Prolog

Juli, 2011.

"Woi! Bising banget sih, punya mulut nggak bisa dijaga, ya?" tanya seorang gadis polos dengan cantolan kalung permen di leher, topi dari pot bunga yang miring, muka lugu dan gaya yang masih kekanak-kanakan.

Seketika keadaan sanggar langsung sepi, namun hanya bagi mereka.

Pemuda sok dewasa yang berada di hadapan si gadis polos langsung menatapnya dengan sinis, alis miring yang bertaut, dan pipi tembemnya yang menggembung.

Di samping si gadis polos, ada gadis ningrat yang diam—melihat raut wajah pemuda kecil. Sebelum semuanya semakin dingin, gadis ningrat membuka mulut, dan berkata dengan suara pelan.

"Kayaknya dia marah tuh, gimana dong?"

Gadis polos sebenarnya takut akan reaksi gertakannya tadi. Bagaimana tidak, itulah pertama kalinya ia menggertak laki-laki dalam hidupnya.

Dengan sisa keberaniannya, gadis polos menjawab, "Biarin aja! Sekali-kali orang kayak gini harus digertak biar tau!"

Padahal, dalam lubuk hati, gadis polos ini berkata, mati aku. Tuhan tolong selamatkan aku.

Sayang, pemuda kecil masih menatapnya dengan penuh rasa kesal ... dan dendam?

Percuma.

Gadis ningrat mulai mencengkeram tangan gadis polos dengan gemetar. Mereka berdua sama-sama ketakutan, sebenarnya. Apalagi melihat badan pemuda yang besar dan banyak bekas luka di wajahnya, seperti bekas luka hasil bertengkar.

"Iya sih! Dari mukanya aja kayaknya bandel, tapi aku nggak bakalan takut! Udahlah, biarin aja. Lagian kita bisa manggil kakak senior sama guru kan kalo dia berani macem-macemin kita—"

Dengan seluruh perasaan tak gentar yang tersisa, ia pun berani melirik papan nama si pemuda sekilas. Dia tak sempat melihat nama belakangnya. Tak apa, pikir si gadis polos. Ia pun langsung membuang mukanya.

Dengan wajah yang masih memberengut, si pemuda menatap si gadis polos sebentar. Melihatnya dari atas ke bawah dalam waktu sekian detik. Lalu, seperti singa yang melepas mangsa, ia pun kembali melanjutkan obrolan kecil dengan teman gugus tetangga yang sempat tertunda.

Mentari tersenyum, dan awan seolah berbisik.

Mereka takkan tahu, takdir apa yang akan membawa mereka.

Mentari seolah mengangguk, tersenyum membenarkan perkataan awan. Awan pun ikut tersenyum dan kembali bergerak menjelajahi cakrawala.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top