2. MARIA: Cursed
"Nobody should be forced to do things they don't want to do."
- Ella of Frell
Kalian pernah menonton film Ella Enchanted? Film a la Cinderella versi pengarang novel Gail Carson Levine yang mengisahkan seorang gadis bernama Ella. Dia harus menerima gift dari sang Ibu Peri, di mana dia akan patuh melakukan apa pun perintah yang diberikan padanya. Alih-alih menjadi berkat, hal itu justru menjadi curse (kutukan) bagi Ella.
Setelah menonton film itu, aku menyimpulkan bahwa kisah hidup Ella dan hidupku hampir sama. Meski tentu saja takdir kami sama sekali tidak serupa.
Supaya kalian tidak salah, jangan membayangkan bahwa wajah dan fisikku bagai pinang dibelah dua dengan Anne Hathaway yang memerankan Ella. Jauh, amat sangat jauh. Dia bule, aku oriental. Dia tinggi semampai, aku semekot (semeter kotor) alias pendek.
Jika dia yatim piatu, maka aku juga begitu. Meski sebenarnya aku tidak tahu apakah ayahku masih bernyawa. Karena sebelum aku lahir, ayahku pergi meninggalkan ibuku yang sedang mengandung. Mereka bahkan tidak pernah menikah.
Sejak lahir aku dirawat dan dibesarkan oleh adik ibuku, Tante Dina namanya. Akan tetapi, dia tidak terlalu memperhatikanku. Hidupnya dihabiskan untuk karir, karir, dan karir. Sampai dia lupa untuk menikah. Dan di usianya yang keempat puluh tahun, dia berstatus perawan tua.
Namun, alasan utamanya tidak menikah adalah karena dia kecewa pada laki-laki. Dia pernah beberapa kali hampir menikah, tetapi pacarnya ternyata sudah dijodohkan, ada yang ternyata suami orang, bahkan ada yang ternyata seorang penipu yang menguras hampir seluruh tabungannya. Semenjak itu dia menyerah dan memutuskan hidup sendiri selamanya. Dan tentunya bersamaku.
Tante Dina selalu memperingatkanku agar berhati-hati pada laki-laki. Dia tidak ingin aku bernasib sama seperti ibuku. Dicampakkan laki-laki yang dicintainya saat tahu beliau hamil lalu akhirnya meninggal setelah berjuang melahirkanku.
Karena itulah, di otakku sudah tertanam doktrin bahwa laki-laki hanya suka memanfaatkan perempuan, habis manis sepah dibuang. Dan kata Tante Dina, laki-laki itu berbahaya.
Akan tetapi, bahaya yang mengintaiku hari ini datang dari sekelompok gadis-gadis cantik dan modis di kampusku. Mereka sedang menyudutkanku di kelas kosong pagi ini.
Flora, salah satu yang terkenal paling cantik, menjejalkan kantong kain hitam kecil ke tanganku.
"Nih, lo letakin dalam tasnya. Letakin di tempat paling tersembunyi yang kira-kira gak bakal gampang kelihatan. Pokoknya harus berhasil lo masukin gimana pun caranya." Gadis itu berkata dengan ekspresi yang kelihatan sedikit mengerikan. Kelihatan sangat berambisi untuk sesuatu yang sangat sulit dia dapatkan.
Aku memandang kantong itu dan mengernyit. "I-ini apa?"
Flora menatapku tidak sabar.
"Nggak usah banyak tanya! Kerjain aja yang gue suruh. Lo ikutin ke mana pun dia pergi seharian ini. Cari kesempatan buat masukin itu dalam tasnya. Kalo nggak, awas lo!"
Awas lo. Itulah kata-kata magis yang selalu Flora ucapkan padaku jika dia sedang memaksaku melakukan sesuatu.
Dia jelas bukan anak presiden negara ini, tetapi ancamannya selalu berhasil membuatku tak berkutik. Karena dia terkenal mampu memanipulasi pikiran orang. Dia bisa membuatku berpikir bahwa kedekatannya dengan dosen-dosen di fakultas kami bisa memengaruhi nilai-nilaiku. Bahkan dia mengancam akan membuatku di-drop out dari kampus jika berani menolak.
Bodohnya aku, aku percaya semua itu dan melakukan apa saja yang dia inginkan.
Sudah lihat benang merah antara diriku dan Ella? Ya, aku bagaikan mendapat gift (baca: curse) seperti Ella. Begitu orang-orang memaksaku melakukan sesuatu, maka aku seolah tidak punya daya dan upaya untuk menolaknya. Bahkan sekalipun yang mereka inginkan adalah sesuatu yang salah.
Dan inilah yang kukerjakan di kampus sejak pagi, membuntuti Andreas Calvin Malik, mencari-cari kesempatan mendapatkan akses ke dalam tas laki-laki itu. Yang rasanya mulai mustahil, karena dia selalu menyandang tas itu di bahunya.
