𝔅𝔞𝔟 52
Kai mengubah bentuknya kembali menjadi seorang manusia. Tampangnya terlihat tenang. Terlalu tenang, pikir Lex.
Ia masih tidak bisa memproses semua yang terjadi.
Bagaimana Rangga merencanakan ini semua di belakang mereka? Bahwa ternyata Rangga diam-diam bersengkongkol dengan Rosea?
Hal yang paling mengejutkan Lex adalah mendengar Kairav sendiri berkata istrinyalah yang memaksakan kontrak Basma padanya. Lex selalu berpikir bahwa kontraktor yang menggunakan nyawa untuk mendapatkan magis, semuanya adalah penggila kekuasaan. Semuanya adalah pembunuh yang tidak bermoral.
Ia teringat perkataan Wiseman di hari lampau. Setengah dari dirinya menganggap Wiseman hanya meracau hari itu. Tapi kini, Lex berpikir ulang.
Apakah selama ini Lex salah membidik Janya sebagai target amarahnya? Seberapa kuat pun keluarga Janya, mereka tidak akan bisa melawan sistem dunia yang bertumpu pada kontrak magis.
Perancang dunia ini adalah Sang Bunda, seekor Naga Emas yang dilegendakan sebagai penyelamat Pallaea. Lex tidak pernah menyimak cerita sejarah kontinen ibunya, sehingga ia tidak tahu-menahu Naga Emas itu menyelamatkan Pallaea dari apa.
Lex tidak pernah sekalipun menanyakan pada dirinya, Kenapa dunia seperti ini? Kenapa harus ada sistem kontrak magis?
Di pikirannya, sebuah benih muncul pelan tapi pasti. Sebuah benih penyesalan dan beribu pertanyaan.
Dua puluh tiga tahun aku hidup dan baru kali ini aku mempertanyakan eksistensi Naga Emas itu. Bila dia adalah penyelamat, kenapa dia membiarkan sistem kontrak yang bobrok itu selama ratusan tahun lamanya?
"Aku menyukai gadis itu," bisik Danum sedih. Lex terbuyarkan dari lamunannya.
Seperti Lex, Danum dan Bima juga terkejut melihat keterlibatan Rangga dengan Rosea. Mereka bertiga tidak tahu harus merasakan apa. Kecewa, pasti. Tapi, setelah bertahun-tahun bersama Pangeran Pemberontak itu... mereka tahu Rangga tidak pernah bertindak tanpa alasan. Terkadang Rangga memang bertindak impulsif. Seperti ketika ia mendaftarkan mereka mengikuti Turnamen Mentari. Namun selalu ada alasan di balik keputusannya. Dan seringkali keputusannya benar.
Itulah mengapa mereka mengikuti Rangga. Itulah mengapa di tengah-tengah ambiguitas ini, mereka masih memercayai Rangga. Percaya pemimpin juga penyelamat hidup mereka akan berbuat hal yang benar pada akhirnya.
"Ia masih hidup," bisik Bima.
Tepat saat itu, tubuh Ree berubah menjadi kepingan-kepingan debu hitam di arena berpasir.
Terdapat kolam bayangan di atas pasir yang berjalan menuju tengah arena. Mereka mematerialisasi, membentuk sebuah gumpalan hitam yang abstrak di atas pasir. Kepalanya terlihat terlebih dahulu, lalu tangannya, kemudian kakinya.
Tak lama tubuh Ree terlihat menggantikan gumpalan hitam itu. Berdiri dengan tegapnya. Bola mata gadis itu menatap Rosea dengan tajam.
Para penonton terkesiap melihat itu. Begitu banyak yang terjadi dalam hitungan menit, bahkan detik, sehingga susah untuk mereka menentukan apa yang sebenarnya terjadi.
Satu tangan Ree menitikkan darah ke atas pasir. Air merah mengalir dari lengan hingga jemari Ree.
Ketika Andreas mengayun untuk menusuknya, Ree dapat mendengarkan bisikan angin ke arahnya. Ia sempat menghindar hingga hanya lengannya yang tertusuk. Ree kemudian membuat boneka bayangan seperti yang ia lakukan ketika latihan. Dan membuat semua orang percaya bahwa ia telah tertusuk pada organ yang vital.
Dengan suara lantang, Ree mengulang perkataan boneka bayangannya, "Kau bukanlah Rosea Gayatri Janya." Tidak ada keraguan di kata-katanya. Para penonton koloseum pun terdiam, terbelenggu dengan ketidakpercayaan.
"Karena aku melihat Rosea terbunuh di depanku."
Rosea menarik pisau itu dari telapak tangannya sendiri. Ia mengatup mulutnya sehingga ia tidak berteriak kesakitan, tapi wajahnya menunjukkan rasa sakit yang sangat luar biasa.
