𝕭𝖆𝖇 25

Mereka sudah kembali dalam kediaman kru. Danum, Bima, dan Lex dengan segera memasuki kamar mereka masing-masing dan tertidur. Namun terlalu banyak hal berputar dalam pikiran Ree sehingga ia merasa perlu untuk membuka anggur dari kabinet dapur.

Kini Ree duduk di balkoni, sebuah gelas berisikan cairan berwarna merah berada di tangannya. Ia masih memakai pakaian tempurnya. 

Alkohol terlebih dahulu, baru mandi.

"Apa kau keberatan bila aku menemanimu?"

Ree memutar pandangannya ke arah ruangan. Rangga berdiri di pintu balkoni dengan sebuah gelas kosong di tangannya. Ia memakai tunik dan celana berwarna krem. Rambutnya basah karena habis keramas.

Sebagai balasan, Ree mencondongkan botol anggur ke arah Rangga. Pria itu mengambil botol itu dan menuangkan anggur ke dalam gelasnya. Masih dengan berdiri, Rangga meneguk cairan merah itu. Rasa hangat, manis bercampur pahit menyerbu tenggorokan kemudian dadanya.

"Kau menyelamatkanku."

"Sama-sama."

Mereka terdiam untuk beberapa saat, tersesat oleh pikiran masing-masing.

"Jadi dulu kau adalah pelayan istana?"

Ree hampir tersedak oleh anggur mendengar pertanyaan Rangga. Namun dengan kesusahan ia membuat kepalanya mengangguk.

"Itukah kenapa kau meninggalkan Judistia? Karena pemberontakkan terhadap keluarga Janya?"

Ree mengangguk kembali.

"Apa... apa kau kehilangan seseorang di pemberontakan itu?" Rangga bertanya dengan suara pelan, nadanya penuh rasa bersalah.

Kehilangan... Ree kehilangan segalanya ketika pemberontakan itu terjadi. Ia teringat wajah Jagrav, memerintahkan prajuritnya untuk membunuh semua orang di kastil. Ia ingat...

Dengan mendesah, Ree menjawab, "Aku kehilangan keluargaku."

Sepertinya Rangga tidak memiliki balasan untuk itu. Ia langsung meneguk anggur kembali. Dan untuk beberapa saat, hanya keheningan yang kembali menemani mereka.

"Apa kau merindukan mereka?" Entah apa yang merasuki Ree untuk menanyakan hal ini, "Teman-temanmu?"

"Adishree dan Rosea, maksudmu..." Rangga memutar-mutar cairan merah dalam cangkirnya, "...Sangat."

"Aku tidak percaya pemberontakan itu perlu dilakukan." 

Bagi Rangga, Adishree adalah putra mahkota yang bertanggung jawab dan mau mendengarkan. Dan Rosea... dia hanyalah empat tahun ketika hal itu terjadi... 

"Seharusnya.. seharusnya ada cara lebih bai–"

"Jagrav berkata ia ditugaskan oleh para dewa."

"Jagrav berbohong!" Seru Rangga. 

Tangan kirinya mengepal dan ia hentakkan pada dinding balkoni. 

"Janya memang bersalah tapi Jagrav melakukan itu murni untuk mendapatkan kekuasaan. Titisan dewa omong kosong!" 

Rahang Rangga mengeras setelah mengatakan hal itu.

"Aku berusaha membuka kedok Jagrav, membuat rakyat sadar. Tapi..."

Ree sudah tahu kelanjutannya tanpa perlu Rangga beritahu. Gadis itu dapat menebaknya. 

"Kau malah diasingkan sebagai Pangeran Pemberontak. Rakyat terlalu takut dengan kontraktor dan ketakutan itu menjadikan mereka buta."

Rangga melirik Ree. Meski Ree memandangi langit yang berbintang, Rangga mengangguk. Untuk seseorang yang sudah sebelas tahun di luar Judistia, Ree seakan dapat langsung mengerti keadaan di Judistia.

"Apa kau dekat dengan Rosea?" Tanya Rangga. 

Ketika Ree hanya mengerut pada Rangga seolah tidak mengerti pertanyaannya. Rangga melanjutkan, "Kau bilang kau bekerja di istana. Aku langsung berasumsi kau adalah pelayan Putri Judistia."

"Ohh... ya, sedekat yang pelayan bisa," jawab Ree.

"Apa kau tahu dia dirumorkan menjadi Putri Pertama di ramalan?"

