1. Reta: Janda Muda
"Mencintai orang yang tepat di waktu yang salah juga dapat membuat hubungan menjadi tidak baik."
-Daud Antonius.
💔💔💔
Reta, Sayang. Aku minta maaf. Aku khilaf...!
Khilaf. Satu kata itu terus berdengung-dengung hebat di telinga. Gaungnya makin lama terdengar membesar, seperti gelembung sabun yang ditiup balita perempuan berambut panjang ikal di sana. Lalu seketika hilang tak berbekas bersamaan dengan letusan gelembung transparan itu.
Memangnya apa makna khilaf menurut dia? Apa khilaf namanya kalau dilakukan lebih dari sekali? Apa khilaf juga kalau melakukannya sambil menikmati? Tapi yang jelas, bukan khilaf namanya kalau sudah diniatkan berhari-hari, dan baru berhenti setelah dipergoki.
Gelembung sabun baru melintas dan mendarat tepat di pangkuanku. Suara tawa ceria terdengar. Balita tadi ternyata sudah berdiri di depanku, tersenyum. Aku ingin membalas, tapi segera kuurungkan. Hasilnya pasti lebih mirip seringai menyeramkan.
Segera kuusap pangkuanku hingga si gelembung sabun pecah. Kualihkan tatap dari si balita lucu. Rasanya seseorang yang kurang ajar sedang mengiris-iris hatiku lalu menaburkan garam dan memercikkan air perasan nipis di atasnya. Perih.
Anak. Seharusnya aku pun akan punya yang selucu dia. Kalau saja....
Kram dan mulas mendadak membelit perutku lagi. Tapi tak sehebat seminggu lalu, saat makhluk mungil bernama janin masih bersemayam. Saat akhirnya dia luruh tak bersisa.
Kutahan tangis mengenangnya. Usia kandunganku bahkan baru tiga bulan. Belum sempat kurasakan gerak tubuhnya menendang-nendang di dalam sana. Seperti apakah rasanya?
Memikirkan itu dadaku bergemuruh. Amarah dan makian yang sudah mengendap sejak berhari-hari, sekarang kembali bergejolak. Tapi tak ada satu kata pun yang bisa keluar. Karena setiap kali hendak membuka mulut, rasanya isi perutku ingin ikut berhamburan.
"Nyonya Margaretha Nurunnisa!"
Suara bersahaja perempuan terdengar melalui pengeras suara. Aku sudah hendak menggerakkan kursi roda pinjaman dari rumah sakit menuju kasir apotek. Tapi sebuah tangan mencegah.
"Biar aku aja."
Aku mendongak dan langsung mendelik. Mau apa manusia satu ini kemari? Tapi aku malas bertanya padanya. Kubiarkan dia melangkah ke arah kasir. Tatapanku terpancang ke punggungnya yang menjauh.
Mario Alvin Gunardi. Nama si pemilik punggung itu. Dia suamiku. Cowok yang menikahiku setahun lalu. Dan akan segera jadi mantan.
Setahun lalu, Rio-begitu kumemanggilnya-bak dewa bagiku. Pangeran berkuda putih yang menyelamatkanku dari kastil penuh derita. Tapi sekarang....
Air mataku mendadak tumpah. Potongan-potongan film berisi kenangan manis yang kumiliki bersamanya lagi-lagi menayangkan diri tanpa kuminta.
Kami pacaran sejak SMP, tapi tak pernah sekali pun pegangan tangan. Apalagi ciuman. Kesucian cinta-monyet-kami pertahankan. Dan begitu lulus SMK, Rio melamarku penuh keyakinan.
Cinta buta membuatku mantap menerimanya meski banyak tentangan dari kedua keluarga besar kami. Di mana lagi ada cowok waras yang mengajak nikah di usia muda? Di saat teman-teman sebayaku masih terjebak dalam hubungan tanpa status maupun pacaran, aku dan pangeranku menjalani cinta halal dalam pernikahan. Oh, so sweet....
So sweet tahi kucing!
