6. MARIA: Bloody Kiss
Remuk.
Itulah yang badanku rasakan saat ini. Capek, lelah, mengantuk, dan sedikit pusing. Ditambah lagi aku sedang mendapat tamu bulanan saat ini, perutku kram.
Namun, aku harus menyelesaikan banyak pekerjaan di apartemen Andreas seperti hari-hari sebelumnya. Sudah satu bulan lamanya aku menjalani hukuman itu. Sebagai pembantu.
Aku tidak pernah menyangka bahwa nasib sial akan membawaku kepada seorang Andreas Calvin Malik. Gadis-gadis di kampus pasti akan rela membunuhku demi mendapatkan kesempatan seperti yang aku alami saat ini. Meskipun sebagai pembantu.
Bukan berarti aku bangga dengan kenyataan ini. Aku justru berharap ada orang lain yang mau menggantikanku, dan tentu saja ada banyak di luar sana. Hukuman ini benar-benar menyiksaku, lahir batin.
Andreas benar-benar laki-laki dingin dan tidak berperikemanusiaan. Dia tidak pernah berbicara padaku selain mengucapkan perintah ini dan itu. Dia tidak segan-segan membentak dan memarahiku jika ada hasil yang tidak sesuai dengan keinginannya.
Jika aku mengerjakannya dengan sempurna, dia bahkan tidak mengucapkan terima kasih. Sekadar tersenyum pun tidak. Padahal aku sudah mengorbankan waktu istirahat, bahkan waktu makanku untuk mengerjakan semuanya.
Sebenarnya apartemen Andreas sangat rapi dan bersih, mengingat dia hanya tinggal sendirian. Akan tetapi, dia seperti mengidap phobia debu dalam taraf akut. Semua ruangan dan benda apa pun harus dibersihkan setiap hari hingga ke sudut-sudut tersembunyi. Lambat laun aku jadi curiga jangan-jangan itu hanya akal-akalannya saja untuk menyiksaku.
Belum lagi siksaan batin yang kurasakan setiap kali dia melakukan pemeriksaan rutin yang menurutku sangat konyol. Aku tahu dia menganggapku pencuri sejak kejadian itu. Tindakannya memeriksaku sangat masuk akal. Walau begitu, siapa yang tahan jika tubuhmu diraba setiap hari, meskipun dengan menggunakan media tongkat. Bahkan sekalipun dia gay, tetap saja itu pelecehan!
Setiap hari aku berdoa semoga hari itu adalah hari terakhir hukumanku, tetapi sepertinya hari ini pun tidak ada tanda-tanda semua ini akan berakhir. Dia meninggalkanku sendirian di apartemen ini, entah ke mana.
Sekarang sudah sore dan aku sedang memasak untuk makan malam di dapurnya yang luar biasa lengkap untuk ukuran laki-laki, single pula. Asal kalian tahu, aku bahkan belum sempat makan siang, karena setelah dari perpustakaan siang tadi, aku diburu waktu untuk pergi belanja bulanan. Hanya sebotol air mineral yang mengisi lambungku sejak tadi. Bukan Equil, tentu saja. Aku tak cukup berani mencicipinya.
Aku memasak steak daging sapi untuk makan malam Andreas. Menggunakan daging sapi dengan kualitas ekspor yang dimasak dengan bahan-bahan yang aku sendiri tidak pernah menggunakannya seumur hidupku. Aku cukup syok saat menyadari total uang yang dihabiskan untuk berbelanja kebutuhan dapurnya melebihi uang bulananku dari Tante Dina.
Baiklah, aku tahu aku sedang membicarakan seorang Andreas Calvin Malik yang berasal dari kalangan kelas atas. Dia memiliki kehidupan yang sangat jauh berbeda denganku yang hanya dari kalangan menengah.
Orang-orang seperti Andreas menuntut kualitas. Sesuatu yang kuanggap sudah cukup bagus, baginya biasa saja. Bahkan apa pun yang melekat di dirinya, apa yang dia makan dan kenakan, semuanya harus yang terbaik.
Masakanku sudah hampir matang dan aromanya membuat perutku keroncongan. Aku sudah tidak sabar untuk keluar dari sini dan membeli makan malamku. Membayangkan sepiring pecel lele kaki lima membuatku meneteskan air liur.
Aku memang tidak pernah memakan makanan yang kubuat di apartemen ini. Dia tidak pernah menyuruhku, maka aku cukup tahu diri untuk tidak memakan apa pun tanpa seizinnya. Aku tidak mau dianggap pencuri makanan juga.
