Part 8

"She wasn't bitter. She was sad, though. But it was a hopeful kind of sad. The kind of sad that just takes time—The Perks of Being a Wallflower."
~~~~💕💕~~~~

WARNING!!
ADA SEDIKIT ADEGAN KHUSUS DEWASA 😅😅😅😅

~~~~💓💓💓~~~~

Suasana gereja Katedral pagi ini begitu sakral. Dekorasi ruangan besar dan megah itu didominasi warna putih yang berasal dari rangkaian bunga baby's breath. Menghadirkan nuansa syahdu, sejuk, dan suci, seperti berada di tengah hamparan salju.

Wedding march menggema di seluruh penjuru ruangan, mengiringi langkah Dicko saat meyusuri aisle menuju altar yang bertabur ribuan kelopak mawar putih. Dia tersenyum bahagia. Begitu gagah dalam balutan tuksedo yang juga berwarna putih. Di belakangnya, turut berjalan Jonas dan Merredith, disusul oleh tiga pengiring pengantin laki-laki.

Tak lama berselang, empat gadis bergaun kuning salem menyusul satu per satu. Masing-masing membawa buket mawar berwarna senada dengan gaun mereka.

Lalu suara musik mulai berubah nada, menandakan kedatangan calon pengantin wanita. Flora berdiri di ambang pintu bersama Saniharja. Gadis itu mengenakan gaun putih serta tudung yang menjuntai hingga menyapu lantai.

Matanya berkaca-kaca. Di ujung sana, Dicko menantinya. Gadis itu terus melangkah perlahan, melempar senyum gugup pada tetamu undangan yang menatapnya dengan antusias.

Matanya memang tak bisa terlalu fokus mengenali orang-orang yang hadir. Namun, dia masih bisa menemukan beberapa wajah. Cecilia, Fairel, serta seluruh keluarga besar Anggoro dan Hariandi duduk di bangku terdepan. Lalu ketiga sahabatnya bersama suami serta anak mereka; Vela dan Valen yang sengaja datang dari New York bersama bayi laki-laki mereka yang baru berusia enam bulan; Andreas dan Maria yang juga datang bersama anak-anaknya serta beberapa anggota keluarga Malik.

Akhirnya Flora dan Saniharja tiba di depan Altar. Dicko mengulurkan tangan saat Saniharja menyerahkan putrinya. Kedua lelaki itu berpandangan dengan tangan saling menggenggam erat.

"Dicko, Om serahkan tanggung jawab untuk menjaga putri yang sangat Om sayangi ini ke pundakmu. Cintai dan bahagiakan dia. Berbuatlah lebih baik daripada yang pernah Om lakukan selama duapuluh lima tahun kehidupannya," ucap Saniharja dengan mata berkaca-kaca, yang dijawab Dicko dengan anggukan penuh kemantapan.

Flora hampir saja menitikkan air mata demi mendengar ucapan papinya. Kenangan masa lalu yang kurang menyenangkan membuat kesedihan tiba-tiba menggantung di hati gadis itu. Dia merasa belum benar-benar menebus kebersamaan mereka yang sempat hilang, namun kini dia sudah harus memulai kehidupan baru bersama Dicko.

Akan tetapi, Saniharja meyakinkannya bahwa pernikahan ini adalah kebahagiaan yang dia nanti-nantikan. Maka Flora pun berusaha memantapkan hatinya untuk berdiri di depan altar Katedral.

Didorong rasa kasih yang dalam, Flora lantas memeluk erat papinya cukup lama. Air matanya pun mulai menitik. Adegan itu membuat sebagian besar undangan dibuat terharu.

"Jangan menangis, Sayang. Ayo, Dicko sudah menunggu." Saniharja melepas putrinya dengan enggan. Flora mengangguk pelan disertai senyuman.

Dicko lalu menggandeng calon istrinya untuk berlutut di depan meja pemberkatan. Satu demi satu rangkaian upacara pun dimulai. Hingga tibalah pertanyaan dari Pastor untuk mereka berdua, mengenai makna pernikahan dan keinginan-keinginan mereka di masa depan, termasuk tentang jumlah anak yang mereka harapkan.

