𝕭𝖆𝖇 33

Aku ingat kegelapan total. Suara desisan dan sisik yang beradu batu. Dan aku ingat rasa takut. Rasa takut yang menusukmu hingga ke tulang.

Aku menghabiskan seharian bersembunyi di balik batu, menggigil ketakutan. Di saat takut, aku biasanya memegangi pisau kesayanganku. Tapi pisau itu tertinggal di markas Nareen. Pikiranku memanggil memori-memori akan Garin, Xi, Xandor, dan Dae. Rasa cemas dan khawatir menggerogotiku. Aku harus mengeluarkan mereka. Aku harus menyelamatkan mereka. Hanya mereka yang kupunya.

Hanya mereka.

Lalu aku ingat keluar dari tempat persembunyianku. Kupanggil Naga Hitam. Tak menghiraukan kakiku yang mulai goyah. Tidak memedulikan tanganku yang gemetar. Membungkam semua jeritan di kepalaku. Tekadku menjadi semakin bulat semakin kupanggil memori akan mereka. 

Garin, Xi, Xandor, dan Dae. Setiap desisan naga itu menghujamku dengan ribuan rasa takut. 

Garin, Xi, Xandor, Dae. 

Aku tidak akan kalah dengan ketakutan. Tidak, ketika mereka membutuhkanku.

Akhirnya wajah Naga Hitam berada di hadapanku. Dan aku menantang matanya...

"AAAAAAAAAAAAARRRRRGGGGHHHHHHH!!!!!!!"

Teriakan Medea menyadarkan Ree. Gambar di keempat layar menjadi hitam. Para penonton terkesiap dan bingung tidak tahu apa yang terjadi. Sementara Madoff terpaku menatap Medea.

"Lepaskan aku!" Teriak Ree pada Madoff. Memiliki seorang perempuan yang berteriak nyaring di dekat kepala membuat seseorang harus berteriak. "Lepaskan aku!"

Madoff akhirnya tersadar dari lamunan –atau perdebatan dirinya sendiri dan menjentikkan jarinya. Semua simbol kuno di kursi menghilang berikut dengan besi yang tadinya menahan lengan dan leher Ree. Seketika itu juga Ree dapat merasakan arus bayangan yang kembali menyerbunya.

Ree menangkup jemari kurus Medea dengan jemarinya sendiri. Kemudian ia menutup benaknya dengan bayangan kembali sehingga Medea berhenti melihat memorinya. Medea berhenti berteriak dan tersungkur ke belakang.

Dengan sigap, Ree berdiri dan menghampirinya. Tapi Medea justru menjauh setiap kali Ree melangkah. Seakan Ree adalah monster yang membuatnya berteriak lantang.

Napas Medea menderu tak karuan. Ia memegangi kedua matanya di atas kain emas. Koloseum menjadi hening menyaksikan mereka.

Setelah Medea sudah berhasil mengontrol napasnya, ia bertanya dengan suara serak, "Berapa lama kau di dalam sana?"

"Satu hari."

Kemudian Medea mendongak menghadap wajah Ree. 

"Ba– bagaimana kau bisa tahan melihat itu? Ketika aku melihat matanya... meskipun dalam memorimu, tapi tetap saja..." 

Medea bergidik. "Kau melihat mata itu secara nyata. Apa kau tidak memiliki ketakutan?!" Suara Medea meninggi, setengah tidak percaya dan setengah frustrasi.

"Tentu aku punya," jawab Ree pelan, napasnya terengah-engah. Entah kenapa hari ini sangat melelahkan untuknya.

"Lalu bagaimana?"

Ree tahu jawabannya. Hanya saja kata itu sudah terasa asing di mulutnya sehingga butuh beberapa saat untuk mengatakannya.

"Harapan..." gumam Ree. 

"Saat itu aku punya harapan bahwa bila aku menghadapi matanya, aku bisa keluar dan...," lanjut gadis itu, "Meski... harapan itu ternyata fana."

Medea berdiri. Dengan langkah gontai ia menghampiri Madoff. 

"Aku tidak akan pernah memasuki pikirannya lagi," kata perempuan itu dengan tajam.

Kemudian ia mengedarkan pandangannya ke seluruh pemain dan penonton. "Dan bila kalian pintar, kalian juga tidak akan ada yang mencobanya lagi."

Madoff mulai tertawa, seolah semua yang terjadi adalah satu hiburan yang menyenangkan. "Hari terbaik!!!" Serunya, "Kau menjadikan turnamen ini turnamen terbaik sepanjang masa! HAHAHAHAH!!!"