Aku menghidangkan steak itu di meja makan. Lengkap dengan sayuran dan kentang tumbuk, tidak lupa juga air minum yang kuambil dari botol bertuliskan Equil dari kulkas. Air mineral terbaik dengan kualitas ekspor dan tiap tetesnya berharga sangat mahal untuk ukuranku.
Andreas kembali tepat pukul tujuh malam. Dia melirikku dengan ekspresi datar lalu langsung menuju meja makan. Aku meninggalkannya untuk membersihkan dapur kemudian kembali lagi ke ruang makan setengah jam kemudian.
Badanku rasanya lengket dan letih. Aku benar-benar butuh mandi, makan, dan istirahat. Kram di perutku juga semakin intens. Aku meringis menahan sakitnya. Kemudian aku berjalan sedikit terseok mendekati Andreas yang sepertinya sudah selesai makan.
Kulirik meja makan dan terlihat makanan di piringnya sudah habis. Syukurlah. Berarti dia menyukai masakanku. Aku tersenyum kecil dan berusaha melangkah menuju meja makan. Aku harus segera mengangkat piring dan gelas kotor itu lalu mencucinya sebelum pulang.
Namun, tiba-tiba kakiku terasa berat dan membuatku kesulitan melangkah. Aku juga merasa ada yang tidak beres dengan ruangan ini. Mengapa tiba-tiba ruangan ini terasa berputar? Bahkan sekarang rasanya lantai yang kupijak berbalik dari bawah ke atas. Andreas juga terlihat menjadi banyak. Dan Andreas-Andreas itu tiba-tiba terlihat berlari ke arahku, sebelum akhirnya aku merasa tubuhku menghantam batu yang keras dan dingin. Lalu gelap gulita menyergapku.
***
Aku lapar sekali. Mungkin itulah yang membuatku terbangun dari mimpi. Mimpi tentang seorang penyihir yang mengacungkan sebuah tongkat dan menyodok-nyodok seluruh tubuhku. Penyihir itu mengancam akan mengubahku menjadi selembar kartu yang tipis.
Mimpi yang aneh.
Aku berusaha duduk meski kepalaku masih terasa pusing. Aku belum bisa fokus untuk melihat di mana aku berada saat ini. Setelah beberapa saat mataku mulai membiasakan diri terhadap kondisi ruangan yang terang, dan aku menyadari bahwa saat ini aku berada di sebuah kamar. Kamar yang sangat luas dan mewah.
Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Rasanya aku mengenal kamar ini. Kamar yang selalu kubersihkan setiap hari. Kamar Andreas Calvin Malik. Lalu aku menolehkan kepalaku ke samping ke arah bantal besar empuk berwarna biru dan melihat di mana aku berbaring saat ini. Tempat tidur Andreas Calvin Malik.
Aku terkesiap lalu duduk tegak. Gerakan yang tiba-tiba membuat kepalaku semakin pusing. Aku meringis dan menutup mata lalu memijat pelan pelipisku.
"Putri tidur sudah sadar."
Suara dingin Andreas mengagetkanku. Aku segera melompat turun dari tempat tidur dengan tubuh gemetar dan sedikit limbung. Rasa sakit di perut membuatku meringis.
Andreas berdiri di ambang pintu kamar, kedua tangannya bersedekap di dada.
"Kamu mau bikin aku kayak majikan kejam yang nggak ngasih makan pembantunya, ya?"
"Hah?"
"Sekarang pergi bersihkan pakaian kamu, terus makan. Cepat!"
Aku segera keluar dari kamar itu, melewati Andreas yang kelihatan kesal padaku.
Bagaimana dia tahu aku pingsan karena lapar? Aku memang sering pingsan jika kelelahan saat haid. Dan mengapa juga dia menyuruhku membersihkan pakaianku?
Refleks kutolehkan wajah ke arah belakang pakaianku. Dan wajahku langsung memerah, semerah bercak darah yang menodai rokku yang berwarna kuning muda.
Aku mengumpat dalam hati. Setengah berlari aku menuju dapur lalu mengambil pembalut di dalam tas yang tergeletak di kitchen island. Kemudian aku segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Astaga, ini benar-benar memalukan. Bulan lalu saat dia menggeledah tasku, aku yakin dia melihat pembalut di dalamnya. Dan sekarang dia pasti sudah melihat bercak darah haid di belakang rokku.
Bodoh! Bodoh! Bodoh!
Rasanya aku tidak ingin keluar dari kamar mandi ini. Akan tetapi, perutku lapar sekali.
