Part 9
"A person that truly loves you will never let you go, no matter how hard the situation is."
~~~~💕💕~~~~
Kediaman keluarga Malik begitu tenteram pagi ini. Tepat pukul empat, suara-suara dari aktivitas para pelayan mulai terdengar. Namun, beberapa detik lagi, mereka akan dikejutkan oleh kegaduhan yang berasal dari dua kanak-kanak 'penguasa' rumah besar itu.
Tiga.... Dua.... Satu!
"Ayaaaaaaaaahhhhh!"
Brug! Brug! Brug!
"Bundaaaaaaaaaaaa!"
Brug! Brug! Brug!
"Bukain pintunyaaaa!"
Brug! Brug! Brug!
Dua orang dewasa di dalam kamar—sedetik sebelumnya masih asyik-masyuk berbaring sambil berpelukan tanpa sehelai benang di tempat tidur—refleks terlonjak bangun dan gelagapan mencari pakaian masing-masing.
"Andreas! Lihat bra aku, nggak?!" tanya Maria panik pada suaminya yang sedang memunguti secarik kain berenda dan tipis, yang baru disadarinya adalah thong milik sang istri.
"Nggak tau! Celana dalam kamu, nih. Punyaku nyungsep di mana, lagi!" balas Andreas tak kalah panik.
Kepanikannya pun bertambah karena gedoran keras di pintu semakin mengganas. Astaga! Anak-anak kenapa, sih? Kayak ada kebakaran gede, aja!
"Wait a minute, Kiddos!" seru lelaki itu ke arah pintu, meski sebenarnya sia-sia saja karena kamar mereka kedap suara. Dia pun tergopoh-gopoh menyalakan sakelar lampur. Pakaian tidurnya dan sang istri yang tersebar di lantai akhirnya terlihat juga.
Dua menit kemudian, mereka sudah berpakaian lengkap. Andreas segera berjalan ke pintu lalu membukanya. Dia menunduk dan menemukan dua bocah berdiri sambil menyeringai usil, memamerkan barisan gigi putih bersih berukuran kecil mungil.
"Hei, ada apa ini, hmm?" Andreas berkacak pinggang dengan raut tak senang. "Udah lupa sama pesan Ayah? Please-do-not-make-any-noise-in-the-morning! Dan ini baru pukul empat pagi, Anak-anak!"
Kedua bocah itu sama sekali tak tampak mengerut ketakutan. Mereka justru cengengesan dan cepat-cepat menyerbu masuk, melewati celah ruang kosong di sisi kiri dan kanan tubuh sang ayah.
"We are sorry, Ayah!" Keduanya berlari mendekati sang bunda yang tersenyum seraya geleng-geleng kepala. "We are sorry, Bunda!"
Tujuan utama mereka sebenarnya adalah tempat tidur besar yang tadi malam menjadi saksi bisu percintaan hangat orang tua mereka. Untung saja mereka tidak mengetahuinya. Segera, kasur empuk itu berubah fungsi menjadi trampolin.
"Ayah! Bunda! Tadi malam Anne ngompol, lho!" seru Zac di antara lompatannya. Dia lantas terbahak-bahak begitu melihat kembarannya memeletkan lidah.
"Anne? Benar kamu ngompol?" Maria melempar tatapan penuh peringatan pada putrinya.
Gadis cilik itu malah terkekeh, tak berniat menghentikan laju lompatannya sedikit pun, "Iya, Bunda!" akunya dengan suara riang.
"Nggak pis dulu sebelum bobok?"
"Udah, Bunda!"
"Trus, kok masih ngompol, Sayang? Kamu minta dibuatin teh sebelum tidur sama Eyang Tuti?"
"Enggak, Bunda!"
"Pasti karena sering main trampolin, nih," timpal Andreas yang berjalan menuju tempat tidur, masih berkacak pinggang. "Ayo, kalian berdua, turun. Jangan main lompat-lompatan lagi. Ayo, Anne, Zac. Stop it."
Kedua bocah itu seolah tak mendengar perintah sang ayah. Lompatan mereka justru semakin tinggi.
"Kalo nggak mau berhenti, Ayah telepon Mami Tere sekarang juga."
