6 || Feromon

A/N

Gue nggak berniat bikin cerita Rendra banyak bahasan soal Biologi dan Fisiologi Meliora, soalnya ini bukan ranah kerjaan/studi dia, jadi yang gue kasih di chapter ini adalah dasar-dasarnya aja. Untuk Biologi Meliora yang lebih advanced, mungkin bakal gue masukin ke ceritanya Lorent, berhubung dia adalah Geneticist/Genetikawan di Balwana. 

Dasar ilmu yang gue ambil untuk mutan Meliora memang ilmu Biologi beneran, tapi cerita dan konten soal Meliora-nya tetap fiktif ya gaes. Sori gue butuh waktu agak lama untuk mempersiapkan chapter ini. Either way, I hope you enjoy the story.

***


| 6 |

FEROMON



"SO, ABOUT THAT pheromone thing," ujar Jihan, mengingat topik yang membuatnya tertarik dengan Rendra, "you smell it on me, right? Tapi sebelumnya, udah pernah mencium feromon orang lain yang 'cocok' atau memikat kamu?" tanya Jihan, tak yakin.

Alis Rendra menyatu. "Gue nggak bisa mencium feromon selain feromon lo, Jihan. Jadi selama ini, gue memang nggak menciumnya di orang lain karena nggak pernah mencium feromon dari tubuh mana pun—sampai akhirnya gue ketemu lo."

"Oh ... jadi, penciumanmu selektif cuma untuk feromon yang cocok aja? Nggak bisa mencium feromon semua orang? Termasuk feromon sesama mutan?"

"Betul. Atau mungkin, bisa mencium aroma tubuh orang, tapi feromon mereka nggak mengaktifkan radar deteksi tertentu di otak gue, jadi tubuh gue nggak bereaksi atas feromon mereka."

Mata Jihan memicing penasaran. "Tubuh kamu bereaksi pas mencium feromon aku?"

"Iya. Langsung sadar sama kehadiran lo, soalnya aromanya mencolok banget. Nggak mungkin nggak menoleh, nggak mungkin nggak penasaran. The presence just grasps you all the way in."

Jihan menatapnya penasaran. "Feromon tubuhku baunya kayak gimana?"

Alis Rendra terangkat selagi dia tersernyum. "It smells very nice." Lalu, Rendra menambahi, "I love the smell."

Mendengus, Jihan menahan senyum. "Okay, thank you. Tapi detailnya gimana? Bisa disamakan dengan bau apa gitu?"

"Hmmm, kayak aroma kulit, but better. Manis, tapi bukan manis gula atau bunga. Memikat sih lebih tepatnya. Agak susah dideskripsikan." Perlahan, Rendra menatap matanya. "It makes me wanna smell you more."

Rasa hangat menjalari pipi Jihan, tersadar implikasi dari ucapan Rendra.

Ugh. Ini pasti karena aku baca cerita werewolf romance, makanya jadi kepikiran, gerutu Jihan dalam hati.

Tapi, suasana hatinya sedang bagus dan dia penasaran. Jadi Jihan mengulurkan tangannya di depan Rendra. "You can smell it more."

Sepasang alis Rendra naik disertai mata melebar. "Are you sure?"

"What? Emang kamu bakal gigit tanganku?"

Rendra tidak tertawa atau tersenyum. Dahinya mengerut. "I think it's going to be worse than that."

Jihan menarik kembali tangannya ke bawah meja. "It's just a hand."

"It's not just a hand. It's a part of your body," balas Rendra. "It's a tempting offer. Tapi, sebaiknya nggak diberikan ke gue secepat ini."

Jihan mengernyit. "Aku cuma kasih tangan."

"Tanpa tahu tangan lo bakal diapain sama gue."

"Dicium kan?"

Seringai Rendra muncul dengan satu alis meninggi.

Jihan tersadar ucapan ambigunya. "Ci-cium baunya! Bukan cium yang itu!"

Rendra tertawa. "Iya, iya. I'm just messing with you."

Jihan mengalihkan wajah, berusaha menjaga ekspresi. Dia kembali bertanya topik awal, "Yang bisa cium feromon ini semua mutan—mutan apa tadi katamu? Mutan Meliora?"

"Iya, Meliora," jawab Rendra. "Mutan Meliora pria bisa mencium feromon dari perempuan yang jadi belahan jiwanya. But please don't ask me too much detail about the science and stuff. Gue bukan expert di bidang itu."

"Apa aku bisa dapat jawaban kalau nanya kenapa yang punya belahan jiwa cuma mutan pria?"

"Bisa. Mungkin, gue harus jelasin dulu sedikit—atau banyak—soal mutan Meliora." Rendra melihat pelayan yang datang membawakan susulan makanan pesanan mereka. Dia menyerahkan semua piringnya kepada Jihan untuk dicoba wanita itu. "Lo duluan. Nanti kalau nggak habis, baru kasih ke gue."

Jihan tersenyum, memilih untuk membagi semua menu menjadi dua porsi. "Aku makan duluan ya."

Tangan Rendra tertangkup di depan dadanya. "Itadakimasu."

Jihan mendengus terkekeh, geleng-geleng, tahu bahwa ucapan itu sering dikatakan oleh para tokoh di anime sebelum makan.

Wanita itu mulai menyantap dari ayam kari. Daging ayamnya empuk dan berempah, kuahnya kental dan segar. "Ini enak banget," puji Jihan. Lalu dia mencoba makanan lain yang terhidang, puas dengan semuanya. Jihan memberi serangkaian pujian rasa disertai mata berbinar atas semua menu yang Rendra pilih, membuat Rendra tersenyum, ikut puas sambil melihat Jihan menikmati makanannya dengan lahap.

