2. Jo: Picky Eater
"Kalau makan ibarat bercinta, makanan apa yang akan lo pilih?"
-Jonathan
🌶🌶🌶
"Oh, no. Not escargot...!"
Serius. Apa nggak ada menu lain? Kumpulan bekicot itu nggak ada seksi-seksinya di mata gue walaupun berlumur bawang putih sama mentega leleh dan ditata ciamik di dalam pinggan keramik. Yang ada gue mau muntah. Tapi Hannah, tunangan gue, keliatan girang banget kayak dikasih emas batangan senampan.
Gue nggak ragu sedikit pun chef andalan L'Abeille mampu bikin escargot seenak dan selezat yang dikatakan orang, tapi gue nggak akan sudi menyantap makanan satu itu seumur hidup. Bekicot dan gue punya sejarah yang nggak enak banget buat dikenang. Mending makan bool ayam. Tau kan itu apa?
Hannah menyengih ke arah gue. Seratus persen yakin, dia sengaja pilih menu itu pasti ada maksudnya. Hobi barunya sekarang menyiksa gue dengan melakukan hal-hal yang nggak gue suka. Tom, si pelayan yang mengantarkan bekicot-bekicot laknat itu menatap gue dengan pandangan minta maaf.
"You're hopeless, Jonathan." Ibu kandung gue-yang gue panggil Mom-berbisik dengan suara kayak golok baru diasah. Tajem. Tom mengangkat piring amuse bouche punya Mom yang udah kosong.
Lagi-lagi Tom melirik ke arah gue dengan tatapan yang sama. Perut gue mulai melilit nggak enak. Begitu pinggan baru berisi hidangan pembuka pilihan Mom diletakkan, mata gue otomatis membelalak. Oh, not again!
Foie gras (baca: fwa gra-bukan viagra, man) nangkring dengan anggunnya di sana.
Sialan! Gigi gue menggeletuk. Nafsu makan gue langsung anjlok. Jadi nyesal kenapa gue mengiakan ajakan makan siang bareng dari Mom. Kalau mereka pikir dengan memesan menu-menu itu bakalan bikin selera gue soal kuliner bisa berubah semudah ganti sempak, mereka salah besar. Ya jelaslah. Lidah gue Indonesia banget sejak bayi.
"Don't let us spoil your appetite, Honey. (Semoga selera makan kamu nggak terganggu, Sayang)" Hannah menatap gue sok prihatin. Gue yakin dia sedang terbahak-bahak dalam hati.
Hohoho. Gue jamin tampang sok berpuas diri mereka nggak bakalan bertahan lama setelah lihat menu yang gue pilih.
Pembalasan yang gue tunggu akhirnya nyampe juga. Tom meletakkan piring putih lebar berisi campuran tauge, potongan tahu goreng, lontong, kentang goreng, dan irisan timun yang disiram saus kacang di hadapan gue. Plus kerupuk udang yang bikin air liur gue hampir netes kayak cowok mesum disuguhin dada montok. Gue decap-decapkan bibir dengan sengaja, mengabaikan tatapan Mom. Nggak tau gimana tampangnya sekarang. Tapi gue yakin itu bukan jenis ekspresi penuh kasih sayang.
"Tahu tek." Tom mengumumkan dengan logat yang terdengar aneh. Dia mengucapkan huruf 'E' seperti kalau lo nyebutin angka 'enam'. Senyum gue mengembang lebar.
"Aku tahu apa namanya, Tom." Gue mengangguk penuh terima kasih, nggak lupa kasih dia kedipan yang kalau si Tom ini cewek, bakalan bikin dia menggelepar pasrah kayak ayam habis disembelih. "Ah, siapa koki yang membuat ini, Tom?"
"Flora Anggoro. Dia koki baru asal Indonesia, Sir."
Wow, kejutan banget. Koki dari Indonesia nggak pernah ada sebelumnya di restoran keluarga gue. Jadi penasaran gue sama rasa masakannya.
"Sekali lagi terima kasih, Tom."
Tom mengangguk lalu meninggalkan ruang makan private restoran. Cuma dia satu-satunya pelayan yang boleh masuk ke ruangan private kalau gue lagi makan di sini. Gue berusaha untuk nggak kontak dengan banyak pegawai di restoran. Nggak ada niat buat sombong. Gue cuma nggak mau pegawai gue tau rahasia-yang menurut Mom memalukan dan menyedihkan-bahwa gue nggak bisa nyantap makanan western.