Ancaman yang cukup jitu. Keduanya langsung berhenti dan memasang mimik cemberut. Nama Mami Tere adalah senjata terampuh untuk membuat keduanya berhenti bertingkah tak terkendali. Walau sebenarnya Andreas tahu tindakan seperti itu tak bisa dibenarkan untuk mendisiplinkan anak-anak. Terlebih jika kakak tersayangnya itu tahu namanya dijadikan sebagai ancaman mengerikan, Andreas yakin seribu persen Tere akan langsung menjewernya di depan anak-anak.
"Ish, Ayah nggak asyik," protes Zac seraya terduduk lemas di atas tempat tidur yang semakin porak-poranda, menyamarkan kekusutan yang dibuat orang tuanya sebelumnya.
"Lebih nggak asyik mana sama diomelin Mami Tere?" Andreas menaik-turunkan kedua alisnya.
Maria tergelak. Di benaknya segera terbayang ekspresi sang suami yang dulu acap kali diomeli oleh sang kakak. Mendengar suara tawa itu, Andreas memberi kode dengan mata agar Maria segera berhenti menertawainya.
"Kalo Ayah nggak ngadu, Mami Tere juga nggak bakalan tau," timpal Anne yang bijak.
"Iya, nih. Ayah nggak bisa diajak kerja sama. Kita kan anak Ayah," sahut Zac
"Nggak peduli kalian anak Ayah atau bukan. Kalau salah, ya tetap aja salah. Nggak ada kompromi. Ayo, cepat turun."
Rengutan di wajah kedua bocah itu semakin menjadi. Mereka pun turun dari tempat tidur dengan gerakan lesu.
"Cie, ada yang ngambek. Mirip Bunda, deh." Setelah berkata begitu, Andreas terbahak-bahak lalu melompat ke atas tempat tidur. Dia melakukan apa yang anak-anaknya perbuat beberapa saat lalu.
"Iiiih, Ayah curaaaaang!" Anne dan Zac segera berbalik lalu menyerbu ayah mereka yang tengah melompat-lompat dengan riang.
Kehebohan pagi ini di kediaman keluarga Malik pun semakin gegap gempita. Maria hanya bisa geleng-geleng kepala. Dalam hati berdoa semoga tempat tidur mereka masih bisa bertahan meski diterpa goncangan tak tertahankan.
*
*
*
"Sore nanti Ayah akan berangkat ke Jogja bareng Opa. Kalian jagain Bunda, ya. Jangan bandel-bandel selama Ayah dan Opa pergi." Andreas berkata seraya menatap kedua buah hatinya yang tengah menyantap menu sarapan dengan lahap.
"Siap, Ayah!" balas Zac dengan mulut penuh.
"Zac. Pelan-pelan. Nanti keselek, Sayang," tegur Maria lembut. Putranya lantas memberi kode 'Oke, Bunda' dengan jarinya.
"Trus Ayah pulangnya kapan?"
Mendengar pertanyaan putrinya, Maria tiba-tiba menepuk kening. "Astaga! Sayang. Anne ikut kegiatan mendongeng bersama Ayah di sekolahnya lusa. Aku lupa ngasih tau ke kamu." Perempuan itu menggigit bibirnya.
"Waduh, aku masih di Jogja, tuh. Mana nggak bisa dibatalin meeting-nya. Lusa Mr. Stewart udah balik ke Perth." Andreas berpikir keras. Selama ini, dia tak pernah melewatkan kegiatan anak-anaknya yang melibatkan orang tua di sekolah mereka.
"Minta tolong gantiin sama Om Koko aja, Yah!" seru Anne tiba-tiba. Dia tampak antusias.
Andreas dan Maria berpandangan. Bisa-bisa saja mereka meminta bantuan Dicko. Akan tetapi, alangkah tidak bijak jika mereka mengganggu lelaki itu saat ini. Pernikahannya dan Flora baru berusia beberapa hari dan tentu saja masih dalam masa-masa bulan madu.
"Nggak bisa, Sayang. Om Koko lagi sibuk juga. Nanti Bunda minta tolong sama Papi Gary aja, ya. Mudah-mudahan Papi Gary bisa."
"Emangnya Papi Gary bisa mendongeng, Bun? Kan Papi Gary itu pendiam." Zac bertanya dengan wajah lugu.
Anne pun tampak cemas. "Iya, Bunda. Nanti malah nggak jadi mendongengnya."
