3. Reta: Bule Sok Tahu
Satu minggu sebelumnya....
"Eyang ora setuju yen kowe kerjo dadi tukang masak ning omahe wong liyo. Opo jare tanggane mengko? Masio kluwargane dhewe iki ra patio sugih, tapi ora ono sing dadi babu*."
(*Eyang ndak setuju kamu kerja jadi tukang masak di rumah orang. Apa nanti kata tetangga? Walaupun keluarga kita ndak kaya-kaya amat, tapi ndak pernah ada sejarahnya yang jadi pembantu.")
Aku hanya bisa meringis dalam hati. Eyang Uti-ibunya ayah kandungku-mendadak berkunjung siang ini setelah kukabari soal keberangkatanku ke New York. Kalau tahu reaksinya akan begini, kusampaikan sehari menjelang keberangkatan saja.
"Sanes babu*, Eyang," jawabku tanpa menghentikan aktivitas memilah-milah pakaian yang akan kubawa. "Namanya koki, juru masak pribadi. Dan Reta kerja di sana sekalian ikut program magang dari kampus, kok." (*bukan pembantu)
Pucuk dicinta ulam tiba, kampusku-Tristar Culinary Institute-membuka program magang ke luar negeri. Saat melihat New York menjadi salah satu negara tujuan, aku segera mendaftar dan alhamdulillah disetujui.
Perusahaan yang kulamar adalah Chevalier's Restaurant Group Inc. Perusahaan yang mengelola restoran dan bar ala Prancis yang cukup terkemuka di New York, salah satunya L'Abeille, restoran tempat Mas Ben bekerja. Setelah mengirimkan aplikasi dan tes wawancara daring, tiga hari kemudian aku dinyatakan diterima.
Secepat itu. Teman-temanku bahkan harus menunggu hingga sebulan. Tentu saja karena aku memanfaatkan jasa orang dalam. Siapa lagi kalau bukan Mas Ben.
"Podho wae! Eyang ndak rela cucu kesayangan Eyang jadi pesuruh di rumah orang. Terus, nanti kalau masakanmu ndak pas sama selerane pie? Kamu pasti dimarah-marahi. Atau yang lebih parah, kamu disiksa dan diperkosa kayak Gayatri, anak tetangga Eyang yang jadi TKI di Arab Saudi."
Menurut penuturan Mas Ben, temannya itu luar biasa pemilih soal makanan. Bisa kubayangkan betapa cerewetnya dia. Tapi aku sudah kebal menghadapi pelanggan model begitu.
Satu yang paling kuingat adalah insiden di restoran hotel berbintang di Surabaya, tempat magangku sebelum hamil dan keguguran. Seorang bule marah-marah sampai masuk dapur restoran karena menurutnya rasa rendang pesanannya tidak autentik. Kebetulan aku yang memasak rendang itu dan tentu saja aku yang diomeli.
Itu bule benar-benar sok. Tahu apa dia tentang masakan Padang? Baru sebentar di Indonesia saja lagaknya songong begitu. Gara-gara dia nilai magangku jadi rendah.
Kalau soal diperkosa, aku cukup yakin itu tidak akan terjadi. Karena sebelum alat reproduksinya berdiri, bisa-bisa sudah lebih dulu kukebiri.
"Tapi TKI yang sukses juga banyak kok, Bu," timpal ibuku tiba-tiba dengan tatapan sepenuhnya tertuju pada televisi yang menayangkan program infotainment. Tapi aku cukup yakin Ibu tidak benar-benar menontonnya. "Malah sampai bisa poligami segala."
TKI yang Ibu maksud adalah ayahku. Dan yah, begitulah. Ayah menikah lagi dengan sesama TKI di Jepang saat aku berusia lima bulan di kandungan Ibu. Ayah bekerja di pabrik perusahaan otomotif dengan gaji yang lumayan besar kala itu. Dan mungkin karena yakin bisa menghidupi dua istri, beliau menikah lagi.
