𝕭𝖆𝖇 14
Sejujurnya, Ree tidak merencanakan untuk memprovokasi Rangga. Tapi ia mendapatkan dirinya tidak bisa berhenti mengeluarkan pernyataan tadi.
Ia memaksudkan semua perkataannya.
Kendati demikian, hasil provokasi itu tidak buruk pula. Karena distraksi itu, ia sempat dapat menarik bayangan semua orang di ruangan itu. Bahkan bayangan Kai. Tanpa adegan tadi, bisa saja Kai menyadari kembali. Meski sampai sekarang ia masih tidak tahu apakah Kai benar-benar dapat merasakan bayangan Ree atau tidak.
Ree dapat membaca bayangan teman satu kru Kai pula, namanya Danver. Dan ternyata kru Penyihir Putih mendapatkan bocoran mengenai permainan selanjutnya. Namun ketika Ree mencoba membaca bayangan Kai...
Ree sudah lupa kapan terakhir kali ia merasakan ketakutan.
Sudah lama sekali.
Sekalipun kali ini, Ree tidak sampai bergemetar.
Kai... bukanlah seorang manusia biasa. Ia adalah makhluk kuno. Bayangannya memberitahukan Ree bahwa Kai sudah berkelana di dunia selama ratusan tahun lamanya. Yang berarti, Kai adalah seorang Manusia Abadi. Manusia yang memiliki umur yang sangat panjang.
Dan selama ini Ree pikir Manusia Abadi adalah mitos belaka.
Nanti, ia harus memberitahukan ini kepada kru Rangga. Nanti.
Ketika ia keluar dari ruangan latihan, Ia sebenarnya tidak punya tujuan lain. Ree hanya mengikuti kemanapun kakinya membawanya. Dan nyatanya batu itu membawa Ree ke lantai perpustakaan.
Barisan-barisan lemari buku berjajar mengisi penjuru ruangan. Diselingi oleh meja-meja kayu yang panjang. Perpustakaan itu terdiri dari dua lantai, dua tangga yang setengah melingkar berdiri kokoh di kedua sisi ruangan. Sebuah kandelir raksasa bertengger di tengah langit-langit, lampu kristal itu hampir menyentuh lantai tingkat dua, bila saja bagian tengah tingkat dua tidak bolong. Seorang pria tua yang ringkih dan bungkuk terlihat sedang mensortir buku di lantai dua.
"Sudah lama perpustakaan ini tidak dikunjungi," kata pria itu, "Apalagi oleh seorang kontraktor yang tidak biasa."
Lagi-lagi sebutan itu, 'tidak biasa.'
Ree tidak suka panggilan itu. Ia memicingkan matanya pada pria tua itu. Teringat perkataan Wiseman mengenai seseorang yang mengetahui cara keluar dari turnamen. Mungkinkah ini adalah orang itu?
"Apakah kau seorang seperti Wiseman?"
Pria itu memutar badannya. Satu tangan masih memegang buku. Kacamata bacanya bertengger dekat cuping hidung.
"Apakah itu tidak jelas?" Katanya lirih.
Ree merasa dirinya sedang tidak ingin menanggapi sarkasme orang lain, ia pun hendak berbalik ketika pria itu tiba-tiba berkata, "Yang kau butuhkan ada di lorong ketiga dari kanan."
"Apa?"
"Apa kau tuli?" Tanyanya dengan sinis lagi.
Kesal, Ree mendecak. "Tch. Aku tidak sedang mencari buku apapun. Aku justru men–"
"Makanya kubilang 'yang kau butuhkan,' bukan 'yang kau cari.'"
Pria itu mendecak dengan kesal pula kemudian kembali mensortir buku di lemari buku belakangnya.
Ree hanya bisa melotot sebagai balasan dari pria itu. Namun tak lama ia mendapati kakinya tertarik oleh rasa penasaran menuju lorong ketiga dari kanan. Mungkin saja ia diarahkan untuk mendapatkan cara keluar dari turnamen.