"Kau berbohong," jawab Rosea, "Aku kabur dari istana dengan kakakku. Tidak ada orang lain selain kami berdua. Dan kakakku yang pengecut itu meninggalkanku sendiri di hutan untuk diambil Jagrav!" Rosea meludah. Kata-katanya seakan penuh racun.
Ree melihat Andreas. Ia ingin melihat apakah masih ada bocah yang ia sayangi pada sosok Pemagis Murni itu.
Namun Andreas tidak mau menatapnya, begitu pula Rangga.
"Bunuh mereka!" perintah Rosea.
Enam orang yang tersisa, termasuk Andreas dan Rangga, kembali mengambil tombak-tombak bersimbol dari pasir arena. Kai juga mengambil satu tombak yang tergeletak di samping kakinya.
Ree mengangkat satu alis kepada Kai, seakan bertanya tanpa bersuara, 'Kau tahu cara menggunakannya?'
Kai memberikannya tatapan yang seakan berkata, 'Tinggal tusuk saja, kan?'
Keenam orang itu berlari menuju mereka berdua. Andreas meluncurkan magis angin ke arah mereka yang dengan sigap dihadang Kai dengan dinding es buatan magis airnya. Seorang kontestan lain terbang untuk berusaha menusuk Ree. Gadis itu menganyam bayangan untuk meraih sayap pria itu lalu menguburkan kedua sayapnya pada bayangan tembok koloseum beserta senjatanya.
Satu kontestan lain membuat pasir di bawah kaki Ree dan Kai bergejolak. Pasir-pasir itu melahap sepatu mereka, kemudian berusaha melahap kedua tubuh mereka. Di saat yang sama orang itu beserta Rangga berlari ke arah mereka.
Kai berusaha mengubah bentuk untuk menjadi naga kembali, namun Andreas lebih dulu melemparkan senjatanya dengan bantuan magis angin menembus pundak Kai.
"Arrghh!!" rintih Kai.
Kai dengan cepat merasakan magisnya mulai menghilang. Tubuhnya yang sempat bersinar, menjadi redup.
"Kai!!"
Ree hendak mengirim magis bayangan untuk menenggelamkan Kai pada bayangan, namun Rangga tiba-tiba meluncurkan bola-bola api pada dirinya. Ree memfokuskan dirinya untuk tenggelam dalam bayangan kemudian muncul di sisi Kai. Ia berusaha mengumpulkan magis bayangan untuk menenggelamkan mereka berdua. Tapi tidak seperti biasanya, ia membutuhkan lebih banyak tenaga untuk membuatnya berhasil.
Ketika Ree masih berusaha mengerahkan tenaganya untuk menenggelamkan dirinya dan Kai, Rangga sudah terlebih dahulu bertindak. Pria itu melemparkan bola api ke arah Ree. Akhirnya Ree hanya dapat menenggelamkan dirinya sendiri kemudian muncul di sisi lain arena.
Napasnya terengah-engah. Ia mengutuk dirinya sendiri.
"Magis bayangannya sudah sangat menipis," kata Rangga pada yang lain.
Di saat yang sama, Kai berusaha melepaskan senjata itu dari pundaknya. Tapi pemagis pasir itu menahan kedua tangan Kai menggunakan pasir. Ketika Kai berusaha meraih magis air untuk membuat pria itu mengalami paru-paru basah, Kai merasakan keheningan. Magis Kai sudah tidak mematuhi panggilannya.
Andreas kemudian melontarkan bola angin pada Ree. Dengan tangkas Ree mengambil pisau Xoltar. Pisau itu bersinar oleh sentuhan Ree sehingga magis Ree serasa terisi kembali.
Ree menenggelamkan dirinya pada bayangan kemudian muncul di belakang dua kontestan lain. Menggunakan pisau dari gading gajah itu, Ree menyayat dua orang itu pada bagian yang vital. Tapi salah satu dari mereka berhasil menusuk paha Ree dengan tombak bersimbol antimagis.
Seluruh magis Ree tiba-tiba terasa hilang dari jemarinya. Bayangan-bayangan yang biasanya berbisik padanya menjadi hening. Meski dengan bantuan pisau Xoltar pun, bila pada dasarnya Ree tidak memiliki magis, pisau itu tidak berguna.
Ree terjatuh ke belakang. Ia berusaha dengan cepat menarik senjata itu tapi Andreas lebih cepat darinya. Bocah lelaki itu membuat pasir membentuk tangan yang menahan kedua lengan Ree. Pisau Xoltar terjatuh di pasir.
Seberapa keras gadis itu berusaha keluar dari pegangan tangan berpasir itu, seluruh kekuatan fisiknya tidak sebanding dengan kekuatan magis.