Kemudian, Jihan berkata, "Rendra, lanjutin yang tadi dong."

"Oh, iya. Kita sampai mana tadi?" Rendra mengingat-ingat, lalu menjawab pertanyaannya sendiri, "Ah, soal mutan Meliora pria dan wanita."

"Soal kenapa cuma mutan pria yang punya belahan jiwa," tambah Jihan. "Tapi, kamu makan dulu aja."

"Gue jelasin permulaannya dikit. Mutan Meliora awalnya manusia biasa, terus setelah diuji dan dipastikan gennya dan segala macam kondisi biologis dia cocok dengan serum mutan Meliora, manusia itu disuntik dengan serum Meliora. Mutasinya itu terkait sama kromosom X. Pria itu kromosom seksnya adalah XY, jadi kromosom X-nya cuma satu kan, otomatis dosis serumnya cukup sekali suntik. Sedangkan untuk wanita, kromosomnya XX, jadi dua kali suntik. Dah, gue makan dulu."

Rendra minum sebelum lanjut menghabiskan makanannya. Sebenarnya Jihan tak sabar mendengarkan kelanjutan penjelasan Meliora ini. Jadi sambil mengunyah, dia menulis beberapa pertanyaan yang bercokol dalam otaknya sebelum lupa. Mereka menyantap makanan hingga semuanya habis. Tersisa dessert Dark Choco Lava in a Mug yang baru mereka minta datangkan di akhir. Rendra memesan seporsi Cajun Hashbrown tambahan untuk snack.

"Tadi sampai mana?" tanya Rendra. "Kromosom?"

"Iya, dosis suntikan serum disesuaikan jumlah kromosom," balas Jihan.

"Oh, ya, dosis satu kali untuk pria, dua kali untuk wanita. Nah, sebenarnya, dosis dua kali itu adalah dosis sempurna supaya bisa jadi mutan Meliora yang 'utuh'. Makanya, Meliora wanita itu nggak perlu punya belahan jiwa untuk bisa hidup panjang. Sedangkan Meliora pria usianya jadi pendek kalau udah jadi mutan Meliora, jadi butuh belahan jiwanya untuk memperpanjang usia."

Jihan masih bingung. "Kenapa butuh belahan jiwa untuk memperpanjang usia?"

"Butuh, karena belahan jiwa mutan Meliora bisa memproduksi protein terkode spesifik yang dibutuhkan si Meliora pria. Meliora wanita bisa memproduksinya sendiri, jadi nggak butuh belahan jiwa."

Kernyitan Jihan mendalam. Dia tak terlalu paham Biologi sampai sejauh itu. Jurusan dia di SMA dulu adalah jurusan IPA, tapi dia sudah banyak melupakan detail ilmunya karena pekerjaannya sekarang tak berkaitan dengan bidang Saintek. Namun, dia ingat satu hal.

"Semua manusia itu bisa melakukan sintesis protein. Apa yang membedakan perempuan satu dengan perempuan lainnya sampai cuma ada satu yang jadi belahan jiwa?" tanya Jihan. Lalu, dia menambahi, "Belahan jiwa kalian cuma satu, kan? Atau, ada beberapa? Jadi kami harus bersaing dengan satu sama lain kayak di The Bachelors atau Take Me Out?"

Rendra terbahak-bahak. Dia jadi makin suka dengan Jihan. "Gue nggak tahu jumlah belahan jiwa kami ada berapa di luar sana. Tapi sepuluh tahun lebih gue jadi Meliora, pertama kali gue ketemu belahan jiwa ya, baru lo doang. Maksud gue, ketemu satu aja udah beruntung banget gitu. Karena ada yang seumur hidupnya nggak pernah ketemu. Better to not take things for granted, right?"

"I agree." Jihan melirik Rendra. "But to be clear, semisal kamu ketemu wanita lain yang jadi belahan jiwamu, apa kami harus bersaing supaya bisa terpilih jadi pasangan kamu?"

"Enggak. Kalaupun ada, kemungkinan sih, gue bakal bantuin lo supaya lo bisa menang persaingannya."

"Kenapa nggak bantuin dia?"

"Lah, ngapain? Gue kan kenal lo lebih dulu."

"I see. Kirain bakal poligami."

Rendra mendengus sambil menggeleng. "I'm not into it."

"Why?"

"Lebih banyak kerugiannya daripada keuntungannya buat gue. Pertama, karena dari dulu, I know I am not into polyamorous relationship. Kedua, di circle gue, cowok yang poligami zaman sekarang biasanya dianggap berkualitas rendah, soalnya klien-klien kami yang melakukan praktik itu biasanya nggak bisa jadi figur ayah dan suami yang baik. Jadi kalau gue poligami, nilai gue di mata rekan-rekan gue pasti menurun banget. I don't want that. Terus yang ketiga, dengan asumsi bahwa belahan jiwa gue itu bukan anak yatim piatu, nikahin dua cewek artinya gue harus berurusan sama dua mertua, dua keluarga lain, dua circle pertemanan dari cewek itu, di saat gue lebih baik nge-game di kamar aja. Poligami terlalu merepotkan untuk gue yang mageran ini, Jihan. C'mon."

Jihan tersenyum, lalu membuka ponsel untuk membaca pertanyaan-pertanyaan yang sempat dia tulis. "Mekanisme belahan jiwa sampai bisa bikin protein terkode spesifik ini, gimana? Pertanyaanku tadi soal ini belum terjawab."

