Part 12

Mulmed:

If You Leave Me Now
(Charlie Puth feat. Boyz II Men)

💕💕💕

Kelegaan menyelimuti perasaan Flora beberapa hari belakangan, sejak mengikuti konseling di klinik psikolog milik kenalan dari sahabatnya, Cheryl. Dia telah empat kali datang ke sana dalam dua minggu.

Semuanya berjalan cukup baik sejauh ini. Setidaknya, saat dia datang pertama kali, dia berhasil melawan keraguan untuk meluahkan permasalahan yang melanda diri dan rumah tangganya pada orang asing.

Padahal, ketika dia keluar masuk ruang BK dan klinik psikolog saat remaja, gadis itu sama sekali tak pernah berharap akan mengunjungi tempat seperti itu lagi di masa depan. Itulah mengapa dia begitu enggan saat Dicko mengusulkannya pertama kali, selain karena dia tak ingin lelaki itu menganggap masalah mereka terlalu pelik—meski sebenarnya memang pelik dan dibuat runyam tanpa mereka sadari.

Dan menceritakan masalah pribadi pada orang asing sungguh membuatnya tak nyaman. Akan tetapi, Eliana, psikolog sekaligus konselornya, sangat mampu membuat Flora merasa rileks hingga leluasa mengungkapkan keresahannya.

Kini dia menjalani sesi terapi well being yang disarankan oleh Eliana, memberikan sugesti agar pikiran-pikiran buruk dan traumanya bisa teratasi. Meski belum sepenuhnya berhasil, tetapi dia tak lagi merasakan kehampaan dan kesedihan seperti beberapa waktu lalu. Dia bahkan sudah mulai kembali bekerja.

"Chef, ada yang pengin ketemu."

"Siapa, Reta?" tanya Flora tanpa mengalihkan tatapannya dari chopper board. Tangannya masih sibuk mencincang udang untuk isian dimsum, pesanan pelanggan yang memintanya membuatkan makanan itu dengan tangannya sendiri.

"Anak kecil, Chef."

Kali ini kepala Flora terangkat dengan alis tertaut. "Anak kecil? Siapa? Anak pelanggan yang ketinggalan atau gimana?"

"Bukan, Chef. Katanya dia emang pengin ketemu sama Chef. Namanya Anne."

"Anne?" Flora terkejut, bertanya-tanya dalam hati kenapa anak itu mencarinya. "Bisa tolong bawa dia ke sini, Reta?"

Reta mengiyakan lalu segera keluar dari dapur yang aktivitas di dalamnya sudah cukup santai sore ini. Flora segera mencampurkan bahan-bahan dan bumbu isian kemudian meminta salah satu cook helper membawakan kulit dimsum dari lemari pendingin.

Tak berapa lama, pintu dapur terbuka. Reta masuk bersama gadis cilik yang masih mengenakan seragam sekolah. Gadis itu mengedarkan pandangan ke sekeliling, terpesona pada apa yang dilihatnya. Dapur besar dengan segudang peralatan memasak dan bau lezat masakan yang membuat perut kecilnya keroncongan.

"Anne?" sapa Flora. Dia mendekati gadis itu setelah mencuci tangannya yang berbau udang.

Anne menatapnya tanpa bicara. Sorot mata anak itu terlihat suram.

"Fahmi, tolong kamu masukin isiannya ke kulit, ya," ujar Flora pada pemuda yang berdiri tak jauh darinya. "Nanti kukus setengah jam. Lima menit sebelum matang, minta kurir ke sini segera supaya dia bisa langsung antar."

"Siap, Chef."

Flora lantas membawa Anne menjauhi area hot kitchen setelah mengucapkan terima kasih pada Reta. Anak itu menurut tanpa berkata apa-apa.

"Kamu mau kue?"

Anne mengangguk cepat.

Flora membuka pintu ruang pastry. Dia menyapa orang-orang di sana, membawa Anne ke arah meja yang di atasnya terdapat bernampan-nampan penganan manis lalu meminta anak itu memilih.

"Mau yang ada keju sama cokelatnya, Tante."

