4 || Kencan


| 4 |

KENCAN



MENERIMA KEMATIAN BUKANLAH hal yang sulit bagi Rendra. Dia sudah menerimanya sejak dia memilih untuk menjadi mutan Meliora. Sebagai mutan pria Meliora, dia menyadari bahwa usianya tidaklah panjang. Konsekuensi itu sudah disampaikan kepada calon mutan pria, dan mereka semua menerimanya. Dia tak berharap akan bertemu sosok belahan jiwa yang bisa membuatnya berusia panjang. Toh selama bertahun-tahun, dia beserta semua mutan pria tak bertemu belahan jiwa dan hidup mereka baik-baik saja.

Tapi setahun lalu, dua Komandan Balwana mengaku soal siapa belahan jiwa mereka. Sejak itu, Rendra mulai melamunkan bayangan mengenai sosok belahan jiwanya akan mampir dalam otak, menghibur dengan beragam ide persona yang mungkin dimiliki belahan jiwanya itu, membuatnya berangan dan penasaran. Bagaimana tidak? Perempuan yang menjadi belahan jiwanya pasti bukan perempuan 'baik-baik', sebab Rendra sendiri bukan pria 'baik-baik'. Lumrah jika Rendra penasaran.

Bertahun-tahun, Rendra tak pernah menemukan belahan jiwanya di mana pun. Padahal, pendeteksiannya sangat mudah, yakni hanya lewat aroma tubuh. Namun, Rendra tak pernah menemukan perempuan dengan aroma tubuh yang spesial, yang tercium manis dan sangat memikat seperti yang dideskripsikan oleh Tama terhadap istrinya.

Sampai akhirnya dia bertemu Jihan.

Seharian setelah pertemuan pertama mereka, Rendra menghabiskan waktu untuk membereskan pekerjaan. Di sela-sela itu, dia menantikan hari kencannya bersama Jihan. Rendra pun menyuruh anak buahnya untuk mencari tahu soal Jihan dan melaporkan semua informasi kepadanya. Walau jika bisa memilih, dia lebih suka mencari tahu sendiri, berhubung menggali informasi Jihan ini merupakan kepentingan pribadi. Tapi dia sedang sibuk, sedangkan anak buahnya sedang agak menganggur. Permintaan informasi yang dia inginkan juga tidak sulit. Anak-anak buahnya sudah biasa menjalaninya.

Semalam sebelum hari-H kencan, Rendra membaca dokumen informasi Jihan yang dikirim anak buahnya, Ario. Pencarian anak buahnya cukup dalam hingga menemukan akun Twitter kedua Jihan yang digembok. Nama akunnya @discardedmemories. Ario bahkan sudah membuatkan akun anonim hanya untuk meminta mengikuti akun kedua Jihan. Rendra memang meminta Ario untuk tidak meretas akun mana pun milik Jihan. Cukup mencari tahu saja.

Rendra beralih membaca laporan singkat soal Jihan. Ternyata, malam itu Jihan mencari Hutomo karena pria itu hendak memerkosa adiknya.

Jihan memiliki kakak lelaki bernama Jefri dan adik perempuan bernama Juno, yang masih mengenyam bangku SMA.

Jefri memiliki kebiasaan bermain judi online, sudah terlilit utang besar, dan Hutomo datang untuk meminjamkan uang, bahkan mengatakan bahwa Jefri sebenarnya berbakat, karena itulah Hutomo bersedia meminjamkan uang kepada Jefri, meyakini Jefri bahwa selama dia menang, Jefri akan bisa mengembalikan utangnya. Jefri memang menang sesekali, tapi dia jauh lebih sering kalah. Sebagaimana pecandu, Jefri tak bisa berhenti karena yakin suatu saat akan menang. Uang taruhannya pun habis hingga akhirnya tak bisa membayar utang.

Karena tak mampu melunasi utang, Hutomo hendak mengambil organ dalam Jefri, tapi akhirnya meminta Jefri untuk menyerahkan adik bungsunya yang masih menjadi siswa sekolah.

Jefri tahu bahwa Juno akan diperkosa. Tapi Jefri tetap bersedia agar dirinya tak terbunuh. Dengan iming-iming liburan gratis bersama abangnya di hotel dua hari, Juno pun ikut kakaknya dan tinggal di hotel, tapi ditinggalkan sendirian saat malam untuk didatangi Hutomo nanti. Beruntung Jihan tahu lebih awal, jadi sempat mengejar ketika Hutomo ada di kamar hotel itu. Pada malam itulah Jihan bertemu Rendra.

