Part 17
"Izinkan kulukis senja
Mengukir namamu di sana
Mendengar kamu bercerita
menangis tertawa
Biar kulukis malam
Bawa kamu bintang-bintang
'Tuk temanimu yang terluka
Hingga kau bahagia."
(Melukis Senja by Budi Doremi)
💕 💕 💕
"Ketemu! Kak Fairel! Zac!" seru Anne lantang. Langkah-langkah berderap menjejak lantai, disusul tawa ceria yang membahana sepenjuru rumah. Telapak tangan Anne lantas menepuk dinding sebagai tanda kemenangannya.
"Ye, ye, ye, yeeeee!" Gadis kecil itu menari-menari gembira.
"Yaaaah...." Fairel dan Zac duduk terkulai di sofa.
Anne menertawakan mereka tanpa ampun, "Sembunyinya di bawah meja makan. Bareng-bareng lagi. Ya jelas aja gampang banget ketemunya. Hahaha!"
"Udah, ah. Aku nggak mau main lagi. Nggak asyik!" Zac merengut, membuat tawa Anne semakin deras untuk mengejek kembarannya.
Wajah Fairel ikut-ikutan menekuk. "Iya, nih. Mending kita main Lego aja yuk, Zac."
Giliran Anne yang memberengut. "Ih, kalian berdua yang nggak asyik!" Gadis kecil itu mengangkat wajah lalu melengos meninggalkan Fairel dan Zac yang terkikik-kikik.
Flora mengulum senyum. Sejak satu jam lalu menyaksikan tingkah anak-anak dari dapur, menyemarakkan suasana rumah yang biasanya sunyi sepi. Anne dan Zac menjadi pengunjung tetap rumahnya dan Dicko. Minimal dua kali sebulan mereka datang untuk bermain di akhir pekan.
Sementara Fairel hanya sesekali datang. Anak itu sudah memasuki usia pra remaja, jadi lebih sering menghabiskan waktu dengan teman-temannya. Kali ini dia datang karena ingin meminta bantuan Dicko membuat maket sederhana untuk tugas sekolahnya.
Maria dan Andreas sangat berterima kasih atas kesediaan mereka menerima Anne dan Zac. Terutama Maria karena dia bisa lebih fokus mengasuh anak ketiganya yang kini berusia enam bulan.
"Need help?" bisikan lembut tepat di telinga kanannya membuat Flora terkinjat. Dua tangan kekar merengkuh erat perutnya.
"Jangan ngadi-ngadi ya, Pak Dosen. Ada anak-anak." Flora melepaskan tubuhnya dari pelukan Dicko lalu detik berikutnya mendaratkan tepukan yang cukup keras di pantat kiri lelaki itu.
"Aduh!" Dicko meringis sambil mengusap-usap pantatnya yang berbalut celana katun pendek. "Galak amat. Anak-anak lagi main di lantai atas, kok."
Flora memeletkan lidah pada suaminya, "Mending kamu bantuin aku finishing setup roti ini, deh."
Dicko mengekeh. Niatnya memang ingin membantu sang istri mempersiapkan camilan sore. Akan tetapi, melihat Flora yang asyik berkutat dengan masakannya justru membuatnya terlihat seksi dan Dicko tak tahan untuk tak menggoda.
"Anne dan Zac nggak jadi nginap malam ini. Andreas lagi di jalan mau jemput mereka," ucap Dicko seraya menuangkan vla keju dengan bersemangat ke atas tumpukan dua lembar roti tawar di dalam wadah persegi.
Nada suaranya terdengar ceria. Dia bahkan bersiul-siul dengan nyaring.
Kening Flora berkerut. "Tumben nggak ngeluh? Biasanya kamu paling happy kalo mereka nginap."
Bibir Dicko mendadak berkedut, membuat raut wajah tampan bermata sipit itu terlihat kekanak-kanakan. "Happy sih, happy. Tapi bulan ini mereka udah ke sini empat kali. Kita jadi nggak punya kesempatan berduaan aja pas weekend sebulan penuh."
Tawa geli Flora menghambur seketika. Selama berumah tangga, belum pernah keluar keluhan semacam itu dari bibir Dicko.
Namun, Flora bisa memahami. Saat hari kerja, waktu yang mereka habiskan berdua saja memang tak cukup banyak. Pagi-pagi sudah berangkat menuju aktivitas masing-masing dan baru bisa bertemu malam hari, saat lelah dan kantuk menguasai.
