𝕭𝖆𝖇 11
Ree sudah terbiasa melawan pria yang jauh lebih besar darinya. Ia tahu Po memiliki kekuatan untuk membentuk segala jenis senjata dari telapak tangan kanannya. Bayangannya juga berbisik pada Ree bahwa kelemahannya adalah bila telapak tangan itu mengeluarkan darah, ia tidak dapat mengeluarkan senjata apapun.
Ia biarkan Po meremehkannya.
Orang yang meremehkan orang lain biasanya tergelincir terlebih dahulu. Tersandung oleh batu kecil yang tidak mereka lihat.
Ree menggunakan momen ketika Po 'tersandung' untuk menyerang. Kemudian menyerang dan menyerang lagi, menutup kemungkinan bagi mereka untuk bangkit. Target utama Ree adalah kedua telapak tangannya. Ia berhasil menyayat dalam telapak tangan kanannya, hingga darah menyembur keluar.
Bukan kekuatan yang Ree andalkan. Melainkan kecepatan dan ketepatan. Sekalipun otot harus bermain pula.
Tentu saja, bayangan juga berperan besar bagi Ree.
Po jatuh dalam hitungan menit. Mungkin aku terlalu cepat menjatuhkannya.
Para penonton mulai menyorakkan sebuah kata. Suara sorakkan mereka seperti sebuah nyanyian.
"Bunuh. Bunuh. Bunuh. Bunuh."
Semakin lama suara mereka semakin keras dan irama mereka semakin cepat.
ᴏʜ, ᴘʀɪᴀ ɪɴɪ ꜱᴜᴅᴀʜ ʙᴇʀɢᴇᴍᴇᴛᴀʀ ʜᴇʙᴀᴛ. Kata bayangan Po.
ᴀᴍᴀʀᴀʜ, ɪʏᴀ, ᴛᴀᴘɪ ɪᴀ ʟᴇʙɪʜ ᴛᴀᴋᴜᴛ ɴʏᴀᴡᴀɴʏᴀ ᴅɪᴀᴍʙɪʟ.
Siapa dia sebenarya? Tanya Ree pada bayangan itu.
ᴘᴏ, ᴅᴀʀɪ ᴀɴᴅᴀʟᴀꜱ. ɪᴀ ᴀᴅᴀʟᴀʜ ꜱᴇᴏʀᴀɴɢ ᴘᴇᴅᴀɢᴀɴɢ ʙᴜᴅᴀᴋ. ɪᴀ ᴍᴇɴᴄᴜʟɪᴋ ᴀɴᴀᴋ-ᴀɴᴀᴋ ᴅᴀɴ ᴍᴇᴍᴀᴋꜱᴀ ᴍᴇʀᴇᴋᴀ ᴍᴇɴᴊᴀᴅɪ ʙᴜᴅᴀᴋ. Suara bayangan Po terdengar seperti banyak namun satu.
ɪᴀ ᴊᴜɢᴀ ᴍᴇᴍᴇʀᴋᴏꜱᴀ ʙᴇʙᴇʀᴀᴘᴀ.
ᴅᴀɴ.. ᴍᴇᴍʙᴜɴᴜʜ ʙᴇʙᴇʀᴀᴘᴀ.
Tangan Ree yang memegang pisau di atas tengkuk Po terasa dingin. Keinginan kuat untuk membunuh Po muncul. Atas apa yang ia lakukan terhadap anak-anak yang dia culik.
Salahkah Ree bila gadis itu berpikir Po pantas mati?
Po merenggut kehidupan anak-anak itu dengan cara-cara keji. Dan sekarang ia bergemetar karena takut akan nyawanya?
Ree mendongak mendapatkan pandangan Rangga tertuju padanya.
Lagipula, kru mereka butuh untuk selamat minggu ini. Mereka butuh seseorang untuk mau mensponsori kru itu sedikit apapun. Performa yang menunjukkan kelemahan tidak akan memenangkan hati penonton.
Tapi tekad itu rupanya tak kuasa menahan kepala Ree untuk menoleh kepada Andreas. Sebuah sayatan miris yang tidak nyata melengos di balik dadanya. Di balik mata Andreas, Ree yakin satu kata bersemayam dalam pikirannya.
ᴍᴏɴꜱᴛᴇʀ.