Yeah, sekalipun L'Abeille gue yang rintis dan kelola sampai segede sekarang, gue belum pernah sekali pun nyicipin makanan Prancis yang emang udah jadi ciri khasnya. Dan lagi pula, restoran Prancis nggak masuk dalam daftar bisnis yang bakalan gue handle sampai rambut gue ubanan. Ini semua ide Mom dan suami barunya. Dan tentu saja, modalnya dari mereka. Gue cuma nyumbang otak.
"Bon appetite (selamat menikmati)," Gue berseru riang, lebih ke diri gue sendiri. Satu sendok pertama tahu tek udah berpindah ke mulut gue.
Ooooh, God! Lo dengar bunyi keretak tauge dan timun di dalam sana? Benar-benar seksi, man! Mata gue memejam sementara gigi geraham gue menggilas duo sayuran itu bersama potongan tahu, lontong, dan kentang goreng dalam lumuran saus kacang super lezat yang pernah gue coba selama di New York. Mereka membaur, berkolaborasi menghasilkan rasa baru yang sulit gue gambarkan. Oke. Gue nggak punya bakat bikin kata-kata gombal receh. Tapi yang pasti, rasanya pecah!
Belum pernah, selama gue di New York, makan masakan Indonesia yang rasanya bisa bikin gue merem melek keenakan kayak gini. Siapa tadi nama kokinya? Ah, iya. Flora Anggoro. Gue ulang-ulang namanya sampai hapal. Harus segera panggil dia buat ketemuan. Ini pasti menarik. Gue rela bayar berapa pun supaya dia mau jadi koki pribadi gue. Kalau dia masih single dan-ini wajib-cakep, bolehlah gue lamar jadi istri. Terus si Hannah? Boleh lo ambil kalau mau.
Lo pasti heran, restoran Indonesia di New York cukup banyak sekarang. Masalahnya, gue udah datangin semuanya satu-satu. Segitu hopeless-nya gue, man. Tapi tetap masih belum bisa memuaskan lidah gue yang memang picky banget soal rasa.
"Demi Tuhan...!" Suara Mom kedengaran kayak ular lagi mendesis. Gue lirik piringnya, foie gras-nya belum disentuh sama sekali.
"Kenapa, Mom? Hati angsanya ngadu, ya? 'Please, don't eat me.... Aku ini produk hasil kerjaan orang-orang biadab.'"
Ya. Siapa yang nggak tau gimana foie gras dibuat? Para bedebah itu menyiksa angsa-angsa nggak berdosa, memaksa mereka makan dalam jumlah yang nggak berperikebinatangan, mengurung mereka sepanjang waktu di kandang sempit supaya nggak leluasa bergerak, sampai lama-kelamaan tubuh mereka membesar, menggemuk nggak wajar. Hati mereka yang bersalut lemak diambil terus diolah jadi santapan mewah menjijikkan. Emangnya mereka kurang bahan makanan banget apa sampai segitunya nyiksa hewan?
Wajah Mom memerah. Tapi gue tau banget, yang membuatnya begitu bukan karena membayangkan penyiksaan sadis yang menimpa para angsa. Nggak lain nggak bukan ya disebabkan makanan yang lagi gue kunyah. Mom punya kenangan 'manis' dengan ini.
"Itu salad?" Hannah tiba-tiba komen. "Menu baru L'Abeille?" Suaranya terdengar tertarik. Gue menoleh, kasih dia seringai.
"Nope. Ini menu khusus buat aku. Restoran Prancis nggak bikin ini."
Secercah pemahaman terlihat di mukanya yang sebenarnya luar biasa cantik. Tapi sekadar cantik nggak bikin gue berhenti buat cari yang lebih baik.
Dia kelihatan nggak setertarik tadi "Oh, makanan itu."
Makanan itu yang dia maksud adalah jenis makanan tradisional Indonesia kegemaran gue yang membuatnya dongkol. Gue nggak mengerti kenapa. Memangnya dosa besar menyukai makanan selain western food?
"Kamu harus coba, Hannah. Ini luar biasa enak." Tatapan gue beralih ke Mom. "Dulu seseorang pernah berjualan ini untuk menyambung hidup. Karena itulah, aku memesannya sebagai tanda penghargaan luar biasa. Tahu tek ini layak mendapatkannya."
Mom mendengkus. Dia lantas memotong foie gras dan memakannya. Gue langsung buang muka. Ruang makan private L'Abeille mendadak jadi gerah.
