Kembali?
"Ke mana lagi kau akan pergi!"
"Sungai Kokas!"
"Sudah berapa kali kukatakan, percuma saja itu tidak akan membuat karat-karat tua itu menghilang!"
∆•∆•∆•∆•∆
Menjadi sadar itu melelahkan, mungkin akan lebih baik jika kami tidak pernah bangun. Namun, semua menjadi berbeda begitu tubuh-tubuh kaku ini kini memiliki nyawa.
Tentu manusia tidak mengetahui itu, bagaimana lagi sebutan benda mati dapat dengan mudah kami sandang. Bagi mereka kami hanyalah sebuah barang yang bisa digunakan sesukanya tanpa tahu kalau kami juga bisa merasakan kecewa dan terluka.
Sudah hampir dua dekade, 15 tahun sudah sangat cukup membuat kami mengenal tabiat manusia-manusia ini dengan baik. Mereka tidak hanya mampu menindas kami para benda yang dianggap mati. Mereka bahkan terbiasa bergosip untuk sesamanya sendiri. Yang terburuk, selalu mampu merasa paling benar ketika kesalahannya sudah jelas ada di depan mata.
Aku ingat sebuah peristiwa yang membuat aku ingin geleng kepala tapi tidak bisa. Seorang wanita setengah baya yang sedang mengendarai scoopy-nya tiba-tiba mengambil arah ke kiri setelah membuat lampu sein belakang motornya yang bagian kanan berkedip. Akibatnya aku harus merelakan kulit bumper depanku harus terkikis lagi dan memperlihatkan karat-karat tua yang semakin melebar karena refleks Bagas yang lambat saat menginjak pedal rem.
Aku tidak kenal siapa scoopy itu sepertinya dari kalangan elit, melihat dari bagaimana knalpotnya yang masih sangat mengilap. Aku tidak mempermasalahkan hal itu. Aku hanya bertanya-tanya bagaimana seseorang yang jelas-jelas bersalah masih dengan berani berteriak memarahi kami bahkan mendramatisir motor barunya yang baik-baik saja?
Aku yang lecet dia yang minta ganti rugi!
Saat itu lampu depanku tidak kuasa melihat saat Bagas mengeluarkan uang merah yang diberikan begitu saja kepada wanita itu.
Keparat!
Mungkin aku harus bersyukur karena saat kejadian itu sedang tidak ada penumpang wanita lain di bangkuku. Jika tidak, aku tidak bisa membayangkan berapa kerugian yang harus kami terima saat para penumpang akan ikut meminta ganti rugi dengan alasan terkena gangguan mental.
Haruskah aku menyalahkan Bagas yang terlalu baik hati?
Tidak! Tidak! Aku akhirnya sadar setelah mengetahui sebuah slogan yang berbunyi 'wanita selalu benar'.
Sialan!
Aku tinggal di sebuah pemukiman yang dijuluki markas pemulung garis keras, bersama Bagas dan istrinya sebagai pemilikku. Kedua pasangan suami istri itu belum ingin memiliki keturunan. Katanya belum memiliki banyak uang.
Sejak kapan uang menjadi tolak ukur seseorang untuk memiliki anak?!
Setelah berdebat hebat dengan Larissa, Bagas akhirnya membawaku ke pinggir Sungai Kokas untuk dimandikan. Rodaku berjengit tiap kali menginjak jalan kumuh di bawah sana, tetapi aku sadar tidak ada yang terlalu bodoh untuk memilih lari dari rumahnya sendiri.
Sedari tadi Bagas terus memijat pelipisnya, sepertinya Larissa mengeluh lagi karena penumpang hari ini sangat sepi.
Para penumpang jelas lebih memilih angkot yang bersih dan tidak menyuarakan bunyi besi beradu saat menempuh aspal rusak. Jangan salahkan aku! Itu semua di luar kemampuanku. Sampai sekarang aku bahkan tidak bisa melepaskan permen karet yang menempel di bawah bangku penumpang!
Aku juga tidak bisa menyalahkan Bagas. Dia memang tidak pernah telaten dalam membersihkanku. Buktinya jangankan menemukan permen karet itu, dia bahkan tidak menyadari betapa banyaknya harta karun yang menempel di sela jendelaku karena penumpang pengupil tidak bertanggung jawab yang membuang harta karunnya sembarangan!
