Part 1

"I don't want anyone else to have your heart, kiss your lips, or be in your arms because that's only my place."
~~~~💕💕~~~~

"Dicko ...?"

"Surprise."

Flora tergeragap. Dia merasa suhu panas nan terik di luar telah berpindah ke wajahnya. Dan saat tatapan Dicko yang seolah bisa melumerkan sebaskom es krim blueberry dalam sekejap itu memindai tubuhnya, Flora tahu riwayatnya sudah tamat.

"Penampilan lo keren, ya." Itu bukan pujian, melainkan sindiran.

"Ko ...." Flora mundur selangkah, dan Dicko menyusul maju ke arahnya.

"Kenapa? Lo nggak kangen sama gue?"

Gadis itu refleks memilin bagian bawah kaus yang dia kenakan. Membuat kain malang tak berdosa itu berkerut-kerut tak keruan. Matanya bergerak-gerak gelisah, menatap apa saja asal bukan ke arah sang kekasih yang terlihat seperti singa kelaparan yang berada tepat di depan mangsanya.

"Kangen, kok ...." Flora terus berjalan mundur perlahan. "Tapi ... kok lo bisa di sini? Bukannya--"

"Gue udah dua hari di New York," sela Dicko dengan seringai jahil di wajah.

Mata Flora membelalak. Langkahnya terhenti seketika. "Dua hari?" bisiknya tak percaya.

Saking tak percayanya, dia sampai tak menyadari bahwa Dicko telah berdiri tanpa jarak di depannya. Lelaki itu lantas meraih pinggang Flora, merengkuh tegas lekukan indah berbalut kain itu dengan kedua tangannya hingga membuat tubuh mereka menempel begitu rapat.

"Ya. Dua hari yang menyiksa karna gue cuma bisa lihat lo dari jauh. Dua hari yang menyebalkan karna gue nggak bisa peluk lo kayak sekarang," balas Dicko dalam bisikan seraya memejam. Keningnya menekan dahi Flora dengan lembut.

Flora menahan napas. Hawa panas yang tadi menyergap wajah kini menjalar ke dadanya, menghadirkan percikan serupa kembang api yang mendadak menyulut gairah. Dia pun ikut memejam dan tersenyum saat merasai embusan lembut di bibirnya.

Dimulai dengan kecupan ringan lalu perlahan berubah menjadi luapan rindu yang menggebu-gebu. Mereka sama-sama terbakar dalam pusaran yang memabukkan. Tak ada yang ingin mengakhiri, terus berebut, mereguk madu cinta yang seolah tak ada habis-habisnya. Terengah, berdesah, seakan tengah diburu waktu yang gelisah.

"Stop it ...," rengek Flora di bibir Dicko saat tiba-tiba merasakan tangan lelaki itu menelusup di balik kaus dan membelai punggung bagian atasnya dengan lembut. "Ko ...."

Dicko terkekeh pelan, tak menarik tangannya. Dia justru menyentak tiga pengait yang beberapa detik lalu masih terpasang dengan aman di dalam sana hingga terbuka. Dan detik berikutnya, dengan kecepatan yang mengagumkan, dia berhasil menurunkan dua buah tali yang tertahan di pundak Flora lalu meloloskannya dengan suskses dari kedua tangan gadis itu.

"Ko ...!" Flora terkesiap. Dia hendak melepaskan diri. Namun, tangan Dicko segera menahan gerakannya hingga dia tak sanggup mencegah saat lelaki itu menarik benda maha penting tersebut dari balik pakaiannya.

"Kalo lo nggak mau keluar tanpa menggunakan bra seperti sekarang, cepat ganti pakaian lo dengan yang tadi," ucap Dicko seraya melempar secarik kain yang berhasil dijarahnya ke atas tempat tidur dengan santai. Bibirnya tersenyum penuh kemenangan.

"Lo apa-apaan, sih?!" Wajah Flora memerah karena malu. Dia lantas memeluk dadanya, berusaha menutupi siluet dua benda yang tercetak jelas di balik kaus.

Dicko tersenyum lebar. Matanya berkilat-kilat jahil. "Butuh bantuan?"

"Ogah!"

Flora segera berlari terbirit-birit menuju kamar mandi setelah menyambar bra serta satu setel pakaian yang tadi dia lepaskan sebelum kedatangan Dicko. Sementara itu, Dicko terbahak-bahak seraya tertunduk memegangi perutnya.

"Silakan lo ketawa sampai puas! Awas, ya! Kapan-kapan gue balas!" salak Flora dari balik pintu kamar mandi.

Dan tawa Dicko pun semakin menjadi-jadi.

*

*

*

"Masih marah?"

Flora tak menyahut. Dia menutup rapat mulutnya sejak keluar dari kamar mandi dengan mengenakan pakaian lengkap hingga di dalam mobil sewaan Dicko menuju kampus CIA di Hyde Park.

