[1] Mengancam
"Aku si gadis naif dan bodoh"
###
Hari Sabtu kali ini kuhabiskan dengan tidur. Tubuhku terasa amat kelelahan. Mataku terjaga sampai Rahagi berpamitan pulang sebelum subuh tadi. Sisa pagi sebelum itu, aku sudah berganti celana dan tetap memakai hoodie lalu bergabung dengan Yuan dan Rahagi, duduk di sofa menjaga jarak aman dengan Rahagi dan terus dalam jarak dekat di sebelah Yuan. Yuan terlelap dan posisi meringkuk di sofa sedangkan Rahagi, laki-laki itu memusatkan perhatian padaku dengan mata sayupnya.
Waktu itu aku berusaha menenangkan otakku. Melihat Rahagi di depan mataku, aku tidak bisa berpikir dengan jernih. Antara aku ingin dia pergi sekarang atau aku berharap matahari segera terbit dan Rahagi segera berpamitan pulang. Aku sama sekali tidak berani mengarahkan pandangan ke arah Rahagi melainkan kepada televisi yang aku tidak menyadari apa yang tengah kita tonton sejak aku bergabung dengan mereka.
Aku memalingkan wajah agar tidak perlu menatapnya dalam keadaan seperti ini. "Berhenti menatapku seperti itu," kataku.
"Dengar," ucapnya. Seakan dia menunggu aku yang memulai untuk bicara, seakan aku bisu yang baru kali pertama bicara, "aku tidak akan menceritakan kepada siapapun selagi kamu tetap diam seperti ini. Kamu hanya perlu melewatinya, Anita."
Aku menjawab dengan mengangkat bahu.
"Ada apa?" tanyanya, menatapku curiga. "Apa kamu tidak percaya padaku? Apa kamu berencana sebaliknya?"
"Aku harus menjawab apa?" Air mataku berlinang. Hal berikutnya aku memikirkan saat mataku terbuka melihat tubuhnya menyikap selimut, saat Rahagi menaiki tubuhku, membungkam mulutku dengan tangannya, membisikan, "diam-diam-diam". Tegas, tenang, dan semua begitu begitu cepat. Seandainya semua itu tidak benar terjadi.
Rahagi berdiri lalu berjalan ke arahku. Jantungku berhenti berdetak ketika Rahagi bersimpuh di depanku dan menakup wajahku dengan tangan. Aku berusaha menghindar tapi tidak secepat gerakannya.
Matanya mengamatiku. "Matamu berkaca-kaca. Kenapa? Percaya padaku." Wajahnya menunjukan kasihan dan keraguan, dan dua-duanya sama sekali tidak aku inginkan darinya.
Aku menempis tanganya. "Aku takut," ungkapku lemah.
"Terus, apa?" katanya, menggamit tanganku. "Kamu berencana menceritakan ini ke Yuan? Begitu! Kamu pikir Yuan akan percaya?"
Aku menunduk memperhatikan kaki. Aku merasa tidak nyaman, rapuh, dan merasa malu karena aku tak ingin ini terjadi. Aku gelisah karena tidak tahu harus melakukan apa. Tiba-tiba aku menjadi selemah ini. Aku menangis tepat di depan Rahagi. Aku tidak pernah menangis di depan seseorang sebelumnya. Rasanya tidak membuatku lebih baik malah membuatku seperti balon yang terbang ke arah rumput gajah yang belum dipotong.
"Kemarilah." Dia menarik tubuhku ke arahnya dan memelukku. Dia beraroma keringat yang bercampur deodoran, rokok, dan kamper.
Aku menarik tubuhku begitu cepat karena aku tidak bisa mencerna apa maksud dari pelukannya itu. Antara dia akan melakukannya lagi atau dia memang berusaha menenangkanku atau dia menyesali perbuatannya. Aku merasa gentar ketika kulitnya menyentuh tubuhku.
Aku berdiri dan melompat ke belakang sofa. Aku menggeleng sambil mengusap air mata di pipi. "Aku takut!"
"Kamu takut padaku?" katanya sambil berdiri. Dia meraih kaosnya di samping tubuh Yuan. Saat mengenakan kaos itu, dia menambahkan, "jangan terlalu keras kepala. Ini bukan masalah besar jika kamu bisa untuk tetap tutup mulut. Anggap seperti biasanya di antara kita."