Rangga melangkah menuju Ree.
Ree mengontrol kepanikannya. Lagipula, ia tidak pernah takut akan kematian. Gadis itu hanya mendesah. "Kairav tidak ada hubungannya dengan semua ini."
Rangga tahu apa yang Ree pinta padanya. Ia meminta Rangga untuk memastikan Kairav selamat. "Dan tepati janjimu waktu itu."
Rangga teringat ketika Ree menyodorkan pisau kepadanya. Ree berkata ia akan membiarkan dirinya membunuh Ree bila ia memastikan keselamatan Andreas.
Kenapa gadis ini selalu mementingkan keselamatan orang lain? Apalagi Andreas telah jelas-jelas mengkhianatinya... Jadi kenapa?
Beberapa pikiran mulai menyerbu kepala Rangga. Entah kenapa, dari saat ia menerima tawaran Rosea ada sesuatu yang terasa sangat janggal. Hari itu Rangga meyakinkan dirinya bahwa ia harus melakukan ini untuk keselamatan Judistia. Tapi rasa janggal itu kini bertambah parah ketika ia hanya tinggal satu langkah dari membunuh Ree.
Tautan di hatinya semakin memberat.
Rangga menilai perilaku Rosea sangatlah... buas. Seperti kata Kairav, sudah jelas gadis itu hanya ingin status 'Putri Pertama.' Rosea bahkan membunuh Madoff –yang dikatakan sebagai makhluk penghancur dunia, seperti itu adalah pertunjukkan. Kemudian ia membunuh Raja dan Ratu Andalas...
Apakah orang yang bertindak seperti itu layak menjadi Putri Pertama? Menjadi pahlawan dunia? Apakah benar mereka membutuhkan orang seperti itu untuk pemberontakan mereka?
Di tengah-tengah pergumulan batinnya, Ree melihat lurus pada Rangga, "Kau tahu siapa diriku. Aku memaafkanmu."
Tunggu dulu–
Mata Rangga membelalak. Pupil matanya bergetar hebat.
Belum sempat Rangga menyelesaikan kereta pikirannya, sebuah gempa bumi dasyat terasa di satu koloseum. Pilar-pilar kokoh koloseum menjadi goyah. Satu sisi dinding koloseum mulai hancur menjadi longsor reruntuhan. Para penonton yang tidak beruntung terbawa oleh arus reruntuhan itu hingga ke pasir arena. Tubuh mereka tergeletak tak bernyawa di bawah pondasi dinding koloseum yang mulai berjatuhan.
Para penonton mulai berteriak dan berusaha menghindar dari reruntuhan. Mereka saling berusaha untuk keluar dari koloseum. Beberapa berusaha untuk menunduk, agar terhindar dari jatuh. Goyangan itu diikuti dengan terjatuhnya pilar-pilar koloseum.
"Kita tidak punya waktu banyak!" seru Rosea, "Dapatkan nama Sang Bunda dari gadis itu kemudian bunuh dia, Pangeran Judistia!"
Rangga memutar badannya pada Rosea. "Apa ini? Kau tidak memberitahuku soal gempa bumi."
"Ini adalah mekanisme pertahanan koloseum. Wiseman adalah esensi koloseum ini. Aku membunuhnya, jadi ia akan menghancurkan koloseum ini beserta satu kontinen."
Benar saja, saat itu juga Rangga melihat pijaran api dari angkasa. Tiga jumlahnya. Sangat jauh dari tempat mereka sekarang tapi magis apinya mendesis hebat melawan angin dan gravitasi. Rangga, satu-satunya pemagis api di koloseum, menyadari betapa besarnya pijaran bola api itu.
Tunggu dulu...
"Tapi... kau-lah yang membunuh Wiseman meski kau tahu risikonya."
"Karena itulah yang diramalkan," jawab Rosea seakan tindakannya adalah hal yang wajar.
Gadis remaja itu berjalan cepat ke arah Ree. Ia menjambak Ree kembali.
"Itulah yang dibutuhkan agar aku mendapatkan kekuatan yang kuperlukan."
Rangga menggeleng seakan tidak percaya. Ia menyadari kesalahannya.
"Aku butuh kekuatanku untuk menyelamatkan dunia, Pangeran. Aku adalah Putri Pertama yang diramalkan!"
"Tidak bila kau harus membuat dunia dalam marabahaya terlebih dahulu. Kau hanyalah seorang yang gila kekuasaan. Kau tidak berhak menjadi Putri Pertama!"
Rangga mengumpulkan apinya untuk dilemparkan pada Rosea. Namun Andreas berhasil menghalangi api itu dengan tembok anginnya. Lalu dengan cepat Andreas mengirimkan tembok pasir untuk menghimpit Rangga pada tembok koloseum.
