3 || Sesudah Bertemu


| 3 |

SESUDAH BERTEMU



PERSEPHONE ADALAH KAFE yang Jihan kelola bersama Djahayu. Jihan mengelola cabang di Jakarta, sedangkan Djahayu mengelola cabang Bogor.

Diambil dari nama dewi musim semi mitologi Yunani, Persephone mengusung interior dan tema berupa kafe nyaman seperti berpiknik di musim semi, tempat untuk bersantai sambil makan dessert dengan tampilan menarik.

Kafe ini mulanya adalah milik ibu Djahayu. Tiga tahun lalu, saat cabang pertama Persephone didirikan di Bogor, Persephone mendapat pelanggan tetap dari anak-anak Sekolah Kandjaya yang lokasinya dekat, bisa ditempuh dari sekolah itu dengan berjalan kaki. Sebagian anak-anak itu kadang menetap di Persephone untuk belajar bersama atau mengerjakan tugas. Tersedianya Wi-Fi gratis juga memudahkan mereka belajar. Namun, Tante Ajeng ingin banyak orang lebih tahu soal Persephone, karena dia ingin membuat cabang baru.

Mengetahui bahwa Tante Ajeng membuka kafe, Jihan pun melamar kerja menggunakan bantuan orang dalam (Djahayu), dan Tante Ajeng menugaskan Jihan untuk membuat konten untuk promosi, serta menambah beberapa hidangan bercita rasa gurih dalam menu.

Pada dasarnya, konsep kafe Persephone menurutnya sudah menarik; interiornya estetik seperti rumah di musim semi yang homey, dessert di Persephone memiliki kualitas yang terjaga, dan visual makanan serta minumannya juga cantik. Jihan pun merekam, menyunting, lalu mengunggah videonya itu ke internet dengan sebaik mungkin.

Beberapa tahun yang lalu, YouTube sedang ramai dipakai dengan berbagai kretor konten bermunculan. Jadi untuk konten promosi, Jihan menjadi staf kafe dan merekam kegiatan membuat pesanan pelanggan, menyuntingnya hingga semua kegiatan terkesan mudah dilakukan (walaupun tidak), menjaga estetika video, lalu mengunggahnya ke YouTube dengan tajuk ASMR Café.

Dalam waktu kurang dari dua bulan, hanya dengan lima unggahan video ASMR Café Persephone, akun yang dibuat Jihan mendapat subscriber ratusan ribu. Jihan awalnya sungguhan kaget bahwa cara promosinya bisa membuat akunnya seramai itu. Padahal, dia hanya melakukan apa yang masuk akal untuk dilakukan, dan dia melakukannya dengan sebaik dan setelaten mungkin agar hasilnya bagus.

Jika ditilik dari komentar, banyak penonton videonya itu tertarik menonton sampai habis karena video ASMR kegiatan kafe estetik membuat mereka merasakan ketenangan dari kegiatan harian orang lain yang terlihat indah (padahal banyak sekali cucian dan bersih-bersih yang harus Jihan lakukan selama menjadi staf kafe), dan menurut Jihan, mungkin penonton suka melihat kehidupan yang terkesan mudah dan indah meski itu bukan kehidupan mereka.

Usaha Jihan sukses. Tante Ajeng sangat puas dengan hasilnya. Dan, mungkin karena Jihan adalah teman baik putrinya, Tante Ajeng tidak mengambil pendapatan dari penayangan adsense di YouTube ASMR Café yang dibuat Jihan. Video-video itu memang diunggah di akun pribadi Jihan, bukan akun Persephone. Tante Ajeng tidak mempermasalahkan, tapi dia ingin Jihan juga konsisten dengan promosi di akun resmi Persephone di Instagram, serta ikut mengelola cabang baru Persephone di Jakarta. Dua tahun kemudian, cabang Persephone sudah memiliki lima cabang; tiga di Jakarta dan dua di Bogor.