"Hei, senyum dong. Masa pacarnya datang dari jauh malah disuguhi jeruk purut?" ucap Dicko sambil mencolek dagu Flora dengan gemas.

"Jangan pegang-pegang, ah!" Gadis itu menggeser duduknya hingga merapat ke daun pintu mobil.

Lagi-lagi Dicko tak sanggup menahan tawa. Mengabaikan wajah sang kekasih yang memberengut, dia lantas berkata dengan nada santai, "Gue cuma nggak mau badan lo dipandangi cowok-cowok bermata keranjang. Lo sadar nggak sih, kalo lo tuh seksi?"

Ucapan Dicko sekonyong-konyong membuat Flora tersipu. Dia lantas mengulum senyum dan membuang muka ke sisi kanan. "Biasa aja tuh," balasnya datar dengan dada berdebar-debar.

Dicko amat jarang melontarkan pujian dengan kata-kata manis. Dan sekalinya memuji, dia seringkali melakukannya secara tak kentara. Itulah salah satu hal yang Flora sukai dari kekasihnya.

"Lo seksi, Flo. Makanya gue selalu khawatir ngebiarin lo jalan sendirian di negri orang. Kalo nggak ingat lo masih kuliah, udah gue bawa pulang ke Jakarta dari kemarin-kemarin."

"Tuh, kan. Lo masih aja nggak percaya sama gue." Flora memajukan bibir.

"Bukan ke lo, tapi ke orang-orang di sini." Dicko menjawab dengan nada bijak. "Dan gue heran, kenapa sih lo cari tempat tinggal jauh banget dari kampus CIA? Washington Heights ke Hyde Park itu jaraknya satu setengah jam. Bahkan mungkin bisa sampai dua jam. Kenapa lo nggak tinggal di sana aja? Kalo lo diapa-apain sama bule selama di perjalanan, gimana coba?"

Flora kembali mengulum senyum diam-diam. Dia sengaja memilih tempat tinggal di Washington Heights karena suatu sebab. Selain sewa apartemennya yang murah dan suasana yang tenang, di sana dia bisa memandangi jembatan George Washington dengan leluasa serta melintasinya hampir setiap hari. Jembatan itulah yang mampu mengobati rasa rindunya terhadap Dicko.**

"Pengin aja," jawab Flora pura-pura cuek. "Lagian kenapa sih, Ko? Jangan curigaan melulu sama orang lain. Belum tentu juga mereka perhatiin gue. Prasangka buruk lo aja tuh."

"Cowok mana sih, yang nggak bakalan perhatiin bodi lo? Gue cowok, jadi bisa tau isi pikiran sesama kaum gue."

Flora menoleh pada kekasihnya. "Oya? Tapi bukannya dulu lo nggak punya pikiran kayak gitu ke gue?"

Dicko tersenyum penuh makna. "Gue emang nggak punya pikiran mesum ke lo. Tapi gue bukannya nggak bisa lihat wajah dan bodi lo kayak gimana. Dan kalo lo belum lupa, dulu gue pernah bilang kalo gue nggak akan bisa menahan cemburu seandainya punya pacar kayak lo."

"Makanya waktu itu lo pilih Maria, kan?" balas Flora dengan wajah semakin cemberut. Ucapan Dicko tiba-tiba saja membuat hatinya kesal karena mengingatkannya pada masa lalu yang menyebalkan.

"Yah, itu salah satu sebabnya," imbuh Dicko masih dengan senyum. Dia lantas melirik Flora yang tampak begitu kesal, membuat senyumnya semakin lebar. "Kenapa? Oh, iya. Gue lupa. Lo kan juga cemburuan."

"Ge-er lo."

"Akui aja deh. Lo masih cemburu sama Maria, kan?"

"Enggak."

Dicko terkekeh. Dia tahu benar bahwa gadis di sampingnya itu sedang berbohong. Sejak dia menjalin kerja sama dengan Maria untuk menjalankan bisnis konsultan arsitektur, hampir setiap hari Flora menghubunginya hanya untuk menanyakan dia sedang bersama siapa saat itu. Apakah Maria juga ada di dekatnya dan pertanyaan lain yang menjurus ke arah sana.

"Yakin?"

"Yakin," jawab Flora terlalu cepat. Dia berusaha agar tak memperlihatkan kecemburuan yang memang dirasakannya. "Gue juga nggak cemburu sekalipun lo dikelilingi sama mahasiswi lo yang cantik-cantik di kampus."

Lagi-lagi Dicko terkekeh. Ucapan sang kekasih hanya menegaskan satu hal padanya. Gadis itu benar-benar cemburu. Flora memang acap kali bertanya macam-macam tentang aktivitasnya di kampus sejak dia resmi diangkat menjadi dosen tetap di almamaternya.

