Part 10

"The best relationship is when you can act like lovers and bestfriends at the same time."
~~~~💕💕~~~~

Dicko tak tahu apakah ide ke psikolog yang dia ajukan bisa diterima istrinya dengan baik. Flora belum memberi persetujuan dan kembali dirundung gelisah saat mendengar hal itu keluar dari mulut suaminya.

Meski interaksi mereka tak secanggung sebelumnya, kemesraan yang sempat terjalin di meja makan seolah menguap begitu saja. Flora kembali ke kamarnya di dekat kolam renang dan Dicko ke lantai atas.

Dicko menghela napas saat menutup pintu kamar. Bukan pernikahan seperti ini yang dia impikan. Apakah dia sudah mengambil keputusan yang terburu-buru?

Lelaki itu mengempaskan tubuh ke tempat tidur dalam posisi menelungkup. Wajahnya terbenam di atas bantal. Dia membayangkan pernikahan dua sahabatnya, Andreas dan Maria, yang tampak harmonis dan bahagia. Dia ingin seperti mereka. Bersama Flora tentunya.

Bunyi dering ponsel membuat pikiran Dicko terseret ke dunia nyata. Dengan enggan dia menyeret tubuh atletisnya ke arah nakas lalu menggapai ponsel berwarna hitam yang tergeletak di atasnya tanpa benar-benar melihat ke layar.

"Halo?"

"Om Koko!"

Suara nyaring bocah perempuan yang sudah sangat dihapalnya membuat Dicko tersenyum. Dia melihat sekilas ke layar. Ternyata anak itu menggunakan ponsel Maria.

"Hai, Sweety Smart Cookie. Kok belum tidur?"

"Aku nggak bisa tidur, Om."

Dicko terkekeh pelan mendengar nada suara Anne yang berlagak seperti orang dewasa. "Kenapa? Kamu masih takut tidur sendirian?"

"Enggak, dong. Aku udah gede. Udah berani bobok sendiri."

"Trus?" Dicko membalik tubuhnya, menatap langit-langit kamar yang bercat putih. Satu tangannya diselipkan di antara kepala dan bantal.

"Besok ada kegiatan mendongeng bareng Ayah di sekolah. Tapi Ayah lagi ke Jogja sama Opa. Papi Gary nggak seru kalo ngedongeng. Aku maunya sama Om Koko."

"Anne? Kamu pakai ponsel Bunda lagi? Hayooo, kamu nelpon siapa, Sayang?"

Suara lembut Maria terdengar di latar belakang. Lalu disusul bunyi 'srek srek'.

"Bundaaaa. Aku pinjam sebentaaaar!"

"Astaga, Anne. Halo? Kak Dicko? Duh, maaf ya, Kak. Anne jadi gangguin istirahat Kakak."

"Om Kokoooo. Mau ya, Ooooom. Pliiiiiiiissss!"

Suara Anne yang merajuk manja membuatnya kembali terdengar seperti anak-anak seusianya. Dicko mengulas senyum.

"Nggak apa-apa, Maria. Dia cuma minta tolong aku ke sekolahnya untuk kegiatan mendongeng."

"Ah, iya. Andreas sama Papa pergi ke Jogja. Anne ngotot pengin didongengin sama Kakak. Aku udah bilang kalo Kakak pasti sibuk."

"Nggak juga. Besok pagi sampai siang aku nggak ada jadwal ngajar. Jam berapa kegiatan mendongengnya?"

"Aku udah minta tolongin Mas Gary, Kak."

"Nggak apa-apa. Biar aku aja yang nemenin Anne. Iseng-iseng ngisi waktu lowong menjelang ke kampus besok siang."

Belum ada tanggapan dari Maria. Perempuan itu bergumam ragu-ragu.

"Buuuun, pliiiiiiiisss!"

Terdengar desah pelan tanda menyerah. "Ya udah." Lalu tiba-tiba suara sorak sorai membahana di latar belakang. "Anne, diam dulu, Sayang. Tapi beneran nggak gangguin Kakak, nih?"