Cabang Persephone yang biasa Jihan datangi adalah cabang yang berada dalam pusat perbelanjaan. Tentunya selain Persephone, ada banyak restoran di dalamnya.

Juno memiliki intoleransi terhadap laktosa, sehingga lebih aman bagi lambung Juno untuk tidak makan dairy product dalam keadaan perut kosong. Karena itu, Jihan mengajak Juno makan nasi dulu sebelum makan pastry. Pilihan restonya jatuh ke sebuah resto Jepang dalam pusat perbelanjaan.

Makanan sudah tersaji di meja. Namun, Juno terlihat tak berselera ingin makan. Gadis itu hanya mengaduk-aduk minumnya saja.

"Kenapa?" tanya Jihan. "Kamu nggak suka makanannya?"

Kepala Juno menunduk. "Aku belum sarapan."

"Oh ... oke? Kamu mau makanan yang biasa buat sarapan?"

Juno menggeleng.

Jihan menarik napas. Mungkin karena jarak usianya dan Juno cukup jauh, kerapkali, dia jadi merasa sedang mengurus anak alih-alih adik. "Kamu mau langsung makan croissant stroberi aja?"

"Iya."

"Tapi, kalau nggak makan nasi dulu, nanti asam lambungmu naik."

Juno terdiam dengan wajah mengeras. "Tadi malam, makan malamku nggak habis."

Jihan menyimak.

"Terus Bang Jefri pergi. Karena sayang dibuang, aku lanjut makan lagi. Makan nasi. Si ... bapak-bapak itu datang pas aku lagi lanjutin makanku. Aku eneg kebayang itu."

Darah Jihan terasa membeku. Dia tak mengira bahwa inilah alasannya.

"Kalau aku asam lambungnya naik, bagus kan," lanjut Juno. "Aku bisa muntah. Aku bisa muntahin apa yang masuk mulutku semalam. Aku jijik ingetnya."

Jihan terdiam sejenak untuk memikirkan kata yang pas untuk disampaikan dalam situasi ini.

Dia pun berkata, "Juno, kamu yakin, kamu mau bikin badanmu nggak sehat cuma demi 'mengeluarkan' air liurnya Hutomo?" Seketika, Jihan, melihat Juno meringis, sepertinya karena mendengar nama Hutomo keluar. "Juno," panggil Jihan. "Air ludah kamu akan turun ke saluran pencernaan, kan?"

Juno terlihat tak bisa menebak apa yang ingin Jihan katakan, jadi dia tak membalas apa-apa.

"Dari saluran pencernaan, bakal turun ke saluran pembuangan," lanjut Jihan. "Jejak si bapak-bapak pedofil yang pernah memaksa mencium kamu akan terbuang lewat saluran pembuangan, lalu keluar lewat feses atau urin."

Mata Juno membeliak. Mulai paham maksudnya.

Sisa-sisa dari Hutomo takkan ada di hidupnya selamanya.

"Kamu bisa mengeluarkan dia dengan cara yang nggak bikin tubuhmu sakit," ujar Jihan. "Kamu bisa nggak makan nasi kalau memang hal itu bikin kamu teringat memori buruk. Aku bungkus makanan kita aja, terus kita cari makan gado-gado. Ada kentang, telur, dan sayuran. Mau nggak?"

Juno mengangguk, lalu tersenyum. "Mau, Kak. Makasih, ya."

Jihan pun ikut tersenyum.

Mereka pun membungkus makanannya dan pergi ke pujasera yang terdapat makanan Indonesia. Jihan memakan bento yang dia bungkus di sana bersama Juno yang memakan gado-gado. Setelah itu, mereka mendatangi Persephone dan memesan croissant stroberi yang Juno inginkan.

Wajah Juno terlihat lebih gembira setelah menyantap dua croissant stroberi Persephone. Remaja itu lebih dulu menyelesaikan makanannya. Kemudian, Juno pun berkata, "Kak Jihan, aku mau ke dapur."