Setelah hampir lima belas menit membersihkan rok, aku akhirnya keluar juga. Aku menuju ruang makan, dan kulihat ada sekotak piza di atas meja makan dan sebotol Equil. Sedikit tercengang karena Andreas yang mempersiapkan semua ini, aku segera duduk dan menuang air dengan tangan gemetar ke dalam gelas lalu segera menghabiskan setengah isinya. Benar-benar air berkualitas tinggi, rasanya begitu segar dan ringan.
Kemudian kubuka kotak pizza dan segera melahapnya dalam gigitan besar. Walaupun tidak terlalu suka, tetapi dalam kondisi lapar begini, piza pun jadi terasa sangat nikmat.
"Habiskan. Aku nggak pengin ada orang kelaparan yang pingsan berlumur darah lagi di apartemen ini."
Lagi-lagi dia membuatku terlonjak kaget. Wajahku terasa panas mendengar kata-katanya.
"Kok kamu tau aku belum makan?"
"Nggak ada sisa masakan lagi di dapur. Pasti kamu selalu masak cuma seporsi," jawabnya lalu menggeser kursi makan di seberangku. Aku langsung merasa kikuk, baru kali ini dia duduk semeja denganku.
"Bisa aja, 'kan, udah aku habiskan duluan," ucapku sambil mengunyah pelan.
"Bisa jadi. Tapi kalau kamu udah makan, pastinya kamu juga nggak bakalan pingsan. Ditambah lagi kamu sedang haid. Lain kali kalo kamu masak atau beli makanan buat aku, lebihkan juga buat kamu. Aku bukan orang yang pelit soal makanan," ujar Andreas sambil menatapku dengan pandangan menusuk, membuatku merasa terintimidasi.
Aku menunduk menatap potongan piza di tanganku.
"Aku takut kamu nuduh aku nyuri makanan," balasku pelan.
Entah perasaanku saja atau dia memang kelihatan sedikit tersentak oleh ucapanku. Kemudian senyum sinis tersungging di bibirnya.
"Makanya jangan pernah buka tas orang lain lagi kalo nggak mau disangka pencuri. Aku tau kamu pasti butuh uang, kuliah aja kamu pake beasiswa. Makanya aku nggak sampe hati ngelaporin kamu malam itu. Aku rasa hukuman ini udah bikin kamu jera," komentarnya dengan nada yang terdengar sedikit meremehkan. Membuatku tersinggung.
"Aku nggak nyuri! Aku juga sama sekali nggak tertarik ambil apa pun dari rumah ini. Aku memang orang biasa, nggak kayak kamu yang punya segalanya. Tapi aku nggak rela kamu perlakukan aku kayak kriminal!"
Dia terlihat terkejut mendengar kata-kataku yang diucapkan dengan cukup keras. Akan tetapi, aku sendiri jauh lebih terkejut dengan keberanian yang entah dari mana datangnya itu.
Mataku terasa panas dan mungkin sebentar lagi aku akan menangis. Astaga, hormonku benar-benar bergejolak saat haid begini.
"Oh, ya? Kalau gitu ngapain kamu buka tas aku waktu itu? Kamu belum jawab itu sampai sekarang," tanyanya dengan suara yang sangat tenang. Bertolak belakang dengan badai yang sedang berkecamuk di dalam diriku saat ini.
Rasa lelah yang kurasakan dan sikapnya yang selalu mengintimidasi itu membuatku benar-benar ingin berontak. Hal yang tidak pernah berani aku lakukan pada orang-orang yang menindasku sebelumnya. Kali ini aku benar-benar tidak tahan lagi.
"Aku dipaksa! Mereka nyuruh aku untuk—untuk ...."
Tiba-tiba aku tersentak, menyadari bahwa aku baru saja akan mengadukan perintah Flora padanya. Aku tidak lagi berani menyelesaikan kata-kataku. Matilah aku!
Aku menatap Andreas yang terkesiap lalu dia duduk tegak. Matanya berkilat curiga, kembali melihatku dengan pandangan yang menusuk seperti jarum.
Aku menunduk ketakutan. Bagaimana ini? Dia pasti akan memaksaku mengatakan yang sebenarnya. Dan kalau kukatakan, Flora pasti tidak akan mengampuniku. Dasar ceroboh!
"Siapa yang nyuruh kamu dan untuk apa?" desisnya pelan tetapi tajam.
Aku gemetar ketakutan. Habislah aku ....
"Jawab, Maria Agustina!" Suaranya terdengar berbahaya.
Aku masih bergeming.
"A-aku salah bicara. M-maksudnya aku-aku, ng-nggak ada yang nyuruh aku. Aku-aku nggak niat ambil apa pun. Tapi, aku mau-mau letakin sesuatu dalam tas kamu," dustaku dengan suara terbata-bata.
