Part 2

"Love is not about sex, going on fancy dates, or showing off. It's about being with a person who makes you happy in a way nobody else can."
~~~~💕💕~~~~

Flora duduk dengan gelisah di ujung tempat tidurnya, sendirian pada tengah malam. Setelah Dicko mengantarnya hingga di depan pintu, mereka berpisah disertai kecupan ringan. Flora tak segera mengiyakan perkataan kekasihnya itu. Bukan karena tak percaya. Dia sangat yakin Dicko takkan mengambil keuntungan atas dirinya. Yang dia takutkan adalah, bagaimana reaksinya sendiri saat Dicko menyentuh bagian terdalam tubuhnya, bagian yang dulu pernah lelaki itu jamah dengan kasar dalam kondisi yang tak sepenuhnya sadar.

Dia sungguh berharap ketakutannya tak menjelma menjadi teriakan histeris. Semoga saja reaksinya seperti saat Dicko menciumnya lagi setelah kejadian itu. Dia sempat takut, namun mampu menekannya. Hanya saja ketika itu dia dalam keadaan marah sehingga bisa menetralisir ketakutan. Apakah itu artinya, dia harus memunculkan kemarahan di dalam dirinya agar bisa melakukan hubungan seks bersama Dicko tanpa dihantui trauma?

Flora menggeleng dan merasa sedikit konyol. Dia tahu seharusnya mendatangi orang yang tepat untuk berkonsultasi mengenai hal itu. Akan tetapi, dia tak ingin memberi kesan pada Dicko bahwa traumanya teramat parah. Kekasihnya pasti akan merasa semakin bersalah. Dan kemungkinan terburuknya, Dicko bisa saja memutuskan untuk tak menyentuhnya lagi, selamanya.

Desah keras keluar dari bibir gadis itu. Dia seharusnya tidur, meredakan lelah setelah seharian bekerja ekstra. Namun, pikirannya belum hendak diajak beristirahat. Dia harus segera menuntaskan kegamangan. Karena jika tidak, bisa dipastikan segala hal yang dia lakukan esok hari akan menjadi runyam.

Refleks, Flora meraih ponsel di atas nakas dan mencari-cari kontak seseorang. Jempolnya terus mengusap layar, menggulirkan nama-nama. Beberapa detik berlalu, dia lantas tersadar, siapa kira-kira orang yang tepat untuk dia mintai pendapat? Cecilia dan Merredith jelas tidak mungkin. Baginya, sungguh memalukan berkonsultasi tentang kehidupan seks pada orang tua. Teman-temannya di Jakarta? Mereka takkan memberi solusi, hanya akan menggodanya habis-habisan dan menertawai.

Lalu sebuah nama membuatnya tersenyum. Vela pasti bisa diajak bicara. Dia sangat dewasa dan mampu memberinya pencerahan.

"Kamu belum tidur?" Suara yang terdengar sangat bersemangat di seberang sana membuat Flora terkekeh.

"Belum. Maaf mengganggu bulan madumu. Kalian sedang di mana?"

"Kami sedang di Kepulauan Derawan. Valen sangat suka di sini. Dia sedang menyelam. Kamu tau? Dia bahkan berencana untuk tinggal di sini selamanya." Vela tergelak-gelak. Deburan ombak meningkahi suaranya. "Ada apa? Kamu mau titip sesuatu?"

Flora ikut terkekeh kemudian dia terdiam. Ada rasa enggan yang tiba-tiba menderanya. Bagaimana dia harus menjelaskan kondisi psikologisnya pada Vela yang bahkan tak tahu-menahu tentang trauma yang dia alami?

"Flora?" Suara Vela terdengar cemas saat Flora terdiam cukup lama.

Flora memejam dan mengembuskan napas pelan. "Vel, aku ingin menanyakan sesuatu. Tapi jangan tertawa atau ... atau merasa aneh atas pertanyaanku. Janji?"

"Kamu tau aku tidak pernah menertawaimu."

