Part 6
"In all the world, there is no heart for me like yours. In all the world, there is no love for you like mine—Maya Angelou."
~~~~💕💕~~~~
Flora menatap bergantian dua lelaki yang berdiri tak jauh darinya itu. Sungguh tak disangka, mereka ternyata saling kenal dan tampaknya lebih dari sekadar perkenalan sambil lalu. Seingatnya, Dicko tak pernah menyebut-nyebut nama Jonathan Soedibyo selama ini. Lagi pula, tak terbayang sedikit pun di benak Flora, kekasihnya yang seorang arsitek dan dosen di Indonesia, menjadi teman dari seorang pemilik restoran ternama di New York. Kapan dan bagaimana mereka bisa bertemu?
"Dicko Marvel Hariandi." Jonathan memamerkan deretan giginya yang tersusun rapi. Raut wajahnya tampak tegas namun bersahabat. "At last. Senang jumpa lagi sama lo, man. Apa kabar?" Dia bergegas mendekati Dicko sambil mengulurkan tangan, meninggalkan Flora di belakangnya.
Dicko membalas senyum Jonathan serta jabatan tangannya. "Ah, kabar gue agak kurang baik hari ini. Udah sejak beberapa hari sebenarnya." Dia menjawab sambil melirik sekilas ke belakang punggung lelaki itu, pada Flora yang balas menatapnya dengan binar jahil.
Jonathan jadi merasa tak enak hati. "Oh, I'm so sorry. Harusnya gue nggak nemuin lo hari ini kalau gitu. "
Dicko segera menyadari bahwa tak seharusnya dia menjawab seperti tadi. Ucapannya itu sebenarnya ditujukan untuk sang kekasih. "Nggak apa-apa. Kabar lo sendiri?"
"Seperti yang lo lihat, gue selalu optimis. Dan gue juga membawa penawaran yang sangat bagus."
Dicko memasang mimik wajah menyesal. "Uhm, gue benar-benar minta maaf, Jo. Bisa kita bicarakan soal itu lain waktu?"
"Gue yang seharusnya minta maaf. Ngedatengin lo kayak gini tanpa membuat janji temu lebih dulu. Oke deh, gue akan tunggu waktu yang tepat."
"Tapi gue harap lo nggak memasang harapan terlalu tinggi. Seperti yang gue bilang tadi, gue tetap nggak akan menjual Chez Elles ke lo. Sekalipun gue buta soal restoran dan tetek bengeknya, gue tetap akan mempertahankan status kepemilikan. Lagi pula, gue nggak yakin apa bokap gue setuju sama penawaran lo. Meskipun beliau udah nyerahin kepemilikan restoran ke gue, gue tetap harus minta persetujuannya."
Jonathan terlihat tak terpengaruh. Dia tetap memasang senyum. "Gue yakin bokap lo akan sangat menyukai penawaran gue." Jonathan menjawab dengan penuh percaya diri. Dan setelah berkata begitu, dia menghadapkan wajahnya ke sisi kanan, seolah hendak memastikan keberadaan seseorang di belakang punggungnya. "Boleh gue minta nomor ponsel lo?" tanyanya setelah menghadap kembali pada Dicko.
"Tentu." Dicko mengeluarkan selembar kartu nama dari dompet kulitnya.
"Makasih. Gue akan menghubungi lo secepatnya. Percaya deh, penawaran gue bagus banget, man." Jonathan menerima kartu itu dengan ekspresi seolah baru saja memperoleh tiket VVIP pertunjukan Broadway.
Dicko hanya membalas dengan senyuman. Tatapannya kembali bergeser ke belakang punggung Jonathan untuk sedetik. Dan tepat saat itu Flora memutuskan untuk berjalan maju mendekati mereka.
Jonathan memalingkan wajah pada gadis itu, senyumnya mengembang lebih lebar. "Oh, maafkan saya, sampai melupakan Anda." Sekarang dia kembali berbicara dengan nada resmi
Flora tersenyum maklum. "Tidak apa-apa."
"Saya rasa sudah waktunya saya pamit. Kalian pasti sudah sangat ingin bertukar sapa," ujar Jonathan terburu-buru.
Flora mengernyit, penasaran bagaimana lelaki itu bisa mengetahui bahwa dia mengenal Dicko. Dan saat melirik kekasihnya, Flora sedikit terkejut karena reaksi Dicko terlihat seolah fakta bahwa Jonathan tahu bukanlah hal yang aneh.