Ibu tak terima, memilih bercerai saja. Dan Eyang menyalahkan Ibu yang tak mau diajak merantau ke negeri orang. Padahal kondisi Ibu yang lemah saat mengandung dirikulah sebabnya. Hanya saja orang-orang tak mau mengerti. Selalu saja istri yang dipersalahkan jika suami nikah lagi.
Eyang tak menanggapi ucapan Ibu tadi, wajah tuanya memberengut. Jujur saja aku kurang suka saat Eyang menyalah-nyalahkan Ibu. Meski begitu, aku juga kasihan pada beliau jika disudut-sudutkan Ibu seperti sekarang.
"Reta itu bisa jaga diri kok, Bu," sambung Ibu. "Lagian ada Ben juga di sana."
"Tapi si Ben itu ndak mungkin jagain cucuku 24 jam, toh?" Akhirnya Eyang bersuara.
"Ya jelas, dong, Bu. Memangnya si Reta anak TK pake dijaga-jaga segala?" celetuk Ibu dengan nada kalem tapi tajem.
Sejak masih jadi mertua dan menantu, hubungan Ibu dan Eyang memang kurang akur. Setelah orang tuaku bercerai malah makin menjadi. Kalau mereka ketemu selalu saja perang mulut. Dan aku hanya bisa melengos lalu menyingkir jika sudah begitu.
Hubungan mereka semakin parah saat aku memutuskan nikah muda. Eyang berusaha melarang, Ibu justru mendukung. Begitu aku memutuskan ingin bercerai, reaksi mereka juga tetap sama. Eyang sekuat tenaga mencegah, Ibu merestui segenap jiwa.
"Anak ya tetap anak," Eyang memelototi Ibu, "apalagi Reta itu anak wedhok."
"Ndak ada bedanya anak wedhok sama anak lanang, Bu." Ibu mulai mengganti saluran tivi.
"Ya jelas beda, toh!" Alis kiri Eyang menukik.
Saluran tivi berganti lagi. "Sama, Bu."
"Beda!"
"Sama!"
"Assalamualaikum, Mas Ben!" seruku pada ponsel yang sebenarnya tidak sedang tersambung telepon dengan siapa pun.
Aku segera lari terbirit-birit menuju teras samping. Perang mulut Ibu dan Eyang biasanya akan berlangsung alot dan panjang. Jadi lebih baik menyingkir daripada terjebak di antara mereka. Begitu duduk di kursi teras, refleks kupanggil nomor Mas Ben.
"Ya Allah, Dek...," suara parau medok menjawabku, "kamu itu kok yo tego*. Jam dua subuh di sini, lhooo...." (*kok ya tega)
Kutepuk jidatku meski tahu Mas Ben tak bisa melihatnya. "Sorry, Mas," aku terkekeh, "anggap aja alarm buat solat malam."
"Inggiiih, Bu Ustadzaaah." Mas Ben lalu menguap. "Ada apa, sih? Awas aja kamu nelepon mau bilang berubah pikiran, Dek."
"Enggak, kok, Mas. Ndak akan berubah pikiran."
Tentu saja aku tidak akan berubah pikiran sekalipun Eyang menentang keberangkatanku. Proses pengajuan visa kerja ke Amerika yang terkenal sulit, bisa kujalani tanpa hambatan berarti. Aku juga berhasil mendapatkan tiket termurah yang kubeli tujuh minggu lalu (tips penting berburu tiket murah dari Mas Ben, beli kira-kira dua bulan sebelum keberangkatan). Kemudahan demi kemudahan yang kualami terasa seperti dukungan semesta untuk memperbaiki hidupku yang porak poranda ini. Jadi tidak ada alasan bagiku untuk tidak pergi.
"Cuma mau mastiin aja, lowongan spesial dari bos Mas Ben itu sudah terisi atau belum?"
Mas Ben berdecak. "Kalo sudah terisi ya pasti Mas hubungi kamu lebih dulu, toh, Dek."