"Baiklah. Mmm ... apa yang kamu rasakan ketika pertama kali berhubungan seks? Ng, aku yakin kamu melakukannya pertama kali bersama Valen. Maksudku, apa itu rasanya aneh? Ataukah menyakitkan? Oh, maksudku bukan saat itu. Tapi ... foreplay-nya. Ya. Apakah pemanasan itu terasa mengerikan? Oh, Ya Tuhan! Apa sih yang kutanyakan?" Flora kembali memejam dan menggigiti kuku jempolnya, menanti reaksi Vela yang barangkali merasa risih atas pertanyaan beruntunnya.

"Well, ya. Aku memang sedikit takut pada mulanya," jawab Vela segera. Jelas sekali dia tak merasa risih. Justru suaranya mengandung senyum. "Tapi berhubung Valen sudah sedikit berpengalaman, maksudku, dia melakukan foreplay-nya dengan baik, membuatku merasa nyaman."

Flora merasa wajahnya sedikit memanas. "Vel, aku nggak bermaksud kepo tentang urusan ranjangmu dan Valen."

Vela tertawa pelan. "Aku nggak merasa begitu kok. Tenang saja. Aku mengerti. Kamu pasti sedang memikirkan seandainya kamu dan Dicko melakukannya juga suatu saat nanti. Dan kamu merasa cemas karna itu adalah pengalaman pertamamu, kan?"

"Ya ... bisa dibilang begitu. Tapi ... tapi apa yang aku cemaskan sedikit lebih kompleks dari itu."

"Maksudmu?"

Flora terdiam. Dia mulai ragu-ragu kembali.

"Ada apa, Flora? Apakah ada masalah yang serius? Ceritakan saja, aku akan mendengarkan dan tidak akan menghakimimu."

"Vel, aku ...." Flora duduk tegak. "Aku dan Dicko ... kami pernah mengalami kondisi yang kurang mengenakkan di masa lalu. Kondisi yang membuatku ... merasa nggak nyaman saat dia menyentuhku lebih dalam. Kurasa kamu bisa menebak kondisi seperti apa itu."

Hening sesaat. Lalu Vela menjawab sedikit tak yakin, "Sepertinya aku bisa menduga-duga ...."

"Tapi jangan menduga bahwa dia melakukannya karena sengaja. Itu kecelakaan. Dan aku masih utuh sampai saat ini." Flora buru-buru menambahkan.

"Oke. Lalu?"

"Setelah kejadian itu, dia pernah mencium dan memelukku. Aku bisa menerimanya dengan tenang sejak kami kembali bersama. Tapi, aku nggak tau apakah aku bisa merasa begitu jika nanti kami ... kami ingin melangkah ke tahap yang lebih intim."

"Tadi kamu bilang, kamu merasa nggak nyaman saat dia menyentuhmu lebih dalam. Apa itu pernah terjadi akhir-akhir ini?"

"Belum. Tapi dua tahun yang lalu, dia pernah memelukku dalam posisi yang mengingatkanku pada kejadian masa lalu itu. Dan aku ketakutan. Aku rasa, aku masih trauma. Aku takut, Vel. Bukan pada Dicko, tapi pada kenyataan seandainya aku nggak akan pernah bisa melakukannya dengan dia. Bagaimana kalau dia kecewa lalu marah pada dirinya sendiri? Apa yang harus aku lakukan, Vel? Apa menurutmu, aku harus mencobanya untuk tau seberapa parah traumaku?"

"Aku rasa kamu harus membicarakan hal ini dengannya. Terbukalah satu sama lain. Dan karna kamu mencintainya, aku rasa nggak akan sulit. Percayalah padanya. Dan kalau kamu merasa oke untuk mencoba, lakukan saja. Tapi jangan terlalu dipaksakan. Karna seperti yang kamu bilang, Dicko akan semakin merasa bersalah jika ternyata traumamu lebih parah dari yang kalian duga."