Pegangan Ree sedikit melemah. Ini adalah pertama kalinya Andreas melihat sisi pembunuh Ree. Selama dua tahun Ree tidak pernah mengeluarkannya karena memang tidak diperlukan. Tetapi di turnamen ini...
Bila ia tidak membunuh Po, risiko tidak ada yang mensponsori kru mereka terpampang jelas dan kru Rangga mungkin akan berkesusahan mengejar kru lain yang mendapatkan bantuan. Entah itu senjata, benda magis, pakaian tempur atau bahkan makanan. Di sisi lain, bila ia menurunkan belati ini ia merasa hubungannya dengan Andreas akan semakin kandas.
Keduanya, akan mempersulit dirinya untuk membuat Andreas memercayainya kembali dan menjaga Andreas aman.
Menjaga kepercayaan yang kemungkinan besar hanya sementara atau merusak kepercayaan itu untuk tujuan yang utama?
Ree menarik napas pelan.
Matanya kembali tertuju pada Rangga sementara kedua tangannya menjatuhkan pisau itu ke tanah arena yang berpasir. Ia sudah mengasah pisau itu subuh hari. Dan ketajamannya terbukti karena pisau itu tertancap di tanah dengan mudahnya.
Dengan tangan kiri, ia menjabak rambut Po, memaksa kepalanya mendongak ke atas. Lalu ia menyentil keningnya.
Sebuah cahaya biru muncul dari ujung jari Ree kemudian merasuk ke dalam kulit wajah Po. Cahaya itu semakin lama semakin redup.
Mata Po membelalak.
Ree melepaskan jambakannya. Po dengan cepat merangkak menjauh dari Ree. Namun kemudian ia berhenti. Dengan tubuh bertekuk lutut dan darah yang masih mengalir dari berbagai tempat di tubuhnya, ia mempelajari tangannya yang berubah keriput. Tubuhnya bergemetar semakin hebat. Entah karena amarah, atau karena perubahan magis yang membuat otot-otot tubuhnya menciut sedikit serta kulitnya memucat. Ia mendongak ke arah Ree.
"Apa yang telah kau lakukan???"
Para penonton berhenti berseru. Kebingungan terpampang di wajah mereka.
Ree menatap pria itu. Membalasmu atas perbuatanmu terhadap anak-anak itu. Ree ingin berkata.
"Kau itu apa?? Apa yang telah kau lakukan??"
"Kau kira magis penyembuh hanya untuk menyembuhkan saja?" Ree menjaga nadanya tetap dingin. "Pada dasarnya magis penyembuh dapat mengubah sel-sel yang rusak kembali utuh."
"Kemudian aku berpikir." Ree memiringkan kepalanya. "Bagaimana bila kubalik proses itu?"
Mata Po membelalak. Bersamaan dengan suara tarikan napas dari para penonton.
"Kau mengalami penyakit Mati Perlahan. Sel-sel tubuhmu berubah apoptotik. Minumlah jahe dan Kaldu Kehidupan, dalam waktu seminggu kau akan sembuh. Tepat waktu untuk acara turnamen selanjutnya."
ᴘᴇʟᴀʙᴜʜᴀɴ ꜰᴇʀʀɪᴅᴇ. Kata bayangan Po ketika Ree berjalan kembali ke arah gapura tempat kru Rangga berada.
Gadis itu mengangkat pisaunya kembali sembari berjanji pada dirinya sendiri untuk mengunjungi Pelabuhan Ferride ketika turnamen selesai. Untuk membebaskan para budak anak-anak yang diculik Po.
Lalu mungkin.. memberikan pada Po perlakuan yang pantas dia dapatkan. Nanti... akan ada nanti.. Janjinya dalam hati.
Po meringsut menjauhi diri Ree. Tatapannya sekarang penuh ketakutan.
Ree memasuki kembali lorong tempat kru Pangeran Pemberontak berada. Kru yang terjebak bersama dirinya selama tiga bulan ke depan. Sorot mata mereka seakan tidak percaya bahwa Ree baru saja menumbangkan pria seperti Po dan memberikannya sebuah penyakit.
Selama Ree berjalan, ia tidak berani melihat Andreas.
ᴍᴏɴꜱᴛᴇʀ. Bisik bayangannya.