Beberapa kali, Juno memang suka memasuki dapur Persephone karena ingin melihat proses pembuatan pastry dan makanan di sana. Selama ini Martin, pastry chef di Persephone, tak pernah komplain dengan adanya Juno di dapur. Justru senang karena Juno terlihat penasaran.

"Aku tanya ke Martin dulu, ya," ujar Jihan. "Kamu tunggu di sini."

Juno menurut. Setelah Jihan ke dapur dan berkoordinasi dengan Martin, Juno pun bisa masuk dengan apron, sarung tangan, dan hair net koki untuk menjaga sanitasi di dapur. Jihan lalu menitipkan Juno ke Martin, karena biasanya Juno bisa memakan waktu lama berada di dapur seperti ini.

Djahayu tiba tak lama kemudian. Dia langsung berdiri di depan Jihan dan memeluk sambil menyapa. "Hei, sori ya, agak lama," ujar Djahayu seraya meletakkan tasnya di kursi, lalu mengibas rambut panjangnya ke belakang sebelum duduk di seberang Jihan. Penampilannya terlihat chic dengan turtleneck hitam dengan aksen garis-garis vertikal dan aksesori berdesain minimalis. Kulitnya cokelat dan tidak belang. Tulang pipinya tinggi dan tirus. Jihan pernah melihatnya jadi model pakaian atau perhiasan (kadang juga dia ditawari untuk ikut jadi model, tapi Jihan tolak karena dulu, dia kurang percaya diri di depan kamera). Namun, Djahayu tak terlalu fokus menjadi model pakaian.

"Gila, gue nggak ngira banget bakal ada kejadian tadi malam," ujar Djahayu. "Eh, Juno di mana?"

"Di dapur. Biasa, lagi lihatin kegiatan di sana."

"Are you and Juno okay?"

"I'm okay. Juno juga bilang dia baik-baik aja," jawab Jihan. "Tapi, aku agak khawatir dia trauma. Dia kan masih kecil. Yang menjebak dia abangnya sendiri pula."

"Brengsek emang si Jefri. Kalau nggak berguna di keluarga, ya minimal tahu diri. Ini malah ngejebak adik sendiri buat diperkosa orang." Djahayu mendecak, lalu menatap Jihan dengan simpati. "I'm so sorry that you and Juno have to go through that."

"It's okay. Thank you udah jagain Juno semalam pas aku ngejar Hutomo."

"Anytime." Djahayu lalu melihat menu di papan besar belakang kasir, serta melihat ke makanan berjejer di rak kaca. "Eh, gue pesan makanan dulu ya."

Jihan mengangguk.

Selang beberapa menit, Djahayu kembali dengan americano dan roti bagel berisi ham, telur, keju, beserta semangkuk salad. Wanita itu menyesap americano-nya dan menatap Jihan. "Han, lo udah dapat kabar dari hotel yang bikin laporan soal Hutomo ke Kapolsek?"

"Iya, Jefri sama Hutomo udah dilaporkan sama pihak hotel. Aku udah dikabarin sama resepsionis, katanya BAP udah dibuat."

"Syukurlah." Djahayu mengunyah rotinya, sedangkan Jihan mengunyah pastry. Kemudian, Djahayu berkata, "Kemarin tuh, gue sempet cek soal Hutomo. Dia ternyata ponakan dari ketua umum partai." Djahayu tersenyum masam. "Kalau berita soal kelakuan Hutomo ini kesebar, bisa menurun itu elektabilitas si ketum partai."

"Aku cuma mau Hutomo diadili, nggak perlu sampai diliput media."

"Paham, tapi lo kan tahu bukan begitu cara mainnya."

Jihan tahu dia tak bisa berharap banyak dari pelaksana keadilan di negara ini. Ironis karena dia justru lebih percaya dengan orang asing seperti Rendra ketimbang polisi. Seketika, itu pun membuatnya teringat dengan kesepakatannya bersama Rendra.