Setelah hampir empat jam mengikutinya membuatku baru menyadari bahwa Andreas benar-benar tampan. Jauh lebih tampan daripada sang pangeran pujaan hatinya Ella.
Bahkan dia laki-laki paling tampan yang pernah kutemui seumur hidup. Parasnya yang kebule-bulean membuatnya tidak membosankan untuk dilihat. Tubuh atletis dan kelihatan sangat berotot, aku yakin dia memiliki perut sixpack di balik pakaiannya itu.
Pantas saja hampir semua gadis se-nusantara begitu menggilainya. Akan tetapi, ketampanan tidak akan cukup untuk membuat para gadis tergila-gila. Abraham Juno Malik, ayahnya, adalah konglomerat kaya-raya nomor satu di Indonesia. Sebagai pewarisnya, Andreas adalah pangeran impian masa depan gadis mana pun di negara ini.
Itu jika hanya ada yang beruntung, karena gosipnya dia gay. Jadi kabarnya banyak gadis yang patah hati, kecuali aku tentu saja. Bagiku, menyukai apalagi mencintai seseorang yang jelas-jelas tidak ingin disukai dan dicintai adalah pekerjaan sia-sia.
Aku melanjutkan membuntutinya hingga ke gedung dekanat, yang sudah sangat ramai oleh mahasiswa. Kondisi ini menguntungkanku agar tidak terlalu kentara mengikutinya.
"Maria?"
Sebuah suara membuatku terperanjat. Kupalingkan wajah ke belakang. Sosok laki-laki jangkung berkulit putih dan berwajah manis sedang tersenyum menatapku.
"Eh, h-hai, Kak Dicko," sapaku gugup.
Kak Dicko adalah satu-satunya mahasiswa yang mau menyapaku dengan ramah. Bahkan hanya dia satu-satunya teman yang kumiliki sejak awal perkuliahan. Dia satu angkatan dengan Andreas.
Kalian pasti bertanya, mengapa aku hanya memiliki satu orang teman? Semua karena Flora. Dia berhasil memengaruhi mahasiswa lain agar menjauhiku. Aku benar-benar tidak mengerti mengapa dia melakukan hal itu. Dia terlihat begitu membenciku.
"Hai. Lagi ngapain di sini?" tanya Kak Dicko disertai senyum manis.
"Ng, itu, mau-mau lihat pengumuman beasiswa," jawabku tanpa berpikir. Lalu menoleh cemas ke arah pintu yang di atasnya terdapat papan bercat warna cokelat bertuliskan Ruang Dosen Jurusan Arsitektur. Aku yakin Andreas memasuki ruangan itu tadi.
Kak Dicko mengikuti arah pandangku. "Mau ketemu dosen juga? Yuk, bareng. Aku juga mau ke sana," ajak Kak Dicko.
"Oh, nggak kok, Kak. Aku-aku mau ke bagian beasiswa dulu. Bye, Kak Dicko." Aku berkata sambil berjalan menjauhinya dengan gugup.
Setelah sampai di luar gedung, aku mengembuskan napas lega. Akan tetapi, kelegaanku tidak berlangsung lama, karena tugasku dari Flora belum selesai.
Aku terduduk lesu di sebuah bangku besi di luar gedung dekanat, menunggu hingga Andreas keluar dan kembali melanjutkan tugasku. Rasanya ini bodoh sekali. Mengapa aku harus menyusahkan diri sendiri?
Setengah jam kemudian, aku dikejutkan dengan sosoknya yang berjalan sendirian melewatiku. Dia tidak menoleh sedikit pun.
Kenapa juga dia harus menoleh? Memangnya aku siapa?
Aku bangkit berdiri, membuntutinya lagi dalam jarak aman. Rasanya aku seperti penguntit. Dan hal itu membuatku semakin merasa bodoh.
Apa sih yang sebenarnya kulakukan?
"Eh, Maria. Kok telat?"
Suara Bu Fatma, penjaga perpustakaan membuatku terkejut. Astaga, aku benar-benar terlalu serius membuntuti Andreas hingga tidak menyadari bahwa laki-laki itu masuk ke perpustakaan, tempat kerja paruh waktuku di luar jam kuliah.
Tentu saja aku sudah sangat terlambat, karena jam kerjaku dimulai pukul sepuluh, dan sekarang sudah hampir jam makan siang. Pekerjaanku di sini adalah mendata buku-buku baru, mengecek buku yang sudah dikembalikan dan mengembalikannya ke rak lalu mendata buku yang belum dikembalikan.
"Ng-ng. Anu, Bu. Tadi ada kelas," dustaku.
Bu Fatma memicingkan mata. Karyawati yang sebentar lagi akan pensiun ini memang sedikit mulai pikun. Jadi membohonginya tidak terlalu sulit dilakukan. Bukan berarti aku sering membohonginya.