"Sekali lagi, senang akhirnya bisa berjumpa dengan Anda, Nona Flora Anggoro." Jonathan mengulurkan tangannya pada Flora.
Untuk kali ini, Flora tak ragu untuk menjabat tangan lelaki itu. "Saya juga, Pak Jonathan. Tapi kenapa terburu-buru? Bagaimana jika saya mentraktir secangkir kopi?"
Jonathan meletakkan tangan kanan ke dada kirinya dengan sikap merendah. "Terima kasih, tapi saya sudah mendapat cukup kafein untuk pagi ini. Lain waktu saja, jika Anda tidak keberatan. Oh, dan jangan panggil saya dengan embel-embel Pak, saya mohon."
Flora tersenyum, dalam hati mengagumi sikap serta kata-kata yang dituturkan dengan sangat sopan itu. Dan Flora sama sekali tak bisa menolak ajakan minum kopi yang diajukan secara tak langsung tersebut. Jonathan Soedibyo, mantan bosnya mengajak minum kopi. Itu adalah kesempatan bagus. Kapan lagi bisa berbincang lebih dekat dengan pengusaha restoran sukses New York? Apalagi, lelaki satu ini terkenal sangat sulit ditemui.
Belum sempat Flora membalas ucapannya, Jonathan keburu berkata, "Ah, maaf. Saya tentunya harus meminta persetujuan dari kekasih Anda terlebih dahulu."
Mendadak terdengar kekehan pelan. "Lo nggak perlu minta izin gue, Jo. Gue yakin, dia tetap akan pergi nemuin lo meski gue ngerantai kakinya."
Balasan Dicko membuat Jonathan tertawa. Sebaliknya, Flora justru mendelik pada kekasihnya dengan kesal.
"Well, kalau begitu saya tunggu undangan minum kopi dari kalian berdua. Jangan sungkan, masa kunjungan saya di Jakarta masih tersisa beberapa minggu lagi."
Dicko lalu membalas dengan riang, "Tentu. Dengan senang hati, Jo."
*
*
*
"Hey you, don't wanna love you on the telephone. You're hanging up and now I'm all alone. Baby you got me doing dirt, doing dirt, doing dirt .... And now I wanna find you but you're off the run. My heart's exploding like a burning sun. I know you like it when it hurts, when it hurts, when it hurts ...."
Flora melirik Dicko yang tengah duduk berseberangan meja dengannya. Mulut lelaki itu bergerak-gerak mengikuti lirik lagu yang terdengar dari perangkat audio. Kepala dan badannya bergoyang seirama dengan musik electropop yang mengalun cepat. Sikapnya menunjukkan seolah-olah dia sedang sendirian. Tak ada sepatah kata pun yang dia ucapkan pada Flora sejak mereka duduk berdua di sudut kafetaria yang masih sepi pagi ini.
Setelah Jonathan meninggalkan mereka, Dicko berjalan ke sudut ruangan seraya memberi kode dengan mata agar gadis itu membuntutinya. Dan lima belas menit pun berlalu masih dalam kebisuan, ditemani senandung lagu dari Maroon 5 yang seingat Flora berjudul Doin' Dirt itu.
"Hey you, say that you're only having fun and then, you call me up at 3am again. Baby you got me doing dirt, doing dirt, doing dirt. And now all that I got is just a microphone. To let you know that I am all alone. I know you like it when it hurts, when it hurts, when it hurts."
Flora menyeringai begitu menyadari makna lagu yang dibawakan oleh grup band asal negeri Paman Sam tersebut. Namun, dia bersikap seolah tak merasa tersindir. Dia justru pura-pura mengamati desain interior kafetaria yang mengalami banyak perubahan. Sesaat kemudian dia baru menyadari, posisi meja yang mereka tempati sama persis dengan saat Dicko mencocokkan cincin pernikahan sang nenek ke jari manisnya bertahun-tahun lalu. Ingatan itu seketika membuatnya tersenyum lembut.
Dicko menangkap senyum Flora. Dia tertegun sesaat, namun segera berpaling ketika gadis itu mengangkat wajah, menatapnya penuh cinta. Hal yang membuat dada Dicko mendadak bergemuruh hebat.
Menyadari Flora masih menatapnya, Dicko pun akhirnya buka suara. "Kenapa senyum-senyum?"