"Iya, no prob. Jam berapa?"

"Jam sepuluh, Kak."

"Oke. Besok sekalian aku antar dia ke Prestige."

"Nggak perlu, Kak. Aku aja yang jemput. Ntar Kakak kelamaan di jalan."

"Om! Besok dongengnya tentang cerita anak Indonesia!"

Dicko kembali tersenyum. "Oke, deh!"

Maria mengucapkan terima kasih sebelum akhirnya memutuskan sambungan telepon. Dicko lantas berguling menyamping sambil menatap ponselnya, mencari konten dongeng anak di mesin pencari Google.

Sejujurnya dia tak begitu pandai mendongeng. Meski begitu, dalam hatinya berkata, tak apalah, hitung-hitung dalam rangka belajar jadi ayah. Namun, mendadak saja dia merasa miris. Boro-boro jadi ayah, usaha bikin anak aja belom!

*

*

*

Flora berkutat di dapur seperti biasanya pagi ini. Dia tengah membuat waffle untuk sarapan mereka. Pekerjaannya hampir selesai saat Dicko turun dan langsung menuju ke arahnya. Lelaki itu tampil rapi dengan setelah kemeja dan membawa tas kerjanya.

Meski belum lama menikah, Flora sudah hapal jadwal harian suaminya. Dan dia yakin sekali hari ini seharusnya Dicko memiliki jadwal mengajar di siang hari.

"Pagi," sapa Dicko disertai senyum.

Dia lalu duduk di kitchen bar, berhadapan langsung dengan istrinya yang sibuk menata piring di atas meja marmer.


"Pagi." Flora membalas dengan senyum singkat, sementara tangannya mulai menata waffle blueberry kegemaran Dicko ke piring saji lalu menyiramnya dengan sugar glaze.

"Ada jadwal ngajar pagi ini?" tanya Flora, berusaha tak terdengar seperti menginterogasi.

"Mmm ... enggak. Ada yang mau diurus dulu sebelum ke kampus."

"Oh."

Flora bisa saja bertanya lebih lanjut. Namun, segera dia urungkan karena akan terkesan terlalu ingin tahu. Walaupun sebenarnya dia memang sangat penasaran. Apakah Dicko sengaja keluar lebih cepat untuk menghindarinya? Ah, lagi-lagi pikiran negatif menyerangnya.

"Gue mau nemenin Anne ke sekolahnya. Ada kegiatan mendongeng bareng ayah gitu. Tapi Andreas lagi ke Jogja, jadi Anne minta tolong gue yang gantiin ayahnya." Dicko akhirnya memutuskan untuk menjelaskan.

"Elo? Ngedongeng?" tanya Flora tak percaya. Hampir saja dia tertawa. "Bisa emangnya?"

Dicko tersenyum dikulum. "Jangan sepelein gue. Ya bisalah. Gue aja jago ngedongengin mahasiswa tentang arsitektur, apalagi anak kecil."

Tawa renyah Flora menggema di seantero dapur. Dicko terkekeh disertai perasaan lega. Mendengar Flora tertawa itu pertanda baik. Berarti dia tak tersinggung atas ucapannya semalam.

"Emang lo mau dongengin cerita apa? Arsitektur?"

"Cerita yang anti mainstream-lah pokoknya."

Lagi-lagi Flora tertawa lepas. "Asal jangan lo sesatin deh anak-anak yang masih polos dan lugu itu."

Mereka lantas tertawa bersama kemudian memulai sarapan dalam suasana santai. Flora duduk di samping suaminya. Bahu mereka bersentuhan, membuat keduanya merasakan sengatan listrik berarus kecil yang menjalar perlahan.

Seharusnya sentuhan itu terasa menyenangkan, tapi bagi Dicko justru berarti alarm agar dia segera menjauh. Dia tak ingin kebablasan dan pagi mereka yang indah berubah menjadi bencana.