Setidaknya Bagas tidak seperti manusia-manusia itu, ia tidak pernah mengeluh saat mogok tiba-tiba datang melandaku. Ia bahkan tidak peduli dengan cemoohan para pengendara lain karena mendapat sambutan asap pekat dari knalpotku yang sedang kumat. Ia hanya santai mengusap bantalan kemudi seolah aku yang harus ditenangkan. Mungkin hanya Bagas satu-satunya yang tidak pernah mengataiku buruk rupa. Kalau Larissa ... dia hampir masuk daftar hitam.
Air Sungai Kokas ini tidak menyegarkan sama sekali, sebaliknya itu sangat lengket dengan bau yang tidak sedap. Aku hanya bisa pasrah karena Bagas hanya mampu membersihkanku dengan air sungai coklat penuh lumpur ini.
Bersih tidak buluk iya!
Jangan tanya mengapa, kemelaratan mampu menghitamputihkan siapa pun.
Kenapa juga Bagas memilih tinggal di kawasan kumuh yang sangat krisis air bersih ini?!
Aku akhirnya selesai dibersihkan dengan sisa lumpur yang masih melekat di beberapa sisi. Itu tidak masalah. Yang membuat aku syok sampai wiper blade-ku tidak dapat digerakkan, tiba-tiba saja tidak jauh dari tempat Bagas sebelumnya menimba air sesuatu berwarna kuning mengambang dengan bebas. Aku semakin bergidik saat melihat seorang anak laki-laki baru saja berdiri dari pinggir sungai sembari membenarkan posisi celananya.
Keparat!
Demi pelek berkaratku, sungguh aku lebih baik mandi hujan walaupun pada akhirnya itu masih meninggalkan percikan tanah menempel di tubuh bawahku, bahkan jika bodiku akan ditumbuhi para lumut, itu masih lebih baik dari pada harus mandi dengan air Sungai Kokas lagi!
∆•∆•∆•∆•∆
15 tahun merasakan dapat melihat dan mendengar. Ketika pertama kali aku menerima kesadaran, saat itu Bagas masih sangat muda. Ia membeliku dari seorang pemilik pabrik rongsokan tepat saat kerangkaku akan segera dihancurkan. Boleh dibilang Bagas telah menyelamatkanku. Namun, sekarang aku ragu harus bersyukur atau tidak.
Setelah insiden satu minggu lalu di Sungai Kokas, aku memiliki kabar baik dan kabar buruk untuk disampaikan. Kabar buruknya selama satu minggu ini, mesinku sama sekali tidak mau hidup. Penyebabnya belum bisa dipastikan. Entah karena terlalu syok memikirkan bodiku yang benar-benar tidak suci lagi atau memang karena mesin tuaku ini yang sudah tidak mampu beroperasi.
Kabar baiknya menindaklanjuti hal sebelumnya, mesinku akhirnya mau hidup kembali setelah hampir tiga hari Bagas tidak tidur dengan baik karena berkutat dengan obeng dan para perkakas lainnya.
Yang lebih menyenangkan lagi setelah 15 tahun penantian akhirnya hari ini Bagas memutuskan untuk membawaku menuju Express Laundry, tempat pencucian kendaraan yang terkenal dengan harganya yang terjangkau.
Siapa yang peduli dengan perbedaan harga!
Membayangkan bagaimana mesin hidrolik itu mengangkat bobotku lalu percikan-percikan air jernih itu membasuh semua sudut kerangkaku. Percayalah, rasanya karat-karat tuaku ini kini akan memiliki harga.
Kesenangan yang kurasakan beberapa detik sebelumnya kini terinterupsi lantaran roda-rodaku mengambil jalur ke arah yang tidak seharusnya. Aku baru menyadari kalau Bagas yang mengemudi telah tertidur saat sebuah jurang di depan sana telah masuk dalam bidang pandangku.
Jalanan yang aku injak ini bahkan sudah mampu membuat seluruh badanku terguncang hebat, tetapi sedemikianpun aku membantu menggoyangkan tubuhku Bagas belum juga terbangun.
Apa dia selelah itu sampai tidak menyadari bahaya di depan sana?!
Seketika pikiranku akan dunia percucian membuyar. Aku mengeluarkan usaha terbaikku dengan menekan roda-rodaku berusaha memperlambat laju jalanku. Namun, posisi jalanan yang menurun memaksa usahaku menjadi sia-sia.
Apa yang harus aku lakukan?
Sialan mengapa Bagas belum juga bangun!
Karena medan yang tidak rata, aku harus merelakan tubuhku terguling membentur bebatuan hingga membuat kaca depanku pecah. Beruntungnya karena insiden itu pintu yang dekat dengan tempat duduk Bagas akhirnya terbuka yang menyebabkan pria itu terlempar ke pinggir jalan.