Ree menyusuri lorong di antara dua rak buku besar. Sebuah meja kayu berada di tengah-tengah lorong itu beserta kursi-kursinya. Persis ketika Ree ingin menghardik pria tadi menanyakan di mana hal yang ia maksud, Ree melihat sebuah buku bersampul kulit tergeletak di atas meja.
Buku itu tidak memiliki judul apapun.
Ree melayangkan pandangan ke sekelilingnya, namun tidak ada satupun orang di perpustakaan itu.. ya, terkecuali pria sinis tadi. Ia membuka halaman pertama buku itu. Kertasnya sudah menguning dan sedikit rapuh. Bukannya nama penulis, Ree justru menemukan sebuah kalimat di tengah-tengah halaman.
𝐻𝒾𝓃𝑔𝑔𝒶 𝓇𝒶𝓂𝒶𝓁𝒶𝓃 𝓉𝑒𝓇𝓅𝑒𝓃𝓊𝒽𝒾, 𝓌𝒶𝓀𝓉𝓊 𝒶𝓀𝒶𝓃 𝓉𝑒𝓇𝓊𝓈 𝒷𝑒𝓇𝒽𝑒𝓃𝓉𝒾, 𝒹𝒶𝓃 𝓈𝒾𝓀𝓁𝓊𝓈 𝓉𝒶𝓀𝒹𝒾𝓇 𝒶𝓀𝒶𝓃 𝓉𝑒𝓇𝓊𝓈 𝒷𝑒𝓇𝒿𝒶𝓁𝒶𝓃.
Dengan hentakan yang keras, Ree langsung menutup buku itu. Napasnya terengah-engah, ia tidak dapat merasakan udara masuk memenuhi paru-parunya. Ree harus bersimpuh di lantai, menekan mukanya pada lutut dan terus menerus mengingatkannya untuk bernapas.
Pertama kekuatan Andreas.
Kedua, turnamen ini.
Lalu, Xi dan Nareen Nygard.
Kemudian buku itu.
Semuanya teerlalu banyak. Terlalu berat untuk Ree pikul. Ia tidak kuat. Ia tidak mau.
Ia hanya ingin kembali ke kehidupannya dulu. Kembali menjadi seseorang yang biasa, yang tidak perlu terlibat dengan ramalan atau kontraktor.
Pulang, ia ingin pulang. Ia hanya ingin membawa Andreas pulang.
Para dewa rasanya sedang mempermainkan kehidupan Ree. Dan semuanya, entah mengapa, berhubungan dengan sebuah ramalan kuno yang hanya para dewa, keluarga Janya... dan Ree yang tahu.
Ree sudah berjanji pada dirinya untuk mengubur ramalan itu jauh di masa lalunya. Ia bertekad, para dewa tidak akan bisa menjadikannya sebagai pion.
Tidak akan. Tidak akan.
Tidak
Akan.
Ree tidak tahu berapa lama ia menahan posisi bersimpuhnya. Sebuah tangan yang hangat tiba-tiba menyentuh pundaknya dengan lembut.
"Aku akan mengantarnya ke penginapan, anggota kru miliknya sudah menungguinya," kata suara itu.
Ia tidak berbicara pada Ree. Lebih seperti bicara dengan orang lain, mungkin penjaga perpustakaan. Entah kenapa Ree tidak memiliki kekuatan untuk bergerak. Ia telah menunjukkan sisi lemahnya pada dua orang– atau lebih tepatnya makhluk magis –atau... Ree tidak begitu mengerti makhluk seperti apa dua orang ini sebenarnya.
Ree hanya tahu mereka adalah penghuni koloseum. Apakah semua pelayan koloseum juga makhluk yang sama seperti mereka?
Ah, Ree tidak mau tahu. Ia hanya tahu bahwa Wiseman telah berkata rahasia Ree akan aman bersamanya. Ia memercayai Wiseman.
