Extrapart #1

Lima hari sebelum kelahiran Anne dan Zac.

ANDREAS

"Ouch!"

Sebuah pekikan tertahan membuatku menoleh. Aku mendapati Maria sedang berdiri di depan pintu kamar mandi sambil meringis lalu tertatih-tatih menuju walk in closet. Pasti karena si kembar lagi.

Sejak mereka mulai aktif bergerak, Maria selalu dibuat kewalahan. Contohnya saat dia tengah tidur pulas. Dia acap kali tersentak lalu terbangun akibat tendangan atau entah apa yang mereka lakukan di dalam sana.

"Tendangan super lagi?" tanyaku begitu berhasil menyusulnya.

Maria menoleh kemudian tersenyum lemah. Wajahnya terlihat sedikit pucat. "Kali ini gulat super kayaknya," balasnya sambil mengeluarkan satu set pakaian dalam dari laci.

Aku terkekeh lalu mendekatinya. "Wow. Lebih dahsyat dong."

"Dahsyat pake banget," Maria menjawab seraya berbalik memunggungiku. Detik berikutnya dia sudah melepas handuk kimono dari tubuhnya lalu mengenakan kedua benda itu dengan sedikit malu-malu.

"Jangan lihat," ucapnya sambil sesekali melirikku dari balik bahu.

Aku tertawa pelan. Dia malu bukan tanpa alasan. Sejak perutnya membesar, stretch mark berwarna putih mulai bermunculan. Menurutnya itu memalukan. Namun, bagiku sama sekali tak mengurangi keindahan. She looks so damn sexy!

Aku sering mendengar bahwa perempuan hamil terkadang terlihat jauh lebih menarik. Harus kuakui pendapat itu benar adanya. Perubahan fisik Maria sejak mengandung begitu signifikan. Terutama payudaranya. Ehm!

Hanya saja semakin bertambah usia kehamilan, aku merasa kasihan melihat tubuh mungilnya begitu kepayahan membawa perut yang membelendung. Usia kandungannya sudah memasuki minggu ke-34 dan berbagai macam keluhan sudah dia rasakan. Kesulitan berjalan, susah tidur, hingga sesak di dada yang terasa kian mengganggu, terutama saat berbaring.

Dokter Davia mengatakan bahwa itu wajar, karena paru-paru dan diafragmanya terdesak oleh dua janin yang semakin membesar. Lalu timbul pertanyaan di benakku, apa dia masih bisa bertahan hingga beberapa minggu lagi?

Aku masih menatapnya dari kepala hingga ujung kaki, sampai kemudian aku menyadari sesuatu yang tak biasa. "Kaki sama tangan kamu kenapa?"

Maria mengikuti arah pandangku. "Nggak tau nih, bengkak sejak semalam. Tante Dina bilang normal aja sih. Ibu dulu juga gini."

"Nggak ada keluhan lain? Muka kamu pucat, lho. Kamu sakit?" tanyaku cemas sambil berjalan mendekatinya.

Lagi-lagi Maria tersenyum lemah lalu menggeleng. "Tenang aja, Sayang. Cuma mual sama muntah. Pusing juga dikit. Paling habis tidur enakan lagi."

"Mual muntah? Bukannya morning sickness kamu udah berhenti?" kejarku seraya menyentuh lehernya, memeriksa apakah suhu tubuhnya terasa panas.

"Iya, sih. Mungkin karena aku kecapean. Aku bebenah pakaian si kembar sama perlengkapan mereka beberapa hari ini," tutur Maria menenangkanku.

Namun, aku sama sekali tak merasa tenang. "Makanya kamu jangan sok kuat, deh. Minta tolong yang lain 'kan bisa. Kenapa ngotot harus ngerjain sendiri, sih?"

"Aku nggak ngerjain sendiri kok. Bareng Mbak Satri, Tante Dina juga." Maria membela diri.

"Mulai besok kamu nggak boleh ngerjain apa-apa. Istirahat aja. Masak-memasak juga nggak usah dulu deh. Kak Tere nitipin Mbak Satri di sini khusus buat melayani keperluan kamu. Jadi biarkan dia ngerjain tugasnya. Tahan dulu diri kamu sampai setelah melahirkan. Kalo nggak nurut, aku nggak kasih izin kamu keluar dari kamar." Aku memberinya ultimatum.

