𝕭𝖆𝖇 21

Setelah berjalan beberapa lama, Lex menyadari ada seseorang yang mengikuti mereka. Ia menarik lengan Rangga.

'Lari.'

Rangga langsung mengerti. Mereka pun berlari hingga mencapai sebuah bukaan penuh dengan bebatuan. Mereka memilih salah satu batu yang cukup besar untuk menyembunyikan dua tubuh pria dewasa.

Seorang perempuan berambut hitam yang bergelombang muncul dari lorong tempat mereka masuk. Rangga curiga dia adalah seorang Judistia. Namun ketika tudung jubah perempuan itu turun, ia melihat sepasang mata oriental yang tajam dan kulit sawo matang.

Lixi? Campuran sepertinya.

Perempuan itu mengedarkan pandangan ke seluruh bukaan. Bebatuan yang tinggi membuat tempat itu seakan seperti labirin.

Namun bukannya berusaha mencari Rangga dan Lex, pandangan perempuan itu terfiksasi oleh sebuah goa besar yang terletak beberapa meter di atas dinding bebatuan. Di sebelah kanan dari tempat persembunyian Rangga dan Lex.

Gadis bermata oriental itu hendak menuju gua tersebut ketika sebuah pria tiba-tiba muncul di depannya.

"Aku sudah mendengar tentangmu, Kinara."

"Ultar," kata perempuan bernama Kinara itu dengan nada bosan, "Itu saja yang pernah kudengar tentangmu."

"Katakan pada Penyihir Putih bahwa Raja Judistia memberikan peringatan. Bila kru kalian menghalangi misi kami, kru Penyihir Putih akan menjadi target pula."

"Dan.. apakah misi itu?"

Ultar mengambil satu langkah, membasahi bibirnya dan berkata, "Membasmi pasukan semut api."

Semut api. Rangga menegang karena mendengar julukan yang Ayahnya berikan itu. 

'Kau hanyalah seekor semut api. Berapi dan dapat menyengat. Tapi secara kodrat hanyalah seekor semut,' kata Jagrav di hari Rangga dinyatakan sebagai Pemberontak.

Mereka tahu kita di sini, dalam dunia pikiran pun Lex berbisik mengatakan hal itu. Seakan ia takut ada yang mendengar percakapan personal mereka.

'Lex, Ga, kalian tidak apa-apa?' tanya Bima. 

Hanya dialah yang dapat menjangkau pikiran mereka pada jarak jauh. Itupun perlu memakan magis yang lebih banyak dari biasanya. Sehingga Bima tidak dapat membuka saluran komunikasi mental untuk setiap anggota dalam jarak jauh.

'Untuk sekarang,' jawab Lex, 'Kami sedang bersembunyi dari Ultar dari kru Pandawa dan Kinara dari kru Penyihir Putih.'

'Target mereka adalah Rangga.'

'Bagaimana kau tahu itu?'

'Kru Penyihir Putih yang memberitahu kami.'

'Ap- tunggu.. kami?'

'Ya. Aku, Ree, Danum, dan Mercurio hendak menuju ke sana.'

'Mercurio?'

'Dia anggota Kru Penyihir Putih.'

'Tungg–'

'Tidak perlu.' Kata Rangga, memotong perkataan Lex dengan mantap, 'Aku dan Lex akan menyelinap dari jangkauan mereka.'

Tepat ketika Rangga dan Lex hendak menyusuri belakang batu untuk menyelinap, seorang pria muda muncul di belakang mereka.

"Mau pergi?" tanyanya dengan nada datar.

Rangga dan Lex yang kaget, secara insting langsung mengangkat tangan dan memanggil magis mereka masing-masing. Tangan Rangga terbalutkan oleh api sementara batu-batu kecil melayang melingkari kepalan tangan Lex.

Dengan temaram cahaya api, Rangga dapat melihat pemuda itu lebih jelas. Seorang bocah seumuran Bima, berambut pirang dan beriris mata biru muda. Kedua tangannya terangkat di depan dada. Tak lama kemudian, tangan kanannya memunculkan api sementara tangan kirinya membuat bebatuan kecil melayang di atasnya.

Astaga.