Flora mengambilkan beberapa potong kue yang diinginkan Anne, memasukkannya ke kantong kertas kemudian membawa anak itu keluar dari sana menuju ruang pribadinya. Mereka tak bicara sepatah pun dalam perjalanan, bahkan hingga mereka masuk ke ruangan, Flora membiarkan Anne memakan kuenya tanpa interupsi.

Diamatinya wajah anak itu lekat-lekat. Dengan muka berbentuk hati, mata yang bulat besar nan indah, hidung mancung, bulu mata yang panjang dan lentik, serta bibir merah mungil, gadis itu tampak begitu manis dan menggemaskan.

Pantas aja Dicko betah deket sama Anne, mirip Maria sih, celetuk Flora dalam hati. Namun sejurus kemudian dia mengumpati dirinya sendiri.

Berpikir positif, Flo. Jangan mikir macem-macem!

"Tante mau?"

Pertanyaan Anne membuat Flora tersentak. Wajahnya memerah, merasa malu padahal anak itu sama sekali tak tahu apa yang ada di benaknya beberapa saat yang lalu.

Flora menggeleng. Dia mengulurkan sebotol air mineral setelah membuka segelnya pada Anne. Anak itu menyambutnya, mengucapkan terima kasih lalu minum dengan tenang.

"Kamu ke sini sama siapa, Anne?" tanya Flora lembut seraya mendekati gadis cilik itu.

"Sendirian, sama Eyang Rahman." Anne menjawab tanpa ragu.

Flora tersenyum. Itu artinya kamu ke sini nggak sendirian, Anak manis.

"Ayah sama Bunda tau nggak, kalo kamu ke sini?"

Mendengar pertanyaan itu, Anne kembali tampak muram. Dia lantas menggeleng lalu meletakkan botol air mineral ke atas meja.

"Tante.... Aku boleh ikut ke rumah Tante, nggak?"

Pertanyaan itu sungguh tak diduga oleh Flora. Namun, tak berapa lama dia pun mengerti. Anne pasti mengira bahwa Dicko ada di rumah mereka saat ini. Padahal suaminya masih berada di Bandung dan mereka sama sekali belum melakukan komunikasi apa pun, kecuali satu pesan singkat dari Dicko dua minggu yang lalu, mengabarkan dirinya yang telah tiba di Kota Kembang dengan selamat.

"Boleh. Tapi kamu harus minta izin dulu sama Ayah dan Bunda. Nanti mereka cemas, lho."

Anne menggeleng cepat-cepat. Bibir mungilnya terkatup rapat.

"Kenapa?"

Anak itu tak menjawab. Tatapannya tertuju ke lantai.

"Anne? Ada apa?" Flora meletakkan satu tangannya ke bahu anak itu. Tindakan yang baru pertama kali berani dia lakukan, mengingat selama perkenalan mereka, Anne selalu menjaga jarak darinya. Dan karena itulah, Flora merasa kebersamaan mereka sekarang agak janggal. Namun, bukan berarti dia merasa kikuk.

Tak dinyana, beberapa detik kemudian Anne terisak-isak tanpa Flora tahu apa sebabnya. Tindakan gadis kecil itu berikutnya membuat Flora semakin terkaget-kaget. Anne memeluk pinggangnya erat-erat.

"Aku nggak mau minta izin! Pokoknya aku mau ikut ke rumah Tante!"

*

*

*

"Sorry, ya, Flo. Anne jadi ngerepotin lo."

Suara Andreas di seberang sana terdengar seperti tak enak hati di telinga Flora. Lelaki itu baru saja meneleponnya setelah diberi kabar oleh Pak Rahman, supir yang mengantarkan Anne ke Chez Elles.

"Nggak apa-apa. Gue juga minta maaf karna nggak langsung hubungi lo."

"Nggak masalah. Dia lagi ngapain?"

"Udah tidur. Sejak di perjalanan pulang sampai gue gendong masuk rumah, tidurnya pulas banget. Biar aja dia nginap di sini malam ini. Besok kebetulan gue libur."

Besok adalah jadwal konselingnya. Jonathan memberinya dua kali jatah libur setiap minggu hanya agar dia bisa mengikuti konseling tanpa dibebani urusan di dapur Chez Elles.