"Ish, kamu lebay deh. Bisa mati kebosanan dong aku nggak ngerjain apa-apa."

"Maksud aku nggak ngerjain sesuatu yang berat-berat. Mending kamu baca buku kek, ngerajut kek, atau nonton. Kamu jalan aja udah mulai nggak bener. Kalo jatuh gimana? Naik turun tangga lagi."

"Tapi yang aku kerjain bukan kerjaan berat kok."

Aku memasang wajah serius dan berkata dengan nada suara berbahaya yang dibuat-buat, "Maria. Jangan keras kepala."

Maria memutar bola matanya. "Dasar bossy."

"I'm not bossy. I'm the boss."

Maria sekonyong-konyong menjulurkan lidahnya. Namun, kemudian dia meringis sambil memegangi perut. Aku melihat ada gerakan-gerakan heboh di sana yang membuat permukaannya seperti bergelombang.

"Tuh, mereka juga protes sama kamu," komentarku dengan senyum penuh kemenangan.

Maria masih meringis. "Kalian berkonspirasi," ujarnya dengan mata yang semakin sipit.

Aku terkekeh lalu mengelus perut Maria, mencoba menenangkan si kembar. Hanya saja sepertinya mereka tak peduli dan memutuskan untuk tetap bergulat.

"Hei, anak-anak. Jangan bikin Bunda kewalahan dong. Kasihan Bunda kalian kesakitan nih." Aku mengajak mereka bicara. Namun, mereka malah memberiku sundulan heboh sebagai jawaban.

Aku dan Maria tertawa terbahak-bahak. "Mereka sama keras kepalanya dengan kamu," ujarku sambil menyentuh hidung Maria dengan telunjuk.

Maria terus tertawa lalu berbalik mengambil baju tidur di lemari. "Tapi aku senang mereka heboh gitu. Tandanya mereka baik-baik aja."

"Iya juga, sih. Tapi kamu pasti ngerasa nggak nyaman. Ah, andai aku punya rahim juga 'kan bisa transfer satu ke aku."

Maria kembali tergelak. "Ada-ada aja deh kamu. Aku nggak apa-apa, kok. Aku nikmatin semua ini. Walaupun ya, bohong kalo aku bilang nyaman. Malah rasanya pengin mereka cepet-cepet lahir aja. Tapi ini udah konsekuensinya. Dijalani aja dengan sabar dan nggak dijadikan beban."

Aku tersenyum mendengar penuturan Maria. Dalam hati merasa terharu dan bangga. Dan tiba-tiba aku merindukan mama. Perempuan hebat yang telah mengandung dan melahirkanku, juga Zachary. Beliau pasti mengalami kondisi dan perasaan seperti Maria saat itu. Aku semakin menyayangi beliau setelah melihat bagaimana Maria menjalani kehamilan kembar yang tak bisa dibilang mudah. Aku jadi tahu, sekuat apa pun laki-laki, takkan bisa menyaingi kekuatan perempuan bernama ibu.

"Makasih banyak udah mau merelakan rahim kamu buat anak-anak kita," bisikku seraya mengusap lembut kepalanya.

Senyum Maria merekah. "Ini udah kewajiban aku. Dan bukan hanya rahim, aku akan merelakan nyawa demi hidup mereka kalo perlu."

Aku tersentak. "Jangan ngomong gitu, ah!"

Tanpa bisa kucegah, bayangan mengerikan tentang Maria yang meregang nyawa saat melahirkan melintas di benakku. Aku segera menggeleng. Mengapa aku malah memikirkan hal seperti itu?

"Kenapa? Insting seorang ibu pasti begitu, Sayang. Kalo anak-anaknya sakit, seorang ibu pasti berpikir, lebih baik dia yang sakit ketimbang anaknya."

"Mungkin. Tapi menurut aku, seorang ibu harus berusaha tetap sehat demi anak-anaknya. Karena kalo dia sakit, siapa yang ngurus mereka? Siapa lagi yang bisa berikan kasih sayang tulus selain ibu?" protesku. Kenangan kepergian mama membuatku takut. Aku tak ingin anak-anakku ditinggalkan bundanya begitu cepat.

"'Kan ada kamu," jawab Maria sambil tersenyum.

"Aku nggak bisa ngasih mereka ASI."

"Cari ASI donor aja."