Rendra bergumam sambil menatapi gelas birnya yang sudah kosong. Apa dia harus menjelaskan mekanismenya sekarang? Dia agak malu menjelaskannya. Apalagi, ini baru kencan pertama. Sekarang Rendra sadar, harga atas tindakan impulsifnya bisa cukup tinggi.

But fuck it, pikir Rendra. Nasi sudah jadi lontong, mending ditambah opor ayam biar enak.

"Lewat perkawinan, Jihan," jawab Rendra. "Kawin, atau mating, maksud gue. Bukan pernikahan. Coitus atau kopulasi, kalau mau pakai istilah Biologi. Dari kopulasi, masuk sumber protein dan materi lain ke tubuh si cewek, lalu terjadi serangkaian sintesis kimiawi dalam tubuh si belahan jiwa hingga tubuhnya bisa membuat protein terkode spesifik ini."

Jihan mengerjap-ngerjap, terkejut sekaligus tercerahkan. Pantas saja, pikir Jihan, pasti lewat perkawinan. Karena itulah para mutan Meliora pria ini butuh pasangan.

"Sumber protein dan materi lain ini ... maksudnya dari sperma, kan?" tanya Jihan, mengaitkannya dengan kopulasi.

"Smart girl. You are perceptive," puji Rendra. "Iya, betul. Pokoknya ada suatu materi dalam sperma mutan Meliora yang kalau udah kopulasi sama belahan jiwanya, bisa bikin tubuh belahan jiwanya memproduksi protein terkode spesifik ini."

Jihan mengernyit. "Kalau gitu, sperma Meliora nggak akan bikin cewek-cewek selain belahan jiwanya bisa produksi protein terkode spesifik yang kalian butuhkan?"

"Iya, plus, sperma Meliora justru jadi racun ke cewek-cewek itu. Dalam skala kecil, efeknya mungkin 'cuma' bikin cewek itu jadi infertil. Dalam skala besar, bisa sampai sakit-sakitan yang akan berlanjut ke kematian. Perempuan yang bisa menerima sperma yang nggak jadi beracun di tubuhnya itu cuma belahan jiwa kami masing-masing."

Semakin lama, Jihan semakin menyadari implikasi dari semua pembahasan ini. "So, you just want to have sex with me?"

"No," jawab Rendra, tegas. "I don't want just to have sex. My genes want to have offsprings with you, yes. But me as a person? No, I don't want just that. I want to know more about you. Gue mau tahu kenapa setelah belasan tahun jadi Meliora, dari semua perempuan yang pernah gue temui, kenapa lo yang jadi belahan jiwa gue? Gue mau cari tahu soal itu dengan mengetahui lo lebih dalam."

"Gimana kalau jawabannya mengecewakan kamu?"

"Gue tahu apa yang gue inginkan dan ekspektasikan, Jihan. Don't sell yourself too short. Gue nggak akan muncul di kencan ini kalau menurut gue, lo itu nggak menarik. Dan gue nggak akan inisiasi kencan kedua kalau gue nggak cukup suka sama lo."

Jihan menatap keseriusan pria itu. Ucapan Rendra membuatnya merasa lebih baik. "Thank you." Kemudian, dia menambahkan, "Aku juga cukup suka sama kamu untuk mau lakuin kencan kedua."

Rendra tak bisa membendung senyum lebarnya. Dia berusaha mengecilkan senyumnya kendati sebenarnya dia sangat bahagia. "Just let me know when you are available for the nxt date."

"I will." Jihan tersenyum, lalu fokus lagi ke topik sebelumnya. "Hm, tadi kita ngobrol sampai soal sperma ya. Soal sperma kalian beracun."

"Iya," jawab Rendra. "Sebelumnya, kita bahas soal mutasi genetik. Gue mau nambahin bahwa pada dasarnya, mutasi genetik selalu terjadi sepanjang mahkluk hidup berevolusi. Karena itulah ada variasi genetik; warna kulit berbeda, warna iris mata berbeda, ada rambut keriting, bergelombang, lurus, dan sebagainya. Tapi itu mutasi yang sebenarnya bukan skala besar, maksudnya, perbedaan warna kulit, mata, struktur wajah, itu nggak membuat suatu manusia seketika berubah jadi spesies baru, soalnya variasi genetik mereka nggak bikin fisiologis tubuh jadi berbeda jauh dari manusia lainnya, dan kalau kawin, masih bisa punya keturunan fertil."

Tangan Jihan terangkat, seperti memintanya berhenti sejenak. Jihan membuka ponsel dan mengetik sesuatu. Sejurus kemudian, dia meletakkan ponsel, kembali menatap Rendra. "Oke, silakan lanjut. Tadi aku cuma lupa arti fisiologis itu apa. Jadi aku Google dulu."

"Oh." Rendra terkekeh. "Gue selalu mengaitkan kata fisiologi dengan kata 'fungsi' dan 'fisik' kalau mau mengingat artinya. Jadi, ilmu yang mempelajari fungsi dan cara kerja sistem organ, organ, jaringan, sel, dan biomolekul sel, baik secara fisika, kimia, dan biologi."

Jihan bergumam sambil mengangguk. "Detail banget ingatnya."

"Well, soalnya ilmu fisiologi ini diberikan setelah jadi Meliora di organisasi gue. Ilmu penting, karena memang fisiologi Sapiens dan fisiologi mutan Meliora itu berbeda. Eh, ini kami sering sebut manusia modern—kayak lo—dengan sebutan Sapiens, dari nama spesies Homo sapiens, biar penyebutannya lebih mudah pas dibandingkan sama Meliora."