"Kenapa?" tanya Mom. "Seharusnya kamu sudah terbiasa dengan semua ini, Jonathan. Pemilik restoran mana yang enggan menyantap makanan dari restorannya sendiri? Ini semua makanan berkelas, Sayang. Oh, ayolah. Kamu benar-benar...."
"Ndeso?" Gue menyelesaikan kalimat Mom dalam bahasa Jawa. Bahasa yang udah lama banget nggak pernah digunakan di antara kami.
Mom ngasih gue tebasan mata tajam. Gue tau dia pasti berharap tatapannya bisa mengikis habis sisa-sisa ke-Indonesia-an yang masih melekat kuat di diri gue. Tapi itu nggak akan bisa dan nggak akan pernah terjadi. Separuh darah gue berasal dari sana. Walaupun lahir di New York, gue hidup selama satu dekade di Jakarta. Lo tau kan satu dekade berapa tahun? Sepuluh, man. Kecuali beberapa hal, New York nggak pernah benar-benar bisa mengubah kebiasaan gue.
"Err... apa itu ndeso?" Pertanyaan canggung Hannah memutus ketegangan antara gue dan Mom.
"Bukan apa-apa. Oh, lebih baik kita membahas soal pernikahan," sahut Mom sambil mengibaskan tangan. Matanya mendadak terlihat berkilat-kilat.
Gue dan jutaan laki-laki di dunia ini setuju, perempuan adalah makhluk paling nggak bisa ditebak yang ada di muka bumi. Sigmund Freud juga sepakat. Psikiater itu bilang, nggak ada yang benar-benar tau apa yang mereka inginkan.
Mom dan Hannah adalah contoh nyata yang paling dekat dengan gue. Mom nggak terlalu menyukai Hannah. Begitu juga sebaliknya. Tapi Mom sangat ingin melihat gue dan Hannah menikah. Nikah, my ass.
Gue rasa itu karena latar belakang keluarga Hannah yang prestisius. Ayahnya senator New York. Satu-satunya hal paling membanggakan yang udah gue lakukan menurut versi Mom. Memacari anak senator. Dia nggak pernah menghitung jasa gue yang udah memajukan bisnis restoran keluarga sampai sebesar sekarang. Sekali pun enggak.
"Itu masih sebelas bulan lagi," gerutu gue. Yeah, waktu yang lebih dari cukup buat bikin rusuh terus bubar jalan.
"Pesta pernikahan yang sempurna tidak akan pernah terjadi tanpa persiapan matang, Honey. Sebelas bulan itu sudah mepet."
Gue nggak menjawab, cuma mendengus dalam hati. Apalah artinya pesta pernikahan sempurna kalau hubungan kami sesungguhnya jauh dari kata sempurna? Dan kalau dipikir-pikir lagi sekarang, gue heran kenapa bisa sampai ngelamar Hannah setahun lalu. Oh, bener. Setahun lalu dia masih cewek manis yang keliatannya nggak terlalu peduli gue mau pakai subway-sodaranya MRT-atau Lamborghini ke mana-mana.
Menghela napas, gue kembali melahap tahu tek dalam suapan-suapan besar lalu mengunyah, menghasilkan suara berdecap-decap heboh. Gue bisa merasakan tatapan mencela Mom. Persetan dengan table manner.
Gue tau sikap gue nggak sopan banget ke ibu sendiri. Apalagi gue udah melakukannya praktis selama sepuluh tahun tinggal bareng Mom di New York.
Gue begini karena nggak terlalu suka dipaksa tinggal di New York. Jadi warga negara Amerika bukan impian terbesar gue. Kalau cuma mau ngumpulin pundi-pundi dollar, gue akui di sini lahan basah buat gue. Tapi tempat yang gue sebut rumah berada nun jauh di sana. Di mana Bapak berada. Anjrit. Melankolis kan gue jadinya.
"Sampel undangan sudah jadi. Aku akan mengirimkan padamu besok. Seratus nama itu sudah pasti, Ellie?" Hannah menaruh garpunya, menatap Mom, mengabaikan keberadaan gue, seolah-olah gue cuma pajangan patung lilin. Gue bahkan belum pernah melihat sampelnya. Apa cuma dia yang menikah di sini? Well, bukan berarti gue mau meneruskan rencana Mom buat nikah, sih. Gue bahkan sedang putar otak supaya pernikahan ini gagal.
"Ya. Kita tidak perlu mengundang terlalu banyak. Kamu tahu Jonathan paling tidak suka wajahnya diketahui banyak orang, kan?" Mom berkata seperti gue sedang berada di dunia lain alih-alih di sampingnya.