"Ya barangkali aja Mas lupa gitu." Aku kembali terkekeh.
"Kalo deket tak pites jidat jenongmu itu lho, ya." Ada nada sayang dalam suara kesal Mas Ben. "Tenang aja. Pokoknya kamu nyampe aja dulu di New York. Kalo pun lowongan itu sudah terisi, kamu 'kan masih harus tetap magang di L'Abeille."
"Iya, aku tahu, Mas. Tapi...."
"Tapi apa?"
Sebenarnya aku kepikiran ucapan Eyang tadi. "Temennya Mas itu bukan penjahat kelamin, 'kan?"
Tawa Mas Ben meledak tiba-tiba, terdengar geli. "Kalo iya Mas ndak mungkin nawari kamu kerjaan itu, Dek. Si Jo itu lebih mikirin makanan dibanding cewek. Lha wong tunangannya aja jarang digrepe-grepe. Lepas perjakanya aja baru setahun lalu, kok."
Aku meringis. "Too much information, Mas." Kehidupan seks atasan bukanlah informasi yang aku butuhkan saat ini. Tapi aku segera tersadar, salahku juga karena aku yang mengungkit-ungkitnya duluan.
"Kalo dia berani macem-macem sama kamu, hajar aja sampai modyar!" Mas Ben lantas kembali tertawa keras.
Dan aku kembali meringis. Sepertinya hanya aku bawahan yang berencana mengebiri dan menghajar atasan sebelum memulai pekerjaan.
🧡🧡🧡
Hawa panas dan lembap menyambutku begitu menginjakkan kaki di landasan pacu bandara Jhon F. Kennedy, New York. Kulirik layar ponsel yang baru menyala, 38 derajat Celcius. Pantas saja. Segera kuteguk air mineral banyak-banyak hingga hanya tersisa seperempat botol.
Jangan sampai dehidrasi di tengah cuaca ekstrem begini. Menurut informasi yang kubaca, sudah ada sepuluh korban jiwa akibat gelombang panas yang melanda New York tahun ini.
Begitu memasuki pintu garbarata, akhirnya aku bisa bernapas lega karena merasakan embusan penyejuk udara. Setelah segala urusan yang berhubungan dengan dokumen imigrasi dan bagasi selesai, kulangkahkan kaki menuju terminal kedatangan.
Kepalaku celingak-celinguk ke arah kerumuman bule di dekat pintu terminal. Dan kepala semi plontos Mas Ben langsung bisa kutangkap dari sini. Senyumku seketika merekah. Kulambaikan tangan dengan heboh lalu segera menggeret koper.
Mas Ben tersenyum cerah. Rinduku terobati saat melihatnya. Hampir tiga tahun lamanya kami tak berjumpa. Terakhir kali adalah saat dia menikah dengan Mbak Roxene.
"Mas Beeeen!" Aku segera menghambur ke pelukannya. Dengan mudah dia mengangkat badanku lalu membawaku berputar-putar beberapa kali, membuatku berayun-ayun seperti anak kecil.
Kalau bukan karena rindu, aku jelas-jelas malu diperlakukan begini. Tapi sepertinya tak ada seorang pun yang menertawakan tingkah kami. Entah karena tak peduli atau bule-bule itu mengira aku memang masih kecil, mengingat postur tubuhku yang jauh lebih mungil dibanding Mas Ben yang berbadan tinggi besar.
"Kangeeennn...." Mas Ben menepuk-nepuk lembut punggungku. "Adik Mas sudah gede, sudah jadi janda pula. Duh, Ya Allah, Gustiiii."
Kudorong dada Mas Ben seketika, membuatnya tertawa lepas. "Plis deh, Mas," sungutku. Aku kembali celingak-celinguk. "Mbak Roxene ndak ikut, Mas?"
"Ndak, Mas suruh istirahat aja di apartemen." Mas Ben senyam-senyum. "Roxene-" Mendadak dia berhenti bicara. Ekspresinya seperti baru saja dihantam sesuatu.