Jihan bergumam sambil menggoyangkan birnya yang sudah mau habis. "Manusia modern juga mengalami mutasi juga secara terus-menerus, tapi nggak sampai skala besar, karena nggak bikin manusia—Sapiens—berubah menjadi spesies baru. Artinya, Meliora ini adalah spesies yang berbeda dari manusia, kan? Udah nggak bisa dibilang ... manusia, mungkin?"

"Gue nggak tahu ya Meliora masih bisa disebut manusia atau bukan. Ilmu modern kayaknya belum menyepakati hal itu—karena emang ilmu modern dunia harusnya nggak tahu soal Meliora. Tapi berhubung spesies manusia dalam genus Homo yang lain itu juga tetap disebut manusia, mungkin, Meliora tetap bisa dianggap manusia juga, walau udah beda spesies dari Homo sapiens."

"Udah beda spesies karena fisiologis udah beda, kan?"

"Iya, karena secara fisiologis udah berbeda, dan kalau kawin sama Sapiens, hasilnya infertil, kecuali kalau kawin sama belahan jiwanya yang udah dimutasi tubuhnya jadi siap dibuahi."

Jihan membeliak. "Sebentar, belahan jiwanya—aku—juga bakal dimutasi secara genetik? Aku bakal jadi mutan kayak kamu?"

Rendra menggeleng. "Bukan. Belahan jiwa mutan Meliora nggak akan termutasi jadi mutan Meliora. Atau gampangnya, mutasi genetik yang terjadi dalam tubuh kalian itu masih dalam skala kecil, nggak bikin tubuh berubah jadi spesies baru, fisiologis masih sangat mirip dengan Sapiens. Tapi ... perubahan kecil-kecil dalam tubuh Sapiens wanita yang jadi belahan jiwa mungkin bikin kalian berubah jadi subspesies Homo sapiens baru. I mean, kalau tubuh lo termutasi jadi Anahit, lo tetap nggak bisa manipulasi Elemen atau punya regenerasi cepat kayak Meliora."

Dan, sampai bisa berusia panjang, sih, tambah Rendra dalam benak, sebab dia belum bisa menyampaikan informasi itu sekarang.

"Anahit?" ulang Jihan. "Ini istilah Biologi juga atau gimana?"

"Istilah dalam Biologi Meliora. Nggak ada di Biologi Sapiens. Anahit itu istilah yang kami pakai untuk menyebut belahan jiwa Meliora yang sudah kopulasi sama Meliora pria yang jadi belahan jiwanya."

"Oh, intinya belahan jiwa sama si Meliora-nya udah get laid lah ya."

"Iya." Rendra tertawa. "But the 'get laid' part needs to more specific, makanya gue pakai istilah kopulasi. It's not just about getting laid."

Jihan berpikir sejenak. "Memang apa bedanya?"

"Eh, getting laid itu bisa aja berhubungan seks pakai kondom. Kalau kopulasi itu enggak, jadi harus ada sperma masuk ke dalam vagina." Rendra langsung memejamkan mata, lalu mengerang. "Ugghh, are we really talking about this on our first date?"

"What's wrong with that?"

"Biasanya cewek itu nggak nyaman ngobrolin hal vulgar pas masih awal-awal kenal. Gue tahu jawaban-jawaban gue atas pertanyaan lo itu cuma bahas dasar-dasar Biologi Meliora aja. Tapi, kayaknya bahasannya agak vulgar untuk kencan pertama cewek."

Jihan tersenyum kecil. "Well, that's cute."

"What?"

"Kamu mikirin kenyamanan aku lagi. I think that's cute."

Rendra mengernyit, merasa bingung. "Itu kan hal yang wajar dilakukan, Jihan. Sebagai cewek, apa lo nyaman di kencan pertama langsung ngomongin hal vulgar?"

"Enggak, memang nggak nyaman. Tapi, aku bisa paham kalau bahasannya jadi sedikit vulgar karena bahas Biologi mahkluk hidup dalam melakukan perkawinan. Pas kamu bahas pun, kevulgarannya itu cuma sedikit, nggak sampai bikin aku nggak nyaman. So, I'm okay with that. Toh, aku sendiri yang nanya dan kamu cuma jawab."

Rendra terlihat lega. "Syukurlah."

"Katamu kan, ada Meliora wanita. Meliora pria nggak pernah nyoba kopulasi sama Meliora wanita kah?"

"Kalau Meliora wanita itu adalah belahan jiwanya si Meliora pria ya, mereka bisa kopulasi dan fertil."

"Kalau kopulasinya sama Meliora wanita yang bukan belahan jiwa? Kan, kalian satu spesies. Harusnya kalau kawin, bisa menghasilkan keturunan dengan normal, kan?"

Lagi, mata Rendra langsung terpejam disertai kernyitan tidak nyaman. "Ugh. Ew, no. Ngebayanginnya aneh banget. Kayak inses."

"Apa kalian memang sedarah sampai kamu bisa bilang inses?"

"Nggak, nggak secara harfiah beneran inses. Tapi rasanya kayak inses. It's just ... no. No. Mereka kayak keluarga buat gue. Berpikir bahwa gue bisa aja have sex sama mereka ... I feel disgusted. It feels like incest."

"Oke, tapi, gimana sama Meliora pria lain?"

"Setahu gue nggak ada ... atau mungkin, ada tapi gue belum tahu? I don't know ... at this point, I don't think I wanna know."

Jihan mengangguk. Dari ucapan Rendra, dia berkesimpulan bahwa Rendra mungkin tipe orang yang tidak terlalu mau tahu urusan orang lain.