"Ya, aku tahu. Tapi ibuku agak kecewa, Ellie. Banyak nama kerabat kami yang belum dimasukkan ke daftar."
Oh, yang benar aja. Gue bahkan nggak bisa protes karena banyak kenalan gue yang nggak masuk daftar.
Sudut-sudut bibir Mom berkerut-kerut. Itu pertanda sedang mempertimbangkan. Jelas dia harus menyenangkan hati calon besannya. Dan pada akhirnya dia memberi anggukan. Hahaha!
"Baiklah. Tapi kuharap tidak lebih dari dua ratus."
"Tentu. Tidak akan sebanyak itu." Hannah berseri-seri.
Oke. Gue rasa udah saatnya membuat mereka menyadari eksistensi gue. Dan kayaknya sekarang waktu yang tepat buat melempar bom yang akan mengakhiri drama memuakkan ini.
"Aku akan mengundang Bapak. Dia harus hadir di pernikahan putranya." Gue memulai strategi.
Gue paham banget, kehadiran Bapak adalah hal yang paling nggak Mom harapkan. Dia lebih memilih mengundang seratus gelandangan yang berseliweran di jalanan Fifth Avenue. Bahkan kalau New York bakalan hancur lebur dihantam asteroid kayak di film Armageddon, Mom akan pilih mati daripada minta tolong sama Bapak.
"Langkahi mayatku dulu, Jonathan." Mom meremas serbet dengan kekuatan yang gue yakin bisa mencekik leher gue sampai mampus.
Tapi sebelum mampus, izinkan anakmu mengatakan ini dulu, Mom.
"Oke kalau begitu. Atau nggak akan ada pernikahan sama sekali." Selesai. The end. Tamat.
🌶 🌶 🌶
Oke, gue keliru. Nggak semudah itu ternyata, man.
Mom jelas dongkol banget sampai-sampai dia pergi tanpa menghabiskan foie gras-nya. Tapi belum ada kata sepakat untuk mengundang Bapak atau membatalkan pernikahan seperti yang gue harapkan. Pancingan gue gagal total sepertinya.
Dan Hannah pikir gue mencoba putus darinya menggunakan Bapak sebagai alasan. Tentu saja maksud gue memang begitu-maafkan anak durhakamu ini, Pak. Tapi gue nggak mungkin bilang terang-terangan.
Gue berdalih bahwa gue juga mau momen sekali seumur hidup gue itu dihadiri oleh orang yang paling penting buat gue. Yang sebenarnya nggak sepenuhnya bohong juga. Gue memang ingin Bapak menyaksikan anak satu-satunya ini nikah-walaupun jelas nikahnya nggak sama Hannah. Harusnya sih dia ngerti soal begituan.
Yeah, ladies, bukan hanya kalian yang ingin dimengerti.
Ketukan di pintu ruang kerja membuat gue membuka mata. Ruangan yang terang benderang langsung bikin mata gue mengerjap-ngerjap karena silau. New York lagi di puncak musim panas sekarang. Jadi cahaya matahari lagi terik-teriknya menerobos masuk lewat dinding kantor gue yang semuanya terbuat dari kaca.
Gue luruskan posisi duduk, merapikan rambut dan jas, mengorek belek yang mungkin nyembul, mengambil pena lalu membuka-buka lembar dokumen di atas meja. Jaga wibawa itu perlu, man.
"Come in," sahut gue dengan nada resmi.
Pintu terbuka dan sebuah kepala pirang dengan botak di bagian depan mendadak muncul dari celah yang nggak terlalu lebar.
"Aku ganggu koen nggak, bro? (Aku ganggu kamu nggak, bro?)"
Benjamin Cohen alias Ben, sahabat gue sejak di Jakarta. Salah satu alasan kenapa gue membetah-betahkan diri tinggal di New York. Kalau saja dia nggak menerima tawaran gue untuk bekerja di L'Abeille, gue rasa gue akan nekat segera menyusulnya jadi warga negara Indonesia-yang akan gue lakukan, suatu hari nanti setelah 'kontrak' gue dengan Mom berakhir.
"Oalah, koen ta dadakno (Kamu ternyata). Gue kira siapa." Gue langsung mengubah sikap tubuh jadi lebih santai.
Ben menyengir, masuk lalu menutup pintu. Kalau ada yang kebetulan lewat dan mendengar percakapan kami tadi, gue yakin orang itu akan mengira gue dan Ben sedang menggunakan semacam kode rahasia. Memangnya seberapa sering lo dengar dua laki-laki kulit putih-walau gue separuh Indonesia, penampilan gue nggak ada jejak Asia sama sekali-menggunakan bahasa aneh dengan logat yang terdengar medok begitu?