 
Seraya menggeser bahunya sedikit menjauhi Flora, dia berkata, "Eh, Flo. Gue ada rencana mau bikin acara syukuran rumah baru kita. Nggak enak juga belum ngundang keluarga dan teman-teman kita ke sini."

Flora yang sedikit kecewa atas bahasa tubuh Dicko, berdeham pelan lalu membalas, "Gue setuju aja. Lo mau pake konsep yang kayak gimana?"

"Ya, biasa aja. Makan malam gitu. Soal makanannnya kita serahin ke Chez Elles aja. Lo nggak usah repot-repot masak."

Flora mengangguk. "Kapan?"

"Besok?"

"Boleh."

"Lo bisa kasih tau ke keluarga kita?"

"Beres."

Dicko tersenyum. Dia lalu kembali menyantap sarapannya, tanpa menyadari sang istri yang kembali dilanda perasaan tak nyaman. Flora mendesah pelan. Sepertinya dia memang benar-benar butuh segera mendatangi psikolog seperti saran Dicko kemarin.

*

*

*

Acara makan malam dalam rangka syukuran rumah baru berjalan lancar. Dua keluarga inti mereka hadir menyemarakkan suasana di rumah besar yang biasanya sepi itu. Saniharja, Cecilia, Fairel, minus Johana. Jonas, Merredith, Hana beserta suami dan anak-anaknya.

Sahabat-sahabat Flora: Cheryl, Vivian, dan Rena juga datang bersama suami serta anak mereka. Lalu teman-teman Dicko: Sandy yang datang sendiri tanpa ditemani anak dan istrinya (bayinya sedang agak rewel karena dalam masa tumbuh gigi); Maria bersama Anne dan Zac minus Andreas karena masih di Jogja; beberapa orang kolega sesama dosen; Jonathan Soedibyo serta beberapa staf di Chez Elles; serta tiga orang pegawai Prestige (biro konsultasi arsitektur yang dirintisnya bersama Maria).

Beberapa meja makan tambahan dijejerkan hingga membentuk satu barisan panjang, menyambung dari ruang makan hingga ke ruang keluarga. Semuanya duduk dan makan sambil mengobrol diselingi tawa.

Menu penutup kemudian dihidangkan. Aneka makanan manis ala Indonesia dan barat tersaji memanjakan mata serta lidah. Anak-anak bahkan lebih antusias daripada sebelumnya.

"Mama, mau strawberry cake!"

"Bunda! Aku mau cheesecake!"

"Aku mau yang ada chocochips-nya!"

"Es krim, Bunda!"

"Sabar, Anne, Zac."

Flora memperhatikan Maria yang tengah kewalahan menangani anak-anaknya. Perempuan itu terlihat agak pucat dan lelah sejak baru tiba. Cecilia yang duduk di samping Anne lantas membantunya, sementara Merredith berkutat dengan salah satu dari anak-anak Hana. Sahabat-sahabatnya pun tak kalah sibuk mengatasi buah hati mereka.

Dan tiba-tiba saja Flora menyadari, hanya dia satu-satunya perempuan di dalam ruangan itu yang tidak mengurusi seorang anak pun. Meski tidak ada yang usil melempar pertanyaan 'kapan nyusul punya anak' padanya lantaran dia baru saja menikah, gadis itu tetap saja merasa gelisah.

"Jadi, kapan kamu akan mulai bekerja, Flora?"

Pertanyaan dari Jonathan Soedibyo tersebut membuat Flora tersadar sekaligus merasa terselamatkan dari pikiran-pikiran buruknya. Dia menatap pada lelaki yang duduk di samping ayah mertuanya itu.

"Kapan saja saya siap, Jonathan," jawabnya sembari tersenyum.

"Kebetulan, lusa siang kita akan mulai rapat pemegang saham." Jonas menimpali. "Akan ada banyak hal yang kita bahas. Dan Ayah harap kamu bisa datang, Flora."