Aku menggeleng. Aku memang pernah semacam memiliki rasa kagum padanya. Mungkin di awal-awal kami bertemu di sekolah setelah dikenalkan saudara laki-lakiku. Aku tahu Rahagi cerdas, karena nilainya bagus dan termasuk eligible. Rahagi yang aku kenal adalah pemuda baik hati dengan tatapan mematikan, tapi aku tidak tahu jika dia memiliki pemikiran buruk seperti ini dan hingga sampai sedalam ini dan dia lakukan itu padaku. Dan masalahnya kenapa harus aku yang menerima ini.
Aku percaya pada satu hal. Jika seseorang terlalu membenci dirinya sendiri, perasaan itu akan terus tumbuh dan membuatnya tak berdaya. Ketidakberdayaan yang justru datang padaku untuk menghentikan waktu dan memberiku kesempatan untuk berpikir jernih atau berlari. Tetapi aku sudah terlanjur membenci diriku saat ini. Membuatku tak sanggup untuk membela diriku sendiri. Tak sanggup untuk menampar wajah Rahagi dan berharap aku tidak lagi memikirkan apa yang telah dia lakukan padaku.
Kupeluk tubuhku rapat-rapat yang tak lagi jadi milikku. Rahagi telah menyentuh banyak yang kupunya. Menyentuh setiap jengkal kulitku dengan tangannya itu, dengan mulutnya itu, dengan hidungnya, dan dengan tubuhnya. Semua sentuhannya terasa menyakitkan. Terlalu perih untuk kutahan. Aku mencoba berpikir, mencari tahu apa salahku. Aku tidak baik-baik saja menerima semua yang telah terjadi padaku.
Rahagi berjalan mondar-mandir di depan televisi. Sesekali menyugar rambutnya dengan tangan. Dia terlihat frustasi tapi itu tidak membantu atapun mempengaruhi diriku. "Aku tidak ingin buat kamu gelisah. Tapi kamu dengarkan aku tidak, sih?" Dia berhenti dan menunjuk wajahku. "Aku tidak ingin orang lain tahu dan aku sangat mengkhawatirkanmu."
"Apa yang kalian lakukan." Aku dan Rahagi lalu melihat Kakakku Yuan tengah duduk sambil merenggangkan tangan. "Kenapa kalian berdiri?"
Rahagi tidak lagi menatapku sama sekali. Dia tidak terlihat mengancam seperti beberapa menit yang lalu. Tidak ada gerakan memperingatkan, tidak sama sekali. Semua tampak normal. Seakan-akan tidak ada yang terjadi antara aku dengannya. Seperti saat Rahagi pertama kali dikenalkan Yuan padaku. Seperti saat Rahagi pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini. Aku masih adik Yuan dan dia adalah pemuda yang akan melindungiku dari lelaki berengsek di sekolahku. Aku adik Yuan yang lugu, polos, dan tidak pernah berpacaran ini adalah jenis gadis yang naif dan bodoh yang harus membiarkan hal seperti ini begitu saja.
"Aku pulang dulu," kata Rahagi. Akhirnya.
Rahagi berjalan memutar untuk mendekat ke arahku. Dia mengusap lenganku lalu menepuk bahu Yuan. Salam perpisahan yang sering dia lakukan untuk siapun itu. Memang tidak asing tapi aku tetap ketakutan ketika dia bejalan ke arahku tadi. Baik aku maupun Yuan tidak ada yang mengantar Rahagi ke pintu. Aku lebih memilih untuk membenamkan tubuhku di kamar orang tuaku yang jauh lebih aman dan nyaman ketimbang harus kembali ke kamarku atau melihat seprai yang berbau seperti Rahagi.
Aku menghabiskan sisa pagi itu di kamar orang tuaku, mengabaikan Yuan yang membersihan sisa pesta kecil bersama Rahagi semalam. Hingga sekitar pukul sebelas siang Yuan membangunkanku. Dia duduk di tepian kasur sambil menepuk-nepuk bahuku.
"Lelah banget?" katanya saat aku mulai membuka mata. "Perasaan kamu tidur lebih awal dan bergabung dengan kami tidak lama. Dan kamu tidak membantuku membersihkan rumah. Sial."
