Dua

Agustus, 2019.

Mirza♥: Kim, kalau ke toilet, jangan lama-lama, bosen nungguinnya tahu! Ngapain ngerapiin jilbab. Udah cantik, juga. 13:53

Kimy tertawa membaca pesan itu. Ia pun buru-buru mengambil tas lengannya yang berwarna baby blue dan buru-buru mengetikkan sebuah balasan untuk Mirza.

Kimy: Ya sabar atuh. Namanya juga cewek, kalo di wc ya lama. Read 13:54

Kimy berjalan dengan cepat hingga akhirnya ia sampai di ruang tunggu Husein Sastranegara dan mendapati Mirza duduk di kursi ketiga dari kanan di baris kedua dari depan.

"Hei," panggil Kimy.

"Dari mana aja sih, kamu. Aku dah bawain Vanilla Latte kesukaan kamu, nih!" Mirza menyodorkan cangkir Froster, nampaknya dia baru saja keluar dari Circle K.

"Ih! Makasih, ya!"

"Sama-sama. Eh kamu ingat nggak, empat tahun lalu aku minta Froster matcha punya kamu di bazar?" Mirza menatap Kimy lekat.

"Ingat! Haha, padahal itu Froster-nya Firadh, tau!" Kimy tertawa lepas hingga matanya tidak terlihat lagi.

"Oh ya? Terus kenapa kamu kasih aku?"

"Iya, abisan, waktu itu aku lagi suka-sukanya sama kamu. Jadi apa aja kulakuinlah." Kimy membetulkan letak kacamatanya.

"Hmm, bisa aja nih anak." Mirza mengacak-acak kepala Kimy. "Kalau sekarang, nggak mau lagi nih, lakuin apa aja buat aku?"

"Hmm... Mau nggak ya? Nggak ah. Kamu jahat."

"Jahat?"

"Iya. Kamu suka buat aku nangis." Kimy melempar pandang pada jajaran pesawat di hadapannya.

"Masa sih?" Mirza membalikkan badannya sembilan puluh derajat.

"Iya. Kamu jahat. Kamu dulu suka buat aku nangis, kamu aja nggak tau."

"Ya udah, aku minta maaf." Mirza tersenyum, mengulurkan tangannya, tetapi Kimy hanya terdiam memegang cangkir Froster-nya.

Tanpa sadar, Kimy merasakan hangat tubuhnya dipeluk oleh badan kurus berjaket biru tersebut. "Ih Mirza, malu dong. Jangan meluk-meluk aku di tengah-tengah banyak orang gini!"

"Biarin aja! Biar Husein jadi saksi, kalau aku sangat menyesal pernah bikin Kimy-ku menangis, dan kini aku nggak bakal biarin satu orang pun bikin dia menangis!"

Pelukan itu semakin erat dan Kimy menurunkan tangannya dari lengan Mirza. Ia menyandarkan kepalanya pada pundak Mirza, dan memejamkan matanya sejenak. Berharap bahwa ia bisa terlelap di sana untuk selamanya.

***

"Kim, bangun! Kita udah nyampe di Hang Nadim."

Sejenak Kimy mengucek-ngucek matanya yang belum sempurna terbuka. Apa? Hang Nadim?

Seolah mengerti pikiran Kimy, Mirza yang duduk di sampingnya mengangguk ketika Kimy menatap wajahnya. "Makanya, kerjamu itu jangan tidur melulu," tawanya geli. Sontak saja Kimy langsung mencubit lengannya.

"Yay! Kita udah nyampe!" seru Kimy girang sembari bangkit dari kursi penumpang. Terlihat beberapa orang melakukan hal yang sama dan mulai mengambil koper atau tas ransel bawaannya turun dari kabin pesawat. Setelah Kimy menerima tas jinjing yang diturunkan Mirza, ia pun langsung menunggu Mirza mengambil ransel hitamnya, lalu antre untuk keluar dari pesawat.