Rendra menggeser kursor ke folder media sosial, lalu membuka akun utama Jihan di Instragam. Galerinya normal, cukup banyak foto menu makanan dari kafe Persephone yang Jihan kelola. Sesekali ada swafoto dan foto bersama teman-teman atau adiknya.

Lalu saat menggulirkan layar, Rendra menemukan foto yang tak dia sangka.

Jihan berada di acara pernikahan Lennard Cakrawangsa bulan lalu.

Acara pernikahan tersebut dilaksanakan di Bali. Tamunya adalah kerabat dari mempelai atau teman-teman mereka. Jika Jihan sampai diundang, pasti alasannya karena Jihan berteman dengan salah satu mempelai, bukan karena Jihan keturunan ningrat, sebab keluarga Jihan bukanlah keluarga kaya raya.

Dari laporan, ibu Jihan bekerja sebagai PNS berkecukupan, sedangkan ayah Jihan tak diketahui kabarnya. Mungkin ayahnya menghilang begitu saja. Rendra tak sekali dua kali bertemu anak dengan orangtua yang meninggalkan mereka begitu saja; tidak meninggal, tapi seperti hilang ditelan bumi.

Rendra mengecek lebih dalam, dan menemukan bahwa Jihan satu sekolah dengan sang mempelai wanita. Rasanya agak canggung mengetahui bahwa Jihan berteman baik dengan istri dari Lennard Cakrawangsa, sepupu Rendra yang tak pernah tahu Rendra ada. Tapi di sisi lain, lebih memudahkannya jika nanti dia mau menjelaskan soal latar belakang keluarganya. Mungkin nanti, saat waktunya sudah tepat.

Selesai membaca laporan tentang Jihan, Rendra segera mandi dan bersiap-siap. Dia membuka lemari dan melihat kertas berlaminating tertempel di balik pintu lemari, berisi instruksi berpakaian dari Lorent, Letnan Balwana selain dirinya. Instruksinya cukup lengkap mulai dari tampilan kasual, business casual, smart casual, dan acara formal seperti gala dinner untuk kegiatan amal besar. Rendra sudah menghafalnya luar kepala.

Pilihan pakaiannya jatuh ke kaus putih polos dengan jaket denim dan celana denim yang terasa tepat di kakinya. Semuanya berpotongan pas, tidak kebesaran atau kesempitan. Dia lalu memakai jam tangan dan sneakers putih. Ketika melihat ke cermin, dia berterima kasih kepada dirinya di masa lalu karena konsisten melatih tubuh (walau memang terpaksa agar kekuatannya sebagai mutan tak melemah), jadi hampir pakaian apa pun yang pas dengan tubuhnya akan terlihat bagus.

Jihan harusnya terpesona, pikir Rendra, yakin. Dia tersenyum menatap kaca sekali lagi sebelum pergi dari kamarnya.


***


Sebagian besar petinggi Balwana tinggal di sebuah kos khusus bernama Merkurius. Rendra yang menamainya demikian, beralasan bahwa Merkurius adalah dewa perdagangan dalam mitologi Romawi, cocok dengan Balwana yang tujuan utamanya adalah mencari profit lewat berdagang. Lokasinya dekat markas Balwana. Sekilas, orang akan mengiranya sebagai sebuah warehouse—gudang besar penyimpanan barang-barang manufaktur. Namun sebenarnya, interiornya telah diubah agar bisa menjadi tempat tinggal yang nyaman.

Merkurius dulunya merupakan warehouse yang lama tak beroperasi, kemudian dibeli oleh Balwana dan dimodifikasi menjadi tempat tinggal sebagian besar Letnan dan Komandan. Karena bangunannya berawal sebagai warehouse, interiornya industrialis dan memiliki langit-langit tinggi, dan ini jadi sebuah keuntungan untuk Snow. Pria itu tak suka dengan rumah berlangit-langit rendah, membuat tubuhnya harus senantiasa membungkuk ketika melewati pintu demi pintu.

