan ini."
Tunggu...
Tu– tunggu... Lex baru saja memuji Ree? Apa ini akhir dunia?
Untuk sesaat, Ree hanya mampu berkedip melihat ekspresi Lex. Ia mengatakan hal itu seolah itu adalah olokan dan ekspresinya datar... tapi konten perkataannya.. adalah pujian, bukan? Apa aku berhalusinasi?
"Aku tidak tahu apakah itu... pujian atau... pujian...?"
Kemudian ekspresi Lex yang Ree kenal kembali. Iritasi terlihat di wajahnya, seakan ia baru saja menyadari apa yang telah ia katakan. Ia mendecih kembali. "Jangan terlalu diambil ke hati. Besok kau akan kembali menjadi buruk rupa." Lalu ia pergi ke sisi ruangan yang lain tanpa menoleh.
Rangga bersiul di samping Ree, "Apa yang kau lakukan padanya?" Mata Rangga melirik punggung Lex yang menjauh.
Ree mengangkat kedua bahunya. Ia juga sama sekali tidak tahu apa yang terjadi pada Lex. Ia hendak menanyakan hal ini ke Danum, namun bisikan bayangan menghentikan niatnya.
Bayangan itu berasal dari tiga perempuan bangsawan yang berbisik sembari melirik Rangga.
"Lihat luka bakar itu."
"Mengerikan sekali."
"Sayang sekali, wajahnya bisa saja tampan."
Tidak hanya tiga perempuan itu, peserta lain –terutama para bangsawan juga membicarakan luka bakar Rangga.
Rangga mendengar bisikan-bisikan tiga perempuan itu, ia pun dapat merasakan tatapan-tatapan orang lain. Bahunya menjadi tegang dan rahangnya mengeras.
Entah mengapa, Ree merasa kesal.
Seketika musisi memainkan lantunan yang berbeda. Ree meletakkan gelasnya kemudian berjalan pelan menuju Rangga. Ia mengulurkan tangannya.
"Berdansalah denganku."
Peserta di sekitar langsung berbisik melihat Ree mengajak Rangga untuk berdansa.
"Bukankah mereka tidak akur?"
"Mengapa perempuan cantik seperti dia mau berdansa dengan pria jelek seperti itu?"
Pria itu menerima uluran tangan Ree dan berdua mereka menuju bagian tengah lantai dansa.
Musisi memainkan alunan yang pelan. Rangga langsung memasang telapak besarnya di pinggang Ree dan satu tangan lain menangkup jemari Ree. Sementara jemari Ree yang bebas ia letakkan pada pundak bidang Rangga.
Para peserta segera meminggir, membentuk lingkaran untuk melihat Ree dan Rangga berdansa.
"Apa yang kau lakukan?" Tanya Rangga.
"Apa yang menurutmu orang akan pikirkan bila melihat kau berdansa denganku?"
Rangga menuntun Ree untuk memutar sebelum menangkap pinggangnya kembali.
"Huh?"
"Mereka mengejek wajahmu. Tapi ketika mereka melihat aku menatapmu seperti ini..."
Ree menangkap tatapan Rangga. Mata gadis itu dipenuhi kelembutan, seakan tersenyum manis pada mata Rangga. Sebuah senyuman samar menghiasi bibirnya.
Saat itu degup jantung Rangga menjadi tak karuan.
"Mereka akan melupakan lukamu dan menganggap kau sangat berbakat di... bidang lain."
Jantung Rangga berdebar cepat. Terlalu cepat.
Ia pun mengerti arah pembicaraan Ree. Untuk seorang bertampang buruk rupa sepertinya dapat menangkap perhatian perempuan tercantik di ruangan ini. Orang akan mengira Rangga sangat ahli dalam hal... peranjangan.
Rangga ingin tertawa akan hal ini.
"Apa yang sebenarnya kau rencanakan?" Desah Rangga.
"Aku tidak suka mereka membicarakan lukamu."
"Dan...?"
"Itu saja."
"Itu saja?" Satu alis Rangga naik. "Kenapa itu menganggumu?"
"Karena hal itu lebih menganggumu. Lagipula mereka salah, kau tidak buruk rupa."
Rangga menuntun Ree untuk berputar kemudian menangkapnya kembali. Kali ini tubuh mereka lebih rapat. Ree dapat merasakan hembusan napas Rangga di wajahnya.
"Kau mendapatkan luka itu karena perbuatan yang mulia." Lanjut Ree dengan pelan, "Aku tidak suka bila orang menghiraukan perbuatan itu dan hanya mengejek luka yang tersisa."
Untuk pertama kali, tatapan Rangga menjadi sangat lembut. Mata hitamnya menangkap mata hitam Ree.