Pertanyaan itu sontak membuat Flora membeku, sementara Dicko dengan antusias menjawab, "Saya berharap Tuhan menganugrahkan lebih dari satu anak kepada kami. Karena saya anak tunggal, jadi sangat ingin merasakan suasana rumah yang ramai."

Hampir semua orang di belakang mereka terkekeh. Sedangkan Flora hanya bisa tertunduk. Dadanya berdegup kencang dan dia mulai berkeringat dingin karena sebentar lagi Pastor akan meminta jawabannya.

"Tapi, kami menyerahkan keputusan itu pada Tuhan. Jika Dia berkenan memberi, berapa pun akan kami terima. Jika tidak, maka ketetapan-Nyalah yang terbaik. Ya kan, Flo?"

Mendengar itu, Flora mengangkat wajah. Merasa terselamatkan, dia akhirnya mengangguk seraya tersenyum lega.

Prosesi terus berlanjut. Lalu tibalah pengucapan janji suci pernikahan oleh mereka berdua.

Mereka berdiri berhadapan. Kegugupan Flora meningkat. Namun, remasan lembut dari Dicko di jemari kirinya membuat perasaannya sedikit membaik. Calon suaminya itu juga memberinya tatapan yang dalam serta senyuman yang membuatnya yakin, dia akan melangkah dalam pernikahan bersamanya.

Dengan mikrofon di tangan, Dicko memulai sumpahnya, "I, Dicko Marvel Hariandi, take you Flora Lavanya Anggoro, to be my wedded wife. To have and to hold, from this day forward, for better, for worse, for richer, for poorer, in sickness or in health, to love and to cherish 'till death do us part. And hereto I pledge you my faithfulness."

Mata Flora kembali berkaca-kaca. Dia memejam sejenak. Lalu setelah mengembuskan napas pelan, dia membalas, "I, Flora Lavanya Anggoro, take you Dicko Marvel Hariandi, to be my wedded husband. To have and to hold, from this day forward, for better, for worse, for richer, for poorer, in sickness or in health, to love and to cherish 'till death do us part. And hereto I pledge you my faithfulness."

Maka dengan itu, dikukukanlah mereka sebagai suami istri. Dan saat cincin pernikahan terpasang di jari manis keduanya, ikatan mereka pun lengkap sudah.

Dicko lantas menyibak tudung pengantin istrinya perlahan. Dia tak bisa berpaling dari wajah Flora yang tengah tersenyum lembut padanya.

Kemudian Pastor berkata, "Ciumlah pengantinmu!"

Dicko lantas mendekati Flora dan menggenggam kedua tangan istrinya itu. Lalu bibir mereka perlahan bertemu. Diiringi sorak sorai tamu undangan, mereka telah menjemput kebahagiaan pertama sebagai suami dan istri.

*

*

*

Malam telah larut. Dicko dan Flora baru saja masuk ke honeymoon suit di hotel tempat diadakannya resepsi pernikahan mereka. Lelah, tentu saja. Menjalani serangkaian acara sejak pagi begitu menguras tenaga.

Akan tetapi, Dicko masih larut dalam euforia. Dia sekarang adalah seorang suami. Dan seperti kebanyakan suami yang baru saja menikah, ada kebahagiaan lain yang begitu mendesak ingin direguk.

Malam pertama.

Namun, Dicko tak ingin egois. Dia bisa melihat gurat kelelahan di wajah istrinya yang saat ini tergolek di sofa, masih mengenakan gaun resepsi berwarna peach muda, lengkap dengan aksesoris dan riasannya.

Dicko berjalan perlahan mendekati gadis itu lalu duduk di sebelahnya. Dengan lembut, disentuhnya pundak Flora yang terbuka.

"Flo...."

"Hmm...?" Flora bergumam tanpa bergeming.

"Ganti baju lo dulu, gih."

"Bentar...," balas Flora dengan suara mengantuk.

"Ntar lo ketiduran."

Flora menggeliat sebagai balasan. Dia memutar tubuhnya hingga berbaring menyamping ke kiri. Tindakannya itu membuat garis belahan dadanya terlihat sangat jelas akibat potongan leher gaun yang cukup rendah.

Melihat pemandangan seperti itu, mata laki-laki mana yang sanggup berkedip? Ditambah lagi, penampilan Flora malam ini begitu menawan dan memesona.