"Penyihir Murni," bisik Lex pada dirinya sendiri.

"Andreas Von Mikhael. Siap melayani Anda," kata bocah itu. 

Kemudian ia meluncurkan dua magis sekaligus. Semburan api diarahkan kepada Lex. Di saat yang sama, bebatuan di tangan kanannya membentuk sebuah batu besar yang ia layangkan pada Rangga. 

Lex dengan cekatan membentuk dinding pertahanan dari bebatuan di sekitarnya. Sementara Rangga berhasil menghindar sehingga batu besar itu tidak mengenai tubuhnya. Batu besar itu justru menghantam batu persembunyian mereka dan kedua batu pecah berkeping-keping.

Tanpa berhenti untuk mengambil napas, Rangga langsung melancarkan magis apinya pada Andreas. Namun dengan cepat Andreas mengirimkan angin besar yang membawa Rangga dan Andreas ke tengah bukaan itu. Mereka menabrak Kinara dan bertiga, mereka terjatuh di tanah.

Tanpa kehilangan momentum, Andreas kembali melancarkan semburan api pada Lex dan Kinara. Lex dengan cepat membuat pertahanan batu kembali untuk dirinya sendiri. Rangga hendak menolong Kinara tapi terlambat. Semburan api itu sudah melahap tubuhnya. Ketika Andreas menghentikan semburan api, perempuan itu sudah menghilang tanpa jejak.

Melihat itu, Rangga mengeluarkan teriakan yang buas. Ia pun membuat semburan api yang besar dan meluncurkannya pada Andreas. Bocah itu tidak dapat bereaksi dengan tepat waktu, namun Ultar menteleportasikan Andreas ke sisi barat gua. 

Sebelum Rangga dapat meluncurkan serangan kembali, Andreas membuat gempa di bukaan itu sehingga Rangga terjatuh ke lantai gua. Kemudian Andreas mengubur kedua tangan dan kaki Rangga dengan tanah.

Lex hendak menolong Rangga, tapi Ultar sudah terlebih dahulu berteleportasi ke dekatnya dan menyayat kedua pahanya. Tersungkur di tanah, Ultar terus menerus menghujani Lex dengan tinju dan tendangan. Setiap kali Lex hendak menimpa Ultar dengan batu atau tanah, Ultar berteleportasi. Kemudian menyayat, menendang atau memukul Lex.

"Hentikan!" teriak Rangga.

Ultar menendang tulang rusuk Lex sekali lagi, Lex menghasilkan suara rintihan yang memilukan telinga. Pria itu terlalu kesakitan dan kehabisan tenaga sehingga tidak bisa memanggil magisnya.

Andreas sudah membentuk batu besar di udara dan hendak menurunkan batu itu untuk menimpa tubuh Rangga ketika sebuah suara menghentikannya.

"Andreas," panggil suara itu dengan panik, "Hentikan ini. Kau bukanlah seorang pembunuh!"

Rangga dengan susah payah berusaha melihat ke belakang Andreas untuk mengetahui asal suara. Ia mendapati Ree, Danum, Bima, dan Mercurio berdiri di pintu gua. Bima yang meneriakkan suara itu. Sementara Ree entah kenapa menyembunyikan wajahnya di balik kerudung.

"Pembunuh?" tanya Andreas lirih, matanya masih menatap Rangga dengan nanar.

"Dia adalah seorang pemberontak. Membunuhnya bukanlah tindakan kejahatan."

"Apa yang kau tahu tentang kejahatan?" timpa Lex, "Jagrav hendak membunuh massal semua kontraktor di Judistia. Dialah kejahatan yang perlu kau basmi!"

"Tutup mulutmu!" Ultar menendang tulang rusuk Lex, membuat pria itu meringis kesakitan kembali dan tidak sadarkan diri.

Mercurio menggunakan magisnya untuk berlari cepat ke samping Ultar dan berusaha meninjunya. Namun Ultar dengan cekatan berteleportasi ke sisi gua yang lain. Belum sempat Mercurio mengejarnya, Andreas dengan cepat langsung mengarahkan batu besar tadi ke arah Mercurio. Tubuh pria campuran Lixi itu terpental ke diding batu gua. Kemudian batu besar itu seakan menyatu dan menyelubungi tubuh Mercurio dengan dinding tersebut, sehingga tubuh Mercurio tergantung di atas.