"Tapi, pertanyaan lo itu memang pernah diajukan sih pas dulu," ujar Rendra. "Ada yang nanya ke pengajar kami di kelas Fisiologi Meliora. Pertanyaannya, kenapa Meliora pria harus kopulasi sama Sapiens wanita kalau udah ada Meliora wanita? Terus, si yang ngajar kami malah nanya balik, nantangin, dia ngomong, Can you? Can you bring yourself to do that?"

Rendra geleng-geleng. "And I get it. Because objectively speaking, di mata gue dan Meliora pria, kami masih bisa anggap Meliora wanita itu physically attractive. Tapi ketertarikan kami untuk melakukan hubungan seksual ke mereka tuh rendah banget, makanya berasa kayak inses kalau disuruh mating sama mereka."

"I see," ujar Jihan. "Jadi ini perilaku yang terjadi bukan cuma terjadi di kamu, tapi juga di Meliora pria yang lain. Kenapa bisa gitu ya?"

"Mungkin karena aroma tubuh. Bukan berarti aroma tubuh Meliora wanita itu bau bangkai atau nggak enak. Lebih tepatnya, aroma tubuh mereka itu nggak sexually arousing for us, kecuali kalau Meliora wanita ini adalah belahan jiwa dari si Meliora pria."

"Hm, berarti secara teori, Meliora pria itu bisa aja kopulasi sama Meliora wanita, dan bisa aja menghasilkan keturunan fertil. Tapi, ketertarikan seksual kalian ke mereka itu nggak ada, makanya mating tidak terjadi."

"Ketertarikan seksualnya bukan nggak ada yang sampai nihil total. More like, close to zero, soalnya kami masih bisa anggap mereka cantik. Meski begitu, selama bertahun-tahun, gue nggak pernah denger ada Meliora pria yang meniduri Meliora wanita buat ONS aja. Jadi kalau ada dari Meliora pria yang melakukannya sama Meliora wanita, kami meyakini itu pasti karena Meliora wanita itu adalah belahan jiwa si Meliora pria."

Jihan mengangguk, terlihat tenang, tapi Rendra bisa mendengar detak jantung Jihan yang berdegup sedikit lebih cepat. Meninjau dari segala bahasa tubuh Jihan dan aroma yang dia indra, Rendra simpulkan bahwa Jihan pandai mengendalikan ekspresi wajah, sebab saat ini, wanita itu sedang antusias sekaligus takut. Semua informasi ini baru untuknya. Dan Rendra bisa memaklumi jika Jihan takut.

Sebelum Rendra sempat mengatakan apa pun untuk memberi ketenangan dan kepastian, Jihan lebih dulu membuka suara.

"Why are you telling me all of this?" tanya Jihan.

Rendra mempertimbangkan emosi takut yang Jihan rasakan sekarang, baru membalas jujur, "Karena gue malas berbohong." Dia mengamati ekspresi Jihan yang kini menatapnya, terlihat ingin membaca kebenaran pikiran Rendra. Jadi, Rendra menambahi, "Selain itu, gue mau tahu reaksi lo saat lo dikasih informasi soal Meliora."

Wajah dingin Jihan sedikit melunak ketika Jihan tersenyum. "Apa reaksiku memenuhi standar terhibur kamu?"

Rendra langsung mendengus tertawa. "Yes. I enjoy my time with you." Dia lalu memiringkan kepala. "But I sense fear from you. What are you afraid of?"

Jihan terdiam beberapa saat. "How can I trust you?"

"Good question." Rendra manggut-manggut. "I would like to ask the same thing to you. How can I trust you, Jihan? I guess there is only one way to find out."

Dengan saling mengenal, pikir Jihan. Dan untuk saling mengenal, mereka perlu memberikan sepotong kepercayaan kepada satu sama lain.

"Anyway, tentang topik yang sebelumnya nggak bisa kita bicarakan," ujar Rendra, lalu menatap Jihan. "Hutomo belum mati."

Jihan tidak kaget. Sebab Rendra sudah bilang soal ini. "Bosmu masih ada urusan sama dia?"

"Nggak terlalu. Bos gue cuma lebih suka menyiksa musuhnya lama-lama sebelum dibunuh." Dan Rendra tak menyalahkan, sebab Tama, sang Komandan Balwana, pasti ingin menghukum siapa pun orang yang pernah melecehkan istrinya.

"Oh...." Wajah Jihan terlihat agak lega. "Hutomo nggak hidup nyaman, ya."

Rendra mendengus tertawa. "I can not tell you the details. Tapi, gue bisa memastikan dia hidup sengsara, mengharapkan kematian datang tiap harinya."

Jihan mengangguk pelan. "Good to know. Aku harap dia nggak akan melihat dunia luar lagi."

"He won't," Rendra meyakinkan. Lalu sebelum dia mengatakan apa-apa lagi, Jihan menanyakan sesuatu yang di luar akal sehat Rendra.

Sebab wanita itu kemudian bertanya, "Rendra, apa kamu punya pacar?"

Saking terkejutnya, Rendra sampai melongo dua detik, tak habis pikir dengan pertanyaan itu. "Hah?" Dia mengerjap-ngerjap. "Ini—ini aku nggak salah dengar? Kamu nanya apa tadi?"

"Aku tadi tanya, apa kamu punya pacar?"

Rendra membuka mulut, sedikit tersinggung. "Jihan, be for fucking real. Kalau gue punya pacar, gue nggak akan ngajak lo kencan. Lagian, gue juga udah cerita soal belahan jiwa Meliora, kan? What makes you think that I am not single?"

