𝙺𝚎𝚗𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝟸
Ketika Ree membuka matanya, seorang pria tua sedang mengamatinya. Seorang Andalas, kemungkinan berusia lima puluh-an tahun. Seluruh rambutnya sudah memutih, pun berewokan di wajahnya berwarna salju.
Butuh beberapa saat bagi Ree untuk akhirnya menyadari bahwa ia tidak merasa sedingin sebelumnya. Sesuatu yang hangat telah memeluknya dengan lembut. Tangannya menyentuh selimut tebal yang terbuat dari bulu di pundaknya.
"Apa ceritamu, gadis kecil?" tanya pria tua itu.
Meski Andalas adalah negeri lain, negeri itu tetap masuk dalam kekuasaan Judistia. Raja Judistia memberikan wewenang bagi Andalas untuk tetap berupa daerah kekerajaan. Untungnya mereka menggunakan bahasa yang sama dengan Judistia.
"Aku... kehilangan segalanya," kata Ree lirih. Mata pria tua itu melunak.
"Namaku Xandor," suara pria tua itu berat namun kian lembut, "Ikutlah denganku."
Ree seharusnya menolak. Ibunya pernah memperingatkannya akan orang asing. Namun hari itu ... Ia ingin kehangatan daripada malam yang dingin. Ia ingin tempat untuk tertidur daripada pinggir jalanan desa. Ia ingin seseorang, siapa pun, daripada kesendirian yang ia alami selama beberapa hari terakhir.
Ia tidak ingin sendiri. Kesepian membuat pikirannya berpacu, berputar, dan ia semakin membenci dirinya sendiri setiap hari.
Ia ingin beristirahat, baik dari keadaannya yang mengenaskan maupun pikirannya sendiri.
Jadi ia mendorong kakinya untuk berdiri. Masih merapatkan selimut itu pada tubuh mungilnya, ia paksa kakinya melangkah. Langkah pertamanya goyah dan Xandor berusaha menggendong gadis itu untuk mempermudah perjalannya. Namun Ree mendorong tangan pria itu sehingga ia terjatuh kembali ke tanah.
Xandor menahan tatapan Ree. Tatapan gadis itu penuh determinasi dan ... amarah yang sedih. Ia mengerti, gadis itu tidak mau menerima bantuannya lebih lagi. Jadi pria tua itu menunggu dengan sabar hingga gadis itu dapat berdiri kembali.
Namun Xandor adalah pria yang tidak bisa diam saja melihat seorang gadis seperti itu, ia melepaskan sepatunya kemudian meletakkannya di depan Ree. Sebelum gadis itu dapat berprotes, pria tua itu sudah berjalan beberapa langkah ke depan.
"Ayo, sebentar lagi malam tiba. Aku tidak suka udara malam di awal musim gugur."
Gadis itu memasukkan kaki kecilnya pada sepatu besar Xandor. Lalu Xandor menuntun gadis itu ke kediamannya dengan pelan.
Xandor membawanya pada sebuah tempat yang usang. Sebuah bar, dari tulisan di atas pintunya yang sudah lapuk. 'Bar Malam,' tulisannya. Beserta sebuah bel yang tertempel pada pintu. Sehingga ketika Xandor membuka pintu itu, bunyi bel yang nyaring terdengar.
Seorang bocah menyambut Xandor dengan gembira. Ia langsung meloncat menuju pelukan pria tua itu. Xandor membalas pelukannya dengan hangat. Di belakang bocah itu, seorang remaja berdiri di tengah ruangan. Matanya lebih sipit dari yang Ree pernah lihat, dan kedua ujung matanya seakan terangkat ke atas. Remaja itu terlihat jauh lebih tua dari Ree, mungkin ia sudah berusia lima belas atau enam belas. Ia memperhatikan Ree dengan seksama, dari ujung atas hingga ujung kaki.
"Sejak kapan kau membawa pulang anjing betina?" tanya remaja pria itu.
Butuh sekian detik bagi Ree untuk mengenali bahasa yang digunakan oleh remaja itu. Lixi. Negeri di balik pegunungan Andalas yang tinggi. Negeri yang tidak mau berasosiasi dengan Judistia –setidaknya itu yang dikatakan oleh Ayah Ree. Kendati demikian Ayahnya menyewa tutor untuk mengajari Ree bahasa Lixi. Mendiang Ayahnya sempat berpesan, 'mungkin kau yang akan dapat menyatukan kedua negara.'
Memikirkan Ayahnya saat itu membawa rasa pedih yang dalam pada dada Ree.
"Mungkin pria tua sudah lelah bermain dengan monyet Lixi di bar malamnya." Setelah Ree menghamburkan kata-kata itu dalam bahasa Lixi, Si Remaja dan Xandor terbelalak kaget.
Si Bocah berseru, "Hey! Kau bisa bahasa Lixi juga! Namaku Garin, kau kelihatannya seumuran denganku, siapa namamu?"
Ree tidak menjawab, ia masih menatap Si Remaja dengan intens.
"Kau berasal dari keluarga bangsawan Judistia... apakah aku benar?" Pertanyaan Xandor mengejutkan Ree.
"Ba– bagaimana kau tahu?"