Danum sudah mengganti kulitnya menjadi besi dan hendak mengayunkan tongkatnya ke arah Andreas ketika sebuah batu lain terbang menimpa Danum dan menghimpitnya ke dinding gua, berhadapan dengan Mercurio.

"Terima kasih Rema," kata Andreas.

Seorang perempuan berambut cokelat yang cepak muncul dari mulut gua. "Pikiran mereka sangat mudah untuk dibaca," kata perempuan itu.

Pantas saja Andreas dapat menghalau serangan Mercurio dan Danum. Seorang Pembaca Pikiran menolongnya.

"Nah, di manakah Pembaca Pikiran milikmu, Pangeran? Dan gadis satunya lagi?" Tanya Rema.

Ree berdiri di mulut gu– tunggu. Di mana dia? Rangga sudah tidak dapat melihat sosok itu.

Atas sebutan nama Ree, Andreas juga ikut menoleh ke arah mulut gua.

"Kabur, sepertinya. Tsk tsk..." Lanjut Ultar, "Aku mendengar rumor mengenai retaknya kru kalian. Tapi tidak kuduga separah ini."

Tidak mungkin. Rahang Rangga mengeras. Tidak mungkin.

"Oh tapi mungkin saja, Pangeran Pemberontak. Mungkin mereka akhirnya menjadi pintar dan merasa nyawa mereka tidak sepadan dengan nyawamu."

Rangga meludah ke arah muka Rema. Perempuan itu justru tersenyum lebar. "Kau sendiri pun tidak berpikir nyawamu lebih berharga dari nyawa orang lain, bukan? Seharusnya kau merasa bersalah, Pangeran. Sudah berapa banyak nyawa yang dikorbankan untukmu?"

Ledakan api muncul dari sekujur tubuh rangga. Bersamaan dengan itu, Rangga mengeluarkan raungan yang keras, mengajak apinya untuk semakin membesar.

Namun tanah liat yang mengekangnya justru semakin mengeras. Pun batu dinding gua tidak terpengaruh.

Mengetahui ini Rema tersenyum manis. Matanya mengilat melihat luapan emosi Rangga.

"Ini bukanlah sesuatu yang personal," kata Gor. "Turnamen ini adalah permainan nyawa. Dan kebetulan kau bertemu dengan kami di sini. Raja Judistia menganggap ini adalah kesempatan. Kami hanyalah hambanya."

"Selesaikan," perintah Gor secara final, "Kemudian kita cari Frida."

Ultar mengeluarkan pisau dari sabuknya, ia menempelkan bilah tajam itu di leher Lex. Sementara Andreas kembali mengubur tubuh Rangga dengan tanah liat hingga tidak ada bagian tubuh yang terlihat. Tanah liat yang mengubur tubuh Rangga masih berapi-api untuk beberapa saat hinga akhirnya nyala api itu redup perlahan, menyerah pada kerasnya tanah liat itu.

Gor tersenyum puas.

Mereka telah menjalankan misi mereka. Pangeran Pemberontak sudah dipadamkan. Berikut dengan para pasukannya.





Atau... setidaknya, itulah yang mereka pikirkan saat itu.



ʜᴀʜᴀʜᴀ ᴛᴇɴᴀɴɢ, ꜱᴇᴍᴜᴀɴʏᴀ ᴛɪᴅᴀᴋ ꜱᴇʟᴇꜱᴀɪ ᴅɪ ꜱɪɴɪ

ʟᴀɴᴊᴜᴛᴋᴀɴ ᴍᴇᴍʙᴇʀɪ ᴋᴏᴍᴇɴᴛᴀʀ/ᴠᴏᴛᴇ/ꜰᴇᴇᴅʙᴀᴄᴋ



ꜱᴀʟᴀᴍ,

ᴘᴀʀᴀ ʙᴀʏᴀɴɢᴀɴ ᴅɪ ʙᴀᴡᴀʜ ᴄᴀɴɢᴋɪʀ ᴍɪɴᴜᴍᴀɴᴍᴜ.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top