Mendengar Ree berkata seperti itu... Gadis itu tidak tahu betapa pentingnya perkataan itu untuk Rangga. Ia dengan seketika melupakan olokan orang lain, bahkan melupakan bahwa luka bakar itu pernah ada.
Rangga mendesak jauh pemikiran mengenai turnamen dan pemberontakkan dari kepalanya. Malam ini ia tidak ingin memikirkan terlalu banyak. Entah mengapa ia memiliki hasrat untuk hanya menari dengan Ree, melihat gadis sebangsanya dalam balutan gaun merah yang menawan.
Musik beralun semakin pelan. Gerakan mereka pun mengikuti. Untuk seseorang yang mengaku terakhir menari sepuluh tahun yang lalu, gerakan Ree cukup gemulai. Dan dengan Rangga yang memimpin tarian, gerakan Ree menangkap perhatian semua peserta. Setiap kali ia berputar, gaun chiffonnya memekar pula. Seperti mahkota bunga mawar yang sedang bermekar. Seakan lidah api yang menari.
Hingga akhirnya musik berhenti. Kedua pasang kaki mereka pun berhenti.
Ree masih menatap Rangga dengan tatapan yang sama. Mata besar dan hitamnya memberikan rasa familiar yang sangat besar bagi Rangga.
"Matamu..." bisik Rangga. "Rasanya sangat familiar."
Kedua belah bibir Ree terbuka. Rangga mendapati dirinya tidak bisa berpaling dari bibir ranum itu. Satu tangan Ree membelai lembut sisi wajah Rangga yang terbakar.
Kemudian Ree mencium pipi Rangga dengan lembut.
Rangga terpaku di tempatnya. Jantungnya berdebar sangat cepat.
"Tidak ada yang akan menjelekkan lukamu lagi..." bisik Ree di telinganya. "...Setelah ini."
Kali ini jantung Rangga terasa seperti ditusuk sebuah jarum. Tak hanya dada, ujung-ujung jemari dan kaki Rangga juga terasa seperti ditusuk banyak jarum. Rasanya geli mendekati sakit. Jemarinya menjadi gatal untuk membelai rambut hitam Ree yang lebat. Rangga ingin memeluknya saat itu juga. Menahan perempuan itu tetap di dekapannya. Tetapi tubuhnya ragu untuk bergerak.
Tak disangka gadis itu dengan cepat meninggalkan Rangga di tengah lantai dansa. Ia menembus lautan orang dan menuju pintu keluar ruangan.
Rangga masih terlalu kaget sehingga ia mematung di tempat untuk sepersekian detik. Ketika ia berusaha mengejar Ree, beberapa perempuan baik bangsawan maupun peserta mengerumuninya. Mereka mengajaknya berbicara dan bahkan bertengkar satu sama lain untuk diajak berdansa dengannya. Bala perempuan ini semakin membuat jarak antaranya dengan Ree menjauh. Ia berusaha menembus lautan perempuan di hadapannya, namun tak lama ia tidak dapat melihat rambut hitam Ree di mana pun.
Entah mengapa... Rangga merasa kehilangan...
Ia merindukan sosok Ree dalam pelukannya.
Seharusnya kutahan dia tadi... Rangga hanya dapat menyesali hal yang tidak ia perbuat.
ɪʏᴀ, ʀᴏᴍᴀɴᴄᴇ ᴅɪ ᴄᴇʀɪᴛᴀ ɪɴɪ ꜱᴀɴɢᴀᴛ-ꜱᴀɴɢᴀᴛ ʟᴀᴍʙᴀᴛ
ᴛᴀᴘɪ ɪɴɪ ᴋᴀɴ ᴘᴇᴛᴜᴀʟᴀɴɢᴀɴ ᴋɪᴛᴀ
ᴊᴀᴅɪ ᴋɪᴛᴀ ɴɪᴋᴍᴀᴛɪ ꜱᴀᴊᴀ
ᴄɪɴᴛᴀ ʏᴀɴɢ ᴅɪᴋᴇᴍʙᴀɴɢᴋᴀɴ ꜱᴇᴄᴀʀᴀ ᴘᴇʟᴀɴ ᴅᴀɴ ɴᴀᴛᴜʀᴀʟ...
...ʀᴀꜱᴀɴʏᴀ ᴀᴋᴀɴ ʟᴇʙɪʜ ꜱᴀᴋɪᴛ ᴘᴀᴅᴀ ᴀᴋʜɪʀɴʏᴀ. ᴛɪᴅᴀᴋᴋᴀʜ ᴋᴀᴜ ᴘɪᴋɪʀ ᴅᴇᴍɪᴋɪᴀɴ?
ꜱᴀʟᴀᴍ,
ᴘᴀʀᴀ ʙᴀʏᴀɴɢᴀɴ ᴅɪ ʙᴀᴡᴀʜ ʙᴀɴᴛᴀʟᴍᴜ.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top