"Mbak Roxene kenapa, Mas?"
"Anu... ng...," Mas Ben menggaruk-garuk lehernya, kelihatan serba salah.
"Ada apa, sih?" Kuamati wajah Mas Ben. Dia mencuri-curi pandang ke arahku, salah tingkah.
"Ndak kenapa-napa." Mas Ben lalu menarik koperku. "Ayo, office hour ntar lagi selesai. Bisa kena macet kita."
Aku masih menatapnya, penasaran. Tapi begitu kaki panjang Mas Ben melangkah, aku bergegas mengikuti. Kalau ketinggalan sedikit saja, bisa-bisa kaki pendekku harus berlari menyusulnya.
🧡🧡🧡
Untuk standar New York, hidup Mas Ben dan Mbak Roxene terbilang cukup mapan. Apartemen mereka lumayan luas dengan tiga kamar. Bisa kubayangkan berapa harganya. Tidak ada yang serba murah di kota ini. Seperti Jakarta. Tapi Rio bilang, biaya hidup di Jakarta jauh lebih mahal dibanding New York.
Aku tersentak. Duh! Seharusnya nama itu tak perlu terbawa sampai ke sini. Segera kugelengkan kepala keras-keras berulang kali. Hidup baruku di New York tak boleh ternodai kenangan masa lalu.
"Reta, are you okay?" Suara lembut Mbak Roxene membuatku terkejut. Perempuan cantik berambut merah gelap itu baru saja keluar dari kamarnya, tak jauh dari ruang keluarga tempat aku duduk sekarang. Wajah pucatnya tampak khawatir. Mungkin karena melihatku menggeleng-geleng barusan.
"Oh-yeah." Aku berusaha tersenyum. "I'm still suffering from jet lag."
Aku tidak bohong. Lelah akibat perjalanan panjang masih kurasakan. Tubuhku juga sedang berusaha menyesuaikan perbedaan waktu. Tapi di mataku, kondisi fisik Mbak Roxene-lah yang kelihatannya lebih perlu dikhawatirkan. Dia sudah tampak pucat sejak aku tiba dua hari lalu. Katanya hanya sedikit tak enak badan karena faktor cuaca.
"Masih jet lag?" Mas Ben menyahut dari kitchen island. Dia sedang menyendokkan bubur ke dalam mangkuk. "Kalo gitu ndak usah ikut Mas ke L'Abeille hari ini. Kamu istirahat aja dulu. Nanti Mas sampaikan ke manajer."
Aku berdiri, menyusul Mbak Roxene yang sudah berjalan ke arah Mas Ben. "Ndak enak ah, Mas. Masa minta perlakuan spesial terus?"
"Santai aja," timpal Mbak Roxene menggunakan bahasa Indonesia yang cukup baik walau logat Amerikanya masih kentara. Mas Ben yang mengajarinya sejak mereka pacaran. "Manajer di sana teman baik Mbak."
"Ndak apa-apa, serius. Kali aja jet leg-nya bisa hilang kalo dibawa keluar rumah."
"Yakin?" Mas Ben terlihat sangsi.
"Iya, Mas. Bosen juga lho aku, pengin lihat pemandangan kota."
"Halah, pemandangan opo. Sama aja kayak Surabaya, gedung pencakar langit di mana-mana. Yang ada kamu bakalan bosan lama-lama." Mas Ben menggeser mangkuk berisi bubur itu ke arah Mbak Roxene yang sudah duduk di salah satu kursi.
Aku mengamati perubahan wajah Mbak Roxene saat menatap makanannya. Dia seperti mau muntah. Dan mendadak aku teringat pada kenangan beberapa bulan lalu, saat....
"Kalo kamu bener-bener siap, ya udah ayo. Kita berangkat sekarang," ucap Mas Ben padaku. Dia lantas mengecup kening Mbak Roxene kemudian membisikkan sesuatu di telinganya, membuat perempuan itu mengangguk lemah.