"Oke, kalo gitu, besok pagi-pagi gue ke sana bareng Maria. Sekali lagi, gue dan Maria minta maaf udah ngerepotin lo."

Flora berusaha meyakinkan lelaki itu bahwa dia tak merasa direpotkan. Justru dalam hatinya muncul perasaan senang karena itu artinya dia tak lagi sendirian di rumah ini seperti malam-malam sebelumnya.

Setelah sambungan telepon diputus, Flora naik ke lantai atas, menuju kamar Dicko. Anne berada di sana sekarang.

Selama dua minggu sejak kepergian Dicko ke Bandung, Flora menempati kamar suaminya setiap malam. Bukti betapa rindunya dia terhadap lelaki itu. Namun, dia masih belum berani menghubungi lantaran gengsi. Bahkan, pesan singkat Dicko waktu itu belum dia balas hingga detik ini.

Setibanya di sana, Flora berbaring di sisi Anne. Dengkur halus sayup-sayup terdengar. Tidurnya pulas sekali. Sisa-sisa tangisnya tadi masih terlihat jelas di wajah kecilnya.

Andreas telah menjelaskan penyebab sikap aneh putrinya tersebut. Anne dilanda cemburu luar biasa saat mengetahui akan punya adik. Dia juga berkali-kali diledek para sepupu yang mengatakan bahwa jika dia punya adik maka perhatian ayah dan bundanya akan beralih kepada adik barunya, membuat gadis itu memutuskan mengadu pada Dicko. Namun, berhubung lelaki itu tak berada di Jakarta saat ini, Anne mendatangi Flora di Chez Elles, berharap perempuan itu bisa membawanya menemui Om Koko-nya.

Flora teringat akan dirinya saat berusia hampir sebaya dengan gadis itu. Dia juga pernah merasa takkan diperhatikan lagi ketika mengetahui sang mama tengah mengandung. Namun, begitu mamanya keguguran, Flora menyesal telah merasa begitu. Dia bahkan sampai meminta maaf pada Tuhan dan memohon agar adiknya dikembalikan. Hanya saja doanya tak pernah terkabul, hingga Farrel masuk ke dalam hidupnya....

"Bunda...."

Suara igauan di sampingnya membuat Flora menoleh. Dia tertegun saat melihat kerut-kerut yang menghiasi kening gadis kecil itu, seolah dia tengah berpikir keras. Mulut mungilnya kembali membisikkan nama sang bunda.

Mendadak saja Flora tergerak untuk memeluknya.

"It's ok, little girl. Everybody loves you...," bisik Flora lembut seraya mengecup kening Anne.

Dia lantas menaikkan selimut hingga menutupi dada anak itu dengan baik. Lalu perlahan-lahan dia ikut jatuh tertidur sambil terus memeluk gadis kecil yang tanpa dia rencanakan, memberi pengaruh besar dalam kehidupan rumah tangganya di kemudian hari.

*

*

*

"Om Koko nggak pulang, ya, Tante?"

Anne menghampiri Flora yang tengah menuang air putih ke dalam gelas di meja makan. Gadis kecil itu baru saja bangun. Ada dua buah garis bantal yang terceplak di wajahnya.

Flora tersenyum kecil. "Enggak. Om Koko pulangnya masih lama. Soalnya Om Koko lagi kerja di Bandung."

Anne tampak sedikit kecewa.

"Anne mau sarapan sereal plus buah atau—?"

Matanya kemudian berbinar begitu mendengar nama makanan. "Aku mau bubur ayam, Tante!"

Flora menelan ludah. Dia benci bubur ayam. Dan dia tak punya stok beras lagi karena selama beberapa minggu tak pernah makan di rumah. Jadi dia putuskan untuk membelinya di luar saja.

"Oke, kalo gitu Anne cuci mukanya dulu, ya. Kita keluar beli bubur ayam. Bisa cuci muka sendiri, kan?"

"Bisa, Tante."

"Di kamar mandi yang itu aja." Flora menunjuk kamar mandi di dekat ruang makan.