"Oh, ya udah. Kamu susun buku-buku yang di meja itu, ya. Saya mau ke kantin sebentar." Bu Fatma lalu meninggalkanku menuju pintu.
Aku bernapas lega. Kuedarkan pandangan ke penjuru perpustakaan, mencari sosok Andreas. Tidak ada. Sepertinya tadi kulihat dia menuju ruang loker penitipan tas.
Aku menyusulnya ke sana dan melihatnya memasukkan tas ke loker nomor 34. Kuingat nomor itu dan kembali ke ruang buku.
"Mana Bu Fatma?" tanya sebuah suara dingin.
Aku terlonjak. Andreas sedang bertanya padaku. Aku melongo menatapnya yang menatapku balik dengan ekspresi datar.
"Aku mau pakai wifi di laptop," katanya lagi.
"O-oh. I-iya. Ini password-nya."
Andreas lalu duduk tidak jauh dariku. Aku gugup luar biasa. Aksesku untuk mendapatkan tasnya sangat dekat. Aku punya kunci cadangan loker, jadi aku bisa dengan mudah memasukkan benda titipan Flora. Aku ingin ini cepat selesai dan aku bebas.
Akan tetapi, kesempatanku tidak kunjung datang karena tugas-tugasku menyusun kembali buku-buku yang sudah selesai dibaca mahasiswa ke raknya masing-masing belum tuntas. Bu Fatma bisa marah jika aku tidak menyelesaikannya saat dia kembali.
Kulemaskan tanganku yang pegal setelah mengangkat semua buku itu ke rak bagian belakang lalu kembali kucari sosok Andreas. Seluruh tubuhku ikut lemas seketika saat tidak kutemukan sosok tampan itu lagi. Dan semakin lemas saat Bu Fatma memasuki perpustakaan.
Dengan gontai aku melanjutkan pekerjaanku yang sepertinya tidak pernah ada kata selesai, hingga hari pun beranjak sore. Kulihat Bu Fatma yang sudah tua itu merebahkan kepalanya di atas meja, dia pasti tertidur lagi. Sudah kebiasaannya, terutama jika perpustakaan sudah sepi begini.
Aku beranjak ke ruang loker, menutup pintu-pintu loker yang dibiarkan terbuka begitu saja oleh mahasiswa yang menggunakannya tadi. Aku mendesah kesal, benar-benar kebiasaan buruk dan tidak bertanggung jawab.
Hingga aku sampai di pintu loker nomor 34, satu-satunya pintu loker yang tertutup rapat, tanpa kunci yang menggantung.
Jangan-jangan ....
Tiba-tiba jantungku memompa lebih cepat. Adrenalinku mulai berpacu. Dengan sigap aku mengeluarkan sekumpulan kunci loker cadangan dari dalam saku rokku lalu memasukkan anak kunci berlabel 34 ke lubang kunci dan memutarnya.
Gotcha!
Kubuka pintu loker perlahan dan sebuah ransel besar berwarna hitam tergeletak manis di dalamnya. Kutolehkan kepala ke belakang, memeriksa apakah ada orang. Setelah aku yakin sepi, kuulurkan tanganku meraih tas itu.
Perasaan bersalah tiba-tiba menghantamku. Ini tidak benar. Ini barang milik orang lain, dan menyentuh serta membukanya tanpa seizin yang punya tentu perbuatan yang salah.
Tapi aku tidak mencuri, hanya meletakkan sesuatu. Itu berbeda.
Aku gamang.
Sudah sampai sejauh ini, tinggal buka ranselnya lalu masukkan. Selesai.
Tanganku gemetaran. Rasa takutku pada ancaman Flora akhirnya menang. Perlahan kupegang ransel itu lalu membuka resletingnya. Kemudian kuambil kantong yang Flora berikan.
Di bagian mana harus kuletakkan benda ini?
Ada beberapa buku di dalamnya. Tidak mungkin menyelipkan di antaranya, dia bisa langsung melihatnya jika membuka buku-buku itu.
Lalu kulihat sebuah dompet kulit berwarna cokelat tua dengan desain unik. Dompet itu kelihatan sangat mahal dan berkelas.
Kuraih dompet itu. Debaran jantungku semakin kencang.
Ada sebuah foto. Andreas versi remaja dan tiga orang lagi bersamanya sedang duduk sambil tersenyum. Mungkin keluarganya.
Kubuka dan kuteliti sisi dalam dompet itu, mencari tempat yang tersembunyi.
Itu dia. Kubuka sebuah resleting kecil dan saat hendak memasukkan kantong itu ke dalamnya, terdengar suara laki-laki di belakangku.
"Hei! Ngapain kamu di situ!"
Rasanya darah menyusut dari tubuhku. Dingin. Kutolehkan wajah ke belakang dengan ngeri, dan rasanya kiamat sedang terjadi.
Andreas Calvin Malik berdiri di belakangku dengan murka.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top