"Eh iya, lo bilang di chat, katanya mau cerita sesuatu soal kejadian semalam," ujar Djahayu. "Mau cerita apa?"

Inilah bagian yang belum Jihan ceritakan secara utuh kepada siapa pun. Betul bahwa Hutomo kabur, tapi Jihan tak berkata bahwa Hutomo dibawa pergi oleh orang lain saat sudah sampai rooftop hotel. Jihan pun hanya fokus untuk mengamankan Juno setelah Hutomo dibawa Rendra.

"Apa yang terjadi semalam itu sulit dipercaya," ujar Jihan. "Aku nggak tahu apa kamu bakal percaya sama ceritaku atau enggak."

"Memang kapan gue nggak percaya sama lo?"

"Ah, iya juga. You always trust me." Jihan memberi senyum. "Jadi sebenernya, tadi malam pas aku ngejar Hutomo sampai rooftop hotel. Tapi pas aku sampai di rooftop, Hutomo udah nggak kelihatan. Aku justru lihat tiga laki-laki pingsan."

"Pingsan? Wait, you haven't told me about this. Terus tiga orang itu gimana?"

"Aku laporkan ke pihak hotel, jadi kayaknya diamankan sama mereka," jawab Jihan. "Terus pas aku mau cari Hutomo, aku ketemu seorang cowok di atap hotel. Cowoknya masih muda, kayak usia 20-an, pakai kacamata, tingginya sekitar 170-an senti, bajunya serbahitam, pakai masker buff. Dia bilang, dia ada urusan sama Hutomo, jadi harus bawa Hutomo pergi." Jihan menatap Djahayu. "Cowok itu bawa senjata, ada pistol. Kayaknya dia nggak lewat tangga darurat untuk naik ke atap gedung hotel."

Djahayu terkesiap. "Astaga, bahaya banget. Lo nggak apa-apa?"

"Nggak apa-apa. FYI, aku juga bawa senjata, revolvernya Hutomo yang aku ambil dari tangan dia. Aku kaget Hutomo bisa lewatin keamanan hotel dengan revolver."

"Tetep aja bahaya, Han. Untung lo nggak kenapa-kenapa." Djahayu menghela napas. "Terus, itu cowok yang lo temui, siapa?"

Dengan menceritakan kejadian semalam seperti ini, Jihan jadi makin menyadari betapa absurdnya kejadian tadi malam. Dia takkan menyalahkan Djahayu jika temannya itu tak memercayai apa yang dia ceritakan.

"Dia bilang, namanya Rendra," ujar Jihan. "Dia disuruh bosnya untuk tangkap Hutomo karena bosnya ada urusan sama Hutomo. Kami bikin kesepakatan, bahwa dia...," Jihan berbisik ke telinga Djahayu, "bersedia untuk bunuh si Hutomo kalau bosnya udah selesai urusan sama Hutomo."

"What?" Alis Djahayu menyatu. "Dia ngomong kayak gitu dan meninggalkan lo begitu aja? Apa lo nggak dikejar karena jadi saksi mata?"

"Itu dia, aku juga nggak paham. Dia malah bilang, dia bersedia bunuh Hutomo asal aku bersedia kencan sama dia."

Djahayu terbengong dan mengerjap. "Eh sori, gimana, gimana?"

"Dia ngajak aku kencan, aku bersedia dengan imbalan dia bakal bunuh Hutomo." Melihat Djahayu masih mengerjap-ngerjap sangsi, Jihan menghela napas. "I know, ini susah dipercaya. Aku udah kasih disclaimer dari awal, kan."

"Yes ... but still, it feels like a fever dream."

"Kayaknya aku cuma mimpi tadi malam. Mimpi ketemu Rendra." Jihan mengembuskan napas panjang. "Aku berusaha cari namanya di internet, tapi nggak ada hasilnya. Nggak ada mukanya. Dia kayak hantu. Tapi, aku nggak mabuk tadi malam. Aku yakin aku memang ketemu cowok yang namanya Rendra."