"Nggak mau. Udah, ah! Jangan bahas yang beginian."

"Nggak ada salahnya ngebahas itu. Kita nggak pernah tau apa yang terjadi nanti. Aku cuma pengin kita bersiap untuk segala kemungkinan. Apalagi yang namanya melahirkan itu antara hidup dan mati, lho."

"Tapi kamu 'kan entar disesar. Jadi nggak bakalan kenapa-napa."

"Siapa bilang melahirkan dengan cara sesar nggak beresiko?"

Shit! Aku benar-benar nggak suka pembicaraan ini. "Aku yakin kamu akan melahirkan anak-anak kita dengan selamat. Jangan bicara seolah-olah kamu akan pergi. Kamu udah janji nggak akan tinggalin aku lagi. Ingat?"

Maria tersenyum lembut lalu berkata, "Aku ingat. Tapi nyawa manusia hanya Tuhan yang tau, Sayang. Bisa jadi aku dipanggil lebih dulu. Atau mungkin kamu. Aku cuma pengin kita persiapkan hati untuk menerima dengan ikhlas saat itu terjadi.

"Kamu harus janji, kalo seandainya aku nggak ada, kamu jaga anak-anak dengan baik. Jangan bersedih terlalu lama. Dan jangan cari pengganti aku terlalu cepat," sambungnya dengan nada jenaka.

Aku tidak tahu harus tertawa atau marah mendengarnya. Aku sadar bahwa perkataan Maria ada benarnya. Suka atau tidak, suatu saat salah satu dari kami akan pergi lebih dulu. Walaupun begitu, kematian bukanlah sesuatu yang menyenangkan untuk dibahas. Kalian juga pasti setuju denganku.

"Emang kamu udah siap kalo aku yang pergi duluan?" selidikku.

Maria menelan ludah. "Harus. Karena akan ada anak-anak yang butuh perhatian, jadi aku akan berusaha tegar demi mereka. Aku harap kamu juga."

"Terus kamu bakalan cari pengganti aku?"

"Hmm. Cari nggak, ya? Kalo kamu?"

"Nggak," aku menjawab dengan cepat, "karena cuma kamu yang bisa bikin aku turn on. Ntar kasihan perempuan itu nggak aku apa-apain."

Maria tergelak. "Masa, sih?"

"Aku serius."

"Wah, kalo gitu kasihan kamu, ya, kalo aku yang pergi duluan," balas Maria dengan ekspresi geli.

"Aku nggak bercanda, Maria!" bentakku kesal.

Maria tersentak.

"Sorry," bisikku.

Senyum kecil tersungging di bibirnya lalu dia menyentuh wajahku dengan kedua tangan. "Aku yang harusnya minta maaf. Aku nggak bermaksud bercanda. Aku cuma ... pengin ngebahas hal itu tanpa terkesan terlalu serius."

"Jangan bahas itu lagi, please ...." Aku menyatukan kening kami. "Kamu satu-satunya dan aku akan minta sama Tuhan supaya kamu tetap hidup. Karena aku butuh kamu lebih dari apa pun."

Maria tampak terharu mendengar kata-kataku dan matanya berkaca-kaca. "Aku juga sama, Sayang. Kamu satu-satunya," bisiknya lalu memelukku.

Aku balas memeluknya, mencoba mengenyahkan pikiran buruk yang bergayut. Namun, tetap saja perasaan tak enak itu menguasaiku. Ah, semoga saja ini hanya sementara dan bukan pertanda. Aku belum siap kehilangan Maria, tidak sekarang. Aku ingin membesarkan buah hati kami bersamanya, bahkan hingga keriput mulai menjejak tubuh.

***

Aku mengikuti perkuliahan hari ini. Setelah meminta izin pada Pak Fahri, aku berangkat dari kantor menuju kampus pukul satu siang, karena jadwal mata kuliahku pada pukul 2.30.

Setiba di kampus, aku mendapati Dicko sudah berada di ruang kuliah bersama mahasiswa pasca sarjana lainnya. Dia tampak lesu. Kami bertukar sapa seadanya karena dosen sudah memasuki kelas tak lama setelah kedatanganku.

Pukul empat sore, kelas pun berakhir. Aku dan Dicko berjalan bersama menuju parkiran.

"Maria kapan lahirannya?" tanya Dicko.