Flora terkesiap, segera memasang ekspresi datar. "Nggak kenapa-napa." Dia lantas mengedarkan pandangan untuk menghindari tatapan Dicko. "Btw, aneh deh, pegawai kafetarianya kok mutar lagu begini pagi-pagi, ya? Ini lagu lama, kan? Ah, iya. Lagu zaman SMA."
Dicko menyipit demi mendengar jawaban yang terdengar santai tersebut. "Ya, dan gue jadi ingat kelakuan seseorang gara-gara dengar lagu ini. Mirip banget."
Flora menopang dagu dengan tangan kanannya lalu berkata tanpa beban, "Oh, ya? Wah, pasti kelakuannya bikin lo kesal, ya?"
"Sangat."
"Lo pasti ngerasa seperti sedang naik rollercoaster gara-gara kelakuannya itu, kan?"
Dicko lantas ikut menopangkan dagunya di atas meja. "Rollercoaster mah nggak ada apa-apanya. Lebay-nya, gue sanggup mindahin pulau Jawa ke benua Amerika gara-gara dia."
Flora menampilkan ekspresi pura-pura terkejut. Tangan kirinya menutupi mulut dengan gerakan yang dibuat-buat. "Owh, so sweet."
"Menurut lo itu manis?"
"Yep, bisa-bisa dia diabetes saking manisnya," balas Flora sambil menyeringai.
Dicko memberi Flora tatapan datar. "Rencananya gue bakalan kasih sesuatu yang jauh lebih manis. Tapi karena dia nggak mau kena diabetes, jadi mending gue batalin."
Seringai di wajah Flora mendadak lesap. Dadanya berdebar-debar. Hal apa yang akan Dicko lakukan padanya?
"Gue rasa dia penasaran," pancing Dicko, sudut bibirnya sedikit terangkat.
Gadis itu mengedikkan bahu, pura-pura acuh tak acuh. "Gue rasa enggak. Paling-paling lo cuma mau menghujani dia dengan ciuman. Nggak ada yang spesial, tuh."
"Aaah ... kalo gitu, gue nggak perlu kasih dia ciuman lagi, ya."
Flora menelan ludah. Meski tak mendapat ciuman dari Dicko bukanlah pertanda akhir dunia, Flora jelas tak rela.
"Lo terlalu sayang sama dia," balas Flora penuh percaya diri, "jadi nggak mungkin lo bisa tahan nggak nyium dia sehari aja."
Dicko tersenyum miring. "Gue udah berbulan-bulan nggak nyium dia, dan gue bisa bertahan sampai detik ini." Ucapan yang tak sepenuhnya benar. Dicko justru diam-diam sedang berjuang menahan keinginan untuk melakukannya. "Nggak ada masalah buat gue."
Mendengar itu, Flora lalu menyandar dengan kedua tangan menyilang di dada. "Oh, jadi gitu. Ya, udah. Baguslah. Jadi bibirnya nggak bakalan lecet-lecet. Lo kan kalo nyium suka gigit-gigit nggak jelas gitu."
"Hohoho, nggak kebalik?"
Flora sudah hendak membantah, namun kedatangan pelayan kafetaria yang membawa nampan berisi dua cangkir kopi untuk merek berdua dan sepiring sandwich isi tuna untuk Dicko membuatnya mengatupkan mulut kembali.
Setelah mengucapkan terima kasih pada sang pelayan, mereka sama-sama terdiam. Saling tatap tanpa senyum sama sekali. Satu menit ... lima menit, belum ada yang hendak memulai gencatan senjata. Lima menit lagi berlalu dan saat satu menit berikutnya tiba, keduanya mulai menyadari bahwa sikap konyol mereka saat ini persis seperti kelakuan remaja. Dan tawa terbahak-bahak sontak menggema, membuat segelintir manusia di sekitar mereka menoleh karena kaget.
"Astaga ... kita ngapain, sih?" ucap Flora di sela-sela tawa. Ada setitik air yang muncul di sudut kedua matanya. Dia lantas menyekanya dan berkata, "Sorry. Gue udah betingkah kayak anak-anak. Cuma pengin ngerjain lu aja."
Dicko menatap Flora lekat-lekat. Tawanya perlahan mulai reda, menyisakan senyum. Flora pun demikian, membalas tatapan kekasihnya dengan sorot rindu yang tertahan. Namun dia masih cukup tahu tempat, tak gegabah melempar diri ke dada bidang Dicko yang menggugah.