"Oke, Yah." Lalu Flora beralih menatap suaminya. "Lo juga datang, kan, Ko?"

"Gue usahain, tapi mungkin agak telat. Soalnya ada jadwal ngajar jam sepuluh."

Percakapan kemudian berlanjut ke hal-hal lain di luar pekerjaan. Salah satunya pertanyaan sederhana tentang kapan mereka akan pergi berbulan madu.

Flora dan Dicko menganggap itu pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Akhirnya mereka bilang saja akan pergi ketika ada waktu luang dan beberapa urusan pekerjaan telah rampung.

"Flora, serius kalian belum ada rencana bulan madu?"

Cecilia menghampiri putri tirinya setelah acara makan malam selesai. Keduanya berada di dapur saat ini. Flora sedang memberi instruksi singkat pada dua orang pelayan dari Chez Elles yang dimintanya untuk membantu mencuci peralatan makan.

"Iya, Tante. Nanti-nanti aja, deh. Lagian nggak wajib, kan? Di rumah juga bisa," jawab Flora sambil lalu.

"Iya, sih. Tapi kalian jangan habiskan waktu cuma buat bekerja. Nikmati masa-masa awal pernikahan dulu biar nggak stres."

"Iya, iya, Tante. Don't worry," timpal Dicko yang tiba-tiba datang menghampiri. "Kita kerja juga mau ngumpulin budget untuk bulan madu. Ya kan, Flo?"

Flora tersenyum tipis menanggapi ucapan suaminya.

"Oiya, Flo. Tolong hidangin teh hijau yang gue beli kemarin, ya. Pada ngumpul di gazebo belakang, tuh," kata Dicko kemudian.

"Eh, ini juga, nih. Penting banget," serobot Cecilia. "Kalian berdua kan udah suami istri. Ubah deh, panggilan kalian yang masih lo-gue, lo-gue itu. Nggak enak banget dengernya. Nggak ada romantis-romantisnya."

Suami istri itu berpandangan. Dalam hati masing-masing merasa heran, mengapa panggilan seperti itu dianggap tak romantis?

"Duh, pake aku-kamu gitu maksud, Tante?" Flora meringis sambil masih menatap suaminya. "Nggak banget, deh, Tan."

Dicko sontak terbahak-bahak. Dia pun merasa akan sangat aneh memanggil Flora dengan sebutan 'kamu'.

"Nggak banget gimana maksudnya?" Kening Cecilia berkerut.

"Kita udah terbiasa dengan panggilan lo-gue. Bakalan aneh aja kalo diubah jadi aku-kamu. Kayak bukan kita gitu, deh. Ya, kan, Ko?"

"Ih, kamu ini. Nggak bakalan aneh kalo kalian udah terbiasa nanti. Ubah, pokoknya. Kurang etis kalo didengar sama orang lain. Kayak tadi tuh, waktu di meja makan. Di kuping orang tua, terkesan kurang sopan aja kamu bilang 'lo' sama suami sendiri. Dan Dicko bilang 'lo' sama istri itu kesannya kurang  sayang."

Keduanya serentak memutar bola mata. Sebenarnya masih ingin mendebat, tetapi mereka tahu akan jauh lebih bijak jika mendengarkan petuah orang tua tanpa banyak protes.

"Ya deh, ya deh. Nurut aja, deh." Dicko akhirnya melenggang meninggalkan dapur.

Flora terkekeh pelan lalu mulai menyeduh teh hijau pesanan suaminya. Setelah selesai, dia dan Cecilia lantas keluar dari dapur menuju gazebo.

Suara anak-anak yang tadi terdengar cukup heboh, kini lenyap secara ajaib.

"Kok udah sepi aja? Anak-anak pada tidur apa gimana?" tanya Cecilia keheranan.

"Iya, nih. Pada capek main kali, Tan."

Keduanya sama sekali tak menaruh curiga saat melintasi ruang keluarga menuju pintu halaman belakang. Namun, beberapa saat kemudian mereka dikejutkan oleh derap langkah tergesa-gesa.