Jadi jika seluruh akhir pekan yang mereka miliki dibajak oleh Anne, Zac, ataupun Fairel, tentu saja mereka tak bisa berduaan dengan leluasa. Dulu, Flora-lah yang akan protes dengan keadaan ini. Sekarang malah sebaliknya. Flora justru senang-senang saja dan menganggap hal itu sebagai persiapan menjadi orang tua seperti yang disarankan Vivian.
"Nikmatin aja, hitung-hitung latihan jadi ortu. Kalau nanti kita punya anak malah bakalan makin susah buat berduaan," Flora mengucapkannya dengan nada yang dibuat sesantai mungkin.
"Kita tunda aja kalau gitu," balasan yang tak kalah santai itu membuat Flora menatap suaminya tak percaya.
"Kamu serius?" Flora tahu Dicko lebih mendambakan kehadiran anak di tengah-tengah pernikahan mereka dibandingkan dirinya. Bukan berarti dia tak ingin.
Setelah pembicaraannya dengan Vivian, Flora mencoba merenungkan apa tujuan sesungguhnya dari memiliki anak. Dan setelah memahaminya, dia mengerti mengapa Tuhan belum memercayakan amanat besar itu.
Oleh sebab itulah Flora berusaha untuk lebih mempersiapkan diri, lahir batin. Salah satu cara yang menurutnya ampuh adalah dengan mengajak Anne dan Zac bermain di rumahnya sesering mungkin. Tak disangka, Dicko justru tampak kurang menikmati hal itu.
Senyum tipis membayang di wajah Dicko yang tampak begitu serius. Flora tak bisa menafsirkan apakah keseriusan itu ditujukan untuk menjawab pertanyaannya tadi atau karena lelaki itu terlalu fokus menaburkan bubuk Oreo dan keju parut di atas setup rotinya.
"Ko?"
"Hmm?"
"Kamu nggak lagi becanda, 'kan?"
Dicko mengalihkan perhatian dari setup roti. Begitu menangkap ekspresi bingung di wajah Flora, segera diulasnya senyum selebar mungkin. Lalu direngkuhnya sekali lagi tubuh wanita yang sangat dicintainya itu erat-erat, yang syukurnya tak berusaha melepaskan diri kali ini.
"Aku nggak becanda. Setelah aku pikir-pikir, aku masih pengin berduaan aja sama kamu. Masih pengin meluk kamu kayak gini sepuas hati, sepanjang malam sepanjang hari." Dicko merangkum wajah istrinya dan menatap sepasang mata bulat itu lekat-lekat. "Sebelum kehalang perut kamu yang membuncit." Dicko terbahak-bahak setelah mengatakan itu.
Flora mendelik, berusaha melepaskan diri dari pelukan Dicko. "Alasannya bermutu banget, ya, Pak Dosen."
"Lho? Tapi masuk akal, 'kan?"
"Iya, deh, iya." Flora berusaha memutar tubuh membelakangi Dicko, tapi lelaki itu menahannya.
Dicko kembali mengunci tatapan Flora. Kali ini dia membuat ekspresi serius.
"Aku tahu apa yang kamu pikirin belakangan ini, Flo," bisiknya. Beberapa kali melihat test pack bekas bergaris satu di tong sampah sudah cukup memberitahukan padanya keresahan apa yang sedang bercokol di benak sang istri.
Dilihatnya Flora terkejut lalu dia menambahkan, "Dan aku cukup kesal setelah sadar kamu nyiksa diri sendiri lagi karena aku."
"Enggak gitu, Ko. Aku—"
Dicko mendaratkan telunjuknya di bibir merah muda itu untuk menghentikan ucapan Flora. "I know. Kamu pasti juga pengin jadi ibu. Tapi aku nggak mau kamu jadi terlalu maksain diri hanya supaya aku bahagia."
Flora menundukkan wajah. "Awalnya aku emang ngebet banget pengin punya anak buat nyenengin kamu...."
"Tuh, kan." Telunjuk Dicko kembali mendarat di bibir Flora, tapi kali ini melibatkan vla keju yang telah dicoleknya dari mangkuk setup roti.
"Usil banget, deh!" repet Flora.
Lidahnya sudah terjulur untuk menyapu vla keju saat Dicko tiba-tiba berkata tegas, "Hold on."
Gerakan lidahnya spontan terhenti di sudut bibir. Flora tersentak saat Dicko menunduk dan lidah lelaki itu mengambil alih, mencecap perpaduan cairan kental vla dengan bibirnya.