"Welcome Batam!" seru Mirza senang. Sepertinya ia merasakan hal yang sama dengan orang yang sedang berjalan di sampingnya. Pulang ke rumah adalah suatu hal yang selalu menyenangkan, terlebih bagi anak rantau seperti mereka.

"Hei Sayang, kau mau kita pergi jalan-jalan dulu ke Mega Mall atau langsung pulang?" tanya Mirza, Kimy masih sibuk memeriksa barang-barang yang dibawanya.

"Hmm, sepertinya jalan-jalannya lain kali saja. Aku lelah, mau cepet nyampe rumah," ujarnya.

"Oh gitu, ya udah, nggak apa-apa." Mirza mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya, hendak menelepon taksi.

Setelah menunggu selama lima belas menit, akhirnya taksi datang juga. Mirza memasukkan beberapa tas dan koper ke dalam bagasi, sedangkan Kimy lebih dulu memasuki taksi.

"Kim, ingat nggak dulu waktu kita berdua pulang bareng naik taksi?" Mirza rupanya sudah duduk di samping Kimy sejak lima menit yang lalu.

Kimy tertawa. Ah yang itu.

"Ya ingatlah! Kamu tau nggak, aku nggak pernah pulang bareng naik taksi sama cowok waktu itu. Kecuali kamu."

Mirza tersenyum. Binar cokelat optimisme selalu memancar cerah dari manik matanya. Kimy selalu kagum ketika memandangi sinar itu, sama kagumnya seperti melihat ke luar jendela ketika menaiki pesawat atau duduk memandangi jendela taksi dan memerhatikan lalu-lalang kendaraan.

Kimy tak bisa berhenti mencintai Mirza. Ia amat bersyukur pernah mengenal Mirza dalam hidupnya.

***

"Kim, bangun, udah nyampe depan rumah nih." Terdengar sayup-sayup suara Mirza membangunkannya. Kimy pun membuka mata. Rumah!

"Selamat datang di rumah!" Mirza mengusap kepala Kimy, lalu turun dari taksi untuk mengeluarkan barang-barang Kimy.

Kini sampailah Kimy di depan rumahnya. Sama seperti kota kelahirannya, rumahnya pun telah dilingkupi oleh atmosfer yang berbeda. Di sana ada keluarga kecilnya yang masih setia menjaga rumahnya. Rumah itu sudah terdiri dari dua lantai, dilengkapi dengan taman kecil yang minimalis namun tetap menyejukkan mata.

Kimy turun dari taksi, lalu sibuk memandangi Mirza yang membereskan barang-barangnya. Sembari menguap dan menggaruk-garuk kepalanya, Kimy berjalan menghampiri Mirza.

"Za, kamu nggak mampir ke rumah dulu?"

"Nggak ah, aku juga udah ditunggu sama Mama di rumah." Lagi-lagi senyum itu.

"Oh... Ya udah deh. Salam ya buat Mama." Kimy membalas senyum Mirza dengan tidak kalah manisnya. Mirza hanya mengacungkan jempol sembari mengusap kepala Kimy.

"Iya. Nanti disampaikan. Aku pulang, ya. Nanti jangan lupa chat."

"Siap, Bos! Dadaaaah, hati-hati yaaa!" Kimy dengan gaya kanak-kanak melambaikan tangan kanannya.

Mirza balas melambaikan tangan, lalu masuk ke dalam taksi. Kimy menunggu sampai akhirnya taksi itu hilang dari pandangan. Rasanya seperti terlempar hingga kurun waktu empat tahun yang lalu.

Kimy pun membuka pagar yang rupanya tidak dikunci, lalu masuk ke dalam dan mengetuk pintu rumah. Baru saja Kimy akan mengucapkan salam, Halim—adik bungsu Kimy sudah lebih dulu menghambur ke luar rumah.