Didorong instingnya sebagai laki-laki, ditambah status barunya sebagai suami, Dicko membungkuk dan merangkak di atas tubuh istrinya.

"Lo sengaja mancing gue, ya?" bisik Dicko saat wajahnya telah mencapai leher jenjang Flora. Dia menghidu parfum beraroma buket mawar di sana dengan mata terpejam.

"Ng?"

Meski diserang kantuk yang hebat, Flora tetap bisa merasakan sensasi menggelitik di area lehernya. Kemudian sesuatu seperti daging basah nan lembut menempel di sana, bergerak dan berpindah perlahan, memberikan kecupan-kecupan ringan namun mampu mendirikan bulu roma.

Seketika mata Flora membelalak. Dan saat daging basah nan lembut itu mulai bergerak menjelajahi dadanya, Flora memutar tubuh hingga posisinya terlentang.

"K-Ko! L-lo ngapain?!" Tubuh Flora menegang. Posisi seperti ini sungguh membuatnya tak nyaman. Tanpa diminta, kenangan lima tahun lalu menyerang benaknya. Kecupan-kecupan itu ... suara Dicko yang membisikkan nama Maria berulang-ulang....

"Stop it, Ko!"

"Kenapa?" gumam Dicko, tak merasa perlu repot-repot untuk menyingkirkan bibirnya yang sedang asyik masyuk mengecup dada sang istri.

"K-Ko ... jangan!" Flora meletakkan kedua tangan ke dada Dicko dan menekannya kuat-kuat agar menjauh.

Dicko mengangkat wajah hingga kini muka mereka menjadi sejajar. Hidung mereka bersentuhan, dan tinggal sedikit lagi saja Dicko bisa mencecap bibir berlipstik merah muda itu.

"Cium bentar doang. Boleh, ya?" rayu Dicko dengan suara serak yang membuat wajah Flora memanas.

Detik berikutnya, Dicko benar-benar melakukan hal itu tanpa menunggu persetujuan istrinya. Dia menekan lembut bibir Flora, namun ternyata menjadi ciuman terpanjang dan terpanas yang pernah mereka lakukan.

Dan tanpa mampu Flora cegah, bagian atas gaunnya telah terbuka dengan sukses hingga membuat dadanya terekspos. Panik, Flora melepas ciuman mereka dan sekali lagi berusaha mendorong dada suaminya.

"J-jangan sekarang, Ko...." Meski panik luar biasa, Flora masih berusaha menolak secara halus. Dia benar-benar belum mempersiapkan fisik dan mentalnya malam ini.

"Bentar doang...."

Flora melepas tawa gugup. Tidak mungkin ini akan benar-benar sebentar karena dia sudah merasakan bagian tubuh Dicko yang mengeras sedang menekannya. Dan itu semakin membuatnya ketakutan.

"Besok aja, Ko. Please.... Gue capek...," rengek Flora, masih berusaha mendorong dada Dicko, namun sia-sia.

"Pemanasan doang. Ya?"

Pemanasan. Satu kata yang pernah menjadi momok bagi Flora dua tahun yang lalu. Dan setelah mendengarnya lagi malam ini, Flora merasa kepanikannya bertambah berkali-kali lipat.

"Jangan! Gue nggak mau!" pekik Flora sambil meronta hebat di bawah tindihan Dicko. Matanya memanas dan mulai kabur akibat titik-titik air yang mulai menggenang. Tubuhnya gemetaran.

Dicko tersentak. Mendadak tersadar bahwa dia telah membuat istrinya ketakutan. Jadi traumanya benar-benar belum hilang? Padahal sudah bertahun-tahun berlalu.

Ditatapnya wajah Flora dengan saksama. Dia lalu menghela napas penuh penyesalan saat menyadari gadis itu sedang terisak.

"Oke, oke, oke. Sorry, sorry. I'll stop." Dicko berusaha menenangkan Flora yang masih meronta. Digenggamnya kedua tangan gadis itu erat-erat hingga rontaannya perlahan mulai melemah.

Setelah yakin Flora sudah cukup tenang, Dicko beranjak dari atas tubuhnya lalu menjejakkan kaki ke lantai. Flora memanfaatkan kesempatan itu untuk mendudukkan diri dan menutupi dadanya yang terbuka dengan bagian atas gaunnya yang ternyata merosot hingga ke pinggang.