*

*

*

"Lo udah di apartemen?" tanya Dicko pada Flora melalui sambungan telepon. Dia baru saja kembali dari hotel tempat diadakannya seminar dan pelatihan internasional untuk para dosen arsitektur. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Dia berjalan cepat dari parkiran menuju gedung apartemen.

Dicko tak menduga bahwa pelatihan yang dia jalani selama tiga minggu, memiliki jadwal harian yang begitu padat. Dia hanya bisa bertemu Flora di saat sarapan, itu pun dalam waktu yang singkat dan terburu-buru. Dan jika beruntung, mereka akan bertemu lagi saat makan malam. Jadwal magang Flora juga cukup padat dan menguras tenaga. Sering sekali Dicko harus kecewa setiap kali pulang dan mengetahui bahwa gadis itu sudah terlelap. Bahkan tak jarang, dia tidur dalam keadaan masih mengenakan seragam koki.

"Ya. Lo udah makan malam?" jawab Flora dengan suara yang terdengar sedikit mengantuk. Dicko rasa dia baru saja membangunkan gadis itu dengan panggilan teleponnya.

"Udah tadi di hotel. Lo keberatan kalo gue mampir sebentar? Atau lo mau langsung tidur setelah ini?" tanya Dicko, berusaha agar tak terdengar memaksa. Dia sudah tak mampu menahan rindu. Ingin menghabiskan waktu sedikit lebih lama bersama kekasihnya.

"Gue baru aja bangun. Lumayan bisa tidur satu jam sepulang magang. Kebetulan tadi pulangnya agak cepat," balas Flora, "Silakan kalo lo mau mampir."

Senyum Dicko mengembang dan dia bersorak dalam hati. "Oke. Kalo gitu gue masuk sekarang, ya?"

Flora, yang baru saja melepaskan seragam koki dari tubuhnya, sontak berdiri dan setengah berlari menuju pintu kamar mandi. Dia hanya mengenakan pakaian dalam saat ini.

"Lo udah di depan pintu gue?!"

"Yep. Baru aja."

Bersamaan dengan itu, terdengar bunyi suara pintu elektronik yang terbuka. Flora mengumpat pelan dan mempercepat larinya. Dan tepat saat dia membuka pintu kamar mandi, Dicko muncul lalu memindai ruangan. Flora menoleh dan matanya melebar ngeri saat pandangan mereka bertemu.

"Ups, sorry." Dicko menyeringai jahil.

Tak butuh waktu lama bagi Flora untuk menghilang di balik pintu kamar mandi dan menguncinya. Wajahnya memerah dan jantungnya berdetak kencang.

"Bisa nggak sih, lo masuknya nggak pake nyelonong?!" sembur Flora pada Dicko melalui telepon yang masih tersambung.

Dicko terkekeh geli. "Gue nggak nyelonong, kok. Kan lo udah kasih izin buat mampir."

"Emang! Tapi bukan izin buat masuk!" Flora mencak-mencak. "Mentang-mentang lo punya passcode pintu apartemen gue, bukan berarti lo bisa masuk suka-suka. Apa jangan-jangan, lo sering masuk waktu gue lagi tidur nyenyak?"

"Iya. Kok lo tau?" balas Dicko sembari duduk santai di sofa dan menyalakan televisi.

"Apa??"

Tawa Dicko lantas menggelegar. "Cepat pakai baju lo. Atau gue samperin juga tuh kamar mandi."

Flora mendelik lalu segera memutuskan sambungan telepon. Dan kemudian dia segera menyadari bahwa dia tak sempat membawa pakaian ganti. Dia baru hendak mengambilnya di lemari tepat sebelum Dicko membuka pintu apartemennya.

Seraya menggeram kesal, dia menyambar handuk kimono yang tergantung di dinding dan mengenakannya cepat-cepat. Lalu dengan hati-hati dia membuka pintu kamar mandi dan melangkah keluar.