Dicko setengah berlari ke arah mereka sambil menggendong sesosok tubuh. Maria. Seorang laki-laki berkacamata yang tak lain adalah suami Vivian, ikut berlari di sampingnya. Sebagai dokter, dia diharapkan bisa memberi pertolongan pertama.

"Ada apa, Ko?!" Cecilia bertanya panik.

"Maria pingsan, Tante!" jelas Dicko singkat.

Dia terus berjalan ke dalam rumah. Flora yang terkejut berbalik arah menyusulnya. Di belakang mereka, terdengar langkah-langkah tergesa diselingi suara tangisan anak perempuan.

"Bundaaaaa! Bunda kenapa?!"

"Diam dulu, Anne. Om dokter bakalan periksa Bunda." Zac berusaha menenangkan saudara kembarnya.

Merredith, yang menggandeng keduanya turut menenangkan. "Nggak apa-apa, Anne. Sama Oma dulu ya, Sayang." Dia lantas membawa kedua bocah itu menuju salah satu sofa di ruang keluarga.

Di sofa yang lain, Maria telah dibaringkan. Dicko tengah menepuk-nepuk pelan pipi perempuan itu sambil memanggil namanya.

"Ada minyak kayu putih? Atau apa aja yang berbau menyengat," tanya suami Vivian yang bernama dokter Alby.

Dicko mengangguk lalu bergegas ke lantai atas. Flora melihat wajah lelaki itu luar biasa tegang.

"Flora, tolong ambilkan handuk basah."

Flora menuruti instruksi dokter Alby. Tak sampai lima menit, dia kembali ke ruang keluarga. Dicko juga telah berada di sana. Orang-orang berkumpul di meja makan, menerka-nerka apa yang terjadi pada Maria. Sedangkan Anne masih menangis dalam diam di pelukan Merredith.

Tak lama kemudian, Maria sadarkan diri setelah mendapat pertolongan pertama. Dicko segera meminumkan air putih hangat padanya.

"Kamu nggak apa-apa, Maria? Kamu sakit?" tanya Dicko.

"Nggak apa-apa, Kak...," ucap Maria lemah, "Maaf udah bikin panik...."

"Nggak apa-apa gimana? Kalo kamu lagi nggak sehat, harusnya nggak usah paksain datang, Maria. Tadi juga anak-anak Prestige bilang kamu masih ngantor padahal hari libur. Kamu tuh bandelnya dari dulu nggak hilang-hilang," omel Dicko disertai kecemasan yang tak bisa ditutupi.

Bagi semua orang yang ada di sana, sikapnya yang seperti itu terlihat wajar. Namun, tidak bagi Flora. Dia merasa kecemasan suaminya berlebihan.

"Iya bener, Mas Dicko. Padahal Mbak Maria lagi hamil muda." Celetukan seorang karyawati Prestige membuat ekspresi hampir semua orang berubah, dari cemas menjadi semringah.

"Serius? Kamu hamil lagi?" Dicko tak mampu menutupi rasa bahagia. "Selamat kalo gitu."

Suka cita dari semua orang saat mendengar kabar itu tak menular pada Flora. Dia terdiam dan tiba-tiba kembali dilanda gelisah, seperti saat makan malam tadi.

Riuh rendah ucapan selamat kepada Maria di sekelilingnya terdengar seperti dengungan yang memekakkan telinga. Dia juga sedikit kesal karena kebahagiaan yang seharusnya menjadi miliknya dan Dicko malam ini justru terbagi bersama Maria, perempuan yang masih dia cemburui hingga detik ini.

*

*

*

"Nggak nyangka dia hamil lagi. Kirain ada apa-apa," ucap Dicko saat semua tamu sudah pulang, meninggalkan dirinya Flora berdua saja.