"Ah, pas banget lo bahas kampus. Meilia titip salam buat lo," pancing Dicko. Flora juga selalu kesal jika Dicko menyebut-nyebut nama mahasiswinya yang satu itu. Gadis berusia sembilanbelas tahun yang selalu saja berusaha menemuinya dengan alasan ingin berdiskusi.

Flora mendadak menoleh pada Dicko. "Dia tau lo ke New York? Emang kalian seberapa dekat, sih?"

"Biasa aja. Nggak cuma dia yang tau gue ke sini. Mahasiswa satu kelas juga pada tau," balas Dicko santai. "Nah kan, lo cemburu, kan? Ngaku aja deh."

Flora terus bertahan, pura-pura tak terpengaruh. "Gue cuma nggak suka aja, lo ngasih perhatian lebih ke tuh cewek dibanding ke mahasiswa lo yang lain. Ntar kalo dia salah sangka, emang lo mau tanggung jawab atas perasaannya?"

"Mau aja. Dia cakep kok," jawab Dicko. Senyumnya semakin melebar saat melihat ekspresi Flora yang tampak sedikit terusik atas jawabannya.

"Oh, jadi lo mau minta izin selingkuh, nih?"

"Emang lo bakal kasih kalo gue minta izin?"

"Nggak usah selingkuh. Lo putusin aja gue dan pacari dia," ujar Flora ketus. "Oh, atau jangan-jangan lo udah selingkuh sama dia? Udah sampai mana hubungan kalian? Udah grepe-grepe? Pantesan aja lo lihai banget buka bra gue tadi."

Dicko hampir tersedak ludahnya sendiri. "Hei, hei. Gue nggak butuh selingkuh kalo cuma sekadar pengin buka bra cewek. Gue lihat di film-film dan penasaran, apa emang segampang itu ngebukanya? Ternyata benar. Dan lo orang pertama dan terakhir yang akan gue jadikan bahan praktik."

Penjelasan Dicko yang sungguh-sungguh mau tak mau membuat Flora tersenyum. Namun, lagi-lagi dia sembunyikan. "Gimana gue bisa tau kalo gue yang pertama? Lo kayak udah expert gitu."

"Gue juga nggak tau gimana cara buktiinnya. Jadi yaaa, percaya aja." Dicko menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Lo beneran nggak percaya sama gue?"

Flora mengedikkan bahu. "Tergantung."

"Tergantung apa? Tergantung seberapa sering gue pratikin itu lagi ke lo?"

Flora sontak menepuk lengan kanan Dicko dengan cukup keras. Lelaki itu lantas terbahak-bahak hingga matanya berair, sementara wajah Flora memerah dadu. Namun kemudian dia pun ikut tertawa. Kekasihnya ada di dekatnya saat ini. Kecemburuan hanya akan membuat kebersamaan mereka terusik dan waktu terbuang percuma. Jadi, mengapa harus mempertahankan hal itu terlalu lama?

*

*

*

Langit mulai gelap saat mobil sewaan Dicko melintasi George Washington Bridge. Mereka dalam perjalanan pulang dari Hyde Park. Beruntung, mereka telah mengisi perut di sebuah restoran jepang di kota itu sehingga tak perlu lagi berhenti untuk membeli makanan begitu tiba di Washington Heights.

"Lo nginap di hotel apa?"

"Gue nggak nginap di hotel," jawab Dicko dengan senyum misterius.

"Trus? Di rumah teman lo atau ...?"

Dicko menggeleng. "Ntar lo bakalan tau."

Flora penasaran, namun tak bertanya lebih lanjut. Dia memutuskan untuk memejam barang sejenak. Lelah masih menggelayuti tubuhnya setelah mengikuti kegiatan di kampus. Sang dosen mengadakan simulasi suasana dapur restoran bintang lima bagi mahasiswa, atau yang lebih dikenal dengan istilah Hot Kitchen. Dapur yang benar-benar sangat menantang dan lebih dikuasai oleh para pria.

Flora dan mahasiswa yang lain, baik laki-laki maupun perempuan, harus berjibaku mempersiapkan segala keperluan, bahan-bahan maupun peralatan memasak. Mereka mengupas berkilo-kilo kentang, bawang, lobak, wortel, menguliti ayam, bebek, dan masih banyak lagi dalam waktu yang sangat cepat. Kemudian mereka diharuskan mengolah semua bahan-bahan tadi dengan menggunakan berbagai macam teknik. Dan tentu saja, sebagian besarnya menggunakan api. Sungguh sangat menguras tenaga dan emosi.

Dosen mereka bukannya tanpa alasan mengadakan simulasi tersebut. Berhubung besok sudah memasuki liburan musim panas, selama tiga bulan ke depan sebagian besar mahasiswa akan menghabiskan jatah liburan mereka untuk magang di berbagai restoran bintang lima dalam rangka menambah pengalaman bekerja di dapur yang sesungguhnya. Dan Flora memilih restoran Prancis.