Aku hanya menggerang. Mengusap mataku dan sungguh tulangku terasa remuk seperti tidak ada yang utuh. Punggung bawahku yang paling terasa dan lutut serta semua anggota gerak bawah. Ini tidak seperti biasanya, apa aku semalam lari marathon? Kurasa aku hanya tidur dan Rahagi memanjat tubuhku. Tidak terasa normal bagiku.
"Kamu ikut ke rumah sakit, tidak?" tanya Yuan sambil berdiri untuk mengambil beberapa pakian di lemari milik Mama. "Mama butuh baju ganti dan meminta aku mengirimkan makanan. Kalau kamu mau ikut pergilah mandi sekarang."
"Bisa siapkan sarapan untukku, Kak?" pintaku. Otakku terasa berdenyut di dalam tengkorak kepala. Ini sungguh menyebalkan.
Aku berusaha untuk duduk dan bersandaran pada sandaran tempat tidur. Beberapa sendiku terasa nyeri dan linu di beberapa titik. Ada apa dengan tubuhku siang ini.
"Kamu ikut ke rumah sakit apa tidak, Dek?" desak Yuan.
Otakku masih belum bisa memproses dan memberikan jawaban. Aku mengangguk tapi Yuan tidak sedang melihatku. Saat itu dia sedang mengambil beberapa pakaian kemudian dimasukkan ke dalam tas tenteng lama milik Papa. Kakakku seperti sudah tahu pakaian mana yang diinginkan Mama. Dia tidak perlu meminta saran padaku dan jika itu dilakukannya aku hanya akan menjawab 'terserah'.
"Aku pinjam hoodie kakak."
"Apalagi?" katanya sambil menutup resleting tas tenteng. "Apa aku harus melayanimu juga. Tolonglah berkontribusi. Aku kakakmu. Bersikaplah sopan."
Aku mengernyit. "Kita seumuran. Kamu bukan Kakakku yang beda delapan tahun. Kita hanya beda satu jam."
"Kamu jadi ikut apa tidak, astaga." Yuan berkacak pinggang. Ekspresinya menyebalkan seperti biasanya. Dan dia kakakku.
"Iya, aku ikut," jawabku sambil turun dari ranjang. "Aku bisa bantu apa?"
"Mandi!" Matanya melotot kepadaku.
"Iyaaa." Aku bergegas menuju ke keluar kamar dengan menahan rasa kebas di lutut dan otot pahaku.
Saat aku mandi, aku menemukan banyak ruam di tubuhku. Setiap kusentuh bagian yang kemerah-merahan, aku langsung teringat bagaimana Rahagi menyebabkan itu terjadi. Dia meremas lenganku, pinggangku, dan aku tidak bisa melupakan setiap senti yang Rahagi sentuh pada tubuhku. Aku mandi secepat yang aku mampu agar tidak terlalu larut dalam bayangan-banyangan Rahagi. Setelah mandi, dengan memakai gaun mandi aku berlari ke kamarku untuk mengambil pakaian dalam—tanpa melirik sedikitpun ke arah tempat tidur—lalu berpindah ke kamar Yuan untuk meminjam Hoodie dan trining olahraga.
Aku bergabung dengan Yuan di dapur. Yuan telah menyiapkan semangkuk sereal untukku di meja dapur, hanya tinggal menuangkan susu. Saat Yuan tersibukkan dengan mengemas makanan, aku menuangkan susu UHT ke mangkok yang telah Yuan siapkan.
"Terlalu siang untuk makan sereal." Aku mengambil posisi duduk di kursi tinggi di depan bar sambil memperhatikan Yuan.
"Ini yang paling cepat dan gak ribet," tukas Yuan.
Aku tidak mempermaslahkan harus makan sereal di siang hari. Aku tetap menyantap sarapan siang dengan ceria seperti hari-hari biasanya sambil memperhatikan debu-debu yang bertebangan dari sinar matahari yang menyelinap masuk dari jendela yang mengarah ke halaman belakang rumah. Itu artinya aku hampir melupakan sejenak fakta yang terjadi semalam. Aku yakin Rahagi tidak repot-repot memikirkan perasaanku hari ini. Lupakan saja kenyataan bahwa lusa kami mungkin akan pulang sekolah bareng, atau tidak. Kutarik lengan hoodie setinggi mungkin dan melanjutkan menyantap sereal. Aku tidak memikirkan apa pun kecuali rasa gerah ketika harus memakai hoodie di siang hari di daerah yang beriklim tropis, tapi ini ada hubungannya dengan perasaan di mana aku benci seseorang menikmati tubuhku saat aku tidak lagi memilikinya.