Anne menurut dengan patuh. Tak berapa lama, dia kembali ke ruang makan. Mata bulatnya menatap Flora yang berdiri di sampingnya.

"Aku boleh minum air putihnya, Tante?" tanya gadis itu dengan nada yang begitu sopan.

"Boleh. Kamu mau minum yang lain juga, nggak? Tante punya sari jeruk sama susu, nih."

"Aku mau sari jeruk!" jawab Anne penuh semangat setelah menyeruput air putihnya.

"Ok, here it is." Flora menyerahkan satu gelas penuh sari jeruk pada Anne. "Habisin, ya. Tante ambil dompet dulu. Kamu tunggu di sini, oke?"

Anne mengangguk seraya meminum sari jeruknya. Dia lantas menunggu dengan sabar di meja makan.

Belum sampai ke kamarnya, langkah Flora terhenti disebabkan bunyi bel yang tiba-tiba terdengar. Flora menduga itu pastilah salah satu asisten rumah tangga dari rumah orang tuanya yang datang atas perintah Cecilia untuk bersih-bersih, mencuci, dan menyetrika setiap dua hari sekali. Namun, begitu dia membuka pintu, bukan hanya sang asisten yang berdiri di sana, melainkan juga Andreas dan Maria. Dia baru ingat mereka akan datang pagi ini.

Dia segera mempersilakan ketiga orang itu masuk. Sang asisten segera bekerja, sementara Andreas dan Maria dibawanya menuju ruang tamu.

"Anne udah bangun, Flo?"

Flora menoleh agak enggan pada Maria yang melontarkan pertanyaan itu. Dia mengangguk singkat.

"Dia nggak rewel kan, semalam?" tanya Maria lagi. Wajahnya sedikit pucat dan matanya sembab. Flora menduga perempuan ini menangis sepanjang malam.

"Enggak. Cuma nangis sebentar sebelum tertidur."

"Kami benar-benar nggak enak sama lo, Flo. Makasih banyak udah mau jagain dia," sahut Andreas.

Flora mengangguk. "No problem. Santai aja lagi."

"Di mana dia?" tanya Maria tak sabar.

Flora lalu membawa keduanya menuju ruang makan. Anne terkejut begitu melihat orang tuanya. Namun, dia tak menangis atau lari begitu keduanya mendekat. Gadis itu hanya duduk dengan wajah tertekuk.

"Anne, Sayang. Sweety Smart Cookie...," panggil Andreas lembut saat telah tiba di dekat putrinya.

"Sayang. Kok cemberut, sih? Nggak kangen sama Bunda, Nak?"

Flora mengamati interaksi ketiganya. Anne tetap bergeming, tak peduli meski orang tuanya terus membujuk dan merayu agar anak itu tersenyum dan mau memeluk mereka. Flora tak ingin ikut campur, karena itu dia segera pindah ke ruang keluarga dan duduk di sofa seraya menyalakan televisi. Tak berapa lama, dia dikejutkan oleh pekikan Anne yang melengking.

"Anne nggak mau punya adik! Anne nggak suka sama adik! Ayah Bunda jahat!"

Flora berdiri dari duduknya lalu kembali ke ruang makan. Dilihatnya Anne berdiri dengan sikap defensif, sementara Andreas dan Maria tampak syok. Maria sampai berlinang air mata.

Merasa tak bisa hanya menyaksikan saja, Flora memilih melakukan sesuatu untuk menenangkan Anne yang mulai menangis juga. Dia mendekati anak itu lalu meraih tubuh kecilnya untuk dipeluk. Anne langsung membenamkan wajahnya ke perut Flora. 

Gadis itu membelai kepala Anne dengan lembut lalu menoleh pada Andreas dan Maria yang masih terlihat luar biasa terkejut. "Sorry. Gue rasa, biarkan Anne tenang dulu. Dia masih bingung dan sedih. Jadi, menurut gue, sekarang bukan saat yang tepat kalo kalian bawa dia pulang. Kalian nggak usah khawatir. Nanti gue akan bicara sama dia. Gue harap kalian nggak keberatan kalau dia tinggal di sini dulu untuk beberapa hari."