"Maaf lo belum bisa gue terima." Dicko berkata dengan mimik jahil.
"Hei...."
"Lo harus lakukan sesuatu dulu."
"Oooh, mulai pake syarat nih, sekarang? Ya udah, apa syaratnya?"
"Nanti gue kasih tau." Dicko mengangkat sandwich-nya lalu berkata, "Sekarang biarkan gue sarapan dulu. Lima belas menit lagi gue ada rapat sama dekan kira-kira satu jam. Lo tunggu di sini, kelar rapat kita ke makam Farrel."
*
*
*
Ada perasaan haru yang melingkupi dada Flora sejak dia menginjakkan kaki di tanah pemakaman hingga kembali ke kediaman keluarganya. Itu adalah pertama kalinya dia berada di tempat peristirahatan terakhir Farrel setelah sekian tahun. Dia sempat merasa bersalah karena begitu lama tak berkunjung. Namun, Dicko berhasil menghiburnya. Selalu mengenang Farrel sudah lebih dari cukup.
Tiba di kediaman Anggoro, Dicko tinggal sebentar untuk makan siang bersama anggota keluarga yang lain, minus Fairel yang berada di sekolah. Kemudian dia menemani Flora menemui sang oma di kamarnya. Hal yang cukup mengejutkan melihat Flora mau melakukan itu. Terlebih saat mengetahui sikap Johana yang tampaknya sudah mengalami kepikunan. Perempuan tua itu memanggil Flora dengan nama mamanya, Rossa.
Flora pun terkejut. Meski begitu, tak lantas membuat rasa tak sukanya terhadap Johana meluntur. Merasa sudah melakukan kewajiban sebagai anggota keluarga Anggoro, gadis itu segera meninggalkan sang oma yang masih termangu menatapnya.
"Kok sebentar doang?" tanya Dicko saat mereka berada di halaman depan kediaman Anggoro. Flora mengantar menuju mobilnya yang diparkir di sana.
"Ngapain juga lama-lama."
Jawaban Flora membuat Dicko terkekeh. "Kali aja lo mau temu kangen sama Oma Johana."
Flora mendengus disertai senyum kecut. Dia tertunduk menatap susunan paving block, tak tertarik membahas hal itu lebih lanjut.
Dicko merasakan keengganan gadis itu, maka dia pun tak membahasnya lagi. "Besok lo free, nggak?" Dia bertanya sekaligus mengalihkan topik.
Flora mengangkat wajah dan merengut. "Gue pengangguran sekarang, ya jelas dong gue free, Ko. Please, deh."
Dicko terkekeh. "Oke. Kalo lo nggak mau jadi pengangguran lagi, besok jam delapan pagi gue tunggu lo di Chez Elles Bintaro."
"Lo mau ngasih gue kerjaan, nih? Serius?" Wajah Flora berbinar-binar.
Dicko mengangguk. "Ada dua posisi chef yang kosong di cabang Bintaro. Tapi jangan senang dulu. Lo harus ikut fit and proper test. Gue nggak mau nepotisme."
"Beres. Gue juga nggak mau dapat kerjaan cuma modal pacar doang."
"Bagus. Lo siapin CV-nya. Moga-moga lo keterima."
Lalu mereka sama-sama terdiam. Memanfaatkan situasi, Dicko maju mendekati Flora. Sudah sedari tadi dia menahan diri untuk memeluknya.
Namun, Flora justru mundur selangkah. "Jangan coba-coba. Papi dan Tante Cecil pasti lagi liatin kita di lantai dua," desis Flora panik.
Dicko refleks menengadah ke arah satu-satunya jendela dengan gorden yang hampir tertutup sempurna, sesuatu yang seharusnya tak berlaku di siang hari. Dan dia tak mampu menahan senyum saat melihat pinggiran gorden yang tadinya sedikit tersibak, ditutup dengan terburu-buru oleh seseorang.
"Well, oke. Kalo gitu gue pamit. Maria udah nunggu gue di kantor, ada rapat sama staf."
Flora tiba-tiba merasakan perutnya menggeliat tak nyaman. "Lo nggak capek, ya? Pagi jadi dosen, siang jadi konsultan, akhir pekan jadi pengusaha restoran."
Dicko tergelak. "Yah, mau gimana lagi. Gue kan harus nabung buat masa depan. Kalo nggak kerja, dapat duit dari mana? Gue bukan CEO kaya raya tujuh turunan kayak Andreas."