Aku agak terpaku melihat pemandangan itu. Ada sedikit nyeri di ulu hati yang tak ada hubungannya dengan jet lag. Melainkan luka hatiku yang ternyata belum sembuh sepenuhnya.
🧡🧡🧡
"Soyez le bienvenue parmi L'Abeille!*" seru Mas Ben bangga dalam bahasa Prancis. (*Selamat datang di L'Abeille!)
Kami baru saja turun dari mobilnya di depan sebuah bangunan megah sepuluh lantai bergaya modern dengan desain atap piramida seperti museum de Louvre di Paris, Prancis. Seluruh dindingnya terbuat dari kaca tembus pandang.
Selain restoran, gedung ini merangkap kantor dan galeri seni milik keluarga Chevalier, pengusaha sukses asal Prancis yang sudah bermukim di New York sejak lebih dari tujuh puluh tahun lalu. Dari cerita Mas Ben, si pemilik hanya iseng saja mendirikannya, saking tak tahu lagi kekayaannya yang menggunung itu mau diapakan. Dan sekarang aku keki setengah mati, hasil pekerjaan iseng saja begini jadinya, apalagi kalau sungguh-sungguh?
Aku ternganga cukup lama sampai-sampai Mas Ben berkata dengan nada geli, "Ojo mangap toh, Dek."
Buru-buru kukatup mulutku lalu tertawa. Mas Ben sudah sering memperlihatkan foto tempat kerjanya ini di media sosial. Tapi melihatnya secara langsung tentu berbeda lagi level ketakjuban yang dihasilkan.
Mas Ben membawaku masuk melalui pintu yang berbeda dengan pintu untuk pengunjung. Letaknya di halaman belakang bangunan, tak jauh dari area parkir. Banyak mobil mewah di sana, tapi satu yang sangat menarik perhatianku. Sebuah truk besar bertulisan Armadillo terparkir dengan gagahnya.
Aku tak sempat bertanya pada Mas Ben tentang truk besar itu karena dia sudah membuka sebuah pintu kaca. Kami terus berjalan menuju lift yang membawa kami ke lantai lima, tempat restoran berada.
"Ada restoran juga di lantai sepuluh, tapi cuma buat tamu-tamu VIP. Lantai lima untuk umum," jelas Mas Ben.
Setelah sampai, Mas Ben langsung mengajakku ke masuk ke sebuah ruangan. Jadi aku hanya sempat melihat isi restoran mewah ini sekilas saja.
Ada lima orang yang sedang duduk bercengkrama di sebuah mini bar. Empat cowok mengenakan pakaian biasa dan satu cewek yang sudah siap dengan seragam putihnya. Mataku langsung tertuju padanya, satu-satunya yang berparas Asia di antara mereka.
"Howdy y'all*!" seru Mas Ben pada mereka, yang kemudian menoleh ke arah kami. (*Hai, semuanya!)
"Hi, Ben!" jawab mereka serempak dengan mulut sedang mengunyah.
"Want some pie?" Cowok pirang menunjuk tiga tumpuk kotak persegi yang aku yakin berisi piza jika dilihat dari gambar pada kotaknya.
Mas Ben sepertinya menangkap keherananku lalu menjelaskan dengan berbisik, "New York slang, pie is pizza."
Aku mengangguk-angguk bingung. Tapi belum tuntas rasa bingungku, Mas Ben sudah mengumumkan siapa aku pada rekan-rekan kerjanya. Dan mereka langsung berdiri dengan antusias lalu menghampiriku.
"Hi, Reta." Si 'pie' pirang tadi lebih dulu menjabat tanganku. Senyumnya mengembang cerah "I'm Jason. Pleased to meet you."
Tangan kananku masih berada di genggaman si 'pie' Jason saat tangan-tangan lain terulur.