Setidaknya Bagas akhirnya sadar untuk melihat tubuhku yang telah terhuyung akan segera terjun dari bibir jurang.
Kukira aku akan langsung terjatuh, siapa sangka batang pohon yang berada di tepi jurang mampu menahan bobot tubuhku.
Namun, apa bagusnya dengan itu?
"Johnson!"
Aku mendengar suara yang familier, itu jelas Bagas. Ia segera menghampiriku begitu menyadari angkot tuanya ini akan segera melakukan lompat (tidak) indah dadakan. Namun, seperti yang aku duga tidak ada yang bisa dilakukan dengan posisiku yang lebih condong ke dasar jurang.
Bagas berusaha menarik bodi belakangku. Wajah cemasnya sangat jelas terlihat dari lampu sein yang aku tidak tahu apakah selanjutnya masih memiliki kesempatan untuk berkedip.
Ah aku sungguh menyesal, andai aku bisa bersuara.
Sudahlah Bagas kau tidak perlu seberusaha itu untuk menarikku. Hei ... aku hanya angkot tua yang lebih banyak menyusahkanmu dari pada berguna untukmu!
Aku semakin frustasi saat melihat Bagas berlari memasuki hutan di pinggir sana lalu keluar dengan sulur-sulur tanaman di tangannya.
Kenapa dia begitu bodoh?
Tinggalkan saja aku!
Bagas mulai menarik sulur-sulur itu setelah mengaitkan beberapa ikatan pada bagian belakang bodiku. Setidaknya itu tidak sia-sia, Bagas berhasil menarik posisiku sedikit sebelum akhirnya sulur-sulur itu putus.
"Jhonson bertahanlah ... kumohon." Bagas kembali bersuara tetapi kali ini terdengar lirih. Samar-samar aku mendengar suara isakkan. Tidak kusangka kini Bagas mulai menangis.
Andai aku bisa memanjangkan kaca spionku, rasanya aku ingin mengetuk kepala pria bodoh itu.
Hei ... harusnya kau senang, kau bisa beli angkot baru setelah ini.
Berjanjilah jangan menyusahkan diri dengan membeli barang rongsokan sepertiku lagi, yah?
Aku tidak peduli lagi dengan usaha Bagas yang masih terus menarikku. Kini aku termenung memikirkan satu kata asing yang Bagas ucapkan beberapa menit lalu.
Johnson?
Wiper blade-ku bergerak, miris. bukankah nama itu terlalu luar biasa untuk angkot peyot sepertiku?
Sayang sekali aku baru mendengar nama itu disuarakan saat beberapa waktu lagi mungkin aku sudah tidak bisa lagi mendengar.
Aku melihat Bagas berhenti dari aktivitas menariknya. Ia lalu berbalik berlari ke arah jalan raya. Namun baru beberapa langkah, bunyi derit batang kayu yang menopangku membuat tungkai pria itu berhenti. Aku kembali melihat wajah cemasnya saat ia beralih berlari ke arahku.
"Oh tidak, tidak, bertahanlah. Aku akan mencari bantuan. Kumohon bertahanlah."
Aku tidak berani menatap Bagas lagi. Pandanganku kini beralih pada lautan luas yang membentang di depan sana. Lagi lagi wiper blade-ku bergerak.
Apa harapanku terlalu berlebihan selama ini?
Aku hanya meminta air bersih setidaknya sekali saja untuk membasuh bagian dalam tubuhku tapi mengapa kini aku akan berakhir mendekam ke dalam lautan yang sudah jelas mampu menenggelamkanku selamanya?
Sialan! Karat-karatku berbahagialah ... populasi kalian akan bertambah.
Bunyi derit kayu semakin keras, aku menduga batang pohon itu sudah tidak bisa menahan bobotku lebih lama. Sementara tangis Bagas semakin pecah, kini aku mulai merasakan tubuhku perlahan mulai terhuyung ke bawah.
Aku menutup penglihatanku tidak kuasa menanggung apa yang terjadi berikutnya. Hingga teriakkan Bagas yang memekak menggema di pendengaran. Hal terakhir yang aku rasakan adalah benturan hebat menerjang tubuhku meyakinkan diri bahwa waktuku telah usai.
∆•∆•∆•∆
Aku kenal sebuah kaleng sprite, ia diproduksi dari pabrik terkenal dikemas dengan baik sebagai salah satu minuman paling digemari di kawasan elit. Ia tidak pernah berada pada suhu di atas 28 derajat. Bahkan bodinya yang mengilap tidak akan dibiarkan berdebu barang sedikit pun.