*

*

*

Flora sampai membatalkan jadwal konselingnya hari ini dan mengganti dengan hari lain demi menemani Anne melewati masa-masa bersedihnya. Anak itu enggan pergi ke sekolah dan hanya berbaring di kamar sambil menonton saluran anak-anak di televisi. Dia baru tampak sedikit bersemangat ketika jadwal makan tiba.

Flora tersenyum simpul saat menyadari perubahan ekspresi Anne saat melihat makanan. Sepertinya anak itu sangat suka makan.

Setelah selesai makan malam, Flora mengajak Anne duduk di dekat kolam renang. Di sana mereka duduk bercengkerama, kegiatan yang tak pernah Flora duga akan dia lakukan bersama anak itu. Dia ingat, dulu Anne terlihat sangat enggan berada di dekatnya.

"Jadi, Anne nggak satu kelas sama Zac?"

Anne menggeleng. "Enggak, Tante. Tapi aku senang nggak sekelas sama dia."

"Kok gitu? Bukannya kalo ada saudara sendiri bakalan asyik, ya?"

Lagi-lagi Anne menggeleng hingga membuat rambut ikalnya bergerak-gerak. "Zac itu nakal, Tante. Dia suka gangguin aku. Bikin aku nangis, ambil mainanku seenaknya. Nggak asyik main sama dia, lho."

Flora kembali tersenyum mendengar penuturan Anne yang lugu namun seperti berusaha terdengar layaknya orang dewasa.

"Ooo, iya juga, sih. Anak cowok kadang-kadang suka usil. Tante kan punya adik cowok juga, dua orang lagi. Tapi yang satunya udah meninggal."

"Meninggal? Maksudnya terbang ke surga kayak Oma aku?" Mata Anne membulat saat bertanya.

Flora mengangguk. "Dan dulu Tante juga punya adik yang meninggal waktu masih di dalam perut mamanya Tante."

Mata Anne semakin membulat. Dia tampak penasaran. "Trus, Tante nggak ketemu sama adik Tante, dong? Nggak sempat diajak main juga, dong?"

Flora mengangguk sekali lagi. "Iya. Waktu itu, umur Tante kira-kira kayak Anne sekarang. Tante juga nggak suka sama dia awalnya. Tante malah pengin adik Tante pergi aja dari perut Mama."

"Kok gitu?" protes Anne.

"Iya, karna Tante nggak mau Mama lebih sayang sama dia ketimbang Tante. Anne ngerasa gitu juga, kan?"

Anne mengangguk sedih. "Tapi Anne nggak mau dia pergi dari perut Bunda."

"Kenapa? Bukannya Anne nggak suka dia?"

"Iya, tapi kan kasihan. Anne nggak mau dia meninggal."

"Berarti Anne sayang dia, dong."

Anne tampak bingung. "Mmm...."

"Oh, iya!" Flora mengambil kesempatan untuk lebih banyak bercerita. "Nggak lama setelah adik Tante yang itu pergi dari perut Mama, Tante dapat adik baru, lho. Dan Tante baru tahu, ternyata, punya adik itu seru. Bisa diajak main bareng-bareng, jalan-jalan bareng, semuanya dilakukan bareng-bareng, nggak sendirian lagi, deh."

"Tapi kan aku udah punya Zac. Main sama dia nggak seru!"

"Nah, mudah-mudahan nanti Anne dapat adik cewek. Gimana? Pasti seru, lho. Bisa main boneka bareng, kan."

Flora melihat gadis kecil itu seperti sedang memikirkan ucapannya.

"Kalo cowok lagi?" tanya Anne tiba-tiba dengan wajah cemberut.

"Kalo cowok lagi, Anne berdoa, dong sama Tuhan, mudah-mudahan nanti dia nggak nakal kayak Zac. Pasti Tuhan kabulkan. Tante dulu juga berdoa kayak gitu, lho."

"Beneran?" Anne tampak mulai tertarik.

Flora mengangguk meyakinkan. "Tuhan itu Maha Baik, Sayang."

"Oh, iya! Om Koko juga pernah bilang gitu." Anne mendadak berdiri, seperti baru teringat sesuatu. "Tante, teleponin Om Koko, dong! Aku pengin bicara sama dia."