Flora memejam. Tindakan manis yang selalu tiba-tiba dari suaminya masih saja membuat jantungnya berdentam-dentam, seperti saat baru pertama kali.
Sapuan lidah lelaki itu kini menjelajah di dalam mulutnya, begitu membuai hingga sulit untuk ditampik. Dan Flora merasa mulai tenggelam begitu Dicko memperdalam ciuman mereka. Namun tak sampai membutakannya akan sekitar.
Flora masih bisa mendengar suara Anne. Tidak dekat, tapi cukup membuatnya waspada lalu melepaskan diri.
Dicko terkikik, "Bener juga kata Andreas, ternyata masih bisa making out walaupun ada anak-anak di rumah."
Mata bulat Flora memutar. "Dasar cowok. Mikirnya yang iya-iya mulu."
"Jelas, dong. Dari yang iya-iya itulah para bayi lahir, Sayang."
Flora susah payah menahan tawa. Dia lantas menunduk.
"Dan seperti seks, anak bukan cuma soal kebahagiaan satu pihak." Dicko mengangkat dagu Flora dengan telunjuknya hingga mata bening itu kembali menatapnya. Ibu jarinya mengusap bibir Flora yang basah. "Aku malah nggak akan bahagia kalau kamu terlalu maksain diri."
"Tapi kita juga harus berusaha, Ko."
"Of course. Kita udah berusaha sejauh ini, 'kan? Ranjang kita selalu bergoyang." Mata Dicko berkilat-kilat mesum.
Tawa Flora tak bisa lagi dibendung. Dia tergelak cukup keras sampai-sampai matanya berair. Namun, air dari matanya justru turun semakin deras dan tawanya berubah menjadi isakan pelan.
Dicko, yang sudah mengantisipasi hal itu hanya membiarkan tangis istrinya mereda dengan sendirinya. Dia tak ingin Flora menahan diri, karena memang lebih baik baginya meluapkan segala emosi.
"Sorry...." Tangan Flora mengusap matanya yang basah lalu kembali tertawa. Merasa bodoh sekaligus lega.
Dicko membawa tubuh Flora ke dalam pelukannya sekali lagi. Diusap-usapnya punggung wanita itu, memberikan ketenangan.
"Kalau kita tetap nggak berhasil gimana?" lirih Flora.
"Belum saatnya kita cemaskan itu, Sayang. Kita nikmati dulu keadaan sekarang. Ada masanya nanti usaha kita lipatgandakan. Tapi kamu jangan pernah lupa, serahkan hasilnya pada Tuhan. Dan kalaupun Dia masih bilang belum saatnya, jangan pernah salahkan siapa-siapa. Yakinlah Tuhan tetap sayang kita. Kamu setuju, 'kan?"
Senyum haru terbit di wajah Flora. Kepalanya perlahan mengangguk. Dadanya menghangat, merasa begitu beruntung memiliki Dicko yang berhati lapang. Dia tak bisa membayangkan jika Dicko adalah tipe suami penuntut yang akan meninggalkannya begitu saja jika tak mampu memberikan keturunan.
"Om Koko sama Tante Flo ngapain? Om kok peluk Tante? Tante Flo kok nangis?"
Kedua orang dewasa yang sedang berpelukan di dapur itu buru-buru memisahkan diri. Dicko berdeham berkali-kali. Diliriknya wajah Flora yang semerah ceri.
"Tante cuma kelilipan, kok," dusta Flora, cepat-cepat melangkah ke arah Anne lalu menggenggam jemari kecilnya. "Ke ruang tengah yuk, Anne. Kita makan camilan. Setup roti Oreo kesukaan kamuuu."
Anne bersorak ceria. Flora lantas menoleh ke belakang, pada Dicko yang memberinya senyuman dan kedipan sambil mengangkat nampan berisi camilan.
💕💕💕
"Bravo, Chef!"
Lima staf dapur Chez Elles menyambut Flora begitu dia keluar dari studio lokasi syuting Chef Battle, program lomba memasak yang diadakan salah satu stasiun televisi swasta.
Flora resmi mendapat gelar Celebrity Chef setelah seorang produser kenalan Jonathan memintanya menjadi host sebuah program memasak. Dan kini namanya semakin dikenal publik setelah menjadi salah satu juri di program lomba memasak yang baru saja tayang perdana secara langsung.
"Anak-anak shift malam titip salam buat Chef. Mereka pada merengek minta ikutan ke sini. Biar bisa masuk tivi juga."