"Oke, oke. Lo ada kontaknya, nggak?"

Jihan menggeleng.

"Terus, gimana kalian bisa komunikasi buat kencan?"

"Dia udah nentuin kencannya. Lokasinya di kafe tempat kita kerja bareng kemarin, dekat hotel tempatnya Juno nginep. Janjian ketemu besok, jam satu siang di kafe itu."

"Lo bakal ke sana?"

Jihan mengingat kegiatan yang dia tambahkan di jadwalnya. "Iya."

"Si Rendra-Rendra ini polisi bukan, sih?"

"Bukan. Dia kayaknya kerja untuk shady business gitu."

"Aren't you afraid?" Djahayu terlihat khawatir. "Gue mau temenin lo besok ketemu dia, tapi gue udah ada acara keluarga. Apa lo memang harus ketemu dia?"

"Enggak. Tapi, aku udah sepakat soal kencan itu. Tempatnya pun tempat publik yang ramai."

"Apa lo memang mau Hutomo mati?" tanya Djahayu.

Jihan tak langsung menjawab.

Apa menurutnya, lebih baik pria pedofil seperti Hutomo itu mati? Ya, dia berpikir demikian. Apakah dia ingin Hutomo mati? Tidak, dia tidak menaruh dendam sebesar itu kepada Hutomo.

Akhirnya Jihan menjawab, "Yang aku mau itu informasi, sebenarnya. Kamu tahu kan, Jefri kelilit utang. Utang dia itu besar. Duit buat dia judi dipinjamkan sama Hutomo. Jefri memang brengsek, tapi selama ini dia nggak pernah bertindak sejauh yang dia lakukan kemarin. Aku jadi curiga ada sesuatu yang bikin Jefri merasa sangat terancam, sampai bersedia jual Juno ke Hutomo. Berhubung sekarang Hutomo nggak ada, aku harus memastikan bahwa anak buahnya cuma ngejar Jefri, bukan ngejar aku atau keluargaku yang lain."

"Hmmm, make sense." Djahayu menyesap minumannya. "Jadi, lo bakal ketemu si Rendra ini besok buat cari informasi ya."

"Iya, dia pasti punya informasi lebih soal Hutomo."

"Sayangnya, kalian nggak sempet tukeran kontak ya."

"Iya nih. Cuma kasih tahu nama panjang. Tapi kayaknya, dia sempat search namaku di internet. Dia kasih nama panjang dia juga, tapi aku nggak nemu banyak info soal dia."

"Dia punya medsos, tapi pakai akun anon, kali."

"Aku curiganya juga gitu."

"Nama panjangnya siapa? Mungkin bisa gue cari."

"Birendra Janardana."

"Oke, gue cek." Djahayu membuka ponselnya dan mulai melakukan pencarian. Sesekali, dia menyuap makanannya ke dalam mulut, sedangkan Jihan menggigit croissant stroberinya. "Nama dia bagus, by the way."

"Iya, aku suka namanya."

Djahayu mengunyah sambil membaca dan menggulir layar ponsel. Kemudian, dia menahan pekikan. "Hng...." Djahayu membaca lagi apa yang ada di layar ponselnya, lalu dia tertawa.

Jihan jadi penasaran. "Kenapa?"

"Ini, gue nemu nama Rendra di blog ini. Ada yang upload informasi soal Rendra. Ternyata dia pernah dipenjara." Djahayu menunjukkan layar ponselnya, lalu kembali tergelak.

Seketika, Jihan ikut tertawa.

Tentu saja. Tak mengejutkan mengetahui pria itu pernah dipenjara. Jihan merasa ini lucu karena apa yang dia temukan justru tak jauh dari impresinya terhadap Rendra.

"Dipenjara karena kasus apa?" tanya Jihan. "Terus kenapa bisa nemunya di blog? Bukan di website official pemerintahan gitu?"

"Nggak paham gue."