"Yaaaaayyy! Akhirnya Kakak pulang!" sahut Halim gembira, seperti anak kecil yang baru saja menerima permen kesukaannya.

"Hai Halim. Wah, sudah besar adikku sekarang. Gimana sekolahnya?" tanya Kimy pada Halim, sembari mencubit pipinya. Melepas kerinduan setelah dua tahun tak berjumpa.

"Aduh Kak, sakit. Aku kan bukan adik kecil kakak dulu, yang bisa kakak cubit seenaknya," seru Halim sambil mengusap-usap pipinya yang masih saja tembem, tidak beda jauh dari saat ia berumur tiga tahun.

"Iya, mana abangmu? Kakak sudah kangen sama kalian, dan hei ... jangan diam saja. Ayo bawain koper Kakak yang berat ini," sahut Kimy.

"Oh iya, biar dipanggil dulu. Bang, Abang Tirta?" panggil Halim.

"Ada apa sih ini ribut-ribut di depan—Kimy? Apa kabarmu Sayang?" tanya wanita renta, Ibunda Kimy yang langsung memeluknya.

"Oh, Mama. Sangat-sangat baik. Bagaimana dengan Papa? Tirta?" tanya Kimy.

"Hei, aku?" protes Halim dengan wajah memberengut.

"Tadi kan udah ditanyain," sahut Kimy sambil lalu dan mencubit sekali lagi pipi Halim lalu berlari ke dalam rumah, meninggalkan Halim yang agak kesusahan membawa kopernya dan Ibunya yang berjalan pelan mengikutinya.

Aduh, aku kangen sama kamarku, pikir Kimy. Dia pun langsung membuka pintu kamarnya dan mengambur ke dalam. Barang-barang Tirta dulu ada di sana, tetapi sekarang sudah dipindahkan ke kamarnya yang berada di lantai dua. Kimy pun membongkar isi kotak yang berwarna merah, sembari melihat-lihat. Meski lusuh, kotak ini mempunyai kenangan tersendiri. Apalagi isinya.

"Wah, diari dari Lucy. Apa kabarnya ya dia sekarang?" gumam Kimy dengan suara pelan, bertanya pada dirinya sendiri. Dia pun membuka dan membolak-balik halamannya.

Iki? Lucu sekali. Dia rupanya pernah suka sama cowok yang bernama Iki. Dia pun kembali menutup diary-nya, tanpa membuka bagian belakang. Dia juga menatap kado-kado masa remajanya dulu. Laci dari Kelly yang sudah agak kusam, celengan dari Chacha yang kini karatnya bertambah banyak saja, dan masih banyak lagi. Dimana mereka sekarang?

Terlihat oleh Kimy album kecil berwarna merah muda. Lalu ia pun membolak-balik halamannya. Terlihat di sampul album itu, sebuah tulisan: With: His twin.

Kembaran? Seingatnya adik kelasnya, teman-temannya, sahabatnya, tidak ada yang mempunyai saudara kembar. Ini siapa? Mengapa tidak ada namanya. Ia ingat wajahnya, tetapi tidak ingat apapun tentangnya. Sungguh aneh.

"Kak." Halim tiba-tiba masuk dalam kamarnya, menyentakkan Kimy dari lamunan. Tidak ada respons dari kakaknya, Halim melanjutkan dengan sedikit ragu.

"Kudengar, sekolahku yang sekarang mau mengadakan reuni akbar ya?"

"Hm, sekolah? Kamu sudah SMP kan sekarang?" tanya Kimy, tanpa menjawab pertanyaan adiknya.

"Iya, di SMP Negeri 09 Batam, sekolah kakak dulu kan? Mereka, yang katanya pengurus OSIS angkatan kakak dulu, memberikanku undangan karena katanya aku punya kakak yang juga termasuk alumni. Dan itu memang benar," jawab Halim sembari mengangkat bahu, lalu melanjutkan, "Memangnya siapa dulu yang menjadi pengurus OSIS? Dan memberikan undangan itu kepadaku?"