Setelah itu, dia cepat-cepat berdiri dan menjauhi Dicko yang terduduk di pinggir sofa. Namun baru beberapa langkah, Dicko menyusulnya secepat kilat.

"Flo, sorry. Gue nggak berniat maksa lo. Sungguh," bisik Dicko seraya memeluk tubuh Flora erat-erat.

Mendapat perlakuan seperti itu tak serta merta membuat kepanikan Flora mereda. Dia kembali berusaha melepaskan diri dari Dicko.

"Jauhi gue!"

Dicko sontak terkejut. Tak percaya melihat kegusaran yang begitu nyata di wajah istrinya. Meski tak rela, dia melepas tubuh Flora dan mundur beberapa langkah.

Flora pun sama terkejutnya. Keheningan yang menggantung di antara mereka membuatnya mulai menyadari bahwa sikapnya tadi sangat berlebihan.

Dia benar-benar tak bisa mengontrol diri. Rasa takut itu datang begitu saja. Meski dia tahu saat ini Dicko berstatus suaminya, ternyata tak serta merta membuat traumanya bisa dikendalikan. Ataukah itu terjadi karena situasi dan kondisi yang kurang tepat saja?

"Ya Tuhan...! Gue yang harusnya minta maaf ke lo, Ko. I'm so sorry.... Gue-" Flora terhenyak.

"Gue tau, gue tau. Lo kecapekan dan gue datang-datang main nyosor aja." Dicko terkekeh canggung. "I'll treat you better next time."

Lain waktu? Ya. Lain waktu mungkin dia sudah lebih siap. Lalu bagaimana jika sama saja?

Flora menggeleng dalam hati. Jangan pesimis, Flo....

"Ya udah, ganti baju dan bersihkan diri lo."

Dicko tersenyum singkat lalu memutar tubuh, meninggalkan Flora yang masih berdiri mematung. Tebersit keinginan di hati gadis itu untuk mengejar Dicko dan memeluknya sebagai permintaan maaf. Akan tetapi, tubuhnya tak sanggup bergerak.

Aneh. Sungguh aneh. Setelah kebahagiaan yang mereka alami seharian, mendadak saja semua berakhir dalam kecanggungan.


*

*

*

Dicko menatap wajah Flora yang sudah tertidur pulas. Lelaki itu berpura-pura telah terlelap sejak satu jam yang lalu. Selama itu pula, dia merasakan gerak gelisah sang istri, membolak-balik tubuh berkali-kali hingga akhirnya jatuh tertidur.

Apa yang merisaukannya?

Pikiran Dicko mendadak kusut. Malam pertama yang gagal ini telah memberitahukannya satu hal. Flora masih belum merasa tenang berada terlalu dekat dengannya.

Dia lantas memaki diri. Seharusnya dia tak perlu bersikap memaksa. Seharusnya pelan-pelan saja. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Besok dia akan bersikap lebih terukur.

Bahkan dia mulai berpikir akan memberikan waktu sejenak bagi Flora untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan baru mereka. Ya. Lebih baik begitu daripada membuat Flora merasa tertekan kembali.

Dicko terus memandangi wajah Flora lekat-lekat, hingga rasa kantuk mulai menyerangnya perlahan. Dan tak berapa lama dia pun ikut tertidur di samping istrinya.

*

*

*

Flora melirik cemas pada Dicko yang sedang menyetir. Mereka meninggalkan hotel setelah sarapan di kamar. Seharusnya mereka keluar besok pagi, tapi Dicko memutuskan untuk segera check out.

"Ko?"

"Ya?"

"Lo buru-buru check out karena semalam, ya?" tanya Flora hati-hati.

"Enggak," balas Dicko setengah berbohong. Dia memang tak ingin menghabiskan waktu lebih lama di kamar hotel dalam kecanggungan bersama istrinya sendiri. "Gue mau kasih kejutan buat lo."

"Kejutan? Apa?"

"Lihat aja ntar."

Dicko tak mengucapkan apa-apa lagi dan berkonsentrasi menyetir. Flora juga memutuskan diam, membiarkan pikirannya mengembara pada peristiwa semalam.

Dia ingin meminta maaf sekali lagi, tapi sepertinya akan memperbesar kecanggungan. Jadi dia memutuskan seolah-olah kejadian semalam tak pernah ada. Dicko pun bersikap sama.