Flora melengos tanpa sepengetahuan Dicko, merasa bosan dengan topik itu yang sudah dibahas sejak tadi. Satu jam setelah Maria siuman dihabiskan hanya untuk membicarakan seputar kehamilan dan tetek bengeknya. Para tetua banyak memberikan nasihat untuk Flora dan Dicko yang notabene masih berstatus pengantin baru.

"Padahal Andreas pernah bilang masih trauma sama kehamilan Maria. Gue belum cerita ya soal itu. Jadi waktu itu—"

"Udah deh, gue ngantuk. Besok-besok aja ceritanya," sela Flora ketus sambil terus berjalan menuju kamarnya.

Tinggallah Dicko yang terbengong-bengong di tengah cerita yang menggantung.

*

*

*

Kembali turun gunung di dapur restoran membuat fokus Flora teralihkan untuk sementara. Kesibukan yang menantang hari demi hari di hot kitchen Chez Elles membuatnya merasa tak punya waktu untuk memikirkan hal yang tidak-tidak seperti sebelumnya.

Hari ini genap satu minggu Flora bekerja sebagai Head Chef di Chez Elles, menggantikan Chef sebelumnya yang sudah pensiun. Tak butuh waktu lama baginya untuk beradaptasi. Tim kerja yang solid dan mudah diarahkan membuat tugasnya semakin mudah, meski ada saja yang masih menerapkan teknik memasak yang salah. 

"Reta, daging ayamnya di-marinate jangan ditambahin garam seperti kemarin. Garam itu menyerap cairan, jadi nanti tekstur juicy dari daging ayamnya bakalan hilang setelah dimasak. Rendam pakai merica dan jeruk nipis saja. Untuk seafood, boleh kamu tambahkan garam." Flora berdiri di bagian kepala dapur saat briefing pagi bersama timnya.

"Baik, Chef!"

"Menu utama untuk makan siang hari ini masih seperti kemarin. Tapi ada tambahan untuk menu western, Salmon With Ratatouile dan Fettucini Carbonara Smoke Beef. Marinate salmon dengan lemon pepper, bawang putih, dan garam."

"Baik, Chef!"

Semua orang di dapur besar itu mulai mengerjakan tugas sesuai bagiannya. Flora berjalan menghampiri mereka satu per satu, memeriksa pekerjaan dan mengoreksinya jika ada yang keliru.

"Farid, mire poix* bombay, wortel, sama batang seledri untuk stok kaldu sayuran."

"Yes, Chef!"

"Kiki, bouqet garni* sudah kamu siapkan?"

"Sudah, Chef!"

Mendekati makan siang, semua bahan-bahan dasar untuk memasak sudah selesai. Saat pesanan pertama dan seterusnya datang, hot kitchen mulai menampakkan geliatnya.

"Chef, ada Pak Suami. Di meja yang biasa." Bisikan dari Tiwi, sang asisten manajer yang mengendap-endap masuk ke dapur membuat Flora menghela napas.

Sudah seminggu ini suaminya selalu datang untuk makan siang di Chez Elles. Dan lelaki itu acap kali meminta Tiwi memberitahukan pada Flora agar menemaninya menyantap makanan yang telah dia pesan.

Flora sebal dibuatnya. Bukan hanya karena Dicko telah mengganggu pekerjaannya, mengingat jam makan siang adalah saat-saat sibuk di dapur, melainkan juga dia masih kesal atas sikap suaminya yang dianggapnya tak pernah peka terhadap perasaanya.

Saat makan bersama, percakapan yang Dicko usung tak pernah jauh-jauh dari Maria, anak-anaknya dan juga kehamilan perempuan itu. Jika tak mengingat tempat, ingin rasanya Flora membalikkan meja untuk memberitahukan pada lelaki itu bahwa dia tak suka.

"Mbak Tiwi, tolong bilang ke dia, saya lagi sibuk banget sekarang. Di ruang VVIP ada rombongan ekspatriat dari Maxim Group. Pesanan mereka rumit-rumit. Nanti anak-anak pada salah eksekusi masakannya kalo nggak saya yang bimbing langsung."