"Jadwal operasinya pertengahan November. Doain ya," aku menjawab dengan senyum.

Dicko terkekeh. "Nggak nyangka aja lo bakal jadi bapak. Udah siapin nama?"

"Udah. Tapi masih rahasia." Aku melirik Dicko. "Makanya lo buruan nyusul. Nikah itu enak, Bro. Apalagi kalo udah mau punya anak tuh, serasa dapat kado Natal super gede."

Dicko mendengkus pelan, ekspresinya muram. "Ya kali kalo ada calonnya."

"Lho? Bukannya ...."

"Udah batal." Dicko tersenyum kecut.

Aku terperanjat lalu bertanya, "Kok bisa?"

Dicko mengedikkan bahu. Dia berusaha terlihat acuh tak acuh, tetapi aku tahu hal itu merisaukan pikirannya.

Aku hendak berkata lagi saat sebuah panggilan telepon menginterupsi. Dari Tante Dina.

Tanpa prasangka apa pun, aku menjawab, "Ya, Tan?"

Aku terkesiap saat mendengarkan suara Tante Dina yang sengau. Beliau berbicara terbata-bata, berusaha menjelaskan sesuatu di antara sedu sedan. Pikiran buruk langsung menyergapku.

"Pingsan?!"

Detik berikutnya aku tidak tahu lagi akan sekeliling. Aku segera berlari menuju mobil, meninggalkan Dicko yang sepertinya berteriak memanggilku. Bahkan aku tak sadar jika dia berhasil menyusul dan merebut kunci mobil dari tanganku.

"Biar gue yang nyetir!" serunya.

Aku bergegas memasuki mobil dari pintu penumpang. Lalu Dicko segera melajukan mobil setelah aku memberitahunya ke mana tujuan kami.

Maria.

***

"Pre-eklampsia*? Tapi Maria nggak punya riwayat hipertensi, Dok. Terakhir kontrol tensinya normal. Gimana bisa jadi mendadak naik?"

"Pre-eklampsia nggak mesti riwayat hipertensi. Saya simpulkan kehamilan kembarnya yang menjadi pemicu. Ditambah lagi ini adalah kehamilan pertama bagi Maria. Kami akan pantau terus kondisinya. Beruntung dia siuman, nggak sampai kejang-kejang dan koma. Kalau sampai tahap eklampsia*, bahayanya ke ibu dan janin jauh lebih besar."

Aku tersentak. Kupikir bengkak di tubuh, pusing, mual dan muntah yang dia alami hanyalah akibat kelelahan. Sial! Mengapa aku kurang waspada? Dan siang tadi penglihatan Maria mendadak kabur lalu dia pingsan.

"Kondisi ibu dan janin sedang diobservasi. Tensi Maria cukup tinggi, 160/120. Urinnya juga mengandung protein +2. Detak jantung janin sedikit melemah. Jadi tidak ada jalan lain selain mengakhiri kehamilan sedini mungkin. Jika bertahan lebih lama, dikhawatirkan asupan makanan dan oksigen ke janin semakin berkurang. Apalagi mereka kembar, pastinya akan terjadi perebutan."

Rasanya darahku menyusut. "Peluangnya, Dok?" tanyaku lemah. Jujur saja aku tak mau mendengar jawabannya, tetapi aku harus tahu.

Dokter Davia terlihat profesional. Meski begitu aku bisa melihat wajahnya menatapku iba. "Fifty-fifty. Maaf kalau saya harus sampaikan ini. Kemungkinan eklampsia pasca persalinan juga mengintai. Tapi saya harap itu nggak sampai terjadi. Mudah-mudahan tubuh Maria memberikan respon yang baik."

Aku terhenyak. Apakah yang kutakutkan akan jadi kenyataan? Tidak! Maria dan anak-anakku harus selamat! Aku tidak rela kehilangan salah satu dari mereka!

"Tolong selamatkan mereka bertiga, Dok ...." Sekuat tenaga aku berusaha menahan air mata.

Dokter Davia tersenyum menenangkan. "Kami akan mengusahakan yang terbaik. Begitu suntik pematang paru-paru selesai, kita akan segera lakukan bedah sesar. Jangan lupa meminta pada Tuhan. Kami hanya perantara saja."