Baiklah, aku benar-benar pengecut. Kutukan itu benar-benar mencelakakanku. Aku justru melindungi Flora dan malah menggali lubang untukku sendiri.
Andreas menyipit curiga. Dia tiba-tiba berdiri lalu berjalan ke arahku.
"Jangan bohong, Maria! Tadi kamu jelas-jelas ngomong kalo kamu dipaksa sama orang lain. Ngaku atau aku akan—"
Andreas sudah berdiri di sampingku. Wajahnya memerah karena marah. Lalu dengan sekali sentakan, dia menarik lenganku, membuatku berdiri sejajar dengannya dan menendang kursi makan yang baru saja kududuki.
Mataku membelalak dan tubuhku kaku. Apa yang akan dia lakukan?!
Dia menyudutkanku hingga membuatku terhuyung menabrak pinggiran meja makan. Lalu dia mengurungku dengan tubuhnya.
Ya Tuhan, tubuh kami bahkan tidak berjarak sama sekali!
"Ngapain kamu?! Minggir! Minggir!" jeritku panik dan berusaha meronta. Andreas dengan sigap menangkap kedua tanganku dan menahannya di depan tubuh kami.
Aku semakin panik dan ketakutan. Ya Tuhan, aku berharap seseorang menggantikan posisiku saat ini juga!
"Kalo gitu jawab yang jujur. Siapa yang nyuruh kamu dan untuk apa?" desinya tajam. Napas Andreas terasa hangat di wajahku.
"Nggak ada! Aku salah ngomong!"
"Jangan bohong!"
"Aku nggak bohong!"
Air mata mulai membanjiri wajahku.
"Jawab!"
"Nggak!"
Tiba-tiba saja dia mencengkram rambut panjangku, menjambaknya sedikit kasar hingga membuatku menengadah lalu menubrukkan bibirnya ke bibirku.
Aku terkesiap, mataku terbelalak ngeri. Sesaat aku tidak tahu harus bagaimana, tetapi kemudian aku mulai berontak. Aku berusaha mendorong tubuhnya menjauhiku, yang malah semakin membuatnya mempererat cengkramannya di rambutku. Sakit tau!
Ingin rasanya aku menjerit, tetapi apa dayaku dengan bibir yang dibekap paksa begini? Oh, Tuhan ... aku mohon, kirimkan seseorang untuk menyelamatkanku ....
"Andreas! Kamu apain anak gadis orang?!"
Suara teriakan perempuan membuat Andreas tersentak lalu dia melepaskanku dengan tiba-tiba. Wajahnya berubah panik dan pucat.
"Kak Tere?" bisiknya dengan wajah yang semakin pias seperti melihat hantu.
"Iya, ini kakak kamu! Sekarang jelasin sama Kakak, apa-apaan itu tadi barusan. Kamu mau perkosa anak orang, hah?!"
Andreas terlihat salah tingkah. Aku masih menangis, benar-benar syok atas apa yang terjadi tadi. Bukankah dia gay? Dan apa dia benar-benar berniat memperkosaku? Padahal 'kan dia tahu aku sedang haid? Astagaaa ....
Aku bergidik memikirkan nasibku jika saja perempuan yang ternyata kakaknya Andreas ini tidak datang di saat yang tepat. Aku tidak menyangka Andreas ternyata biseksual. Dan satu hal yang tak termaafkan, dia telah merampas ciuman pertamaku, dengan brutal!
"Nggak gitu, Kak. Aku—"
"Apa?! Mau bela diri? Kakak lihat sendiri kamu maksa nyium dia. Kakak nggak nyangka kamu sekarang sebejat ini, Dek. Apa segitu parahnya kamu sekarang gara-gara Ziezie?! Papa pasti langsung mati berdiri kalo lihat tingkah kamu tadi!"
"Kak!"
Andreas langsung terkulai lemas begitu mendengar kata-kata kakaknya. Sementara aku masih menangis dalam diam. Aku benar-benar kalut saat ini, ingin segera pergi saja.
Perlahan aku menjauh dari kedua kakak adik ini. Aku mengambil tasku di dapur dan berjalan tergesa melewati mereka berdua menuju ruang tamu.
"Maria, tunggu!" Andreas berteriak. Kurasakan dia berjalan menyusul di belakangku.
"Andreas Calvin Malik! Ke sini dulu kamu!" Suara kakaknya terdengar berang.
Kupercepat langkahku dan membuka pintu lalu menutupnya dengan keras.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top