Oh, Ree tahu mengapa Rangga menanyakan hal ini. Ia ingin menggali informasi untuk misinya. Ketika ia pikir Rangga mulai membuka diri justru pria itu memiliki agenda di balik omongannya. 

Ia mengangguk. Semua orang tahu bahwa Rosea dirumorkan sebagai Putri Pertama. Ramalan itu secara jelas menyatakan bahwa Putri Pertama akan dilahirkan seribu tahun setelah ramalan dibuat. Sekalipun Rosea lahir empat tahun lebih lambat dari ramalan.

"Apalah arti empat tahun itu. Siapa lagi kalau bukan Rosea?" Tanya Rangga. "Janya hanya memiliki dua anak. Adishree dan Rosea. Kecuali ada anak lain di luar–"

"Aku bisa pastikan hal itu tak pernah terjadi," sergah Ree dengan mantap. 

Kalimat terakhir dari Rangga, Ree tahu, dilontarkan untuk memancing informasi pula. Rangga ingin memastikan Rosea adalah benar Putri Pertama yang selama ini mereka butuhkan.

Rangga tidak membalas, maka mereka menghabiskan beberapa waktu dalam keheningan... untuk yang kesekian kalinya. Sepertinya percakapan mereka terlalu sering diisi dengan keheningan.

"Maafkan aku," kata Rangga akhirnya, "Di arena latihan..."

Ree mengangkat mukanya menatap Rangga, menangkap emosi yang dipancarkan mata birunya.

"Aku merencanakan hal itu, supaya ki-"

"Tapi aku tidak tahu, Ree. Aku langsung bermain tangan untuk melampiaskan kemarahanku padamu." 

Rangga mengusap rambutnya berkali-kali dengan gusar, "Itu... aku– aku..."

"Kau harus belajar melepaskan amarahmu dan bukan memendamnya. Tidak ada hati manusia yang kuat memendam sebegitu banyak amarah. Pantas saja kau sering kali meledak."

"Aku... tidak tahu caranya.." Rangga tidak mampu menatap Ree kembali. Ia menyesalkan perbuatannya hari itu dan merasa tidak mampu menatap gadis yang telah ia sakiti.

Ree mengangkat satu alis. "Untuk melepaskan amarah?"

Pangeran Pemberontak mengangguk, pelan dan lemah.

"Aku sudah mencoba semuanya. Tapi tautan di sini.." Rangga menunjuk dadanya, ekspresinya seperti kesakitan. 

"Tautan itu justru semakin rumit dan memberatkan. Dan aku frustasi karena tidak bisa menyingkirkan... hal ini... UGH! Aku sedang berbicara asal."

Tangan Rangga yang bebas menyusuri rambutnya.

"Rasanya seperti ada yang menggerogotimu dari dalam, kau berusaha menghiraukannya tapi itu justru terasa semakin berat."

Ketika Rangga mendongak, matanya membesar. Perkataan Ree persis mendeskripsikan perasaannya.

"Itu adalah beban, Ga. Itu adalah rasa bersalah. Dan kau tidak akan terbebas dari rasa itu sebelum kau menyadari apa yang membuatmu merasa seperti itu pada awalnya."

Rangga terdiam.

"Berbicaralah dengan seseorang yang mengerti. Itu saranku." Ree meneguk sisa anggur di gelasnya kemudian mengisi kembali gelasnya.

Tak terduga, Rangga dengan mantap berkata, "Kau sepertinya mengerti."

"Tidak, Ga." Wajah Ree serius. Bibirnya menipis dan sorot matanya tajam. "Berbicaralah dengan sahabat-sahabatmu."

Jujur, Ree tidak mengira Rangga akan mau membuka diri pada Ree. Pria ini beberapa menit yang lalu baru saja bercakap untuk menggali informasi. Kini ia mau membuka diri? Ke mana perginya pria dingin itu? Ini adalah hal terkonyol yang Ree alami hari itu.

"Mereka juga tidak tahu, sama sepertiku." kata Rangga sembari menggeleng kepalanya. 

Bertahun-tahun sudah ia mencoba menceritakan hal ini pada mereka. Meski mereka terikat oleh satu misi yang sama, satu kecintaan terhadap Negeri Judistia, mereka tidak melihat pembantaian itu secara langsung. Mereka tidak mampu mengerti bagaimana rasanya menyaksikan pembunuhan massal dan... selamat. Rangga tidak pernah menemukan satu orang pun yang dapat mengerti. 