Cinta halal yang kami agung-agungkan tak lagi suci. Hanya karena tuntutan seonggok daging yang bergelayut di selangkangan, dia gadaikan kesetiaan.
Kuhapus lelehan air mata begitu melihat sosoknya berjalan mendekat. Aku buru-buru mengulurkan tangan, merenggut kantong kertas berisi obat-obatan yang baru saja dia tebus lalu melempar beberapa lembar rupiah ke arahnya. Tanpa mengucapkan terima kasih, segera kuputar kursi roda menuju pintu keluar sebelum dia berusaha mengejarku.
💔💔💔
Empat minggu lamanya aku mengurung diri di rumah. Kuretase yang kujalani pasca keguguran memaksaku istirahat total.
Tapi empat minggu belum cukup untuk mengobati rasa kehilangan calon bayiku. Dan takkan cukup menghapus sakit hati karena pengkhianatan Rio.
Gugatan cerai sudah kulayangkan padanya sebelum darah nifasku mengering. Tak ada tawar-menawar. Hubungan kami harus bubar.
Aku tak pernah lagi melihat Rio setelah kedatangannya yang mendadak di rumah sakit. Sebelum hubungan kami bermasalah pun, kami tak terlalu sering bertemu.
Aku dan Rio terpisah jarak. Aku kuliah di Surabaya dan dia di Jakarta. Bertemu hanya dua minggu sekali. Sukur-sukur bisa berhubungan suami istri. Kalau pas aku sedang mens, ya... cuti. Apalagi saat aku positif hamil dan mengalami pendarahan ringan di minggu-minggu awal, tak ada hubungan seksual. Dokter melarang karena katanya bisa membahayakan janin.
Aku hakulyakin, hal itulah yang membuat Rio 'khilaf'. Kami jarang punya waktu bersama apalagi bercinta. Jadi begitu ada yang menawarkan kehangatan padanya, langsung disambar begitu saja. Ibarat kucing liar ketemu ikan segar.
Dering ponsel memecah hening di kamarku. Kupikir itu Rio. Hampir setiap hari dia menghubungiku. Jadi kubiarkan saja sampai deringnya berhenti. Tapi sepertinya si penelepon begitu gigih ingin bicara denganku-tak seperti Rio yang cuma missed call sekali langsung ciut nyali-hingga menelepon berulang kali, membuatku mau tak mau meraih benda pipih itu lalu membaca nama di layar.
Mas Ben calling....
Ya ampun. Aku sampai lupa masih punya dia.
Kutegakkan tubuh dari pembaringan, berdeham membersihkan kerongkongan lalu menyapa, "Assalamualaikum, Mas."
Kusetel suara senormal mungkin. Berharap sisa-sisa tangis semalam tak terlalu kentara.
"Waalaikumussalaam. Gimana kondisimu, Dek?" Suara bariton laki-laki 28 tahun itu terdengar fasih dalam bahasa Indonesia dengan logat Jawa medok semedok-medoknya. Bahkan jauh lebih medok daripada aku. Padahal dia bule asli. Panjang ceritanya mengapa bisa begitu.
"Lumayanlah, Mas. Lagi di mana, nih? L'Abeille?"
"Ya iya, di mana lagi?"
Ah, benar. Suara-suara sibuk di latar belakang sudah memberitahukanku di mana Mas Ben berada. Dia salah satu koki restoran Prancis paling terkenal di New York.
Kata Mas Ben, pemilik restoran itu adalah teman masa kecilnya. Teman dari mana, aku juga tak terlalu tahu. Tapi memang seingatku, saat saudara tiriku itu masih tinggal bersamaku dan Ibu di Surabaya, dia punya beberapa teman sesama bule juga.
"Pie kabare, Mas? Tumben-tumbenan nelepon jam segini?" Kusandarkan punggung dengan bantal. Di sini masih subuh, di sana baru mulai malam.
"Kabarku apik, Dek. Ada yang mau Mas omongin."