Terdapat tiga lantai di Merkurius. Kamar para wanita ada di lantai tiga, sedangkan kamar para lelaki ada di lantai dua, dengan sebuah mezanin lantai dua yang bisa melihat area ruang duduk dan perpustakaan kecil di lantai satu. Ruang duduk kadang ramai saat para Letnan sedang senggang. Siang ini banyak yang berada di kos. Anggota Balwana biasa bekerja di malam hari. Jadi, ruang tengah lantai tiga kini diisi beberapa Letnan lelaki yang sedang menonton dan mengobrol. Ada Lorent, Farris, dan Omar. Linggar biasanya tidak ada karena sedang berlatih, menjalankan misi, atau sedang jajan ke pasar.

Mata Rendra menyipit melihat Omar di sini, terlihat senggang. Belakangan, Omar jarang dia temui karena sibuk jadi penanggung jawab pembangunan gedung Ujian Kelayakan yang baru. Biasanya tiap tahun, akan ada Ujian Kelayakan untuk menentukan kelayakan tiap anggota dan posisi yang mereka pegang, otomatis ada ujian bertarung dan kemampuan fisik mereka juga. Naik dan turunnya jabatan, serta mempertahankan jabatan yang diemban, semua ditentukan dari ujian ini.

Rendra pun berhenti sejenak di ruang duduk untuk menyapa, "Eh, Omar, tumben ada di sini. Biasanya sibuk."

"Iya, emang tumben nih," imbuh Lorent, lalu terkekeh. "Asisten lo kadang curhat sama asisten gue, Mar. Udah kewalahan banget ngerjain kerjaan sendiri. Kayaknya butuh tambahan asisten pribadi."

Omar menghela napas. "Dia udah minta gue tambah asisten. Lagi diurus kandidatnya sama dia." Kemudian, Omar mengamati penampilan Rendra dan helm yang Rendra bawa. "Eh, Ndra, lo mau ke mana?"

Rendra menyengir dan berseru, "Mau kencan!"

"You're going on a date?" tanya Farris, terlihat skeptis. "You don't date."

Rendra memutar bola mata, membalas, "I did date sometimes."

"Berakhir dengan seks, atau mereka yang ngajak lo tidur bareng?"

"Bentar, Ris, kenapa lo langsung mikir yang ngajak tidur itu mereka? Bukan gue?"

"Because sometimes, you are too clueless for your own good. Toh dari mereka semua, nggak ada yang sampai lo pacarin, kan?"

Rendra tergagap. "Yah, nggak ada sih. But I did date sometimes. Gue nge-date juga karena gue genuinely mau kenalan sama mereka. Nggak ada yang sampai jadi pacar karena gue nggak merasa cocok aja setelah kenalan lebih jauh."

"Rungsing amat kalian debatin ini hookup atau bukan. Kencannya aja belum dimulai," Lorent berkomentar. "Lo ke sana naik motor, Ndra?"

"Iya, naik Bleki," jawab Rendra, menyebut panggilan sayang untuk motor miliknya.

Lorent mendecak, lalu segera meraih sesuatu dari gantungan kunci besar dekat rak. Dia menyerahkan sebuah kunci mobil Ford Mustang kepada Rendra. "Nih, bawa mobil gue aja. Jangan bawa motor. Coba pikir, ada kemungkinan bahwa gebetan lo itu pakai dress atau rok, kan?"

Rendra mengerjap, baru tersadar. "Oh, iya juga, sih. Tapi, bukannya harusnya nggak masalah kalau naik motor pakai rok? Gebetan gue dulu nggak ada yang masalah gue anter mereka pakai motor. Gue kayaknya pernah lihat Letnan cewek kita naik motor pakai rok."

Omar langsung terbahak-bahak. Lorent menepuk kening. Farris geleng-geleng dan mengehela napas.

Rendra tak memiliki mobil. Bukan karena tak mampu membeli, tapi karena tak merasa dia harus memiliki mobil pribadi. Jika butuh mobil, dia biasanya menggunakan mobil dinas, alias mobil bersama milik Balwana. Di Merkurius maupun di markas Balwana, selalu ada beberapa mobil tersedia untuk dipakai para petinggi.

Lorent sendiri memiliki beberapa mobil pribadi, tapi itu karena dia suka mengoleksi mobil vintage.

"Ndra, lo pergi aja bawa si Forest." Lorent menepuk bahu Rendra, menyebut nama panggilan sayang untuk Ford Mustang warna hijau gelap miliknya. "Kalau gebetan lo nggak suka makanan atau suasana di tempat kencan kalian, lo bisa bawa dia pergi ke tempat lain sambil ngobrol dengan kondusif di dalam mobil. Kalau lo pakai taksi, kurang leluasa ngobrolin hal yang nakal atau sensitif. Kalau lo pakai motor, mungkin lebih cepet sampai, tapi selama perjalanan bakal sulit ngobrol karena suara angin dan lalu lintas bikin manusia biasa susah denger ucapan lo. Tolong diingat, gebetan lo itu kan manusia, bukan mutan yang punya pendengaran super. Get it?"