Flora memutar bola mata. "Please, deh, Ko. Itu bukan kerja lagi namanya, tapi kemaruk. Mending lo fokus, deh. Ngapain juga lo harus repot-repot jadi konsultan arsitektur di biro kecil."
"Gue nggak ngarepin gajinya. Tapi gue ngebantu Maria merintis usaha yang dia impikan sejak dulu."
"Kenapa dia nggak gabung di perusahaan keluarga suaminya aja, sih? Malik Group itu kan namanya udah gede banget." Flora tak mampu menyembunyikan nada ketus dalam suaranya.
Dicko menyadari itu dan tersenyum. "Justru karena Malik Group itu perusahaan gede, makanya dia nggak mau. Dia pengin merintis usaha sendiri," terang Dicko dengan sabar. Dia lalu melirik jam tangan dan berkata, "Gue pergi dulu, ya. Takut kena macet."
Mau tak mau Flora mengangguk. Dia mengiringi Dicko menuju mobilnya tanpa berkata apa-apa.
"Sampai jumpa besok pagi," ucap Dicko saat membuka pintu mobil.
Namun sebelum dia masuk, instingnya mendadak memberi komando sebelum akal sehatnya melarang. Dia meraih pinggang Flora, memeluk gadis itu lalu mengecup bibirnya hanya dalam hitungan detik. Setelah itu dia segera masuk ke dalam mobil tanpa berkata apa-apa, hanya tersenyum menggoda ke arah kekasihnya yang terperangah dengan pipi bersemu merah.
*
*
*
Flora tersenyum kecil begitu keluar dari ruang interview. Dia sudah pernah melakukannya saat di Amerika, jadi dia bisa menjawab tujuh pertanyaan yang diajukan dengan tenang dan percaya diri. Dan alasan lain yang tak kalah penting adalah karena Dicko tak termasuk dalam tim yang mewawancarainya. Dia tak yakin apakah bisa bersikap sesantai tadi jika itu terjadi.
"Bu Flora, silakan ikuti saya. Kita akan menuju dapur di bawah untuk food test," ajak perempuan muda yang memperkenalkan dirinya dengan nama Tiwi, asisten manajer Chez Elles.
"Anda santai saja. Dapur masih kosong sampai pukul sepuluh menjelang makan siang nanti. Saya beri waktu satu jam untuk memasak dua menu dengan tema tiga S: simpel, spesial, dan suami," terang Tiwi saat mereka sudah tiba di dapur.
Kening Flora sontak berkerut. Merasa geli dengan kata terakhir. "Maaf?"
Tiwi berdeham lembut. "Kami ingin melihat apakah Anda bisa menyajikan makanan sederhana yang mudah untuk dibuat dan mampu menerbitkan selera makan seorang suami. Perlu diketahui, kami membebaskan pelanggan untuk me-request menu favorit mereka dengan tema-tema tak biasa seperti itu."
"Kalau begitu Anda bisa langsung mulai. Saya beri waktu untuk mise en place*. Saya akan mengawasi dari sini."
"Siapa yang akan mencicipi hasil masakan saya?" tanya Flora.
"Pak Dicko," jawab perempuan itu seraya tersenyum tipis lalu duduk di sebuah kursi tinggi. "Silakan dimulai."
Flora berdiri canggung. Meski dia pernah berada di dapur ini bertahun-tahun lalu, tetapi dia perlu merasa terhubung dengan suasananya sehingga bisa nyaman bekerja. Setelah puas mengamati sekeliling, dia mulai memikirkan dua menu yang diminta Tiwi.
Jika yang akan mencicipi adalah Dicko, akan jauh lebih mudah baginya. Dia tahu sekali selera lidah lelaki itu. Tak sampai semenit, dia sudah memutuskan masakan apa yang akan dia buat.
*
*
*
"Jadi, masakan apa yang Anda hidangkan, Nona Flora Anggoro?"
Flora tak mampu menahan senyum mendengar nada resmi dalam suara Dicko. Ini sesi hubungan profesional mereka untuk pertama kali. Mereka berada di sebuah ruangan yang telah dilengkapi sebuah meja bundar bertaplak putih gading dan dua buah kursi. Flora menghidangkan hasil masakannya dengan cantik dan apik dalam piring dan mangkuk berwarna putih.