Andreas dan Maria lantas tersenyum simpul.
"Enggak, kok. Papi Gary pasti bisa mendongeng. Udah, Anne nggak usah khawatir, ya. Nanti Bunda sampaikan ke Papi Gary. Yuk, dilanjut sarapannya. Ntar kalian telat."
Mereka kembali menikmati menu sarapan dengan tenang, kecuali Anne. Gadis kecil itu masih menginginkan Om Koko yang mendongeng bersamanya lusa nanti.
*
*
*
"Pagi, Adik-adik."
"Pagi, Pak Dicko!"
Dicko berjalan santai menuju meja khusus untuk dosen yang disediakan di depan kelas. Hari ini hari pertamanya kembali mengajar di kampus setelah mendekam selama dua hari di rumah barunya bersama Flora. Dua hari yang sungguh menyiksanya.
Karena itulah dia memutuskan untuk datang ke kampus dan mulai mengajar. Terlalu lama berada di rumah saja bersama Flora tapi tak melakukan apa-apa bisa membuatnya gila. Dia butuh pengalihan pikiran.
"Selamat datang buat mahasiswa baru. Selamat bergabung dalam keluarga besar Fakultas Arsitektur Universitas Purwadharma."
Dicko menatap mahasiswanya yang kelihatan masih begitu bersemangat. Yeah, paling satu semester doang, paling lama. Bentar lagi gue yakin pada banyak yang pengin pindah jurusan.
"Sudah pernah dengar rumor kalau kuliah di jurusan arsitektur itu susah, harus pintar matematika, dan harus jago gambar sekalipun lagi merem?"
Dicko memperhatikan kebanyakan mahasiswanya hanya menanggapi dengan cengengesan.
"Rumor itu nggak sepenuhnya benar. Tapi kalian memang harus punya kemampuan dasar dari keduanya. Nggak mesti jago-jago amat ngegambar, tapi minimal gambar yang kalian buat masih bisa diterjemahkan. Kalo acak-acakan, kasihan saya dan dosen lainnya, kan?
"Modal utama kalian cuma imajinasi. Karena sejatinya, arsitek itu menjual ide dan mimpi. Bukan seberapa bagusnya gambar yang kalian desain, melainkan seberapa uniknya ide bentuk bangun dan penjabaran fungsi-fungsinya. Kalian boleh berimajinasi seliar apa pun, tapi konstruksinya logis, fungsinya jelas dan proporsional, bisa dipertanggungjawabkan. Jadi kalian harus terus mengeksplorasi desain terbaru serta mempelajari karya-karya-karya arsitek terdahulu, baik dalam dan luar negri.
"Dan yang tak kalah penting, kalian harus disiplin dan giat menyelesaikan tugas sesuai deadline. Kalau sudah begitu, saya yakin, kalian akan selamat menempuh setiap semester di jurusan arsitektur. Kalau nggak percaya, silakan tanya sama senior-senior kalian yang mengulang mata kuliah DDA (Dasar Desain Arsitektur) ini."
Koor tawa tertahan mengisi ruangan. Beberapa mahasiswa yang Dicko hapal wajahnya karena merupakan mahasiswa lama, tersenyum-senyum simpul menahan malu.
"Oke, sebelum saya mulai teori DDA, ada yang mau bertanya?"
Seorang mahasiswa berambut gondrong mengangkat tangan. Dicko mengenali wajahnya sebagai mahasiswa angkatan terdahulu.
"Silakan, Dadan."
"Nggak bulan madu, nih, Pak?"
Sontak saja, koor 'huuu' yang cukup keras membahana di penjuru ruangan. Giliran Dicko yang dibuat tersenyum-senyum simpul.
*
*
*
"Hai."
"Hai."
Flora tak mengalihkan mata dari wajan. Dia membalik udang yang sedang digoreng, berpura-pura serius meski hatinya ingin sekali menatap Dicko dan tersenyum padanya.
"Ada yang bisa gue bantu?" Dicko berjalan mendekati Flora. "Lo masak menu apa?"
"Udang goreng saus madu. Lo keluarin alat makan aja," balas Flora cepat. Dia menyadari keberadaan Dicko di sampingnya. Dan mendadak saja itu membuatnya gugup.