Aku tidak banyak membantu setelahnya selain membawa tas berisi makanan untuk dibawa ke mobil. Sepertinya kami sangat terlambat untuk pergi ke rumah sakit. Yuan mengendarai mobil dengan tidak terburu-buru artinya Mama tidak telalu genting menunggu barang-barang yang kami bawa.
Kami melewati jalan depan perkarangan rumah Rahagi. Aku melihat Rahagi sedang menjemur kaos yang dipakainya kemarin. Dia hanya mengenakan boxer yang sangat pendek dan handuk tersampir di bahu seperti baru selesai mandi karena rambutnya masih basah. Yuan menekan klakson untuk menyapa Rahagi, dan pemuda yang telah memanjat tubuhku itu langsung menyadari. Dia melambaikan tangan ke arah Yuan alih-alih kepadaku. Aku langsung menunduk, aku tidak ingin berkontak mata dengannya karena terlewat ketakutan. Melihat otot kekar yang membungkus lengan dan abdomennya sekarang bahkan jauh lebih menakutkan ketimbang apa yang dia lakukan semalam. Aku benci melihat tubuhnya sebenci aku dengan tubuhku sendiri.
Setelah beberapa kilometer, otakku masih menampilkan hal-hal yang harusnya sudah aku atasi saat sarapan siang tadi. Kenapa hanya dengan melihat Rahagi pikiranku langsung kacau. Aku tidak bisa mengatasi rasa takut yang menjalar di punggungku seakan seseorang akan menusukku.
Aku melirik ke arah Yuan. "Apa Kakak yakin kalau Rahagi bisa menjagaku?" tanyaku pelan.
Yuan mengangguk. "Barangkali kamu butuh sesuatu saat aku gak ada, kamu bisa minta tolong padanya?"
Aku berusaha tersenyum, tapi terlalu getir. "Barangkali," aku mengulanginya. Tapi pikiranku dipenuhi dengan hal-hal yang bertolak belakang. Terlalu banyak bayangan baik tentang Rahagi yang bisa kusatukan untuk menjadi hal yang buruk. "Semalam Rahagi...." Aku tidak bisa melanjutkan.
"Itu tergantung apa yang kamu inginkan darinya." Yuan meringis. "Maksudnya kalau kamu suka dengan Rahagi, aku tidak bisa bantu. Bukan urusanku, tapi aku yakin dia anak yang baik. Dia sahabatku yang paling baik."
Kurasa tidak ada anak baik kalau mengendap-endap ke kamar adik sahabat sendiri.
Tidak ada lagi percakapan setelah itu. Sampai mobil kami berbelok ke arah pavilion rumah sakit. Yuan sengaja menghentikan mobil di lobi depan. Aku turun lebih dulu dan Yuan menyusul lalu mengambil barang-barang di jok tengah dan meletakkan di lobi.
"Jangan masuk dulu, tunggu aku!" perintah Yuan. Dia meletakkan barang-barang di lantai lobi.
Aku tidak meresponnya dan hanya merapikan hoodie. Sambil naik beberapa undakan di lobi, aku menurunkan lengan panjangnya, memasang kupluk, dan menyimpan tangnku di saku depan. Aku hampir tidak menyadari kapan Yuan masuk ke mobil ketika mobil sudah melaju menuju area parkir di depan gedung.
Lobi pavilion sangat sepi. Bahkan di dalam juga tidak ada orang berlalu-lalang. Kecuali seorang pria yang sedang berjalan mendekat ke arahku alih-alih ke lobi, dan mulutku terkatup melihatnya. Ia masih muda, tingginya kalau kuperhatikan lebih tinggi sedikit daripada Yuan ataupun Rahagi. Lebih tampan dari pria dewasa yang pernah kulihat. Meski begitu aku tampak familiar dengan wajahnya.
"Pak Zayn?" sapaku. Aku ragu karena pria itu menunduk sambil menekan-nekan ponselnya.