Ree terus berjalan sementara ruangan di balik dadanya terasa hampa sekarang.
Ketika ia kembali dalam lorong itu dan jeruji besi kembali diturunkan, gadis itu mengambil jubahnya dari tanah. Kemudian mulai mengelap kedua belatinya.
Po berusaha merangkak ke lorong tempat kru-nya berada. Tatapan anggota kru Po penuh dengan kekecewaan dan jijik.
Jijik, melihat Po harus merangkak untuk kembali ke tempat mereka karena Ree sudah melukai pergelangan kakinya.
"Wowww!!" Suara Madoff terdengar tinggi.
"WOWWW! Akhirnya ada kontestan yang dapat membungkamku! Dan itu adalah Ree, saudara-saudara!"
Penonton bersorak. Bila Ree telah membuat rekan-rekan barunya enggan dengan keberadaan dirinya di antara mereka, setidaknya ia telah membuat para penonton menyukai performanya. Ree yakin kru mereka akan aman dari menjadi kru dengan taruhan tersedikit.
Saat jeruji besi lorong lain itu terbuka, sebuah pedang terhunus menembus dahi Po. Tubuh Po tersungkur ke belakang, pupil matanya membesar menatap langit. Ree mengangkat pandangan untuk melihat pembunuh Po. Seorang pria berkulit cokelat gelap dan botak. Tubuhnya sebesar Po. Namun reverberasi kekuatannya sangat besar. Pria itu menatap Ree tajam.
"Karena kau tidak menghabisinya, aku menjadikan itu kewajibanku," katanya lirih. Cukup lantang untuk didengar para penonton.
"Tidak ada tempat untuk pecundang yang kalah oleh gadis kecil di kru kami."
Para penonton mulai berbisik sekarang. Pria ini baru saja merendahkan pertarungan Ree dengan Po. Ia menggunakan kata "gadis kecil" untuk membuat Ree terlihat lemah di hadapan para penonton.
Ree tersenyum sinis. Menunjukkan pada para penonton bahwa ia tidak terganggu dengan komentarnya. Bila pria ini ingin menggunakan kartu partriaki, Ree akan melayaninya. Seperti yang Ree bilang, mereka yang meremehkan orang lain akan tersandung terlebih dahulu. Dan alangkah beruntungnya ia dilahirkan sebagai perempuan untuk melihat banyak pria tersandung di depannya.
"Oke.. okee. Kita lanjutkan saja!" Seru Madoff kembali.
Dengan begitu pertarungan demi pertarungan dilaksanakan. Hingga setiap kru sudah diperkenalkan dan menunjukkan keahlian salah satu anggota mereka.
Tidak hanya Po yang harus merenggang nyawa di Hari Perkenalan. Sebanyak tujuh kontestan gugur dan membuat tanah arena seperti lautan darah. Salah satu kru Hitam berhasil membunuh anggota kru lain. Dan kru Pandawa juga berhasil menumbangkan nyawa kurang dari tiga menit pertarungan.
Terik matahari mulai menyengat di cakrawala. Bau besi darah menyeruak dari arena itu, dibawa oleh semilir angin.
Ketika Madoff memanggil kru Hitam, Ree menghembuskan napas yang ia tidak tahu ia tahan ketika mendengar bukanlah Xi yang terpanggil. Nama kru itu membuat Ree tersadar akan sesuatu yang perlu ia lakukan.
Ia meraih bayangan di kaki-kakinya, kemudian memperluas jangkauannya kepada bayangan di satu arena koloseum. Ia meraih bayangan-bayangan di setiap lorong menuju arena, di bawah tempat duduk penonton. Bayangan kru Gregorio, kru Foyer, bayangan kru Pandawa, dan akhirnya bayangan yang berada di lorong kru Hitam dan satu kru lain.
Ree meraih tiap bayangan yang berada di lorong itu. Bayangan kru lain ia biarkan, ia hiraukan bisikan-bisikan bayangan itu. Namun ketika ia berusaha meraih bayangan kru Hitam... nihil. Seperti mereka sendiri tidak memiliki bayangan. Tetapi tidak ada keberadaan di dunia ini yang tidak memiliki bayangan, bukan?