Flora tersenyum mendengar ucapan Reta yang rupanya menjadi penggagas kedatangan mendadak para staf dapurnya. Mereka duduk di barisan penonton yang turut meramaikan acara. Raut bangga tercetak jelas di wajah mereka karena menjadi staf di dapur yang Flora pimpin.
"Chef, itu tadi pesertanya emang beneran bisa masak gak, sih? Emang seenak itu ya masakan mereka? Atau cuma setting-an?" Ari, salah satu cook helper-nya tampak begitu penasaran.
"Beneran dong, Ri. Saya nggak bakalan mau jadi juri kalau cuma setting-an. Dan bisa-bisa saya sakit perut kalau masakan mereka asal-asalan, kan saya yang nyicipin," jelas Flora.
"Lo kudet amat, Ri," timpal Tian, cook helper lainnya. "Jelas-jelas pesertanya harus siswa dari sekolah kuliner atau jurusan boga. Hadiah utamanya beasiswa kuliah di CIA, almamaternya Chef Flo."
"Ih, keren bangeeeet! Tau gitu saya ikutan. Chef jahat banget sih, nggak ngasih-ngasih informasi," Ari merajuk.
"Lo mah kepentok umur, Ariii!" sorak teman-temannya bersamaan.
"Batas umurnya kan dua puluh tahun. Situ ketuaan!" sambung Tian, disusul gelak heboh dari teman-temannya, termasuk Ari.
Polah tingkah para stafnya selalu membuat Flora geleng-geleng kepala. Tak jarang dirinya juga menjadi objek keusilan mereka. Itu hanya terjadi jika melibatkan Dicko.
Namun, keriuhan yang mereka timbulkan di luar dapur tak membuatnya terganggu. Justru menjadi semacam pengalihan di saat jenuh karena pekerjaan. Atau saat pikiran buruk tentang kehamilan yang tak kunjung datang kembali mengganggunya. Dan sejauh ini candaan mereka tak pernah melewati batas.
"Ada Pak Dicko tuh, Chef!" Yuka, staf dapur termuda tiba-tiba menyeletuk.
Flora menemukan Dicko berdiri sambil menyandar di dekat pintu keluar. Tangannya menyilang di dada. Lelaki itu tersenyum lalu menyapa staf dapur satu per satu.
Begitu tatapannya bertemu manik cokelat milik Flora, dia mengedipkan mata kirinya lalu berucap dengan santai, "Hai, Sayang." Kehebohan pun kembali pecah.
"Ya ampun, Pak Dicko sweet parah!" Nuri sang barker* terpesona.
"Chef Flo hampir tiap hari dijemput suami. Kan kita jadi kekiii!" sahut Ari dengan ekspresi yang membuat teman-temannya kembali menyorakinya.
"Nyebut, Ri, nyebut! Ingat calon bini!"
"Udah, udah, Gaes! Udah malem, nih," Reta yang paling tak banyak omong di antara yang lain berusaha mengatasi keriuhan. Dia tampak malu. Walau begitu, berjuang cukup keras menahan senyum.
"Kalau gitu kita duluan ya, Chef, Pak Dicko." Reta mengangguk pada Flora dan Dicko lalu cepat-cepat memberi komando pada teman-temannya agar meninggalkan suami istri itu. Mereka melambai-lambai heboh pada keduanya hingga keluar melewati pintu.
Setelah punggung kelima staf tak lagi tampak, Flora berkata pada suaminya, "Suka banget sih, show off di depan staf aku."
Senyum usil menghiasi wajah Dicko. Begitu Flora tiba di dekatnya, segera diraihnya jemari wanita itu kemudian mengecup kilat punggung tangannya.
"Bikin orang lain bahagia itu berpahala."
Flora mendengkus. "Kamu baru nyampe?"
"Enggak. Udah setengah jam, lah."
"Kok nggak masuk aja ke studio?"
"Kalo aku masuk yang ada kamu jadi grogi aku liatin." Jawaban yang membuat mata Flora memutar ke atas.
Dicko terkekeh lalu melanjutkan, "Aku belum makan malam, nih. Cari makan di luar aja, ya. Udah laper banget."
"Sama, laper banget." Flora mengusap-usap perutnya.
"Bukannya kamu tadi udah nyicipin makanan peserta?"
"Nyicip doang, nggak makan semuanya." Flora bergidik. "Dan tadi temanya western food. Enak-enak, sih. Tapi nggak tau kenapa aku enek."
"Oh, kamu mau makan apa?"