Kimy memiringkan kepalanya sejenak, lalu berkata, "Hm, memangnya kamu tidak tahu namanya?"

"Entahlah, dia bilang namanya Iqri, Mohammad Iqri."

Kimy memejamkan matanya, berusaha mengingat-ingat. Iqri... Iqri... Ya!

"Iqri? Pantas saja! Dia dulu menjabat ketua OSIS saat tahun angkatan kakak. Dia tidak adakah memberikan undangan tertulis ... atau resmi?"

"Ada, tunggu sebentar Kak." Halim pun keluar dari kamar 'masa lalu' Kimy, sementara Kimy kembali tenggelam dalam perputaran waktu yang mundur.

Dia kembali menatap albumnya. Ari. Gumam Kimy dalam hati, menatap satu-satunya foto berpasangan dengan teman laki-laki. Mukanya lucu, pikirnya. Tidak tersenyum, tetapi tidak juga datar. Kadang kalau mengingat itu, dia jadi ingin tertawa sendiri. Kimy pun membolak-balikkan halaman album itu dengan cepat hingga akhirnya sampai di halaman belakang yang kosong, tetapi terdapat tulisan. Dengan mengernyitkan kepala Kimy membacanya dalam hati.

Di halaman ini.. Seharusnya terdapat fotoku denganmu, sahabat terindahku. Tapi.. perasaan sial ini selalu menghalangi kita. Perpisahan sebelum waktunya. Terima kasih. Terima kasih banyak kau pernah menjadi sahabatku. Maaf. Aku minta maaf dengan semua kesalahan yang ada pada diriku. Memang tidak sepantasnya aku menyayangimu. Kau adalah orang hebat, sementara aku.. apalah. Siapalah diriku ini. Semoga kau selalu dalam lindungan Tuhan. I'll always miss you.

Kimy mengingat-ingat, berusaha memulihkan ingatannya. Siapa yang berhasil membuatnya menulis kata-kata seperti ini?

Sungguh, dia tidak ingat apapun. Sekeras apapun Kimy berusaha mengingatnya, yang ada kepala Kimy semakin terasa pusing.

"Ini Kak." Lagi-lagi Halim membuat kepalanya menoleh, namun kali ini Halim membawa secarik kertas bersamanya. Ia pun menyodorkannya. Kimy membacanya.

Dengan Hormat,
Kami mengundang seluruh alumni SMP Negeri 09 Batam, dari angkatan ke-17 sampai angkatan ke-21 (17, 18, 19, 20, 21). Untuk dapat menghadiri reuni akbar yang akan kami selenggarakan pada:

Hari/Tanggal: Rabu, 14 Agustus 2019
Tempat: Pasific Palace Hotel Dress Code: Batik

Angkatan ke-17 sampai ke-21? Berarti akan ada lima angkatan yang hadir. Ini banyak sekali. Mungkin, Kimy akan benar-benar bernostalgia di sana. Sebab, kakak kelas yang mengerjainya waktu MOS dulu sampai adik kelas yang dia kerjai waktu MOS, semuanya akan ada di sana.

Dan... 14 Agustus?

Sepertinya ia ingat tanggal itu, tetapi tanggal tentang apa? Entahlah.

Setelah sekian lama, Kimy pun berucap, "Terima kasih."

"Iya Kak. Kakak akan hadir?"

"Pasti. Pasti kakak akan datang." Seulas senyum terlukis di wajah Kimy. Lalu ia melanjutkan dalam hatinya ketika Halim mengangguk, ini pasti akan sangat menyenangkan.

-o-

Author notes:

Lega, akhirnya bab 2 selesai juga. :')

Maaf, hari Sabtu kemaren nggak update.

Oh iya, maafin juga ya, bab kali ini agak panjang. 1700+ kata :')

Abisan aku bingung motongnya di mana hehe.

Semoga suka! ^^ ♥

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top