Jihan berdeham. "Maaf. Aku perlu tanya untuk memastikan. Secara etika, orang yang punya pacar memang harusnya nggak ajak kencan orang. Tapi selama ini, aku sama teman-teman perempuanku nggak jarang diajak jalan dan dideketin cowok yang ternyata punya pacar, atau statusnya putus-nyambung sama ceweknya, atau belum selesai sama masa lalunya tapi ngakunya udah move on. Makanya aku tanya langsung buat memastikan."

"Ah." Rendra baru paham. Di sekitarnya—setidaknya, di kalangan para petinggi Balwana—tak ada yang bersikap seperti itu. Kadang dia lupa bahwa ada orang yang tidak melakukan tindak kriminal, tapi tidak bisa disebut orang baik. Karena itulah dia terkejut mengetahui bahwa di luar sana, masih ada pria-pria seperti yang dideskripsikan Jihan.

"Gue lajang, gue nggak merasa mau balikan sama perempuan mana pun di masa lalu gue," ujar Rendra, merasa perlu memperjelas batasan yang Jihan perlukan. "I did some hookups. I always make sure that they are single. Tapi ... gue nggak pernah pacaran."

Jihan membelalak. Terlihat sangsi. "No way."

Rendra mengangkat bahu. "Apa yang bikin lo sesangsi itu sama ucapan gue?"

"It's just ... susah dipercaya aja. You are attractive. Cewek kalau attractive, mungkin memang nggak banyak dideketin cowok karena cowok-cowok pada minder duluan. Tapi kalau cowok attractive dan easy-going kayak kamu, cewek-cewek pasti mudah ingin mendekat. Mungkin mereka memang bukan belahan jiwamu. Tapi, pasti ada kan yang bikin tertarik?"

Rendra terkekeh. "That is an interesting observation." Dia menyesap wiskinya, lalu memutar gelas sambil mengingat-ingat. "Well, memang ada yang bikin tertarik. Tapi selalu ada aja hal yang bikin gue nggak gerak mau pacarin mereka."

"Contohnya?"

"Contohnya, gue pernah deket sama cewek yang okelah, sesuai tipe gue, ngobrol nyambung, asik. Tapi pas gue cek background, ternyata itu cewek masih putus-nyambung sama cowoknya. I mean, dia ngomong ke gue bahwa dia udah putus, udah get over it. Tapi dari historinya, dia biasanya tahu-tahu balikan sama mantannya. Ada juga cewek yang sebenernya belum putus, cuma break aja, tapi ngakunya udah nggak sama si cowok itu—which, technically, pakai istilah itu tuh nggak bisa dibilang salah juga. Intinya, history of dating mereka tuh pada nggak beres. Jadi gue cut sebelum hubungan jadi makin dalam."

Jihan bergumam panjang. "Understandable. Tapi selain itu, ada lagi yang bikin kamu tertarik?"

"Hmmm, susah. Gue bukan orang yang penyabar untuk mengenal orang. Kalau dia suka bohong di depan muka gue, gue cut. Kalau dia megang values yang berseberangan banget sama gue, nggak gue lanjut. Kalau menurut gue, dia nggak tahu apa yang dia cari, dan gue tahu gue bukanlah orang yang dia cari, gue bakal ngilang. Kalau dia suka pasif-agresif, ngomong pakai kode implisit dan berharap gue bisa baca pikirannya, gue pasti nggak lanjut. Kalau dia punya selera unik yang nggak cocok sama gue, gue terus terang aja bahwa gue nggak bisa cocok di situ."

"Selera unik yang nggak cocok?"

"I'm not into BDSM. Waktu itu pernah ketemu cewek. She's a corporate lawyer. Kami ngobrol udah oke, tapi ternyata she is into BDSM, dia masokis yang mau jadi submisif banget untuk master dia. Gue nggak mau jadi master, or something like that. I'm not into that." Rendra menghela napas. "Yah, sisanya paling udah lewat seleksi alam aja sih. Either gue nggak sesuai kriteria atau selera mereka, atau mereka bukan tipe gue."

"Emang tipemu kayak gimana?"

Rendra menatapi Jihan dari atas sampai bawah. "Masih harus ditanya?"

Jihan tertegun, agak merona, lalu berdeham. "Aku nggak tahu gimana teknis detail belahan jiwa Meliora ini. Apakah maksudnya belahan jiwa itu cocok buat ... kopulasi aja, tapi detail-detail personality aku belum tentu tipe kamu? Mungkin, beberapa hal tentang penampilan aku juga kurang sesuai seleramu. Who knows?"

"Nggak ah. Lo cocok-cocok aja sama selera gue."

Jihan menahan senyum. Keterusterangan Rendra ini terasa menyegarkan. Rendra tak menutup-nutupi rasa tertariknya. Tidak jaim. Dan itu justru membuat Jihan merasa lebih tenang, tidak menebak-nebak.

Kemudian, terdengar suara dari ponsel Jihan bergetar. Ada telepon dari orang yang bekerja merenovasi ruko miliknya. Jihan meraihnya dan berkata, "Aku angkat telepon dulu ya."

Jihan pun meninggalkan Rendra sejenak untuk menerima telepon. Rendra sudah menghabiskan Cajun Hashbrowns-nya ketika Jihan selesai telepon.

"Sori, tadi telepon dari orang yang kerja buat ruko baru aku," ujar Jihan setelah duduk di tempatnya.

Rendra sudah tahu soal ruko yang dibeli Jihan tahun lalu. Informasi itu telah dia baca tadi pagi, menyatu dengan berbagai informasi soal Jihan yang Rendra minta dari anak buahnya. Tapi untuk basa-basi, Rendra bertanya, "Lo beli ruko di daerah mana?"