"Pengin yang ada aroma rempah-rempah gitu, deh. Sejak tadi aku ngebayangin makan nasi goreng kambing Kebon Sirih. Kita ke cabang yang di Blok M aja yuk, lebih deket."
Dicko mengernyit. "Tumben banget?"
"Gara-gara Jo, tuh. Kemarin dia cerita makan nasgor kambing Kebon Sirih bareng Reta. Kalo kamu dengerin ceritanya juga bakalan ngiler."
Dicko tahu itu. Siapa pun yang mendengarkan cerita Jonathan soal makanan akan merasa lapar dan teriming-imingi oleh kelezatan yang dijanjikan dari ekspresinya yang meyakinkan.
Jadi ketika dia melihat Flora menyantap nasi goreng kambingnya dengan lahap lima belas menit kemudian, lelaki itu tersenyum lebar. Dan saat istrinya minta tambah seporsi lagi, dia semakin dibuat takjub akan kemampuan persuasif Jonathan. Karena seingatnya, Flora bukan penggemar berat daging kambing.
💕💕💕
"Nasi goreng kambing lagi?"
Dicko tak habis pikir. Tiga malam berturut-turut sejak malam itu Flora memaksanya membelikan nasi goreng kambing Kebon Sirih. Rasanya memang enak, tapi tak biasanya Flora menjadikan satu makanan sebagai menu utama lebih dari dua hari berturut-turut.
"Tolong beliin ya, Sayang. Pliiiis...," Flora memelas di seberang telepon.
"Kalo segitu doyannya, mending kamu bikin sendiri. Rasanya pasti jauh lebih enak. Dan aku lagi males nyetir jauh-jauh ke Kebon Sirih."
"Kalo bikin sendiri rasanya nggak akan sama dengan yang di sana."
"Nggak sama gimana? Sama-sama nasgor kambing, kok."
"Aku pengin rasa yang autentik, Kooo!"
"Lama-lama kamu jadi kayak si Jo, pake autentik-autentik segala."
"Biarin. Beliin pokoknya, atau nggak aku bukain pintu. Bye!"
Dicko terkekeh. Mau tak mau dia harus membeli nasi goreng kambing yang diidam-idamkan istrinya. Bukan karena takut tak dibukakan pintu, melainkan rasa sayangnya yang terlampau besar pada wanita itu.
Terlebih lagi, Flora tak pernah bersikap manja seperti sekarang. Dia terlalu mandiri dan tak ingin merepotkan suaminya. Karena itulah Dicko memutuskan memanfaatkan momen langka ini sebaik-baiknya.
Rasa lelah karena menyetir cukup jauh terbayarkan ketika Flora menyantap nasi goreng kambingnya dengan sikap seakan-akan telah berpuasa berhari-hari. Dicko memperhatikannya makan sambil tersenyum.
"Gimana? Udah puas, 'kan, dapetin rasa autentiknya?"
Flora mengangkat wajah dari piringnya yang kosong lalu menyengir, tampak luar biasa bahagia. Satu lagi obat lelah yang takkan bisa didapat Dicko di mana pun.
"Sekarang giliran aku."
Alis Flora berkerut. Dicko mendatanginya dengan tatapan lapar.
"Oh, kamu belum makan? Tapi bukannya tadi kamu bilang udah kenyang?"
"I'm starving to death, Flo."
"Waduh, maaf ya, Sayang. Nasgornya aku habisin." Flora menggigit bibir, merasa bersalah.
Tapi Dicko justru menggeleng. Dia berdiri di hadapan Flora lalu membungkuk, wajah mereka kini sejajar.
"I hunger for your authentic taste...."
Suara berat Dicko tepat di bibirnya menimbulkan sensasi menggelitik yang membuat Flora mengikik. Dibiarkannya Dicko mengangkat tubuhnya lalu membawanya ke sofa. "Tapi aku bau daging kambing, Ko."
"You smell good."
"Bad liar." Tapi Flora menyukainya.
Juga sentuhan-sentuhan Dicko terhadap tubuhnya. Ada yang berbeda akhir-akhir ini. Dia merasakan hasratnya begitu menggebu-gebu. Rasa lapar yang sulit dijelaskan, padahal mereka cukup rutin melakukan.
"Kayaknya efek makan nasgor kambing bagus banget buat kamu, Sayang...," bisik Dicko yang juga merasakan perbedaan itu. Dia tersenyum lalu wajahnya mendekat ke dada Flora.