"Soal apa?" Aku mulai was-was. Jangan-jangan mau menasihatiku lagi soal bahaya nikah dini. Mas Ben bisa cerewet kayak embah-embah kalau mau.
Sejak awal, Mas Ben tak pernah setuju atas pernikahanku dan Rio. Jadi begitu tahu soal perselingkuhan itu, dia marah besar dan menceramahiku panjang lebar via telepon.
Bahkan dia sudah pesan tiket ke Indonesia hanya untuk menghajar Rio. Untungnya Mbak Roxene, istrinya, mencegah. Tapi saat akhirnya aku keguguran, omelan-omelan Mas Ben tak lagi terdengar.
Dia mulai jarang menghubungiku langsung. Hanya menanyakan kabarku melalui Ibu. Mas Ben pasti tahu, aku butuh menenangkan diri atas kejadian traumatis itu. Diselingkuhi masih bisa kutahan, tapi kehilangan anak luar biasa menyakitkan.
"Dek."
"Hmm?"
"Kalo nanti kamu jadi janda beneran, apa rencanamu selanjutnya? Jangan bilang kamu mau segera nikah lagi."
Astaga, mulutmu, Mas.
"Ya, ndaklah, Mas. Emangnya aku Ibu?" celetukku tanpa berpikir.
Kubekap mulutku begitu tersadar sedang ngrasani ibu kandungku sendiri.
"Hayooo, tak bilangi Ibu, lho." Mas Ben terpingkal-pingkal.
Dia tahu betul betapa sebalnya aku pada Ibu lantaran hobi beliau yang cukup memalukan bagiku. Kawin cerai. Sama bule pula. Kecuali ayah kandungku, semua mantan suami Ibu adalah pria kaukasia. Jumlahnya ada empat, termasuk ayah kandung Mas Ben.
Papa Jhonny, ayah Mas Ben, menikahi ibuku saat aku masih dalam kandungan. Jadi otomatis aku sudah dekat sama Mas Ben sejak orok. Kami seperti saudara kandung saja, padahal tak ada pertalian darah.
Saat orang tua kami menikah, usia Mas Ben delapan tahun. Luar biasa lengket dengan ibuku. Bahkan setelah Ibu dan Papa Jhonny bercerai lima tahun kemudian, dia selalu sowan ke rumah Ibu setiap bulan. Pernah menginap berminggu-minggu, terutama saat bulan puasa dan lebaran. Rutinitas itu terus berlanjut dan baru berhenti saat Mas Ben akhirnya bekerja di New York lalu menikah dengan orang sana.
"Jadi mau bilang apa toh, Mas?" selaku jengkel. Tawanya masih membahana memekakkan telinga.
"Anu, aduh, wes lali aku."
"Tutup, nih?" ancamku makin kesal.
"E-e-e, jangaaaan. Ampun, Ndoro Putri. Inget kok, inget. Jadi gini. Bos Mas di sini tuh orang Amrik blasteran Indo. Nah, dia bilang selalu kangen berat sama masakan Indonesia terutama Jawa. Dia udah cari-cari koki asal Indonesia termasuk Mas sendiri untuk jadi tukang masak pribadi di rumahnya. Tapi nggak ada yang sesuai sama selera. Kamu mau ndak?"
"Mau apa?"
"Jadi istrinya," jawabnya, terdengar dongkol. "Ya jadi tukang masak pribadinyalah, Dek."
Giliran aku yang tertawa. "Ogah, ah. Jauh."
"Lha? Jauh dari siapa? Rio kan bentar lagi bakalan jadi mantan."
"Ih, Mas! Ndak usah sebut-sebut dia, deh." Aku memelotot, walau tahu Mas Ben tak bisa melihat pelototan mata belo-ku.
"Kamu harus mulai move on dari sekarang, Dek. Harus berani sebut nama mantan, atau almost mantan, sejak dini. Jangan cuma nikah aja yang berani dini-dinian."
"Maaaas...," rengekku dengan badan merosot dari bantal.