Ketika salah satu dari kru Hitam memasuki arena, Ree melihat di bawah kaki kontestan itu. Ia memiliki bayangan. Jadi kenapa Ree tidak bisa meraih bayangan mereka? Tetapi bayangan orang itu... rasanya berbeda. Ree tidak tahu apa, bayangan itu terasa... salah.
K̶̩͓̘͍͉̺͈̎̃̇̕ë̷̠̰͓́͒͗̇̂͝ñ̴̪̲̭̱̝́͒͒a̸̡̝̩̥̹̱̖̹̺̻̎̒̎̚͘͘ ̷̹͊͌͝k̴̢̛̟̻̱̄̐̐͒̂̚͘͜͝ą̵̣̝̻̌̌̇͌̑̔̉̕͝͝u̴̼̭̺̣͔͖͓̹̓̿̈́͛͆̿̅̿͘͜.̷̨̲͖͈̝͖͔͓̊͑͘ Tiba-tiba sebuah suara menerjang kepala Ree.
Seperti suara bisikan bayangan. Namun bukanlah suara bisikan yang biasanya ia dengar. Suara itu lebih marah, lebih kejam, lebih haus darah.
Di lorong kru Hitam, Ree akhirnya dapat merasakan keberadaan sebuah kekuatan. Kekuatan itu berusaha memerangkap bayangan Ree, berusaha menariknya untuk mencari tahu siapa pemilik magis bayangan. Kini bayangan-bayangan Ree seakan benang-benang yang saling bertaut di koloseum. Dan kekuatan itu memegang satu ujung benang. Ia berusaha mencari ujung lainnya, yaitu Ree. Dengan cepat Ree menarik magisnya dari para bayangan, ia melepaskan raihannya.
Hal terakhir yang ia dengar adalah teriakan para bayangan karena keberadaan kekuatan itu.
Tepat saat itu kru Hitam telah memenangkan pertandingan. Degup jantung Ree seakan berlari. Ia memerhatikan satu kru miliknya dan kru Gregorio... Mereka tidak menyadari apapun.
Kemudian ia melayangkan pandang kepada kru Hitam dan kru-kru lain. Tidak ada satupun ekspresi mereka yang terlihat mencurigakan. Bahkan kru Hitam bertingkah sangat santai, seperti tidak ada yang salah.
"Sampailah kita pada kru terakhir di turnamen ini! Tahun ini ada tujuh belas kru yang lolos permainan pertama. Enam belas kru sudah menunjukkan kemampuan mereka. Tinggal satu kru yang belum."
"Yaitu kru Penyihir Putih!"
Sorak sorai penonton menjadi pecah kembali. Reputasi anggota kru Penyihir Putih rupanya tidak kalah dari kru Pandawa.
"Kita tidak bisa mengakhiri Hari Perkenalan tanpa melihat kemampuan salah satu anggota kru Penyihir Putih yang terkenal bukan?"
Riuh penonton semakin menjadi.
"Kita langsung panggil saja, Kairav Yuvan dari Kru Penyihir Putih!"
Pria menyebalkan itu muncul menggunakan tunik biru tua yang ketat pada bagian bisepnya dan celana hitam. Tubuhnya tegap dan tinggi. Meski tidak sebesar Po –sebelum Ree beri penyakit, tubuhnya masih termasuk lumayan besar. Tidak ada senjata tersemat di antara pakaiannya.
Rambutnya berwarna merah dan matanya beriris hijau. Kombinasi yang aneh, setelah Ree pikir. Hidungnya mancung namun agak sedikit bengkok ke dalam. Tanda hidung itu pernah patah sebelumnya. Garis rahangnya menonjol dan kuat. Fiturnya terlihat seperti orang Andalas, namun warna kulitnya mengindikasi ia sering berada di bawah sinar matahari. Meski kulitnya tidak segelap Danum atau Po.
Cara berjalannya mantap. Seorang pejuang.
Pria bernama Kai ini berada di level yang jauh di atas Ree. Ree bahkan ragu meski satu kru Rangga bertarung dengannya, mereka akan keluar dari arena dengan selamat.
ᴀɪʀ. Kata bayangan pria ini.
Kekuatannya adalah air.
Dari mana dia akan menemukan air di tempat segersang ini?
Tepat ketika Ree menyakan hal itu, pria itu menoleh kepadanya.