"Eh, di luar kota, sih. Di Kota Kanigara."

"Wah, lumayan jauh ya. Kenapa beli yang jauh dari kafe tempat lo kerja?"

"Karena aku mau buka bisnis baru. Persephone itu kafe punya bosku. Aku mau punya resto punyaku sendiri. Setelah survei ke sana-kemari, kulihat lebih worth it beli ruko di Kanigara daripada di Jakarta. Potensi bisnisnya besar."

Rendra bergumam. "Gue nggak meragukan itu sih. Transportasi umum di Kanigara juga makin bagus. Jadi orang dari kota-kota tetangga yang mau main ke Kanigara bisa ke sana pakai kereta."

"Iya, betul. Aku juga sewa lokasinya di deket stasiun yang baru buka," lanjut Jihan, terlihat antusias. "Dulu pas survei, stasiunnya itu masih dalam tahap pembangunan. Jadi aku langsung cari lokasi terdekat dan nemu, langsung DP deh. Sekarang udah ramai. Ruko-ruko di sekitar juga selalu ada aja pengunjung datang. Terus, Waterpark yang nggak jauh lokasinya dari situ tuh masih dibangun. Ntar kalau udah dibuka, pasti makin ramai lagi. Benar-benar lokasi strategis. Dan harga jual rukonya waktu tahun lalu lebih murah daripada di Jakarta. Sekarang sih, udah lebih mahal ya."

Rendra bergumam. Jika Jihan membeli ruko di lokasi Kanigara yang strategis, kemungkinan besar, lahannya adalah milik Balwana lewat perpanjangan tangan salah seorang Sersan-Eksekutif mereka. "Katamu kan, rukonya deket Waterpark. Berarti, di Kanigara Barat?"

"Eh, iya. Kok hafal?"

"Pernah ke sana, terus lihat reklame Waterpark yang lagi dibangun," ujar Rendra, tak berbohong. Tapi dia pertama tahu Waterpark Kanigara dari laporan bisnis yang akan dibuat oleh perusahaan properti salah satu eksekutif mereka. "Terus, kafe yang kamu kelola di Jakarta gimana? Diserahin ke orang lain?"

"Iya, nanti. Manajemen kafe bisa aku serahin ke orang lain. Toh, kafenya udah jalan. Tinggal di-manage aja. Aku juga udah sampaikan hal ini ke bos aku, dan dia setuju. Peran besarku untuk kafe Persephone itu di marketing-nya. Dan aku tetap bisa lakuin itu tanpa harus selalu ada di Jakarta. Aku udah punya tim yang bisa take video dan editing. Jadi aku nggak khawatir."

"I see. Terus, resto kamu ini mau launching kapan?"

"Mungkin sekitar dua bulanan lagi. Tapi aku masih belum nentuin nanti launching-nya mau lakuin apa."

"Pakai kostum maid aja."

"Kostum maid?"

Rendra terdiam. Menyadari kadang sisi asal celetuknya ini kadang bisa membawanya pada masalah. "Uhm, yeah. Kostum maid. You know, kayak yang di komik-komik atau anime."

"Iya, aku tahu. Tapi maksudnya, sehari jadi kayak maid café gitu?"

"Yeah. Buat menarik pengunjung aja kan? Kayaknya itu bakal menarik."

"Tapi bakal bikin pengunjung salah kaprah nggak sih? Ngiranya restoku itu maid café."

"Lo bisa bikin satu hari dalam seminggu, atau sebulan, akan ada momen ketika pelayannya pada pakai kostum maid. Lagian, gue yakin masakan lo lebih enak daripada makanan di maid café."

"Memang biasanya makanan di maid café itu nggak enak?"

"Just so so. Bukan nggak enak."

"Hmmm, aku belum tahu gimana maid café bekerja, sih. Bedanya sama kafe biasa, apa? Selain pelayannya pakai baju maid."

Rendra menyesap wiskinya ke dalam mulut. Sepertinya dia sedang menggali lubang kuburannya sendiri. "Biasanya sih, pengunjung dilayani banget ya. Oh, atau, buat full experience, kita datengin maid café yang ada di sekitar kota aja. Mau, nggak?"

Jihan bergumam panjang seperti sedang berpikir, lalu manggut-manggut. "Boleh. Kamu bisa pas hari kerja, nggak?"

"Bisa." Rendra menyesap wiskinya lagi sambil tersenyum. "So, we secured our second date, then."

Jihan tersenyum geli sambil geleng-geleng.

Tanpa sadar, waktu sudah bergulir hingga hari berganti malam. Jihan izin ingin pulang karena mau istirahat lebih awal, sebab besok ada urusan bisnis. Rendra pun meminta tagihan kepada pramusaji. Lalu saat Jihan mengeluarkan dompet, Rendra berkata, "Biar gue yang bayar. Soalnya gue yang ajak lo nge-date duluan."

Jihan tersenyum, lalu mengembalikan dompetnya ke dalam tas. "Nanti di maid café, aku yang bayar ya."

"Sure, Jihan." Usai Rendra membayar tagihannya, dia pun bertanya, "Gue anter pulang, ya?"

Jihan terdiam, terlihat berpikir keras untuk membuat keputusan. Dan itu membuat Rendra gelisah sendiri. Apa Jihan berpikir jika Rendra mengetahui alamat rumahnya, Rendra akan tiba-tiba datang ke rumahnya untuk membuat keributan? Apa Jihan berpikir dirinya adalah orang seperti itu?