Dicko segera mengalihkan tatapannya dari layar datar televisi. Dia lantas tersenyum usil saat melihat Flora yang berjalan seraya tertunduk ke arah lemari pakaian. Mengikuti dorongan insting, dia bangkit dan menyusul kekasihnya.

"Lupa bawa pakaian ganti?"

"Udah tau masih nanya."

"Sorry ...."

Flora tercekat saat menyadari suara Dicko terdengar tepat di belakang telinganya. Dia ingin berbalik, namun tubuhnya tak mampu bergerak.

"I miss you," bisik Dicko seraya merengkuh pinggang gadis itu dengan posesif, "Gue kangen banget sampai-sampai nggak bisa tahan diri dan langsung nyelonong masuk. Gue pengin cepat-cepat ketemu sama lo yang masih dalam keadaan terjaga. Maafin gue."

Flora tersenyum saat menyadari bahwa suara kekasihnya terdengar begitu tersiksa. "I miss you too, Ko .... Dan maaf lo diterima. Sekarang, bisa tolong biarkan gue berpakaian dulu?"

Dicko menjejakkan dagunya di lekukan leher Flora, matanya terpejam. "Give me just a moment, please."

"Kok tiba-tiba lo jadi manja gini, sih?" Flora terkekeh.

"Lo belum tau, ya? Pada dasarnya gue emang cowok manja."

Bibir Flora mencebik. "Gue nggak suka cowok manja."

"Oya? Tapi gue maunya manja-manja sama lo. Gimana, dong?"

Mendengar suara Dicko yang dibuat kekanak-kanakan, Flora segera membalikkan tubuh dan memutar bola matanya. "Ih, jijay gue dengarnya tau!"

Mendadak saja Dicko terbahak-bahak. Dia sungguh kegirangan saat melihat ekspresi Flora yang persis seperti dahulu kala, ketika mereka masih remaja dan saling benci. Dia merindukan masa-masa itu. Membuat Flora senewen dan mengamati reaksi yang gadis itu berikan, sungguh suatu hiburan yang mengasyikkan baginya.

"Gue yakin, kalo kita nikah nanti, lo pasti akan lebih sering marah-marah ke gue," ucap Dicko seraya mengusap hidung mancung Flora dengan telunjuknya.

"Kalo lo aneh-aneh, ya jelaslah." Flora memonyongkan bibir.

Dan Dicko segera mengecup bibir yang menggemaskan itu sekilas. Lalu dia menatap kekasihnya dengan mata yang berkilat-kilat penuh gairah. "Tapi gue nggak akan berhenti bikin lo marah-marah. Karna itu yang gue suka dari lo. Gue rasa, itu juga yang bikin gue nyaman dekat-dekat lo. Hidup gue pasti bakalan serasa naik rollercoaster setiap hari. Naik, turun lalu naik lagi, dan turun lagi dengan kecepatan yang memacu adrenalin. I love it. Lo adalah tantangan yang membuat hidup gue semakin bersemangat, Flo. Dan gue nggak sabar menanti hari-hari itu terjadi."

Flora memiringkan wajah dengan mata menyipit. "Oh, jadi ceritanya lo mau bikin gue cepat tua? Biar lo bisa cari daun muda?"

Bahu Dicko berguncang karena tawa. Setelah reda, dia menatap Flora lekat-lekat. Jemarinya menggenggam tangan gadis itu dengan lembut. "Gimana bisa gue cari daun muda, selagi cuma lo yang bisa bikin gue selalu ngerasa awet muda."

Giliran Flora yang tertawa sekarang. "Lo bisa ngegombal juga ternyata."

"Apa terdengar begitu?"

Flora mengangguk. Dia terus tertawa geli, namun saat tawanya berhenti perlahan-lahan, ekspresinya berubah serius. "Ko, soal usulan lo waktu itu ... gue rasa gue akan mencobanya."

Alis Dicko bertaut. "Usulan?"