Hantaman itu membuat Rangga tidak sadarkan diri, juga membuat guncangan keras pada koloseum.
Rosea menjambak Ree untuk mengembalikan perhatian Ree padanya. "Katakan padaku, siapa nama asli Sang Bunda?"
Ree tidak mau menjawab. Rosea menamparnya dengan gusar kemudian berseru kembali, "Katakan nama Sang Bunda! Nama itu bukanlah milikmu, nama itu adalah warisan keluargaku. Keluargaku!"
"Mereka adalah keluargaku juga," bisik Ree.
Rosea mengambil pisau Xoltar. Kemudian ia menusuk paha Ree yang tidak terluka. Ia lanjut menusuk satu lengan Ree. Tidak berhenti di situ, ia mulai menggenggam tombak yang tertancap di paha Ree, lalu menggoyang-goyangkan panah itu juga menekannya lebih dalam. Ree berteriak kesakitan setiap kali Rosea menyiksanya.
Kai yang melihat hal itu memiliki tatapan membunuh. Ia berusaha sekuat tenaga untuk keluar dari genggaman batu pasir yang menahannya. Namun usahanya sia-sia. Andreas telah memperkuat magis pasirnya berkali-kali lipat.
Kai benci ini. Ia hanya dapat melihat tanpa bisa berbuat apa-apa. Ia tidak berguna. Tanpa sadar sebuah geraman tak manusiawi keluar dari tenggorokan Kai. Dadanya sesak akan amarah. Tetapi seberapapun ia meronta, ia tidak bisa meraih Ree.
Ia benci. Benci sekali.
Akhirnya Rosea melepaskan pegangannya pada tombak. Kedua gadis itu terengah-engah. Kini darah yang keluar baik dari lengan kiri dan paha Ree sudah sangat banyak. Pandangannya mulai mengabur dan kelopak matanya sangat berat.
Tiba-tiba ada suatu suara yang memanggilnya. Suara itu membuatnya berusaha keras untuk tetap bangun.
Ree menoleh ke kiri. Ia dapat melihat Wiseman merangkak menujunya.
Rosea yang melihat itu menendang Wiseman. Tapi gadis itu terlalu kecil untuk melempar tubuh Wiseman. Tubuh pria itu hanya terguling menghadap ke atas.
"Ree!" Panggil suara itu kembali. "Magis kuno ada di semua elemen kehidupan," rintih suara itu lagi.
Kemudian Ree menutup matanya.
Ree memfokuskan dirinya pada getaran magis yang selama ini dapat ia rasakan. Ia seakan meraba-raba di koloseum, menggunakan sensasi pendengaran, sentuhan, serta penciumaannya.
Ia selalu dapat merasakan getaran magis itu. Jauh di dalam tulangnya, ia dapat merasakan sensasi geli dari magis-magis yang ada di sekitarnya. Bukan magis dari kontrak, tapi magis-magis yang berada di setiap sudut kehidupan.
Ada di pakaian yang dipakai, ada di teh yang disedu, ada di bayangan di bawah kaki. Dan kini ia dapat merasakan sensasi magis kuno itu yang menyelubungi koloseum, magis yang sudah terlupakan. Di seluruh sisi koloseum, di pilar-pilarnya yang semakin retak, di pasir arena yang sudah melihat terlalu banyak daerah, dan di dalam Wiseman.
Magis kuno yang ia rasakan terasa hidup. Seakan mereka adalah jutaan spektrum kesadaran yang melebur menjadi suatu aliran magis. Begitu vibran dan dinamis. Jauh berbeda rasanya dari magis kontrak.
Ia menemukan sumber magis kuno koloseum ini. Sumber itu adalah Wiseman.
Tapi ketika ia membuka matanya kembali, Rosea sudah menusuk Andreas dari belakang.
ᴘꜰꜰᴛᴛ
ᴋᴀʟᴀᴜ ᴍᴇɴᴜʀᴜᴛ ᴋᴀᴍɪ, ᴀɴᴅʀᴇᴀꜱ ᴍᴇɴᴅᴀᴘᴀᴛᴋᴀɴ ᴋᴀʀᴍᴀɴʏᴀ.
ꜱɪ ᴘᴇɴɢᴋʜɪᴀɴᴀᴛ ᴀᴋʜɪʀɴʏᴀ ᴅɪᴋʜɪᴀɴᴀᴛɪ ᴊᴜɢᴀ.
ʟᴜᴄᴜ ꜱᴇᴋᴀʟɪ.
ꜱᴀʟᴀᴍ,
ᴘᴀʀᴀ ʙᴀʏᴀɴɢᴀɴ
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top