Pandangannya akan perpustakaan melebur. Ia dapat melihat penjaga perpustakaan itu sedang merokok ketika melihatnya. Pandangan pria tua itu seakan... khawatir.
Lalu tiba-tiba pandangannya berubah menjadi kamarnya sendiri. Wiseman telah mentransportasikannya. Dua tangan kokoh memegang pundak Ree. Gadis itu dapat merasakan sensasi getaran itu kembali. Magis kuno. Pelan tapi pasti ia mulai dapat mengatur napasnya kembali. Ia merasa lebih tenang.
"Kau sudah berada di posisi itu selama berjam-jam."
Ree dapat melihat cahaya temaram berwarna oranye dari jendela kamarnya. Tanda hari sudah menjelang sore.
"Kenapa kau membantuku, Wiseman? Apa yang kalian inginkan dariku?"
Pria itu tidak menjawab Ree. Kedua tangannya kini mengangkat tubuh Ree, kemudian menggendong tubuh kecil gadis itu ke atas kasur.
"Aku hanya ingin kau tahu, kau akan selalu punya teman dalam koloseum ini. Kami telah menunggumu sangat lama."
Ree melihat tatapan Wiseman yang serius. "Ketika waktunya tiba, kami akan mendukungmu dari belakang. Kami akan menjadi sayap di punggungmu."
Bibir Ree menipis. Ia merasa lelah. Lelah sekali. "Aku menolak menjadi pion siapapun. Aku tidak peduli siapa dirimu. Aku tidak peduli bila para Dewa yang memintaku–"
Wiseman mengelus pipi Ree dengan lembut. "Aku mengandalkan hal itu."
Ree ingin bertanya apa maksudnya dengan pernyataan itu, tapi tangan Wiseman tiba-tiba terasa dingin sekali. Rasa kantuk dengan cepat merayapi tubuh Ree. Tubuhnya menjadi lunglai.
Kata-kata terakhir yang Ree ingat dari Wiseman adalah, "Bernapaslah dengan tenang, hiduplah Ree. Takdir adalah hanya milik mereka yang berani hidup."
Ia hanya mendengar samar suara pintu terbuka. Suara Bima dan Danum terkesiap melihat tubuh Ree sudah kembali di kamarnya. Sepertinya Ree mendengar bagaimana mereka telah mencari satu bangunan serbaguna itu tanpa menemukannya. Kemudian kegelapan menghantui pandangan Ree.
Sepertinya Ree tadi tanpa sadar meleburkan dirinya dalam bayangan. Sehingga mereka tidak dapat menemukan Ree. Bagaimana Wiseman dapat mencapainya di dunia bayangan? Petugas perpustakaan itu pun juga jelas-jelas dapat melihat Ree.
Ah, Ree tidak mau peduli.
ᴋᴀᴍɪ ꜱᴜɢᴜʜᴋᴀɴ ᴘᴀᴅᴀ ᴋᴀʟɪᴀɴ ꜱᴇʙᴜᴀʜ ʟᴀɢᴜ ʏᴀɴɢ ꜱᴀɴɢᴀᴛ ɪʀᴏɴɪꜱ ᴜɴᴛᴜᴋ ʀᴇᴇ.
ɪʀᴏɴɪꜱ ʙᴀɢᴀɪᴍᴀɴᴀ?
ʙɪʟᴀ ᴋᴀᴜ ɪɴɢɪɴ ᴛᴀʜᴜ ᴊᴀᴡᴀʙᴀɴɴʏᴀ, ꜱɪʟᴀʜᴋᴀɴ ᴠᴏᴛᴇ, ᴄᴏᴍᴍᴇɴᴛ, ᴅᴀɴ ʙᴇʀɪᴋᴀɴ ꜰᴇᴇᴅʙᴀᴄᴋ
ꜱᴀʟᴀᴍ,
ᴘᴀʀᴀ ʙᴀʏᴀɴɢᴀɴ ᴅᴀʟᴀᴍ ᴛᴀꜱᴍᴜ.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top