"Oh, bener juga." Rendra setuju dengan obrolan lebih kondusif di dalam mobil sendiri, bukan di dalam taksi atau di motor. Bukan karena dia ingin membicarakan hal mesum yang nakal, melainkan karena dia akan membicarakan tindak kriminal yang dia lakukan kepada Jihan. Sebaiknya tak ada kuping lain yang mendengar.

Rendra menerima kunci mobil Lorent, lalu mengernyit. "Tapi, kenapa selama ini, gebetan-gebetan gue dulu pada nggak masalah gue pakai motor?"

"Karena mereka mau nidurin lo," balas Farris sebelum Lorent.

Lorent memutar bola mata. "Bukan itu—yah, karena itu juga, tapi nggak selalu. Yang namanya cewek nih, Ndra, kalau cowoknya udah mereka anggap berkualitas, mereka nggak akan masalah mau cowoknya naik motor atau naik becak. Makanya, mereka nggak masalah lo bawa Bleki."

Omar mendengus terkekeh. "Lagian kapan lagi mereka dibonceng Harley-Davidson."

"Nah, itu juga," ujar Lorent. "Tapi terlepas dari lo bawa si Bleki atau bawa motor butut, mereka menganggap lo lebih keren dibanding sebagian besar cowok yang mereka temui. Lo bawa becak juga nggak masalah jadinya."

"I see." Rendra mengoyangkan kunci mobil Forest. "Thanks, Lorent."

Tentu saja, ada kemungkinan bahwa Jihan tak ingin Rendra mengantarnya pulang karena berbagai alasan. Apa pun itu, tak ada salahnya berjaga-jaga. Rendra tak terpikir untuk memesan taksi daring, karena dia tak ingin pembicaraannya dengan Jihan tanpa sadar menyentuh topik yang tak seharusnya didengar orang awam.

Baru saja berbalik badan, dia merasakan sebuah keberadaan dari arah pintu utama.

Sosok Linggar pun masuk, mengenakan kaus, celana kargo tiga perempat, sandal jepit, dan masker mulut. Di tangannya terdapat seplastik makanan dari pasar.

"Wuidih, Linggar bawa apa nih!" seru Lorent, langsung mendekat. "Tahu kriuk dikasih micin, ya."

"Bumbu balado," ujar Linggar, meletakkan plastik berisi beberapa bungkus tahu kriuk dibumbui bubuk balado, lalu mengambil satu bungkus untuk dirinya sendiri.

"Asiiik!" seru Lorent, langsung mengambil sebungkus, begitupun yang lain. Semuanya berterima kasih kepada Linggar.

Melihat itu, Rendra jadi ingin ikut teman-temannya menonton TV sambil makan tahu kriuk bersama. Selanjutnya pasti akan ada yang mengeluarkan beberapa botol bir dari kulkas. Sudah jadi semacam kebiasaan di Merkurius untuk mereka.

Rendra sangat menikmati beragam kegiatan bersama teman-temannya. Dia bahagia dengan hidupnya, tak merasa berkekurangan. Dia bisa hidup seperti ini sampai mati. Untuk kematiannya yang selalu dekat, dia memilih untuk menjalani hidup seperti ini. Karena itulah dia merasa asing dan sedikit terinvasi dengan adanya belahan jiwa dalam hidupnya, walau di sisi lain, bertemu Jihan juga membuatnya antusias untuk mencari tahu apa yang membuat wanita ini jadi belahan jiwanya alih-alih wanita lain.

"Linggar," panggil Rendra. "Gue juga mau tahu kriuknya. Aaak," Rendra sudah membuka mulut, berharap disuapi.

Linggar menusuk tahunya dengan stik lidi, lalu memasukkannya ke mulut Rendra. Dia melihat kunci mobil dan helm di tangan Rendra, lalu bertanya. "Mau ke mana?"

"Mau taruh helm, terus pergi kencan," jawab Rendra.

Linggar terlihat bingung harus merespons apa ketika berkata, "Good luck?"

"Thank you. Gue duluan ya, minna-san!"

"Kurang-kurangin jadi wibu friknya!" seru Farris ketika Rendra berjalan keluar.