"Ouch!" Flora tersentak akibat nyeri di payudaranya yang tiba-tiba. Didorongnya dada Dicko agar menjauh.
"Kenapa?" Wajah Dicko berubah cemas.
Flora yang bingung menggeleng. Dadanya tegang, terasa penuh, dan sakit jika disentuh. Ini pertama kali terjadi.
"Wah, berarti ini nih, efek sampingnya kebanyakan makan nasgor kambing," canda Dicko. "Tekanan darah di dada kamu meningkat, makanya jadi sensitif banget.
Flora mengerutkan hidung. "Ngawur. Diprotes dokter beneran lho nanti, Pak Dosen."
Dicko tergelak. Dia lantas berguling hingga menelentang dan membiarkan Flora duduk di atasnya, membiarkan istrinya memegang kendali hingga permainan mereka tuntas dan mereka tertidur dalam rasa puas.
💕💕💕
Senin jadi hari yang luar biasa sibuk di dapur Chez Elles. Pesanan tak henti-henti dibacakan Nuri sang barker.
"Soupe a L’oignon! Confit de Canard! Bouillabaisse!"
Flora memejam lalu meregangkan tubuhnya yang luar biasa lelah. Sebenarnya sudah terasa sejak pagi, tapi sore ini badannya semakin sulit diajak kompromi.
"Virga, tolong gantikan saya, ya," ujarnya pada sang Sous Chef.
Flora segera menuju ruangannya. Begitu punggungnya menjejak sofa, desah lega keluar dari bibirnya. Tak sampai semenit kemudian, dia langsung tertidur. Dia baru terbangun saat suara Reta terdengar memanggil-manggil namanya dengan suara cukup keras.
"Chef! Chef nggak pulang?"
Mata Flora masih setengah terpejam saat dia berusaha duduk. "Jam berapa, Ta?"
"Sepuluh, Chef."
"Astaga!" Flora terbelalak lalu meraih ponsel.
"Atau Chef mau makan dulu? Jam tujuh tadi saya bangunin Chef buat makan malam, tapi Chef nggak bangun-bangun."
Setelah Reta mengatakan itu, Flora baru menyadari bahwa perutnya sedang berdemo minta diisi. Matanya menangkap mangkuk putih bertudung kecil di atas meja kerja.
"Saya udah siapkan makan malam buat Chef."
"Wah, makasih banyak, ya. Maaf jadi ngerepotin. Nggak tahu kenapa saya kecapekan banget sejak pagi." Flora berjalan ke wastafel lalu membasuh wajahnya. Setelah itu dia bergegas ke meja kerja dan membuka tudung saji.
Pot-au-feu, sup daging sapi ala Prancis terhidang menggugah selera. Lebih karena kebiasaan, Flora mendekatkan wajah ke arah mangkuk sup yang mengepulkan asap tipis untuk menghirup aromanya dalam-dalam. Sejurus kemudian, rasa mual menyergapnya.
Terbirit-birit, Flora berlari ke kamar mandi lalu memuntahkan isi perutnya yang tak seberapa ke dalam kloset. Hingga muntahannya berupa cairan kuning pahit, rasa mualnya belum juga hilang, justru semakin bertambah-tambah.
"Chef...."
Suara cemas Reta dari ambang pintu membuat Flora merasa tak enak hati. Tapi dia tak sanggup menenangkannya karena terlalu sibuk muntah.
"Chef, Chef hamil ya?"
Ajaibnya, Flora menoleh cepat ke pintu begitu mendengar pertanyaan perempuan itu. Hanya saja, dia tak bisa menjawabnya.
💕💕💕
*Barker: Orang yang menerima pesanan makanan dari pramusaji (waiter) kemudian meneriakkan ke department yang bersangkutan dengan makanan yang dipesan.
Huaaaaa.... Akhirnya setelah jutaan purnama, Turn Up update jugaaaa 😅😅.
Kangeeeen. Xixixi.... Tapi entah apakah ada yang masih kangen sama cerita ini. Atau pada ngambek kali ya karena aku kelamaan nulis. Wkwkwk.
Maafkeun, yaaaa. Part ini mengalami proses tulis hapus tulis hapus berkali-kali karena aku nggak sreg sama hasilnya. Soalnya nulisnya nggak enjoy karena terdistraksi sama kerjaan dan hal-hal lain. Jadinya nggak maksimal. 😞🙏
Akhirnya selesai juga, tapi aku nggak tahu apakah kalian suka. Doain moga2 next part bisa cepet update.
Love you all! 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top