Dicko mengamati meja lalu seketika tersenyum. "Ah, batagor dan jajangmyeon*. Kenapa membuat dua menu ini?"
"Saya diminta untuk membuat menu yang simpel, spesial, dan disajikan untuk seorang suami versi saya. Dua makanan ini menurut saya sudah sangat mewakili. Simpel karena bahan dan proses pembuatannya tidak sulit, spesial karena seperti yang saya ketahui, Anda sangat menyukai keduanya."
Dicko mengangguk-angguk. "Oke. Saya memang suka keduanya. Baiklah, saya akan mencicipi mereka. Bisa jelaskan bahan apa saja yang digunakan?"
"Hidangan pembuka, batagor dengan isian bakso udang. Saya yakin Anda sangat suka udang. Dan saus kacangnya tidak terlalu pedas atau pun manis. Kemudian hidangan utama, jajangmyeon, saya membuatnya menggunakan resep yang diajarkan ibu Anda beberapa tahun yang lalu. Saya yakin Anda akan merasa sedang mencicipi masakan beliau saat memakannya."
Dicko memberi Flora senyuman. "Terima kasih. Oh, kenapa berdiri saja? Duduklah dan temani saya makan. Hidangan untuk suami belumlah lengkap kalau istrinya tidak ikut bergabung."
Flora mendengus pelan lalu terkekeh geli. Dia lantas ikut duduk dan makan bersama lelaki itu. Mereka makan dalam diam hingga menu utama hampir habis.
"Enak banget. Lo benar, gue emang ngerasa lagi makan jajangmyeon buatan Eomma. Makasih, ya," puji Dicko setelah meletakkan sumpitnya. Gaya bicaranya tak lagi resmi.
Flora tersenyum cerah. "Apa itu artinya gue diterima?"
"Belum. Masih ada hidangan penutup."
Flora melongo. "Astaga! Bu Tiwi lupa nyuruh gue bikin dessert!"
Dicko menggeleng. "Nggak. Dessert-nya udah tersedia, kok."
"Oh ...."
Pintu ruangan mendadak terbuka dan seorang pelayan perempuan masuk membawa nampan berisi dua gelas es krim berwarna ungu. Dia meletakkan keduanya dengan hati-hati di hadapan Dicko dan Flora.
"Silakan. Es krim blueberry a la Pak Dicko Hariandi."
Flora mengangkat alisnya demi mendengar ucapan sang pelayan. Dia lalu menatap Dicko yang sedang menyengir.
"Serius lo yang bikin?"
"Ya. Silakan dicoba."
Flora menyendok es krimnya dan mencoba. "Not bad," komentarnya seraya mengangguk-angguk, merasa takjub. Dia lantas terus menyantap hingga es krimnya kini tersisa separuh gelas. Saat hendak menyendok lagi, Flora melihat sebuah benda yang tak semestinya ada di situ.
Dia lantas mengeruk es krim dengan sendoknya dan terpana saat menyadari benda yang tertimbun di sana adalah sebuah cincin. Dia terkesiap, menutup mulutnya dengan mata berkaca-kaca.
"Oh, lo udah nemu cincinnya, ya?" ucap Dicko dengan nada santai, "So, will you marry me, Flo?"
TBC
*Mise en Place (Perancis): kegiatan mengumpulkan dan menempatkan segala sesuatu yang dibutuhkan, baik berupa bahan maupun peralatan sebelum dimulainya sebuah pekerjaan.
*Jajangmyeon (Korea Selatan): jenis masakan Korea yaitu mi dengan saus pasta kacang kedelai hitam.
Halohaaaaaaaaa...
Aku kembaliiiiii... 😂😂😂
Maafkan aku yang menggantung cerita ini terlalu lama. Aku harus fokus jagain papaku yang sakit, jadi kesempatan utk nulis hampir nggak ada.😭😭😭 Tapi alhamdulillah kondisi papaku udah mulai stabil, udah mau makan dan semangat lagi 😆😆😆
So, jangan khawatir, aku akan selesaikan cerita ini. No PHP, insyaAllah. Semoga utk update selanjutnya bisa lebih cepat. Doain yaaa 😇😇
Dan maaf kalo lamarannya Dicko terasa absurd.. Hehehe.. Aku sempat blank mikirin idenya. Karena pikiranku bercabang banyak sekali.. 😂😂😂
Jangan lupa komentarnya yaaa.. Kritik bila perlu😘😘
Love you all💋💋💋
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top