Namun di hadapannya, adalah seorang lain yang juga melihat pembantaian itu dengan mata kepalanya sendiri. 

"Kenapa tidak kau?" Rangga tidak mau mundur. 

Ree mendesah frustasi, "Temukan orang lain."

Karena aku tidak mau mendengar apapun alasanmu, pikir Ree. Aku tidak mau. TIDAK MAU.

"Aku merasa seperti ini semenjak kejatuhan keluarga Janya-"

"Aku tidak bilang akan m-"

"Ketika Ayahku melancarkan kudeta kepada keluarga Janya, kami sedang makan malam bersama. Aku duduk di samping Adishree. Di depanku adalah Jagrav yang selalu duduk di sebelah kiri Ratu Gayatri. Tiba-tiba Jagrav dan para pasukannya menarik senjata dan.."

"Jangan–" kata Ree lebih seperti memohon. Wajahnya penuh keengganan.

Rangga meneguk anggurnya. Ia memutuskan untuk menghiraukan perkataan ataupun ekspresi Ree. Ia, entah mengapa, punya dorongan kuat untuk menceritakan masa lalunya. 

Mungkin efek alkohol yang memengaruhi kontrol dirinya, ia tidak peduli. Dan dari semua orang yang ia temui, Ree seakan yang paling mengerti rasanya memiliki tautan berat itu. 

Persetan dengan menggali informasi. Persetan dengan menjadi bajingan yang tidak memercayai siapapun. Rangga sudah memendam tautan itu lama sekali dan dia butuh untuk mengeluarkannya. Selama hidupnya, Ree adalah orang terdekat dengan kejadian itu. Rangga pun memilih untuk mengeluarkan tautan itu meski itu berarti ia harus bertindak di luar karakter. 

Pemuda itu kembali menjelaskan bahwa ia melihat Sang Ratu ditusuk di depannya. Pelayan Adishree dengan cekatan langsung membawa Adishree dan Rosea keluar dari ruangan. Kemudian pelayan itu mengorbankan nyawanya untuk memberikan Adishree dan Rosea kesempatan untuk kabur. Mereka tidak pernah ditemukan kembali. Namun semua sekutu dan orang yang setia pada mereka telah dieksekusi di kastil hari itu pula. 

"Aku merasa... tidak berguna saat itu. Aku tidak bisa menyelamatkan teman-temanku."

Ketika Rangga memberanikan diri untuk melirik Ree kembali, gadis itu sedang menutup mata. Seakan menghalau sebuah penglihatan.

"Kau hanyalah delapan tahun."

Rangga memilih untuk tidak menanggapi pernyataan itu dan justru bertanya, "Apakah mungkin ini asal rasa bersalahku? Lalu masalah Rosea ternyata masih hidup..."

Ree akhirnya membuka kembali matanya. Matanya berkaca-kaca. Raut kelelahan tampak lebih jelas di wajahnya. Ia meneguk anggurnya kembali. Mungkin pembicaraan ini memicu kenangan akan keluarganya. Dan mungkin kejadian tadi bertemu dengan Andreas membuatnya emosional, pikir Rangga.

Ya, Rangga sudah menebak dengan pasti bahwa Andreas adalah adik yang dicari Ree.

"Aku kira kau menyalahkan keluarga Janya atas banyaknya korban berjatuhan sebagai bayaran kontrak."

Rangga terdiam sejenak. "Anak-anak tidak seharusnya menanggung dosa orang tua mereka. Lagipula ada cara yang lebih baik dari pembantaian."

"Lex tidak berpikir demikian. Lagipula, apa yang bisa kau lakukan saat itu? Tidak ada, bukan? Lepaskanlah, Ga. Itu bukan salahmu. Bukan bebanmu untuk merasa bersalah. "

Si Pangeran menggeleng. Bahunya merosot, membuat tubuhnya seakan membungkuk.

"Jagrav... membakar semua staff istana yang setia pada Janya... aku berusaha memadamkannya tapi-"

"Itukah mengapa setengah wajahmu terbakar?"

Mata biru Rangga mendongak menangkap mata Ree. Mata biru yang indah namun penuh kesedihan. Ree tidak tahu Rangga kembali ke dapur untuk menolong para staf di dapur. Di saat Ree melarikan diri, meninggalkan para staf itu, Rangga justru kembali untuk berusaha menolong. 