Setelah detik-detik menanti dalam kegelisahan, Rendra akhirnya mendengar jawaban.

"Oke."

Helaan napas lega terembus dari Rendra. Pria itu langsung menarik napas panjang dan Jihan ingin terkekeh karena melihat wajah Rendra yang begitu tegang.

Mereka pun memasuki mobil. Setelah Rendra berkendara hingga keluar dari pelataran parkir, pria itu menyalakan daftar putar musik pop-jazz milik Lorent yang tidak terlalu berisik, tetapi cocok menemani malam yang terlihat tenang.

"Jihan, gue mau nanya," ujar Rendra. "Apa yang bikin lo bersedia muncul untuk kencan hari ini? Lo bisa aja sengaja nggak muncul. Lo juga bisa aja menolak pas gue ajak buat ngebir di sini. Tapi, lo nggak menolak. Dan, lo bisa aja laporin gue ke polisi. Tapi lo nggak melakukan itu."

"Tahu dari mana aku nggak lapor polisi?"

"Gue pasti udah tahu duluan kalau ada orang yang laporin gue ke polisi."

Jihan terdiam sejenak baru menjawab, "Aku penasaran kenapa kamu mendadak minta kencan. Kamu orang aneh, tapi menarik. Kalau di kencan ini kamu terlalu aneh dan kurang ajar, aku bakal tinggalin kencannya di tengah jalan."

Rendra tertawa. "Terus, hasilnya gimana? Menyenangkan atau mengecewakan?"

"Menyenangkan lah," Jihan agak bersungut. "Pakai ditanya."

"Well, good to know. Gue nggak mau kencan kedua kita tiba-tiba batal karena lo ilfeel sama gue."

"Harusnya aku yang tanya. Kamu seneng nggak, sama kencan ini? Ada hal soal aku yang bikin kamu ilfeel, nggak?"

Lagi, Rendra tertawa. "Nggak lah. Nggak ada yang bikin ilfeel. I feel very content and happy with you. I can't wait for our next date."

Jihan ikut tertular kebahagiaan Rendra. "Me too." Dia lalu tersadar suatu hal dan melanjutkan, "Ah, jadi seharian ini, kamu kelihatan senyum-senyum terus kayak orang girang karena emang seneng sama aku ya."

Spontan, Rendra terbahak. Dia tertawa agak lama karena ucapan Jihan membuatnya agak merona. "Seriously, Jihan?" tanya Rendra, menatapi Jihan yang terlihat serius, lalu tertawa lagi sebelum melanjutkan, "Aduh, lo serius lagi." Rendra tertawa lagi.

Jihan hanya mengamati pria itu dalam diam, menyadari tatapan yang lelaki itu lemparkan sedari mereka pertama bertemu. Sulit untuk mengabaikannya. Mata Rendra seperti jendela malam.

Ini bukan kali pertama Jihan bertemu lelaki yang menatapnya dengan berbinar seolah bintang-bintang hendak jatuh dari mata. Tatapan seperti itu dulu meluluhkan hatinya, menerbitkan harap seperti, "Mungkin dia orangnya, mungkin kami bisa berhasil.". Sekarang, Jihan justru tak tahu harus bereaksi apa selain tersenyum sopan. Dia tak perlu berusaha menurunkan ekspektasi jika ekspektasinya sudah tidak ada sejak awal.

Namun, dengan pria seperti Rendra yang supel, mudah didekati, tidak mengintimidasi, hangat, dan begitu terbuka, bagaimana Jihan bisa menurunkan ekspektasi?

There is only one way to find out, Jihan ingat Rendra berkata demikian. Mungkin hanya waktu yang bisa membuka kebenaran seiring dengan mereka saling mengenal lebih dalam.

[ ].

5k words
13/07/2024



A/N (boleh dilewati)

Orang yang ngajarin Fisiologi Meliora ke anak Balwana itu Ezki.

Terus, manusia atau mahkluk hidup bisa berubah jadi spesies baru itu berproses. Dalam kasus mutan Meliora, mereka berubahnya karena serum Meliora (serumnya fiktif ya sodara-sodara). Awal mula para calon mutan Meliora (trainee?) debut jadi mutan Meliora, mereka itu jatohnya masih berubah jadi subspesies. Dari yang tadinya mereka itu Homo sapiens, berubah jadi subspesies Homo sapiens meliora. Tapi kalau tubuh mereka udah makin berevolusi, berkembang mengikuti kekuatan spesial mereka, para trainee(?) ini pun berevolusi dari subspesies Homo sapiens meliora menjadi spesies baru, jadi spesies Homo meliora. Masih dalam satu famili Hominidae, satu genus Homo, sama seperti spesies manusia modern seperti kita, tapi beda spesies. Kayak Orangutan Sumatra (Pongo albelii) dan Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis), sama-sama orangutan, tapi beda spesies.

Mahkluk hidup dengan genus sama dan spesies berbeda itu masih bisa kawin (kalau beda genus mau dikawinkan, mungkin harus lewat lab), nanti anaknya jadi hibrida. Di kasus Orangutan, hibrida Orangutan itu muncul dari keturunan dua di antara tiga spesies Orangutan berikut: Pongo tapanuliensis, Pongo albelii, dan Pongo pygmaeus (orangutan Kalimantan).

Intinya, beda spesies itu bisa kawin. Tapi dalam kasus Meliora, misal maksain kawin terus, Sapiens wanita bakal mati kena racun sebelum terjadi pembuahan. Pembuahannya nggak akan terjadi, bahkan. 

Anyway, ada pertanyaan?


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top