Mungkin kedengarannya aneh buat orang lain, tapi ngobrol dengan Ben justru jadi semacam terapi buat gue. Bukti bahwa gue masih punya sesuatu yang nomal senormal bernapas. Dan yang menjaga gue agar tetap waras. Ebuset, bahasa gue. Tapi serius. Kalau aja dia wanita, mungkin udah gue ajak ke KUA.
Ben duduk di seberang meja gue dengan sikap sama santainya. Kalau sudah berdua, nggak ada tanda-tanda kalau dia bawahan dan gue atasannya. "Lecek amat itu muka? Setrikaan rusak, bro?"
Gue lempar pena ke arahnya, yang dia tangkap dengan satu tangan. Wajah Ben dihiasi cengiran. Setrikaan yang dia maksud adalah Hannah sama Mom. Dia udah hapal banget, dua perempuan itu yang jadi sumber utama penyebab buruknya hari-hari gue.
"Biasalah, berantem. Tapi bukan itu sih yang paling bikin gue senewen."
"Trus apa?"
"Gue kangen sarapan ketoprak buatan Bapak."
Lo pikir cowok nggak pernah curhat? Haha. Gue melakukan itu bareng Ben sejak kami pertama kali mimpi basah. Tapi tentu nggak ada adegan pelukan dan usap air mata kayak cewek.
Ben ngikik. "Masih belum dapet kokinya?"
Gue langsung ingat tahu tek kemarin. CV si koki, Flora Lavanya Anggoro lagi nangkring di laci meja gue. Udah gue periksa. Gila. Jebolan CIA. Culinary Institute of America.
"Lo kenal sama koki yang namanya Flora Anggoro?"
"Kenal, lah. Kompornya persis di samping gue." Ben mengangguk. "Dia junior kita dulu di JLIS. Gue juga baru tau sih, hasil ngobrol sama dia."
"Serius, lo?"
"Iya. Emang kenapa? Lo pernah ketemu dia?"
Gue menggeleng. "Gue suka sama masakannya. Gue mau tawarin dia jadi koki pribadi."
"Sayang banget, bro. Udah gue tawarin ke dia sejak kapan hari, tapi dia nolak. Lagian nggak lama lagi dia bakalan balik ke Jakarta."
Gue langsung patah arang. Padahal gue udah telanjur jatuh cinta sama masakannya. Rasa saus kacang buatannya masih membekas kuat di mulut gue-walaupun gue udah sikat gigi berkali-kali. Susah buat dilupakan begitu aja. Anjay, lebay nggak sih gue? Tapi gue nggak bohong, man. Masakannya bisa bikin rasa kangen gue ke Bapak terobati.
"Tapi lo tenang aja. Gue udah nemu satu kandidat yang gue yakin lo bakalan suka sama hasil masakannya."
Gue langsung ngangkat muka natap si Ben. Arang patah di hati gue mendadak berproses jadi intan berlian. Huanjrit!
"Siapa? Kok lo bisa yakin gitu, bro?"
Ben senyum-senyum. Senyum yang gue tau bukan jenis untuk ngerjain alias nge-prank.
"Lo ingat kan dulu waktu kita masih di Jakarta, gue sering mudik ke Surabaya dan pulang-pulang bawa makanan khas sana berkardus-kardus. Lo bilang lo suka banget sama rasanya. Sampai gue cuma dapet jatah seuprit saking lo kemaruk ngabisin hampir semuanya."
Gue jadi ketularan senyumnya Ben. Nggak mungkin gue lupa masa-masa itu. Ben sering bolak-balik Jakarta-Surabaya dan bawa makanan hasil kreasi adik tirinya. Aduh, tapi gue nggak ingat lagi siapa namanya. Belum pernah ketemu juga.
"Nah, Reta adik tiri gue bilang, dia bersedia jadi koki pribadi lo. Dia lagi di sini sekarang. Mau ketemu nggak, bro?"
To be continued....
Maaf baru sempet update. Lagi sibuk promo novelku yang baru naik cetak. Hehehehe....
Udah pada punya beloooom?
Flora-Dicko udah bisa dipeluk, lhooo.... Judul versi novelnya lebih panjang.
If I Could TURN BACK Time.
Oiya, buat kalian yang punya instagram, follow akunku dong @tiarawales86. 😉
Love you 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top