Tiwi mengangguk-angguk tanda mengerti lantas keluar lagi dari dapur untuk menyampaikan ucapan Flora pada Dicko. Aktivitas di dapur terus berlanjut hingga pesanan yang masuk berkurang perlahan di pukul tiga sore. Pada jam-jam itu, terjadi pergantian shift personel dapur.

"Saya istirahat sebentar, ya. Sous Chef, tolong nanti mulai aja handle persiapan untuk makan malam. Saya nyusul," ujar Flora pada lelaki muda yang berdiri tak jauh darinya.

Sebelum keluar dari dapur, Flora singgah ke bagian Pastry untuk meminta beberapa potong kue. Dia sedang butuh asupan manis untuk menambah semangatnya sore ini. Baru saja keluar dari dapur, dia bertemu dengan Jonathan. Mereka berjalan bersama menuju rest area khusus karyawan restoran.

"Hei, Flora." Laki-laki itu tersenyum.

"Hei, Pak Jo."

"Jangan pakai Pak." Jonathan pura-pura memberengut.

Flora terkekeh. "Ini masih di tempat kerja. Jadi nggak masalah, dong." Dia lantas menyodorkan kantung kertas yang berisi kue sus dari ruang Pastry. "Mau?"

"No, thanks. Sudah terlalu banyak kalori yang masuk sejak siang tadi."

"Kamu kan rajin nge-gym. Nggak bakalan gendut, lah."

Jonathan tergelak-gelak pelan. "Tau dari mana saya rajin nge-gym?"

"Udah rahasia umum. Kamu kan jadi hot topic para karyawan sejak jadi pimpinan baru Chez Elles."

"Oya? Ada yang jadi stalker saya berarti, ya?"

"Haha! Sepertinya."

"Gimana suasana dapur? Kondusif?"

"Sejauh ini sih iya. Walaupun kata anak-anak orderan jadi jauh lebih banyak sejak kamu masuk, tapi mereka kayaknya happy-happy aja. Malah semakin semangat kerja. Ayah mertuaku senang banget, lho."

Senyum Jonathan mengembang. "Kamu juga magnet bagi para pelanggan. Mereka ingin merasakan masakan Chef perempuan muda lulusan CIA. Dan kamu tahu, respon mereka sangat luar biasa. Ulasan untuk masakan di Chez Elles juga positif dari beberapa kritikus. Oh iya, ada beberapa majalah kuliner dan stasiun televisi swasta yang ingin mewawancarai kamu. Kita berdua tepatnya."

"Wow! Serius?" Flora hampir berteriak saking terkejut dan antusiasnya.

Jonathan mengangguk.

"Kapan?"

"Soal jadwal masih diatur. Nanti saya kabari lagi."

Perasaan senang Flora mendengar kabar itu meluap-luap. Dia baru saja memulai karirnya di tanah air dan popularitas sudah menghampirinya.

Percakapannya dengan Jonathan terus berlangsung hingga tiba di depan pintu rest area. Begitu seru dan disertai gelak tawa. Cukup ampuh mengusir penat Flora setelah beberapa jam bekerja di panasnya dapur.

"Ehm! Seru banget kayaknya."

Suara lelaki dari arah belakang membuat obrolan mereka terhenti. Flora dan Jonathan menoleh, menemukan Dicko berdiri tak jauh dari mereka.

"Boleh pinjam istri gue sebentar, Jo?"

TBC

Haiiii.... Lagi-lagi aku update kelamaan ya. Sampe berlumut ini cerita 😂😂😂

Maafkeun. Semoga belum ada yg delete dari library-nya. 😁😁😁

* Mire Poix: Potongan sayuran yang tidak beraturan untuk bumbu dalam pembuatan stock/kaldu.

* Bouqet Garni: Ikatan bumbu yang terdiri dari batang seledri, lada butir, bay leaf, thyme, bawang pre untuk penyedap dalam pembuatan kaldu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top