Di kerumunan penonton, satu orang mulai bertepuk tangan. Kemudian dua, lalu tiga. Hingga seluruh orang yang hadir ikut bertepuk tangan sembari berdiri. Begitu pula para bangsawan dan Raja Andalas. 

"Kau telah menunjukkan pada kami bahwa penjahat sebenarnya adalah Nareen karena melakukan perdagangan gelap korban jiwa. Kau dan teman-temanmu adalah pahlawan yang selama ini berusaha menghentikannya."

Omong kosong. 

Para bangsawan dan keluarga royal Andreas sudah tahu akan bisnis gelap Nareen dari dahulu. Mereka bahkan menggunakan Nareen tanpa dilihat rakyat. Namun karena memori Ree dipertontonkan pada seluruh rakyat Andalas serta pendatang-pendatang dari negeri lain, para bangsawan berusaha menyelamatkan wajah mereka. Kini mereka menjatuhkan Nareen dan berkata Pasukan Bayangan adalah pahlawan.

Ree ingin muntah mendengar perkataan Raja Andalas.

Di beberapa wajah penonton, terlihat ekspresi ekstasi karena telah terhibur sedemikian rupa. Namun di beberapa wajah lain, Ree melihat apresiasi, rasa hormat, kepada dirinya. Kepada Prajurit Bayangan. Kepada gadis yang berusaha menolong. Kepada gadis yang menghadapi ketakutan.

Hanya Putri Judistia yang seakan tidak bereskpresi. Ia masih terduduk manis mengawasi segalanya.

Ree tidak peduli. Karena di belakang tempat duduk pasir Rosea, ia akhirnya melihat Andreas melihatnya dengan mata berkaca-kaca. Mulutnya membentuk sebuah kata.

Maafkan aku.



ᴀᴘᴀᴋᴀʜ ᴋᴀᴜ ʙᴇʀɢɪᴅɪᴋ ᴋᴇᴛɪᴋᴀ ᴍᴇʟɪʜᴀᴛ ɴᴀɢᴀ ʜɪᴛᴀᴍ?

ᴀᴘᴀᴋᴀʜ ʀᴀꜱᴀ ᴛᴀᴋᴜᴛ ᴍᴜʟᴀɪ ᴍᴇʀᴀʏᴀᴘɪᴍᴜ, ᴍᴇɴɢɢᴇʀᴏɢᴏᴛɪ ᴅɪʀɪᴍᴜ ʜɪɴɢɢᴀ ᴋᴇ ᴛᴜʟᴀɴɢ?

"ᴛɪᴅᴀᴋ," ᴊᴀᴡᴀʙᴍᴜ? ʙᴜᴋᴛɪᴋᴀɴ ᴅᴇɴɢᴀɴ ᴍᴇᴍʙᴇʀɪᴋᴀɴ ᴋᴏᴍᴇɴᴛᴀʀ, ᴠᴏᴛᴇ, ᴀᴛᴜᴘᴜɴ ꜰᴇᴇᴅʙᴀᴄᴋ.

ʙɪᴀʀ ᴋᴜʙᴇʀɪᴛᴀʜᴜ ꜱᴜᴀᴛᴜ ʀᴀʜᴀꜱɪᴀ...

ᴛᴀᴋᴜᴛ ɪᴛᴜ ʙɪᴀꜱᴀ. ᴍᴇɴɢʜᴀᴅᴀᴘɪ ᴋᴇᴛᴀᴋᴜᴛᴀɴ ᴀᴅᴀʟᴀʜ ᴋᴇʙᴇʀᴀɴɪᴀɴ. ᴛᴇᴛᴀᴘɪ ᴍᴇɴᴀɴᴛᴀɴɢ ᴋᴇᴛᴀᴋᴜᴛᴀɴ ᴀᴅᴀʟᴀʜ ᴋᴇɢɪʟᴀᴀɴ.

ʏᴀ, ᴋᴀᴍɪ ᴍᴇɴʏᴇʙᴜᴛ ʀᴇᴇ ɢɪʟᴀ. (ᴛᴇʀꜱᴇɴʏᴜᴍ), ᴛᴀᴘɪ ᴋᴀʀᴇɴᴀ ɪᴛᴜʟᴀʜ ᴋᴀᴍɪ ᴍᴇɴʏᴜᴋᴀɪ ᴋᴇʙᴇʀᴀᴅᴀᴀɴɴʏᴀ.


ꜱᴀʟᴀᴍ,

ᴘᴀʀᴀ ʙᴀʏᴀɴɢᴀɴ ʏᴀɴɢ ᴘᴇʀᴛᴀᴍᴀ ᴋᴀʟɪ ᴋᴀᴜ ʟɪʜᴀᴛ ʜᴀʀɪ ɪɴɪ.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top