Sial. Dia sepertinya dapat merasakan Ree melakukan sesuatu terhadapnya. Meski pria itu belum tahu pasti bahwa Ree menarik-narik bayangannya.
Ree harus berhati-hati ketika mencari informasi darinya.
"Nah, kemudian siapakah kru yang beruntung –atau kurang beruntung, untuk harus mengirimkan dua anggotanya hari ini?"
Madoff membuat pertunjukkan dengan menelusuri jari telunjuknya melingkari arena itu. Melewati setiap gapura, melewati dua puluh kru lain. Sebagian besar kontestan menjadi tegang.
Ree tahu mengapa.
Tidak ada yang mau melawan seorang Basma.
Jari telunjuk Madoff akhirnya berhenti di gapura mereka.
Sial.
"Marzia dari kru Gregorio."
Lex dan Bima menghembuskan napas mereka. Ree menoleh ke belakang, menemukan gadis berambut pendek tadi mendadak menjadi kaku di samping Gregorio.
Bibirnya pucat dan bergetar.
Bayangannya baru saja berbisik bahwa kekuatan gadis ini adalah teleportasi.
Gadis itu menatap Ree. Matanya kosong dan berlinang.
"Fokus!" Ree menyalak padanya. Keras.
Ia tersentak. Tapi matanya mulai menajam kembali. Bagus.
"Kau tidak akan bisa membunuhnya, kesempatan terbesarmu adalah mengulur waktu hingga lima menit berakhir. Kau merasa haus, teleportasi. Sudah tiga detik, teleportasi. Dia mendekat ke arahmu, teleportasi."
Jeruji besi itu terangkat kembali.
Suara Ree terdengar lirih tapi Ia tidak peduli. "Kau belum mati selama kau tetap berjuang. Saat kau berhenti berjuang, itulah saat kematianmu sudah dipastikan."
Tatapan gadis itu semakin menajam. Meski tidak setajam ketika ia hampir menyebut Ree perempuan jalang. Tapi perempuan itu menegakkan pundaknya dan melangkah gontai memasuki arena.
Gregorio berkata dengan suara rendah, "Kita semua menjadi kontestan tahu akan risikonya. Tahu bahwa kita sedang mempertaruhkan nyawa. Kau tidak perlu mengatakan semua hal itu padanya."
"Kenapa?" Tanya pria Andalas itu, anggota kru lainnya ikut melirik pada Re, beberapa memasang tatapan berterimakasih, beberapa masih waswas. "Kenapa kau membantunya?"
Ree terdiam. Kenapa tanyanya?
Tidak ada kata yang dapat menjelaskan mengapa Ree terdorong untuk melakukan hal tadi. Maka ia memutuskan untuk tidak menjawab Gregorio.
Rangga menatap Ree dengan intens, menuntut jawaban. Lagi-lagi, sebuah teka-teki dari gadis itu.
Danum, Si Penasaran, pun juga menuntut penjelasan lebih. Lex menatap Ree dengan waswas, sementara yang lain mulai mengawasi pertarungan yang tidak seimbang di arena.
Ree mengacuhkan pandangan mereka. Tidak berniat menjawab apapun. Ia tidak berhutang penjelasan apapun pada mereka.
Ketika Ree mengalihkan pandangan ke arah arena, Marzia telah mengikuti sarannya. Sedetik ia berada di sisi barat arena, dua detik kemudian ia berada di sisi timur. Kemudian utara, kembali ke barat. Ia trus berteleportasi.
Kai berdiri di tengah arena. Ia sama sekali tidak bergerak. Posturnya ringan dan kasual. Seekor binatang buas yang menunggu makanannya dengan sabar. Menunggu lawannya untuk melakukan kesalahan.
Para penonton mengeluarkan suara olokan. "Bunuh saja langsung!" Teriak salah seorang penonton. "Ini membosankan!" Teriak yang lain.
"Dasar tidak beradab," gerutu Lex. "Padahal mereka yang menyebut kami monster tapi mereka sendiri haus darah." Ree sadar komentarnya ini tidak hanya ditujukan pada para penonton turnamen.
Marzia terus berteleportasi dari satu tempat ke tempat lain. Gerakannya semakin pelan. Ia semakin dibuat haus oleh Kai. Kehausan itu membuatnya sulit berkonsentrasi.
Bisa Ree lihat Marzia mengetahui hal ini dan ia frustrasi.