"Kenapa Mas-Mas? Bener, toh? Berani jatuh cinta, harus berani juga melupakan. Itu hukum kekekalan perasaan, Dek."
Kadang-kadang kata-kata penuh filosofi yang keluar dari mulut Mas Ben ada benarnya juga. Walau pada praktiknya dia sendiri pernah termehek-mehek melupakan cinta pertamanya. Tentu saja aku satu-satunya saksi hidup saat itu. Mana berani dia mengucurkan air mata di depan manusia selain aku.
"Halah, sendirinya malah harus cebokan pakai kembang tujuh rupa tujuh warna selama tujuh purnama buat ngelupain mantan," sentilku tak berperasaan, mengorek-ngorek sisa-sisa koreng masa lalunya.
"Ojo ngono toh, Dek. Isin aku yen eling kuwi*." Bisa kubayangkan ekspresi Mas Ben sedang tersipu malu saat mengatakannya.
"Makanya jangan sok jemawa ngajari aku, Mas." Kukibaskan rambut sebahuku setelah duduk tegak kembali.
"Itu kan masa lalu. Kalo bukan kamu yang ungkit-ungkit ya mana Mas ingat lagi soal masa-masa kelabu itu? Eh, kok jadi bahas Mas, sih? Jadi gimana? Mau, ya?"
"Ndak tahulah, Mas. Kupikir-pikir dulu aja."
Sebenarnya aku masih belum mau melakukan apa-apa setelah semua tragedi memilukan yang kualami. Walau sebenarnya ada banyak rencana yang sudah kususun dalam rangka membangun semangat juang demi masa depanku yang masih buram. Melanjutkan kuliah misalnya.
Saat tahu hamil, aku memilih cuti kuliah karena kondisi tubuhku drop. Mual muntah sepanjang hari. Ditambah harus bedrest karena pendarahan. Dan sekarang, setelah keguguran dan diambang perceraian, aku tak yakin apakah otakku masih nyangkut jika dihadapkan pada materi-materi perkuliahan.
"Ya udah. Tapi jangan lama-lama, lho. Kalo kamu udah kelar mikir, segera kasih tahu Mas, ya. Supaya kalo kamu nolak, Mas bisa cepat-cepat tawarkan ke yang lain."
"Inggiiih, Prabu."
"Pranakan buta** maksudmu?"
"Enggaaaak."
"Halaaah. Ayo ngaku. Itu maksudnya ngenyek masmu ya, kan?"
"Ih, Mas sendiri yang mikir ke situ, kok. Weeeek."
Mas Ben terkikih. Kalau dia ada di dekatku, pasti kepalaku sudah jadi sasaran jitaknya.
"Yo weslah. Sing waras ngalah. Titip salam buat Ibu, ya. Jangan berkubang terus di kamar kayak kebo. Cukup bojone aja yang kumpul kebo."
"Mas Beeeeen!"
"Assalamualaikum!"
💔💔💔
* Ojo ngono toh, Dek. Isin aku yen eling kuwi = Jangan gitu, Dek. Malu aku kalo ingat itu.
** Pranakan buta (baca: buto) adalah semacam guyonan untuk mengejek. Pranakan berarti keturunan, buta (buto) adalah sejenis raksasa.
💔💔💔
Pukul 13.15 WIB. Ketuk palu pengesahan perceraianku dan Rio terdengar lantang. Degup jantungku berdebam setiap kali kayu keramat itu menghantam meja hakim.
Tak bisa kujabarkan dengan pasti apa yang kurasakan saat ini. Tak ada plong kelegaan, bukan pula syukur menentramkan. Seolah sedang bermimpi, rohku tertarik keluar lalu melayang-layang di ruang sidang. Ringan, tak menjejak bumi. Seakan terbang di awang-awang. Tapi anehnya tak menyenangkan. Perutku serasa kosong melompong.