Tiga hari berada di rumah baru, selama itu pula interaksi mereka terasa sedikit kaku. Bermula sejak Dicko memutuskan agar mereka pisah kamar untuk sementara waktu.
"Enak, nih, kayaknya." Dicko lantas membuat suara seperti sedang mengecap makanan yang sangat lezat.
Mau tak mau Flora tersenyum. "Perasaan komenan lo enak melulu. Kira-kira, pas makan apa yang bisa bikin lo bilang nggak enak, ya?"
"Pas makan hati, lah," jawab Dicko seraya terkekeh pelan.
Namun, rupanya jawaban itu sedikit tak cocok diucapkan untuk saat ini. Karena dua kata tersebut memang sedang dirasakan oleh mereka.
Dicko makan hati karena Flora masih trauma pada sentuhan intimnya. Flora juga makan hati karena sikap Dicko yang terkesan menjaga jarak. Dicko baru akan mendekat bila sudah tiba saatnya waktu makan. Selebihnya, lelaki itu hanya mengurung diri di kamar atau seperti hari ini, memilih berada di kampus seharian. Pengantin baru macam apa mereka?
"Ekhm! Udangnya ntar gosong, Flo." Dicko memecah hening yang mengergap.
Flora segera mengangkat udang gorengnya dari wajan. Sedangkan Dicko berlalu menuju lemari penyimpanan alat makan.
Sepuluh menit kemudian, mereka pun mulai menyantap hidangan makan malam.
"Lancar-lancar aja di kampus?" tanya Flora mengawali percakapan agar suasana tak terkesan canggung.
Dicko mengangguk. "Tadi cuma ngasih silabus perkuliahan. Mahasiswa baru pada antusias. Nggak tau nanti kalo pas giliran dikasih tugas."
Flora tersenyum. Awal yang bagus. Mereka lantas membahas hal-hal lain tentang pekerjaan.
"Oiya, kalo lo bosan di rumah aja, mending ke Chez Elles. Sekalian lo peninjauan."
"Peninjauan untuk apa?"
"Mulai bulan depan, manajemennya mengalami sedikit perubahan. Gue nggak bakalan duduk sebagai pimpinan lagi."
Flora mengerutkan kening. "Jadi maksud lo, lo bukan pemilik Chez Elles lagi?"
"Gue masih punya saham 28 persen. Bokap 32 persen. Dan sisanya yang 40 persen, udah dibeli sama Jonathan Soedibyo."
"Hah? Serius? Kok bisa? Bukannya waktu itu lo bilang nggak akan ngejual restoran itu ke dia?"
"Memang. Tapi setelah gue rundingkan sama bokap, beliau pikir ada baiknya restoran dikelola sama pengusaha kayak dia. Bokap udah pensiun dan gue nggak ngerti banyak. Tapi gue ngajuin syarat ke Jo."
"Syarat apa?"
"Lo ikut ngurus restoran juga. Sebagai Head Chef menggantikan chef sebelumnya yang akan pensiun sebentar lagi, sekaligus pemilik. Jadi nanti, gue akan pecah saham gue 10 persen buat lo. Dan bokap juga bakalan kasih sekian persen sahamnya ke lo. Otomatis, lo juga bagian dari pemilik saham Chez Elles."
"Hah?"
"Kado pernikahan dari gue dan bokap." Dicko tersenyum melihat ekspresi terkejut Flora. "Jo punya rencana buat pengembangan jaringan. Jadi nanti ada pembukaan restoran baru di beberapa daerah yang potensinya bagus. Kayak di Bandung, Surabaya, dan Makassar."
Flora masih tak bisa berkata-kata. Seumur hidupnya, dia bermimpi untuk memiliki restoran sendiri. Dan sekarang impian itu akan terwujud. Meski bukan pemilik tunggal, tetapi menjadi bagian dari pemilik saham restoran sekelas Chez Elles amat sangat membanggakan. Dan dia akan bekerja juga di sana sebagai chef.
"Lo nggak senang, ya?" tanya Dicko ragu-ragu saat menyadari Flora tak kunjung berkata-kata.
Gadis itu tersentak lalu membalas dengan mata berkaca-kaca, "Nggak senang? Lo becanda, ya? Gue senang banget, Ko!"