"Je m'appelle* Jerome." Cowok Prancis berambut gelap. Senyum Jerome ramah, tatapannya intens tepat di kedua mataku. Kalau saja aku tak paham bagaimana standar bule dalam berinteraksi, aku pasti sudah salah paham, mengira dia naksir aku. (*Nama saya)
"Je m'appelle Hugo. Enchanté*, Reta." Pesona maskulin dibungkus penampilan Hugo yang modis habis, khas cowok Prancis.(*Senang bertemu denganmu)
"Nick." Cowok terakhir ini memberiku kedipan, yang hanya kubalas dengan anggukan.
"Halo, Reta. Saya Flora Anggoro." Cewek berwajah Asia tadi mengulurkan tangannya. Mau tak mau aku merasa senang mengetahui bahwa dia orang Indonesia.
Perkenalanku dengan mereka berlangsung hangat. Mereka cukup kocak, terutama para cowok. Walau begitu mereka juga sering roaming, saling melempar candaan yang tak kumengerti. Mbak Flora-lah yang lebih banyak bicara denganku. Dari penuturannya, dia sudah hampir satu tahun bekerja di sini dan tak lama lagi akan kembali ke Indonesia setelah kuliahnya di CIA (Culinary Institute of America) selesai.
Tak berapa lama, seorang perempuan berpakaian kerja rapi muncul. Namanya Candice Morin, manajer L'Abeille, teman karib yang Mbak Roxene sebut tadi. Dia menjelaskan rincian pekerjaanku di sini.
Karena aku anak magang dan belum begitu banyak pengalaman, posisiku di dapur 'cuma' mempersiapkan bahan-bahan masakan yang biasanya seabrek-abrek, atau terkadang membantu memasak makanan sederhana. Bahasa kerennya apprentie alias cook helper.
Tapi berguru selama tiga bulan secara langsung dengan para Chef luar biasa di sini adalah pengalaman berharga yang harus kupergunakan sebaik-baiknya. Atau begitulah dugaanku, sebelum aku tersadar bahwa ada tugas lain yang menanti di sini.
"Ayo, Dek. Kita ke atas jumpain big boss." Mas Ben memberi tahu setelah Candice selesai menjelaskan job desk-ku.
Aku berpamitan pada teman-teman baruku dan mereka bilang akan menungguku di dapur. Kuikuti langkah Mas Ben menyusuri lorong panjang. Kami berjalan lumayan jauh dari ruang pegawai tadi. Lalu kami berhenti di depan sebuah lift yang posisinya sedikit tersembunyi.
"Ini lift pribadinya big boss. Langsung menuju ruang kerjanya. Dan ndak sembarangan orang boleh naik," penjelasan Mas Ben membuatku manggut-manggut. Kalau Mas Ben boleh naik, berarti Mas Ben cukup penting. Oh, iya. Mas Ben kan teman baiknya.
Lift ini tak terlalu besar, tak seperti lift yang kunaiki sebelumnya, hanya cukup untuk kira-kira tiga orang. Itu kalau orangnya mungil-mungil kayak aku. Aku ditambah Mas Ben saja tak menyisakan terlalu banyak ruang untuk orang lain yang postur tubuhnya seukuran Mas Ben.
Pintu lift berdenting lalu membuka di lantai sepuluh. Sebuah ruangan luas langsung terhampar, terang benderang oleh perpaduan cahaya matahari yang menembus dinding kaca dan langit-langit berwarna putih bersih.
Seorang gadis berblazer abu-abu ketat duduk tegak di balik mejanya, mengetik entah apa. Rambut pirang emasnya dicepol ala pramugari super rapi. Tatapannya beralih padaku dan Mas Ben begitu kami melangkah ke arahnya.
"Hello, Benjamin," sapanya kelewat ramah dengan nada suara setengah mendesah. Kalau aku jadi Mbak Roxene, aku pasti resah.
"Hi, Brooke," Mas Ben membalas sekenanya. Dia lantas berhenti berjalan lalu berkata padaku, "Kamu tunggu di sini, ya. Mas masuk duluan. Duduk di mana pun kamu suka."