Kemudian ia melakukan kesalahan... Ia mendekati Kai lebih dulu.
Gadis itu berteleportasi di atas Kai dan berusaha menghujamkan sebuah pisau yang sebelumnya disarungkan pada sabuknya. Ia mengarah pada dada Kai.
Pria itu tetap tidak bergeming.
Ketika pisau itu hanya tinggal sedetik dari menembus jantung Kai, pria itu mundur. Kemudian meninju sisi kepala Marzia. Gadis itu terhuyung hebat ke samping, menjatuhkan pisaunya.
Lagi-lagi para penonton menyorakkan satu kata kesukaan mereka.
"Bunuh. Bunuh. Bunuh. Bunuh."
Ree mendapatkan tatapan Kai mengarah padanya.
Bukan. Pada Gregorio.
Seakan Kai mengatakan minta maaf, karena dia tidak bisa tidak membunuh anggota kru Gregorio. Kru Penyihir Putih pun butuh penonton untuk mensponsori mereka betapapun kuatnya magis mereka.
Tatapannya netral, tenang, ketika ia menggunakan magisnya untuk mengisi tenggorokan dan paru-paru Marzia dengan air. Gadis itu mengeluarkan suara tercekik. Sorot matanya nanar dan menghujam pada Ree, setajam belati yang sudah Ree asah subuh hari.
Tidak ada ketakutan.
Secara naluriah Ree mengecup jari telunjuk dan tengahnya kemudian mengarahkan kedua jari itu ke kening dan terakhir ke dadanya.
Sebuah gestur yang diajarkan ayah Ree.
Warisanmu di hidup ini akan selalu berada di pikiran dan hati kami.
Bulir-bulir air mulai keluar dari mulut dan hidung Marzia.
Kemudian ia tidak bersuara lagi.
Sementara para penonton bersorak sorai, Kai hanya berjalan ringan menuju gapura tempat kru Penyihir Putih.
ᴋᴇɴᴀᴘᴀ ʀᴇᴇ ᴍᴇᴍʙᴀɴᴛᴜ ᴍᴀʀᴢɪᴀ, ᴛᴀɴʏᴀᴍᴜ?
ʙɪᴀʀ ᴋᴜʙᴇʀɪᴛᴀʜᴜ, ᴡᴀʜᴀɪ ᴘᴇᴍʙᴀᴄᴀ, ᴋᴇᴛɪᴋᴀ ɢʀᴇɢᴏʀɪᴏ ᴍᴇɴᴀɴʏᴀᴋᴀɴ ʜᴀʟ ɪᴛᴜ ᴘᴀᴅᴀ ʀᴇᴇ...
ᴋᴀᴍɪ ᴛᴀʜᴜ ɪꜱɪ ᴘɪᴋɪʀᴀɴ ʀᴇᴇ ʏᴀɴɢ ꜱᴇʙᴇɴᴀʀɴʏᴀ. ᴋᴀᴜ ᴍᴀᴜ ᴛᴀʜᴜ?
ʀᴇᴇ ʙᴇʀᴘɪᴋɪʀ, 'ᴋᴀʀᴇɴᴀ ᴀᴋᴜ ᴛᴀʜᴜ ʀᴀꜱᴀɴʏᴀ ᴅɪʜᴀᴅᴀᴘɪ ᴅᴇɴɢᴀɴ ᴋᴇᴍᴀᴛɪᴀɴ,'
ᴀᴘᴀᴋᴀʜ ᴋᴀᴜ ᴛᴀʜᴜ ʀᴀꜱᴀɴʏᴀ ꜱᴇᴘᴇʀᴛɪ ᴀᴘᴀ?ᴀᴘᴀᴘᴜɴ ᴊᴀᴡᴀʙᴀɴᴍᴜ, ᴠᴏᴛᴇ/ᴄᴏᴍᴍᴇɴᴛ/ʙᴇʀɪᴋᴀɴ ꜰᴇᴇᴅʙᴀᴄᴋ :)
ꜱᴀʟᴀᴍ,
ᴘᴀʀᴀ ʙᴀʏᴀɴɢᴀɴ ᴅɪ ʙᴀᴡᴀʜ ʙᴜᴋᴜ ꜱᴇᴋᴏʟᴀʜᴍᴜ.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top