Aku tidak yakin bagaimana kisahnya sehingga ia berakhir ditumpukkan barang rongsokan milik Tuan Baron -- pengusaha barang bekas terkenal se-area kawasan pemulung. Mungkin saja begitu isinya diminum habis, ia dilempar di pinggir jalan hingga dipungut oleh seorang pemulung.
Siapa yang tahu.
Bayang-bayang itu selalu menghantuiku. Sebagai benda yang dianggap mati, sudah menjadi fitrahnya jika kelak kami akan dibuang saat sudah tidak digunakan.
Aku selalu membayangkan bagaimana nanti jika Bagas menyerah dengan tubuh peyot dan mesin tuaku. Ia pasti akan membawaku kembali ke Tuan Baron. Roda-rodaku akan dipelanting. Seluruh anggota tubuhku akan terpisah.
Kerangkaku akan dihancurkan dan berakhir bersama barang rongsokan lainnya. Orang-orang akan melihat pelekku berguling-guling menjadi mainan baru oleh anak-anak kompleks di kawasan pemulung. Lalu ban bundarku akan berakhir menjadi sebuah karya dari manusia kreatif, yang dengan bangga ia tempatkan di pinggir rumah sebagai pot baru hasil karya dari barang bekas.
Aku akan benar-benar menjadi benda yang mati.
Bukankah memang sudah seharusnya seperti itu?
Aku tidak perlu bertanya apakah Bagas akan membuatku hidup kembali.
Bagas sudah pasti akan membeli angkot baru.
Siapa yang tahan dengan barang rongsokan tua sepertiku.
Belum lagi Larissa sudah pasti tidak akan mengizinkan. Sudah sering kali aku mendengar wanita itu mengeluh, bahkan tidak tanggung-tanggung mengatai bunyi mesinku yang terlalu berisik saat jelas-jelas ia sedang duduk di kursi depan untuk diantar ke pasar loak.
Aku tidak mengatakan Larissa kurang bersyukur, karena apa yang ia ucapkan memanglah sebuah kebenaran yang tidak mungkin aku sangkal. Yah ... walaupun itu terlalu jujur dan terang-terangan.
"Akhirnya menyala."
Aroma oli yang begitu pekat membuat rasa kantukku yang berat terusir perlahan. Aku mendengar berbagai bunyi merserobok dalam pendengaranku seiring kesadaranku yang mulai kembali.
Aku kembali merasakan bunyi kunci diputar, bersamaan dengan itu suara bunyi mesin kembali terdengar. Aku tidak tahu sudah berapa lama kesadaranku menghilang, tetapi roda-rodaku rasanya kaku sangat sulit untuk digerakkan.
"Ayah! Ini benar-benar berhasil!"
Begitu penglihatanku membaik, aku mengintip dari kaca spionku. Seorang gadis muda sedang duduk di kursi kemudi. Aku menduga ia yang berteriak sejak tadi.
Aku mengamati lebih lekat wajah anak asing ini. Entah kenapa wajahnya begitu familier, sangat mirip dengan seseorang yang aku kenal.
Aku mencoba melihat sekeliling. Entah bagaimana kondisi sekitar menjadi begitu berbeda. Tidak seperti yang terakhir aku ingat.
Tidak ada lagi jalanan kumuh penuh rongsokkan.
Tidak ada lagi aroma menyengat Sungai Kokas.
Lalu ... hei! Kemana perginya karat-karatku?
Dari arah belakang, aku melihat wanita setengah baya dengan seorang balita laki-laki dalam gendongannya. Sedikit berbeda dari yang terakhir aku ingat namun aku mengenali salah satu dari mereka.
Larissa ...
"Akhirnya berhasil."
Suara barusan itu berasal dari seseorang yang baru keluar dari bawah kolongku. Tangannya memegang obeng. Wajahnya sedikit cemong terkena hitamnya oli saat ia menyeka keringatnya.
Sosok itu berdiri menepuk-nepuk lembut kaca depanku yang kini tidak lagi pecah. Senyumannya yang mengembang membuat keriput di wajahnya semakin terlihat. Walaupun warna putih pada rambutnya telah mendominasi, tapi aku masih bisa mengenalinya. Dia masih orang yang sama. Dia masih seorang pengemudi baik hati yang kukenal.
Dia ...
"Kau akhirnya kembali hidup," suara itu kini terdengar parau dimakan usia, tetapi senyuman itu masih tetap hangat dan lembut menyambutku.
"Selamat datang kembali Jhonson."
TAMAT
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top