Mas Ben menunjuk dua kursi di dekat jendela dan set sofa yang kelihatan empuk tak jauh dari meja kerja Brooke. Aku pilih duduk di kursi saja. Mas Ben terus berjalan menuju pintu berbahan kayu yang cukup jauh dari sini. Ada dua pintu lain lagi: satu berbahan kaca yang terhubung dengan ruangan lain dan satu lagi berbahan metal yang kuasumsikan sebagai pintu menuju tangga darurat.
"Hello, can I get you anything to drink?" Aku terkejut mendengar pertanyaan dari suara mendesah. Brooke sedang berdiri di sisi mejaku. Wajahnya menampilkan senyum profesional. Sangat mirip sikap seorang pramugari. Mungkin saja itu profesinya dulu.
"Oh-no, thank you. I'll be fine." Aku membalas senyum profesionalnya.
Brooke kembali ke mejanya dan mulai mengetik. Aku hanya duduk dan mengamati pemandangan New York lewat jendela. Kota metropolitan yang tak pernah tidur, kata orang-orang. Sejujurnya aku malah ingin tidur saat ini. Di Surabaya sekarang sekitar jam sepuluh malam dan biasanya aku sudah tenggelam dalam mimpi.
Rasanya lima belas menit sudah berlalu saat dering telepon terdengar. Brooke mengangkatnya. Tak lama kemudian dia menutupnya.
"Miss Reta, Mr. Soedibyo's waiting for you in his office," Brooke mengumumkan.
Mr. Soedibyo? Itu terdengar seperti nama keluarga Jawa alih-alih Prancis. Aku mengucapkan terima kasih pada Brooke lalu berjalan ke arah pintu yang Mas Ben masuki tadi. Sedikit gugup saat aku mengetuk pintu lalu membukanya. Sebuah ruangan luas terang benderang lainnya menyambutku. Fokusku langsung tertuju pada dua manusia yang ada di dalamnya.
Mas Ben tersenyum padaku. "Ayo, sini, Dek. Kenalin, ini Jonathan, bos sekaligus temen baik Mas."
Mataku beralih ke sosok bule yang duduk di balik meja kerja besar. Dia juga tersenyum padaku. Aku hampir saja membalas senyumnya saat menyadari wajah tampan itu tampak sangat familiar.
Rendang!
Satu kata tercetus di benakku seketika.
"Mas.... Iki ndak salah, ta? Wong iki bos'e sampean? Bule sok tau iki?" (Mas.... Ini ndak salah, ya? Orang ini bosnya Mas? Bule sok tahu ini?)
Nada suaraku mungkin terdengar gusar di telinga Mas Ben sampai-sampai ekspresinya kelihatan terkejut. Dan memang benar, aku gusar bukan kepalang.
Saking gusarnya aku sengaja bicara menggunakan bahasa Jawa. Supaya si bule sok tahu itu bingung saja.
Aku tahu dia bisa bahasa Indonesia. Waktu mengomeliku soal rendang, logatnya fasih betul, seperti penutur asli. Tapi kalau bahasa Jawa, aku yakin seratus persen dia tak mengerti sama sekali.
Tapi yang tampak bingung justru Mas Ben. "Dek, apa sih? Ndak sopan kamu. Dia bosmu juga mulai hari ini."
"Emoh aku, Mas. Mending Mas golekno juru masak sing liyane. Aku ndak sudi masak gawe dek'e. Bule rempong, kementus sisan!" ("Ogah aku, Mas. Mending Mas carikan aja juru masak lain. Aku ndak sudi masak buat dia. Bule rempong sok tahu!")
"Opo?! Awakmu ngelokno aku rempong? Kementus?!" (Apa?! Kamu ngatain saya rempong sok tahu?)
Giliran aku yang terperanjat.
🧡🧡🧡
Akhirnya updaaaatteee. Semoga update-an berikutnya lancar 😁😁
Love you all! 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top