Ree sempat menanyakan apa yang telah Rangga lakukan selama ini pada hari itu. Nyatanya Rangga telah berbuat lebih banyak daripada Ree untuk rakyat Judistia. Ree merasa malu.

Perkataan berikutnya dikatakan Ree dengan pelan, "Bila aku adalah Adishree," katanya dengan serak, "Aku akan berterima kasih."

"Karena kau adalah satu-satunya yang berusaha menyelamatkan mereka. Aku akan berterima kasih, karena ketika orang lain tidak ada yang bersedia membantu.. kau, yang saat itu berumur delapan tahun, tergerak untuk menyelamatkan mereka. Dan aku tidak akan menyalahkanmu akan apa yang terjadi."

Setelah itu tidak ada yang berkata-kata. Hanya suara es dalam gelas ketika mereka berdua meneguk alkohol. Gelas demi gelas. Tenggorokan dan dada mereka terasa hangat. Kepala mereka terasa mengambang. Sementara hati keduanya merasakan sejumlah emosi yang berbeda-beda.

"Mungkinkah..." mulai Rangga dengan suara pelan, "...Mungkinkah rasa penyelasan ini ada karena aku tahu Adishree tidak akan menyalahkanku? Dia adalah bocah yang sangat baik. Tapi aku sendiri... aku merasa patut disalahkan..."

Ree meneguk minumannya kemudian mengisi gelasnya kembali untuk kesekian kalinya.

"Kalau begitu kau hanya butuh dirimu untuk memaafkan dirimu sendiri."

Setelah itu Ree pamit menuju kamarnya untuk mandi dan beristirahat. Pikirannya penuh dengan kenangan-kenangan pahit, baik dari sebelas tahun yang lalu dan yang terjadi hari itu. Dan satu pikiran terdengar lebih lantang dari semuanya: 

Rangga tidak mengenalinya. 

Entah mengapa Ree sedikit merasa kecewa karena pernyataan itu. Seharusnya dia tidak peduli dan justru merasa lega, tapi... Ia justru merasa kecewa.

Kakinya membawa Ree di depan kaca besar yang tertempel di pintu lemari. Ree membalikkan badannya kemudian ia melepaskan pakaian tempurnya.

Di sudut matanya ia melihat garis-garis biru dan hitam mewarnai punggungnya.

Garis-garis hitam sudah menipis. Begitu pula garis-garis biru. 



ᴋᴀᴍɪ ꜱᴇᴛᴜᴊᴜ ᴋᴏᴋ, ᴋᴀᴍɪ ᴊᴜɢᴀ ʙᴇʀᴘɪᴋɪʀ ʀᴀɴɢɢᴀ ʙᴇɢᴏ ᴋᴀʀᴇɴᴀ ᴛɪᴅᴀᴋ ᴍᴇɴɢᴇɴᴀʟɪ ʀᴇᴇ.

ᴛᴀᴘɪ ᴀᴘᴀ ʙᴏʟᴇʜ ʙᴜᴀᴛ? ʀᴇᴇ ᴡᴀᴋᴛᴜ ɪᴛᴜ ʜᴀɴʏᴀʟᴀʜ ꜱᴇᴏʀᴀɴɢ ᴘᴇʟᴀʏᴀɴ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴘᴜᴛʀɪ ᴘᴇʀᴛᴀᴍᴀ. ᴍᴇɴɢᴀᴘᴀ ᴘᴜʟᴀ ꜱᴇᴏʀᴀɴɢ ᴘᴀɴɢᴇʀᴀɴ ᴍᴇʟɪʀɪᴋɴʏᴀ?

ᴀᴘᴀ ᴋᴀᴜ ɪɴɢɪɴ ᴅɪʟɪʀɪᴋ ᴏʟᴇʜ ꜱᴇᴏʀᴀɴɢ ᴘᴀɴɢᴇʀᴀɴ ᴘᴜʟᴀ? ʙᴇʀɪᴋᴀɴ ᴋᴏᴍᴇɴᴛᴀʀ/ᴠᴏᴛᴇ/ꜰᴇᴇᴅʙᴀᴄᴋ ᴍᴜ


ꜱᴀʟᴀᴍ,

ᴘᴀʀᴀ ʙᴀʏᴀɴɢᴀɴ ᴅɪ ʙᴀᴡᴀʜ ʟᴀᴍᴘᴜ ᴛɪᴅᴜʀᴍᴜ.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top