Aku mengangguk pasrah. Ya, pada siapa lagi harus meminta selain Tuhan? Bukan bergantung pada uang, bukan harta benda, melainkan mukjizat dari Yang kuasa. Sejak aku tahu Maria mengandung, aku tak pernah absen ke gereja setiap minggu. Walaupun sebenarnya aku malu, mengapa baru sekarang rutin menghadap Tuhan? Aku hanya datang saat meminta sesuatu. Dan sekarang adalah saat terberat dalam hidupku. Aku berharap Tuhan mau membantuku kali ini. Aku berjanji akan menjadi manusia yang lebih baik di hadapanNya.

Sepeninggal Dokter Davia, aku menemui Maria yang sedang ditemani oleh Tante Dina di ruang observasi. Maria tengah berbaring di atas tempat tidur dengan mata setengah terpejam. Selang infus terpasang di tangannya serta peralatan deteksi jantung janin yang menempel di perut. Sama sekali bukan pemandangan menyenangkan

"Masih muntah-muntah, Tan?"

Tante Dina mendongak ke arahku. Wajahnya berlinang air mata. "Masih. Tadi udah disuntik obat penurun tensi sama pematang paru-paru buat si kembar. Dia kesakitan banget waktu disuntik. Tante nggak tega ...."

Aku mengalihkan pandangan pada Maria sebelum berujar pada Tante Dina, "Tante istirahat aja dulu. Biar aku temenin Maria."

Tante Dina mengangguk lalu berjalan menuju pintu ke ruang tunggu keluarga pasien.

"Sayang?" panggilku pada Maria. Hatiku teriris melihat wajahnya yang pucat dan lemah.

Dia menoleh perlahan ke arahku. Keningnya berkerut. "Hai," lirihnya.

"Sabar, ya. Sebentar lagi si kembar akan lahir. Kamu harus bertahan sedikit lagi. Jadwal operasi kamu tiga hari dari sekarang. Nunggu obat pematang paru-paru si kembar tuntas." Aku membelai lembut kepala Maria yang mengangguk lemah.

"Muka kamu nggak jelas, Sayang," bisiknya lalu menjulurkan tangan ke wajahku, "Apa aku bakalan buta?"

Lagi-lagi aku berusaha agar air mataku tak tumpah. Jika bisa, aku ingin penderitaan yang Maria rasakan berpindah padaku saja.

Aku menggenggam tangannya yang membengkak dan membawanya ke pipiku. "Nggak kok. Entar kamu bisa melihat dengan jelas lagi setelah lahiran. Tidurlah. Aku jagain kamu di sini. Jangan takut."

Maria mengangguk dan terus menatapku hingga perlahan matanya sayu dan terpejam. Keningnya berkerut dalam, seperti menahan sakit. Sementara aku tetap berada di sisinya, tak ingin mengalihkan pandangan walau sedetik.

Ya Tuhan, aku mohon. Selamatkanlah bidadari dan kedua malaikat kecilku ....

***

Hari ketiga. Kondisi Maria semakin lemah. Tekanan darahnya naik turun, terakhir bertahan di angka 180/120. Dia juga muntah-muntah hebat sore ini dan bengkak di tubuhnya semakin menjadi.

Sementara itu gerakan si kembar mulai berkurang serta detak jantung mereka semakin melemah. Dokter Davia mengatakan status Maria sudah masuk preeklamsia berat dengan gawat janin sehingga harus dilakukan tindakan operasi malam ini juga.

Semua anggota keluarga berkumpul di rumah sakit. Memberikan dukungan dan doa, begitu juga Kak Tere serta Mas Gary yang baru saja menghubungiku dari Denmark.

Maria dibawa ke ruang operasi tepat pukul sembilan malam. Aku tidak diperkenankan masuk ke sana. Hanya bisa menunggu dengan cemas di luar bersama keluarga juga Dicko. Dia rutin datang menjenguk Maria setiap hari.

"Sabar ya, Nak." Papa menepuk bahu kananku. "Papa yakin Maria bisa bertahan."

Aku menatap Papa dan mengangguk tanpa semangat. Barangkali wajahku terlihat pucat saat ini.

"Optimis, Bro." Kali ini Dicko menepuk bahu kiriku. Meski berkata begitu, aku juga melihat wajahnya tegang dan pucat.