Wajah Flora tertunduk. "Tentang pemanasan itu. Gue rasa lo benar. Kita harus cari tau sebesar apa trauma gue. Dan gue rasa ... gue siap melakukannya sekarang. Tapi lo harus janji, jangan sampai kebablasan."

Dicko menatap Flora seakan gadis itu mengatakan padanya bahwa jembatan George Washington terbelah dua. Tanpa sanggup dicegah, jantungnya mendadak memompa sedikit lebih cepat. Dan desiran halus merambat hingga ke wajahnya. Kemudian dia mulai merasa sedikit gelisah. Aneh sekali, mengingat dialah yang mengusulkan hal itu pada Flora beberapa hari yang lalu.

Kegelisahan Dicko bukannya tanpa alasan. Flora tak mengetahui bahwa usulannya waktu itu sebagian besar hanyalah modus. Dia memang ingin membantu Flora mengatasi trauma yang disebabkan oleh perbuatannya di masa lalu. Akan tetapi, dia tak benar-benar serius sewaktu mengatakan bahwa mereka perlu melakukan pemanasan sejak dini.

Perkataannya itu refleks terlontar semata-mata disebabkan hormon testosteronnya yang kelewat batas saat berduaan dengan kekasihnya setelah sekian bulan tak berjumpa. Dan hal itu sungguh membuatnya malu pada dirinya sendiri. Berhari-hari menghabiskan malam dengan berkhayal yang tidak-tidak. Otaknya ternyata menjadi sangat mesum saat berada di dekat Flora.

Berusaha menutupi kegelisahannya, Dicko berdeham. Dia berusaha berpikir keras untuk mengatasi kecanggungan yang tiba-tiba melingkupi mereka. Sampai kemudian sebuah gerakan pelan membuatnya tersentak. Dicko terbelalak lebar saat detik berikutnya, sesuatu yang hanya bisa dia bayangkan dalam pikirannya beberapa hari ini terjadi di hadapannya.

Otaknya seketika melambat. Dia menelan ludah berkali-kali dengan jakun yang naik-turun. Pikiran dan hatinya sontak berperang. Dia tak ingin menjadi lelaki berengsek dengan memanfaatkan keadaan, tetapi di sisi lain, dia hanya manusia biasa yang terkadang tak sanggup menolak gejolak nafsu yang datang tanpa diundang.

"Flo, don't do that ...!"

Nuraninya ternyata masih sanggup mengalahkan birahi yang mulai menggeliat resah di nadinya. Dia berusaha mengambil oksigen sebanyak mungkin, menetralisir otaknya yang sempat teracuni pikiran-pikiran cabul tak terkendali. Dan Dicko baru menyadari, perjuangannya saat ini membuktikan betapa susahnya menjadi laki-laki.

Sementara itu, Flora mengerjap kaget. Mendadak dia tersadar dan segera memasang kembali helai demi helai kain penutup tubuh yang beberapa detik lalu dia tanggalkan tanpa sisa. Wajahnya memerah, benaknya sibuk memaki diri. Lalu begitu setiap inci lekukan yang mampu memancing libido lelaki di hadapannya telah tertutup sempurna, dia segera berbalik memunggungi Dicko dengan tangan menutupi muka. Rasanya dia ingin berteriak dan menangis sekencang-kencangnya.

TBC

Hehehehehe...Apakah part ini terasa absurd?

Saat memikirkan kelanjutan part 1, aku kebetulan lagi baca-baca tentang isi otak cowok mengenai seksualitas. Dan entah benar atau enggak, di artikel itu menyebutkan, cowok yang nggak mampu menahan gejolak seksualnya cenderung akan mudah punya selingkuhan setelah menikah.

Dan aku ingin, nantinya Dicko nggak mudah tergoda tawaran selingkuh dari cewek lain saat Flora nggak bisa kasih hal itu ke doi. Maka aku tulislah bagian ini untuk part 2.

Semoga nggak ada yang kecewa mereka nggak jadi foreplay yaaaa...Bwahahahahah...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top