"Oh, Iya?"
Aku lalu mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dan mencium punggung tangannya. Dia adalah guru matematikaku di sekolah.
"Anita," serunya. "Sedang apa di sini, siapa yang sakit?"
"Papa saya," jawabku. Di kejahuan aku melihat Yuan sudsh tengah berjalan menyebrangi lahan tempat parkir. "Ini lagi nunggu kakak saya masih di pakirkan mobil."
Pak Zayn melihat barang-barang di dekat kakiku lalu mengikuti arah pandangku yang sedang memperhatikan Yuan berjalan mendekat. "Semoga lekas sembuh, Papanya Anita."
"Terima kasih, Pak."
"Ngomong-ngomong sudah membaca brosur jalur masuk penerimaan mahasiswa di perguruan tinggi yang kemarin Bapak berikan?" Ketika Pak Zayn mengatakan itu aku bahkan lupa di mana kapan terakhir kali meletekan dan membaca brosur itu.
"Masih dipikir-pikir lagi, Pak," jawabku.
"Yasudah kalau begitu," kata Pak Zayn buru-buru sepeti ingin menyudahi basa basi ini. "Bapak masuk dulu yah. Salam untuk orang tua Anita."
Aku mengangguk. Saat Pak Zayn berlalu aroma parfumnya tertinggal. Aroma cinamon, vanila dan rose yang bercampur. Aroma yang jauh lebih baik ketimbang bau asap rokok bercampur deodoran, keringat, dan kamper.
"Eh... Anita," panggil seseroang di belakangku.
Aku menoleh melihat Pak Zayn berdiri di ambang pintu kaca lobi.
"Kalau sekiranya ada yang mau didiskusikan dengan saya, hari Senin bisa datang saja ke ruang BK," kata Pak Zayn. "Mungkin saya bisa bantu."
Butuh beberapa saat baru aku bisa menjawab. Aku memijat tengkuk karena gejolak rasa tidak nyaman. "Baik, Pak." Karena ada hal yang lain untuk dibicarakan yang mungkin lebih penting dari sekadar membicarakan masuk ke perguruan tinggi.
Pak Zayn mengangguk. Aku membiarkan beliau berjalan masuk ke gedung pavilion dengan segenap kegelisahanku. Aku berharap biarpun tidak terlalu yakin jika Pak Zayn akan memahami situasiku karena itu bukanlah hal yang biasa diungkapkan semua orang setiap hari. Aku takut situasinya akan berbalik berujung pada hal di mana aku harus menanggung risikonya. Entah apapun itu. Mungkin aku salah karena tidak mengunci pintu kamar sehingga pria manapun bisa masuk dan menjamah tubuhku. Mungkin aku yang salah jika tidak berteriak saat menyadari seseorang telah menyikap selimutku, merobek pakaianku, melucuti semua yang aku kenakan. Semua itu memang salahku. Dan mungkin semua orang akan menyalahkanku.
"Hey!" Yuan menepuk bahku. "Kenapa sih? Melamun terus dari tadi?"
Aku menghela napas berat ketika menatap wajah Yuan. Aku menyadari beberapa fakta tentang Yuan. Dia saudara kembarku. Kami lahir dari rahim yang sama tapi kenapa hanya aku yang bernasib demikian. Jika memamg harusnya kami atasi bersama tetapi bahuku tidak sekuat itu harus menghadapi ini sendirian. Dan aku tidak cukup kuat untuk menceritakan banyak hal kepada Yuan seperti yang biasa aku lakukan.
Aku menggeleng lalu mengambil tas berisi makanan. Aku memimpin jalan di depan masuk ke gedung Pavilion. Aku mencoba mengontrol diriku terlihat seakan tidak ada yang terjadi biarpun segalanya telah hancur. Dan saat aku menatap Yuan lagi, dia menunggu namun aku tidak menjelaskan apa-apa. Jadi dia hanya mengedikkan bahu sambil berjalan mendekat ke arahku. Entah bagaimana aku tahu, terlewat yakin malah, karena Rahagi benar, tidak akan ada yang percaya padaku. Tentu saja tidak akan ada seorangpun termasuk Kakakku sendiri alih-alih keluargaku.
Atau mungkin Pak Zayn angin segar buatku?
###
[BERSAMBUNG]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top