Rasanya waktu berjalan lambat. Aku tak bisa duduk tenang, mondar-mandir di sepanjang koridor rumah sakit sambil terus berdoa dalam hati. Dan sekitar dua puluh menit kemudian, aku mendengar suara tangisan bayi yang begitu kencang dari dalam ruang operasi.

Jantungku serasa melompat. Apakah itu suara dua malaikatku?

Aku segera menghampiri ruang operasi, menanti pintunya terbuka dengan tak sabar. Papa juga ikut berdiri di sampingku.

Beberapa menit berlalu, akhirnya pintu ruangan terbuka. Seorang Perawat memintaku masuk untuk melihat bayi kami. Aku bergegas masuk dan digiring ke sebuah ruangan yang terpisah dengan tempat operasi.

Aku sempat melongok ke sana untuk melihat apa yang sedang terjadi. Jantungku mencelos saat mendapati tubuh Maria terbujur di atas meja operasi, dengan tangan Dokter Davia yang berdarah-darah di atas perutnya. Perawat yang membawaku meminta agar aku terus berjalan. Kemudian dia memberiku pakaian khusus untuk dikenakan sebelum melihat si kembar untuk pertama kali.

Sebuah pemandangan yang menyesakkan dada menyambutku. Dua orang bayi yang begitu mungil tengah berbaring dalam inkubator, dengan kabel dan selang yang aku tak begitu paham apa fungsinya. Kulit mereka masih terlihat tipis dan kemerahan. Terlihat begitu rapuh.

Seorang Dokter Spesialis Anak berdiri tak jauh dari inkubator. "Saya ucapkan selamat atas kelahiran putra dan putrinya. Pada saat diangkat mereka langsung menangis, itu pertanda bagus. Saat ini kondisi mereka juga bagus.

"Kedua bayi anggota tubuhnya lengkap. Yang laki-laki beratnya 1820 gram dan panjang badan 41 cm. Yang perempuan beratnya 1650 gram dengan panjang badan 40 cm. Mereka akan berada di ruangan NICU untuk dipantau perkembangan selanjutnya."

Suara Dokter Anak yang memberi penjelasan lewat begitu saja di telingaku. Aku masih terpaku menatap bayi-bayi mungil di hadapanku dengan perasaan takjub dan iba. Buah cintaku dan Maria ....

"Istri saya?" tanyaku pada Perawat yang berdiri tak jauh dari si Dokter Anak.

"Masih dalam proses menutup sayatan bedah, Pak. Kondisi Ibu Maria cukup stabil saat ini. Tekanan darahnya juga sudah normal kembali."

Aku mengucap syukur dengan cukup keras. Air mataku tumpah tanpa bisa kucegah. Terima kasih, Tuhan. Terima kasih telah menyelamatkan ketiganya, terima kasih banyak ....

"Maaf, kedua bayi akan kami bawa segera ke ruang NICU. Nanti Bapak bisa melihat mereka lagi di sana. Permisi."

Dua orang Perawat masing-masing mendorong inkubator yang berisi anak-anakku keluar dari ruangan. Aku ikut menyusul di belakangnya. Sekali lagi aku menoleh ke arah Maria yang terbaring lemah. Dan kali ini aku tersenyum bahagia.

Terima kasih banyak, Maria. Terima kasih telah berjuang dan bertahan untuk anak-anak kita....

***

* Pre-eklampsia atau preeklampsia adalah sindrom yang ditandai dengan tekanan darah tinggi, kenaikan kadar protein di dalam urin (proteinuria), dan pembengkakan pada tungkai (edema). Pre-eklampsia dialami oleh ibu yang sedang hamil, terutama para ibu muda yang baru pertama kali hamil. Penyebab pasti pre-eklampsia belum diketahui, sehingga masih sulit untuk dicegah kemunculannya. Jika pre-eklampsia bertambah parah pada masa kehamilan, maka akan menyebabkan eklampsia yang dapat berujung pada kematian.

* Eklampsia adalah masalah serius pada masa kehamilan akhir yang ditandai dengan kejang tonik-klonik atau bahkan koma. Eklampsia merupakan akibat yang ditimbulkan oleh pre-eklampsia dengan persentase kemunculan antara 0,3% sampai 0,7% pada negara berkembang. Seperti pre-eklampsia, penyebab pasti eklampsia belum diketahui sehingga menjadi sulit untuk dicegah kemunculannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top