Perjalanan mereka terus berlanjut. Mendadak Flora menyadari bahwa mereka tak melewati jalan menuju apartemen Dicko atau pun kediaman Anggoro.

"Kita ke mana?"

"Sebentar lagi lo bakalan tau."

Flora memutuskan menunggu. Hingga limabelas menit kemudian, mobil berhenti di depan sebuah rumah yang tak Flora kenali.

"Rumah siapa, Ko?"

Dicko tersenyum misterius. "Yuk, turun."

Kening Flora berkerut. Matanya tak lepas dari rumah berbentuk kotak-kotak berdesain minimalis modern itu.

"Rumah kenalan lo, ya?" Flora menjejeri langkah Dicko.

Mereka berjalan melintasi halamannya yang sempit namun serba hijau lalu menaiki undakan tangga menuju pintu kayu besar dan tinggi. Flora pikir Dicko akan menekan bel. Dahinya semakin berkerut saat melihat suaminya mengeluarkan kunci dari saku celana lalu membuka pintu menggunakan benda itu.

"Selamat datang di rumah kita," ucap Dicko dengan senyum lebar.

Flora ternganga. Hunian besar dan luas ini adalah rumah mereka?

"Lo yang desain?"

Dicko mengangguk.

"Sejak kapan?" tanya Flora seraya mengamati desain interior ruangan dengan perabotannya yang serba modern.

"Sejak dua tahun yang lalu. Gue nabung dikit-dikit. Hidup irit-irit. Akhirnya rumah ini kelar di waktu yang tepat," terang Dicko dengan wajah berbinar-binar. "Ini murni dari hasil keringat gue."

Flora tersenyum haru. Dia tahu Dicko tipe laki-laki mandiri. Meski dia bisa saja menggunakan uang keluarganya untuk membeli apa pun, dia tetap menabung untuk mewujudkan apa yang dia impikan. Termasuk rumah.

Dicko lantas mendekati Flora dan memeluk tubuhnya dari belakang. "Lo suka desainnya?"

Flora tersenyum lalu mengangguk. "Gue suka apa pun desainnya. Thank you ya, Ko."

"You're wellcome. Tapi gue belum lengkapi peralatan dapur. Itu bagian lo. Gue nggak mau intervensi. Oiya, mau lihat kamar utama?"

Dicko tak menunggu jawaban Flora. Dia segera menarik tangan gadis itu menuju area belakang rumah. Flora melihat kolam renang di sana.

"Mana kamarnya?"

Dicko lantas menunjuk sebuah pintu kaca di sisi kolam. "Itu. Kamarnya langsung menghadap kolam renang."


"Wow. Jadi berasa tinggal di resort tiap hari dong, ya."

"Yep. Dan karena gue belum bisa ajak lo bulan madu dalam waktu dekat, anggap aja lo sedang berada di resort pinggir pantai."

Keduanya terkekeh. Dicko lantas membuka pintu kaca itu dan membawa Flora masuk.

"Lo suka?"

Flora mengangguk. Matanya masih terus mengamati seisi kamar yang cukup luas itu. Tempat tidur yang besar dan nyaman serta perabotan lainnya tersusun begitu apik. Flora menyukai semuanya.

"Gue senang kalo lo suka. Gue tinggal bentar ya. Mau ambil koper."

Dicko segera keluar. Flora meneruskan kegiatannya melihat-lihat isi kamar hingga ke kamar mandi pribadi.

Lima menit kemudian, Dicko kembali dengan membawa dua koper besar. Namun, dia hanya membawa masuk satu koper saja. Setelah meletakkannya di dekat lemari, dia lantas berjalan menuju pintu kembali. Melihat itu, Flora mengernyit keheranan.

Setibanya di ambang pintu, Dicko berbalik dan menatap sang istri yang tampak kebingungan.

"Lo tempati kamar ini, gue akan tempati kamar di lantai atas. Gue antar koper dulu, ya. Enjoy your new room," ucap Dicko seraya tersenyum.

Dia menatap wajah Flora beberapa detik sebelum meraih kopernya dan berlalu dari sana. Tanpa dia sadari, ucapannya tadi telah membuat Flora merasa bahwa badai baru saja memorak-porandakan dunianya.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top