Flora berdiri lalu melompat ke arah Dicko dengan kegembiraan yang meluap-luap. Lupa akan masalah di antara mereka, dia lantas melingkarkan lengannya ke leher sang suami dan memeluknya begitu erat.
Untuk sekian puluh detik, mereka sama-sama menikmati momen itu. Bahkan keduanya sampai terbawa suasana. Dicko menarik tubuh istrinya hingga posisi gadis itu kini terduduk di pangkuannya.
"Ko, ntar kursinya patah...," bisik Flora saat akhirnya tersadar akan situasi.
"Nope. Kuat, kok," balas Dicko seraya menyingkirkan beberapa helai anak rambut yang menutupi wajah sang istri.
Lalu hal berikutnya terjadi begitu saja. Mereka berciuman dengan lembut. Pelan-pelan, lama-lama saling berkejaran dan menuntut.
Dicko merindukan momen seperti ini bersama Flora. Hal yang terpaksa dia hindari selama beberapa hari. Namun, dia tak lagi peduli meski nanti dia hanya bisa gigit jari karena tersiksa oleh ereksi.
"Lo tersinggung, ya, Ko?" tanya Flora begitu melepas pagutannya.
Alis Dicko bertaut. "Tersinggung? Tersinggung soal apa?"
"Yang waktu itu."
Dicko tersenyum, namun Flora bisa melihat senyum itu tak sampai menyentuh matanya.
"Oh. Enggak."
"Lo nggak usah pura-pura fine-fine aja, Ko. Kalo lo nggak tersinggung, lo nggak akan sampai mutusin pisah kamar sama gue. Gue tau sikap gue malam itu berlebihan. Tapi sumpah, gue nggak bisa kontrol diri waktu itu. Bukan mau gue kayak gitu, Ko...."
Dicko tepekur. Dia memang sedikit tersinggung. Namun, bukan itu yang membuatnya memutuskan demikian.
"Gue tau, kok. Gue cuma pengin kasih lo ruang untuk menenangkan diri. Gue minta lo jangan berprasangka aneh-aneh. Kalo gue tersinggung berat, gue nggak akan perlakukan lo seperti sekarang."
Flora ingin sekali percaya. Tetapi dia bisa merasakan ada kejanggalan dari sikap yang Dicko tunjukkan, hingga membuatnya terus merasa ragu.
"Lo takut gue bakalan teriak-teriak seperti waktu itu, kan?"
Dicko tak menjawab. Dia menatap Flora mulai dari mata, hidung, hingga ke bibirnya yang terus saja membuatnya tergoda. Hasratnya menuntut untuk melakukan 'penyerangan' lebih lanjut, tapi akal sehatnya masih bekerja cukup baik hingga dia bisa mengontrol keinginan liar tersebut.
"Sejujurnya, ya, gue khawatir lo bakalan ketakutan lagi sama gue."
Wajah Flora memerah. Dia menggigit bibir lalu ragu-ragu berkata, "Gimana kalo kita coba lagi?"
"Lo yakin?"
Flora terdiam. Dia memang sudah mempersiapkan diri, tetapi tak begitu yakin apakah tubuhnya tak akan bereaksi berlebihan lagi.
"Tuh, ekspresi lo aja nggak meyakinkan gitu. Gue nggak mau lo ngerasa terpaksa melakukan kewajiban sebagai istri. Gue akan tunggu sampai lo bisa membuka diri."
"Tapi gue nggak tau sampai kapan. Enam tahun berlalu dan gue masih ... masih...."
"Lo masih ngebayangin kejadian malam itu, kan? Lo masih belum bisa lupa, kan?"
Flora tak menjawab karena itu benar. Dan ketakutan terbesarnya adalah, bagaimana jika saat mereka melakukannya, Dicko akan membisikkan nama Maria seperti dulu?
"Flo, gue mau saranin sesuatu. Tapi tolong jangan tersinggung."
Flora menunggu.
"Gimana kalo kita ke psikolog?"
TBC
Huaaaaaa... Udah kangen banget lanjutin cerita ini. Ada yg rindu juga nggak, ya? 😁😁😁😁
Aku nggak akan bosan minta maaf karena lamaaaa banget baru bs update.. Maklumi aku yaaaa 😂😂😂😂
Semoga masih ada yg mau nunggu kelanjutannya.
Love you all 😘😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top