Rendra mendengar tawa dan balasan 'Good luck, Ndra!' sembari berjalan menjauh. Langkahnya gesit mengarah ke garasi untuk mengeluarkan Forest. Dia lalu berkendara menuju kafe tujuan kencannya dengan Jihan.

Begitu tiba dan memarkirkan kendaraan, Rendra berjalan menuju kafe. Dari kaca kafe yang transparan, dia melihat Jihan sedang duduk sambil membaca sesuatu di ponselnya. Sebuah cangkir teh tersaji di meja.

Hari ini Jihan terlihat lebih tertata, dengan dress putih selutut pas badan dan kerah bahu terbuka. Wajah cantiknya terlihat agak dingin, tidak ramah, seperti sulit diajak bicara. Rambut hitamnya tergerai rapi sepanjang pundak. Penampilannya tidak ada yang terkesan berantakan. Duduknya pun tegak meski sedang mengecek ponselnya, tidak membungkuk. Sudah terbiasa duduk dengan posisi benar.

Seraya berjalan menuju meja Jihan, Rendra jadi bertanya-tanya. Sebenarnya siapa Jihan ini? Meski dia sudah mencari tahu soal Jihan hingga menyimpan satu folder sendiri mengenai info tentang perempuan itu, Rendra masih belum tahu segala kisah personal Jihan yang membentuknya menjadi sosok Jihan hari ini. Proses untuk mengenalinya masih sangat panjang.

"Hai," sapa Rendra begitu tiba di depan meja Jihan, lalu langsung menarik kursi yang kosong. Dia meletakkan jaket denimnya di punggung kursi sebelum duduk. "Udah nunggu lama?"

"Enggak." Ekspresi Jihan terlihat datar.

Rendra tersenyum canggung melihat minimnya antusiasme dari wajah Jihan. Dia menatap sekitar kafe dan tiba-tiba, air muka Rendra berubah seperti tersadar sesuatu. Dia pun mendekat ke arah Jihan dan berbisik, "Eh, Jihan. Kafe ini bukan kafe yang gue kenal. So let's not talk about what happened that night in here."

Jihan mengernyit. Sepertinya memahami alasannya, tapi tetap curiga. "Kalau nggak ngomongin itu, kamu mau membicarakan apa?"

Rendra mengangkat tangan ke arah Jihan. "Membicarakan lo, of course. Gue kan ngajak lo kencan. That means I wanna get to know you."

Skeptis, Jihan menatap ke cangkir tehnya. "Kalau gitu, tinggal tanya aja apa yang bikin kamu penasaran."

"Well, how about this." Rendra tersenyum dan melanjutkan, "Lo suka warna putih?"

"Hah?"

"Kemarin pas kita pertama ketemu, baju lo juga putih. Sekarang putih juga. Emang suka warna putih?"

"Oh." Jihan melirik dress putih yang dia pakai hari ini. "Iya."

"The dress looks good on you."

"Thanks."

Kemudian sunyi. Jihan pun izin ke toilet.

Rendra menatapi cangkir teh Jihan yang isinya masih penuh. Dia mengulum bibir oleh rasa canggung.

Ini adalah kencan tersulit yang pernah Rendra jalani.

Pertama, Jihan bukan anggota Balwana, juga tidak berasal dari dunia yang sering bersentuhan dengan mafia atau gangster, sehingga belum ada kesamaan paham di antara mereka.

Kedua, Jihan tak mengenal Rendra sebagai orang awam. Jadi Rendra tak bisa merayunya dengan bersikap seperti orang normal, berpura-pura seolah dirinya bukan anggota mafia. Jika ini yang terjadi, Rendra bisa saja membuat Jihan suka dulu kepadanya, baru perlahan mengenalkan Jihan dengan Balwana.

Walau selama ini, Rendra tak pernah menggunakan taktik itu, sebab dia malas jika harus berpura-pura.

Ketiga, Jihan tahu bahwa Rendra bisa membunuh orang. Mungkin inilah yang membuat Jihan jadi defensif dan curiga dengan segala tindak-tanduknya. Namun sisi positifnya, Rendra tak perlu repot untuk menjelaskan kepada Jihan tentang apa yang dia kerjakan. Tak perlu berkelit, tak perlu berbohong, tak perlu menghindar. Dia sendiri juga tak ingin berkelit mengenai dunia yang dia tinggali kepada belahan jiwanya.