"Kau bisa membaca, kau bisa berbahasa asing. Aku bisa tebak kau bisa menulis pula. Dan kau baru ... tujuh? Delapan tahun. Hanya anak para bangsawan yang dapat melakukan itu semua."
Ree telak membuang tatapannya ke tanah. Ia tidak ingin membicarakan keluarganya. Tidak sekarang.
"Garin, tunjukkan padanya kamar yang kosong di sebelahmu. Pinjamkan dia pula pakaianmu untuk sementara."
"Siap!"
Bocah Garin itu memberi salut pada Xandor, kemudian ia menggenggam tangan Ree dan setengah menarik gadis itu ke lantai atas.
Si Remaja itu masih berdiri kukuh di tengah ruangan. Kedua lengannya terlipat di dada.
"Kau tahu akan ada yang mencari gadis itu, bukan? Bila memang ia adalah bangsawan."
Namun Xandor menggeleng, suaranya merendah. "Kau sudah dengar mengenai pembantaian di Kastil Janya? Hanya Putra Mahkota yang dinyatakan hilang, Putri Judistia dinyatakan selamat di tangan raja yang baru. Sisanya dinyatakan telah terbunuh. Keluarga Janya dan seluruh keluarga bangsawan pendukung mereka beserta para pelayan istana."
Xandor melangkah mendekati remaja itu, "Bila itu benar, gadis itu sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini, Xi."
Xi menerima itu semua dengan hening. Ia merasa bersalah atas sikapnya terhadap gadis itu.
Yang tidak diketahui Xandor dan Xi, adalah Ree mendengar itu semua. Ketika Garin meninggalkannya untuk mengambil pakaian ganti, Ree menyelinap ke atas tangga dan tidak sengaja menguping pembicaraan mereka berdua.
Sebagian dari dirinya sudah tahu, seluruh keluarganya sudah terbunuh. Namun ada sebagian kecil hatinya yang masih berpegang akan kepercayaan bahwa bisa saja ada yang selamat. Ia tidak sadar telah berpegang kuat pada sebagian kecil itu selama ini hingga ia mendengar fakta yang keluar dari mulut Xandor. Dan sekarang bagian kecil itu telah pecah, retak berkeping-keping, mendengar pernyataan Xandor.
Ree berlari masuk ke ruangan yang sebelumnya sudah ditunjukkan Garin. Ia masuk ke dalam kamar mandi kemudian ke dalam bak air. Keran air ia putar hingga habis, membiarkan air dingin mengucur hebat ke dalam bak kecil itu untuk menutupi suara tangisannya. Tubuhnya berguncang hebat ketika ia merogoh ke dalam saku di bagian dalam tuniknya.
Sebuah pisau kecil yang tersarung dengan rapi muncul di tangannya. Ia membuka sarung kulit yang memiliki pola benalu yang indah itu. Bilah pisau itu sangat tipis, seakan seperti jarum –sebuah pisau yang dibuat khusus untuk anak kecil.
Gadis itu mengamati pisau itu dengan seksama, membayangkan betapa mudahnya bilah pisau itu dapat menembus kulit, kemudian daging. Akankah semudah memotong keju dengan pisau makan? Secara insting ia mengangkat lengan kirinya–
Saat itulah, ia melihat sesuatu yang seharusnya tak ada.
Sebuah simbol kuno yang kian dipakai para pemagis, sebuah tanda sederhana. Namun tidak seharusnya Ree mendapati simbol itu. Ia tidak pernah melakukan kontrak–
Kecuali ... kecuali ... tidak mungkin ... kecuali ....
Oh tidak....
Oh tidak tidak tidak....
Mata Ree membelalak ketika ia mengerti apa yang telah terjadi. Napasnya tersengal, tenggorokannya seakan tercekik dari dalam. Dengan cepat ia kehabisan udara, kepalanya pening dan penglihatannya memburam. Hanya titik hitam itu yang terlihat jelas.
Semakin lama Ree melihatnya, semakin mengerti ia akan apa yang telah dilakukannya...
Ia ingin muntah.
Ia ingin marah. Rasa benci dan jijik muncul bersamaan dari dalam dirinya. Jijik akan simbol di bagian dalam lengannya, benci akan apa yang telah terjadi.
Ia begitu marah akan dirinya sendiri, begitu marah akan dunia yang membiarkan hidupnya seperti ini sekarang.
Tanpa ia sadari, simbol hitam yang tadinya jelas terlihat menjadi berwarna merah sekarang. Cairan kental mengumbar keluar, menciprat muka Ree. Cairan itu kemudian mengalir, berliku menuruni lengan Ree yang memucat. Ia melirik pisau di tangan kanannya, yang ternyata sudah berlumuran darah.
Pandangannya kian memburam, namun tak ada rasa sakit yang ia rasakan. Ia pun tak merasakan takut. Gadis kecil itu justru tersenyum kecil, sebelum kegelapan semakin merenggut kesadarannya.
Ia baru saja hendak menutup matanya, membiarkan dunia melayang dari pandangannya ... ketika pintu kamar mandi terbuka lebar. Hal terakhir yang Ree lihat adalah Xi bergumam, "Xa penta," –gadis bodoh, dalam bahasa Lixi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top