"Flo, udah sampai." Dicko menyentuh lembut bahu kiri Flora. Gadis itu rupanya tertidur.

Flora tersentak lalu seketika membuka mata. Namun kemudian dia menutupnya lagi seraya menguap dan merentangkan tangan dengan gaya malas-malasan. Butuh semenit baginya untuk benar-benar terjaga penuh.

Dicko tersenyum melihat kekasihnya lalu turun dari mobil yang telah diparkir di area khusus untuk penghuni apartemen. Flora sedikit bingung karena biasanya, kendaraan tamu tidak diperbolehkan menempati area tersebut.

"Kok lo parkir di sini?" tanya Flora setelah kakinya menjejak lantai semen area parkir.

"Masa lo nggak nyadar? Tadi pagi kan gue juga parkir di sini." Dicko kembali tersenyum.

Kening Flora berkerut. Dia bahkan lupa hal itu. "Jadi? Kenapa lo bisa parkir di sini sekarang dan tadi pagi?"

Dicko mendekati Flora dan berhenti tepat di depannya. "Karna gue juga tinggal di sini."

"Hah?"

Lelaki itu terkekeh begitu melihat ekspresi terkejut di wajah kekasihnya. "Hah-hoh-hah-hoh. Gue sewa apartemen di sini juga. Tepat di sebelah lo. So, kita bertetangga untuk sebulan ke depan."

"Serius?" Bibir Flora mengukir senyum senang.

Dicko mengangguk lantas melingkarkan lengannya di pinggang gadis itu. "Ada yang mau diurus juga di sini. Andreas minta tolong gue buat ketemu klien perusahaan Malik trus gue mengikuti seminar dan pelatihan dosen arsitektur. Gue penginnya sih lebih lama. Tapi cuma dapat izin sebulan dari kampus."

"Syukurlah lo bakalan banyak kegiatan. Gue mungkin nggak bisa sering nemenin lo buat jalan-jalan. Liburan musim panas ini gue dapat tugas magang."

"Nggak masalah, kita ketemu di apartemen aja. Lebih private," balas Dicko seraya mengedipkan mata kirinya dan tersenyum mesum.

Flora memutar bola mata lalu berkata tegas, "Ntar kebablasan kalo lebih sering berduaan di ruangan tertutup."

Dicko terkekeh geli. Dia lantas membawa Flora menuju bangunan apartemen. Keduanya berjalan sambil berangkulan.

"Gue bisa tahan diri kok," ujar Dicko.

"Yakin?"

"Gue nggak mau paksa lo ngelakuin apa yang bikin lo nggak nyaman. Dan gue yakin, trauma lo masih belum bisa hilang, kan?"

Flora terdiam. Dia memang belum sepenuhnya bisa melupakan kejadian di malam itu. Mengingatnya saja membuatnya bergidik. Namun, dia yakin bisa menerima Dicko perlahan-lahan. Dan dia hanya ingin hubungan yang sakral itu terjadi di saat yang tepat, yaitu di malam pertama pernikahan mereka.

"Berarti benar, kan?" tanya Dicko memecah hening. Mereka telah tiba di depan pintu kamar apartemen Flora.

Helaan napas pelan keluar dari bibir Flora. Dia menatap Dicko ragu-ragu. "Gue nggak tau karna kita nggak pernah mencobanya."

"Lo mau mencoba?" tanya Dicko hati-hati.

Wajah Flora menghangat dan mendadak saja dia merasa gugup. "Jangan sekarang," ucapnya pelan, "Gue cuma mau kita melakukannya setelah pernikahan."

"Gue juga penginnya begitu." Wajah Dicko terlihat serius. Dia meletakkan tangan di kepala Flora dan membelai lembut rambut kekasihnya. "Tapi maksud gue, kita coba sesi pemanasannya sebelum pernikahan. Karna kita sama-sama nggak tau, seberapa dalam trauma yang udah gue akibatkan ke lo, Flo. Gue nggak mau, nantinya justru akan terlambat untuk memperbaiki keadaan. Gue janji nggak akan ambil kesempatan. Lo percaya sama gue, kan?"

TBC

**silakan baca TURN BACK lebih dahulu untuk mengetahui kisah mereka sebelumnya

Maafkan aku telat update T.T

Aku lagi sakit dan nggak tahan ngetik lama-lama. Jadi baru bisa kelarin part 1 hari ini. Maafkan yaaaa...

Gimana kelanjutannya ya? Apakah Flora mau diajak pemanasan ama Dicko? Hihihihi...Nantikan kelanjutannya di part 2...

Silakan tinggalkan jejaknya ya guys...

Love you all ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top