Namun melihat minimnya antusiasme Jihan saat melihat dirinya datang, Rendra jadi sedikit pesimis. Meski wanita itu memang datang ke kencan mereka, Jihan tak terlihat ingin melihat Rendra. Apa keputusannya untuk mengajak Jihan kencan malam itu adalah sebuah kesalahan?

Tadi pun dia memuji penampilan Jihan, tapi Jihan justru mengatakan terima kasih dengan tatapan curiga. Tak ada pria yang ingin senantiasa dicurigai oleh teman kencannya. Rendra paham dengan adanya kejadian minggu lalu terkait Hutomo, dirinya memang patut dicurigai. Tapi, ini adalah kencan. Rendra akan kesulitan membuat kencan menyenangkan jika dari awal, teman kencannya terlihat kurang antusias, seolah lebih baik berada di tempat lain daripada berada di sampingnya. Dan itulah yang membuat kencannya dengan Jihan ini menjadi kencan yang sulit.

Mereka tak memulai dari perasaan netral. Jihan memulai dari perasaan ganjil dan curiga terhadap Rendra.

Apakah pernah ada kejadian seorang mutan pria ditolak belahan jiwanya, dan belahan jiwanya itu justru menikahi pria lain? Rendra tidak tahu. Sejauh ini, mutan pria yang dia tahu sudah bertemu belahan jiwanya baru dua komandannya, yakni Snow dan Tama. Belahan jiwa mereka pun memberikan respons positif, terlepas dari masalah yang terjadi.

Rendra tahu kencan ini adalah kencan pertama dengan Jihan. Masih terlalu awal untuk menilai. Bisa saja nanti mereka menemukan chemistry dan kompatibilitas. Tapi, bagaimana jika Jihan tak merasakannya?

Masih berkutat dengan isi benaknya, Rendra lalu melihat Jihan kembali ke meja. Wanita itu duduk dan mencoba menghabiskan tehnya yang masih agak panas.

Karena mendapati wajah Jihan yang datar, Rendra pun mengeluarkan isi pikirannya, "Hey, Jihan, do you even want to be in here?"

Jihan langsung menggeleng. "Enggak. Lebih baik aku berada di tempat lain sekarang."

Rendra menganga, terkejut merasakan ego tersentil dalam dirinya.

Ouch. It hurts.

"Ayo kita pindah tempat," lanjut Jihan. "Katamu, kita nggak bisa ngobrolin soal apa yang terjadi dua hari lalu di sini, kan?"

Eh?

"Oh, iya," balas Rendra, segera berdiri. "Udah selesai minumnya? Nggak ada lagi yang mau dipesan?"

"Nggak ada."

"Oke ... kita pindah. Lo mau makan makanan berat, atau mau ngopi aja?" Rendra memiringkan kepala. "Atau, mau ngebir?"

Jihan mengangkat satu alis. "Di tempat yang kamu kenal, so we can talk about what happened that night?"

"Iya. Di tempat yang gue kenal."

"Aku mau makan makanan berat. Kalau ada draught beer, lebih oke."

"Gotcha. Gue tahu tempat yang pas." Rendra langsung semangat. Seperti inilah yang dia harapkan; Jihan aktif mengatakan apa yang dia mau, tidak pasif, tidak cuek.

"Kamu bawa kendaraan?" tanya Jihan. "Kalau nggak bawa, kita bisa pesan taksi online."

"Bawa mobil. Diparkir dekat sini kok." Rendra mengambil jaket denim di kepala kursi, lalu membayar tagihan Jihan sebelum mereka keluar dari kafe.

"You just pay my bill," ujar Jihan sembari berjalan di samping Rendra. "It's just a cup of tea. I can pay it myself."

"Exactly, it's just a cup of tea. Gue juga bisa bayar." Rendra mengangkat satu alis. "Gue yang ajak lo kencan, jadi gue mau bayarin semuanya hari ini."

Jihan mengernyit. Terlihat sedikit enggan, tapi kemudian dia berkata, "Oke."

Rendra tersenyum, lalu membuka pintu mobil. Barangkali kencan ini takkan jadi seburuk yang Rendra duga.

[ ].

20/04/2024
3k words



A/N

Penamaan berbagai bisnis atau tempat Balwana (pusat) menggunakan nama dari sesuatu yang ada di ruang angkasa, kayak Lightyears (kelab malam), Rocket Pop Karaoke, dan Merkurius.

Gambar anak-anak Balwana:

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top