Sentuhan pelan di bahu membuat rohku bagai ditarik masuk kembali ke dalam tubuh berikut organ-organnya. Aku menoleh, ada Ibu yang menatapku dengan sorot berbinar, kelihatan lega. Perempuan bergaya nyentrik-rambut potongan bob pirang, jaket kulit hitam ala anak metal, kalung choker hitam mencekik leher jenjangnya-itu lantas menepuk-nepuk punggungku.
"Selamat ya, Nduk. Jadi janda muda."
Bagi yang tak mengenal ibuku, barangkali ucapannya akan terdengar seperti sedang ngenyek. Ibu macam apa yang mengejek anak sendiri? Tapi aku yang hidup selama delapan belas tahun di bawah atap yang sama dengannya tahu persis, itu adalah kata-kata penyemangat yang tulus.
Bagi Ibu, janda bukanlah status memalukan. Bahkan kelihatannya beliau bangga dengan itu. Kalau tidak, bagaimana mungkin ibuku bisa tenang-tenang saja menjalani kehidupan kawin cerai berulang kali?
Tapi aku tak bisa sebangga itu. Nikah dini dan cerai memang adalah keputusanku. Hanya saja, siapa sih yang mau berakhir begini? Aku takkan menggugat Rio jika permasalahannya hanya karena Perbedaan Kepribadian yang Sudah Tak Bisa Disatukan Lagi.
Kurasakan tangan ibu menarikku berdiri. "Tegakkan kepalamu."
Aku mengikuti, tapi segera menyesal saat terlihat sosok Rio bersama ibunya melangkah menuju pintu keluar yang jalannya harus melewati aku dan Ibu. Mereka melaluiku begitu saja seolah kami tak pernah saling mengenal. Duh, Gusti.
Aku pun ingin begitu. Terutama terhadap Rio. Tapi hati kecilku berkata, aku tak bisa begitu juga terhadap ibunya. Mau seburuk apa pun perbuatan anaknya, beliau tetaplah sosok yang harus aku hormati sampai kapan pun.
"Ma! Tunggu!" panggilku. Tak kupedulikan suara Ibu yang menyuruhku berhenti.
Kakiku melangkah setengah berlari. Tanpa menoleh sedikit pun pada Rio, aku segera menempatkan diri di hadapan perempuan berkonde itu. Kuulurkan tangan hendak menyalaminya. Bisa kurasakan tubuhnya tersentak kaget.
"Ma, maafin Reta, ya. Semoga Mama sehat selalu. Jangan makan yang manis-manis terus. Rajin olahraga bareng Papa ya, Ma. Tolong sampaikan permohonan maaf dan salam Reta untuk beliau. Reta pamit, Ma."
Kucium tangan lembutnya penuh khidmat. Tangan yang pernah begitu telaten merawatku saat sakit. Bahkan memijitiku dengan sabar ketika hamil muda dan memasakkan makanan untukku yang ngidam ini itu.
Tanpa menunggu tanggapan, kulepaskan tangan beliau perlahan lalu menegakkan diri. Kutatap wajah ayunya untuk terakhir kali. Aku tak berkhayal saat melihat bibirnya bergetar, matanya berkaca-kaca, seperti menahan tangis.
Tak ingin ada drama, aku segera berlalu dari hadapannya. Barulah saat itu aku merasakan kelegaan luar biasa merambati dada. Seolah beban berat baru saja terangkat oleh tangan tak kasatmata.
Saat berjalan menuju Ibu, akhirnya aku bisa sedikit tersenyum. Dan tiba-tiba saja bayangan masa depan yang tadinya tampak suram, mulai berangsur cerah di benakku.
Kukeluarkan ponsel dari saku celana lalu menghubungi satu nomor yang kurasa bisa membantuku mewujudkan itu.
"Kamu pikir ini jam berapa toh, Dek?" gerutu suara serak di seberang. Tak kupedulikan misuh-misuh Mas Ben yang sepertinya baru saja terantuk sesuatu.
"Mas, aku terima tawaranmu. Tunggu aku di New York."
To be Continued....
Halooo, met pagi menjelang siang yaaa....
Gimana part 1 ini?
Perlu dilanjutkan gak yaaa?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top