Flora gelagapan, tak menyangka dan tak siap akan permintaan itu. Dia menolak tanpa pikir panjang. Jika menelepon suaminya sekarang, bisa-bisa lelaki itu akan berpikir dia terlalu merindukannya. Itu tak boleh terjadi! Dan lagi pula, dia belum sepenuhnya siap. Namun, Anne terus mendesaknya hingga dia akhirnya menyanggupi meski enggan setengah mati. 

"Oke, oke. Tante ambil ponsel dulu di kamar, ya."

Flora berjalan ke kamarnya dengan dada berdebar-debar. Dia sengaja mengulur-ulur waktu. Saat ponselnya sudah berada di tangan, dia justru termenung, masih belum hendak melakukan panggilan. 

"Video call ya, Tante!" Anne melonjak-lonjak penuh semangat.

Astaga! Mau gue umpetin di mana ntar muka gue kalo video call-an ama dia?! Eh! Ya ngumpet aja di mana gitu, kek. Kok gue malah jadi bingung gini, sih? 

Akhirnya, Flora memutuskan untuk membiarkan Anne sendiri yang muncul di depan layar. Setelah mengusap tanda panggil, dia cepat-cepat menyerahkan ponsel pada Anne lalu menjauh dari anak itu.

Anne menyalakan pelantang suara hingga Flora bisa mendengar nada sambungnya. Beberapa dering berlalu, panggilan itu tak kunjung diangkat. Flora menghela napas kecewa. Sepertinya Dicko enggan pula mengangkat.

"Anne?!"

Suara yang sangat familiar di telinga Flora sekonyong-konyong terdengar bergema hingga ke ruangan tempat gadis itu duduk saat ini. Dan mendadak saja jantungnya memompa lebih cepat, menghasilkan detakan yang berpacu bersama deru napasnya, mendesak bulir-bulir air bermunculan di sudut mata.

Gue kangen lo, Ko. Kangen banget....

"Om Kokoooo!"

"Kok kamu...? Kamu di rumah Om ya sekarang?"

"Iya, Om. Aku bobok di sini bareng Tante Flora sejak kemarin. Om, Om kapan pulangnya, sih?"

Flora mendengarkan percakapan keduanya dengan perasaan campur aduk. Dia tersenyum dan tertawa saat mereka mengucapkan hal-hal lucu serta konyol. Dan terkadang dia tertegun saat menyadari, hanya mendengar suara lelaki itu saja mampu membuat perasaannya sekacau ini. Dia merasa seolah kembali ke masa lalu, saat dia selalu berharap cinta Dicko akan berlabuh untuknya. Persis sekali.

"Anne, Tante Flora mana sih, Sayang?"

Flora tersentak.

"Ada! Tuuuuh, di sana! Om mau ngobrol sama Tante juga?"

Tak ada jawaban beberapa jenak, membuat Flora memejam dan membatin, dia nggak akan mau ngobrol ama gue. Kan gue udah nyinggung perasaannya banget waktu itu....

"Iya.... Tolong kasih ponselnya ke Tante, ya, Sayang."

Flora merasa jantungnya melompat hingga ke perut. Gimana, nih?! Gue bilang apa ntar?! Ya Tuhaaannn...!

"Tante Floooooo...! Om Dicko mau ngomong, niiiih!"

Suara tapak kaki Anne yang berlari ke arahnya semakin terdengar jelas. Flora menelan ludah, mengambil napas lalu mengeluarkannnya dengan panik. Refleks, dia merapikan ramput dan mengusap wajahnya.

Muka gue berminyak nggak, nih?!

"Nih, Tante!" Anne tiba-tiba telah berada di hadapannya dengan tangan yang terjulur bersama ponsel yang masih menyala.

Flora merasa seakan udara di sekitarnya pergi meninggalkannya. Namun, saat layar yang menampilkan wajah lelaki yang dirindukannya setengah mati itu dihadapkan padanya oleh Anne, oksigen yang menyengarkan serasa membanjiri tubuhnya seketika.

"Hi, Flo. Long time no see. By the way, I miss you like crazy...."

TBC





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top