Sesosok gadis muncul dan duduk di samping Jihan. Tangannya meletakkan segelas milkshake berwarna kuning muda ke atas meja. "Kak Jihan, aku beli milkshake pisang, ya. Masuk ke bill meja ini."

"Iya." Jihan menyelesaikan makanannya. "Jadi mau pesan Strawberry Croissant untuk dibawa pulang?"

"Jadi. Kak Jihan habis ini mau ngapain?"

"Hmmm, mau belanja bulanan sih. Paling nanti nunggu Djahayu selesai makan."

"Oke. Aku pesan Strawberry Croissant buat dibungkus ya. Kak Jihan mau juga?"

"Mau, satu aja. Sama Butter Croissant satu."

Jihan melihat Juno pergi untuk memesan makanan. Djahayu cepat menghabiskan pesanannya, lalu mereka pun pergi menuju hipermarket di lantai bawah untuk berbelanja.

Setelah menghabiskan waktu di sana, mereka pun pulang. Jihan meninggalkan Juno di kosnya karena dia ingin membuat laporan terkait abangnya ke Kapolsek. Harusnya dia sendiri yang dari awal melaporkan, tapi tadi malam dia kelelahan, jadi dia membiarkan pihak hotel yang membuat laporan.

Namun sebagai kakak korban, Jihan memiliki lebih banyak informasi untuk dituangkan dalam BAP. Jadi dia pun tetap mendatangi kepolisian untuk melapor.


***


Ketika Jihan sudah pulang ke kosnya, langit sudah menggelap, dan dia melihat sosok pria yang dari tinggi dan pakaian sudah dia kenali: Jefri.

Jihan tak ingin menghadapinya, cenderung ingin menghindar karena lelah dengan keributan dalam 48 jam terakhir. Namun, Jefri lebih dulu melihatnya. Dan itu membuat Jihan mau tak mau harus menghadapi abangnya itu.

Jefri mengamatinya dengan sedikit berhati-hati. "Anak buahnya Hutomo pada nyariin dia. Hutomo ada di mana sih? Lo kan yang terakhir lihat dia?"

Jihan membuka ponsel dan menyalakan perekam suara, lalu menaruhnya di saku luar tas. "Dia menghilang. Nggak tahu ke mana."

"Nih, lo lihat, gue dipukulin karena telat bayar." Jefri membuka tudung jaketnya, memperlihatkan wajahnya yang lebam dan area matanya yang keunguan. "Gue harus bayar akhir minggu ini. Kalau enggak, gue nggak akan selamat."

Jihan hanya bergumam.

"Gue pinjem duit, Jihan. Bisnis lo kan lancar. Gue dengar lo mau buka cabang baru. Lo pasti punya lima puluh juta, kan? Pinjemin gue buat bayar mereka, nanti gue balikin."

Jihan tahu bahwa orang brengsek datang dengan berbagai macam rupa. Tapi, dia selalu dibuat takjub oleh ketidaktahuan diri mereka akan kesalahan yang mereka lakukan. "Kamu lupa Juno tadi malam diapain?"

Jefri mendesah, tak terlalu terlihat bersalah. Mungkin merasa bersalahnya karena rencananya ketahuan dan gagal, bukan karena adik bungsunya nyaris diperkosa. "Iya, gue tahu itu salah. Gue minta maaf. Gue ke sini juga mau minta maaf ke Juno. Harusnya nggak perlu sampai sejauh itu."

"Memang harusnya seperti apa?"

"Harusnya tuh, nggak sampai sejauh itu pokoknya. Tapi ya lo tahulah, cowok pas lagi hiper kan gitu, susah kontrolnya."

Jihan menggertakkan gigi. Beginilah jika dia berbicara dengan Jefri. Jefri akan berputar-putar membahas sesuatu yang di luar konteks dan tidak perlu disampaikan. "Aku ulangi. Harusnya, kalau sesuai kesepakatanmu sama Hutomo, harusnya cuma disentuh sampai mana?"

"Ya harusnya nggak sampai kayak yang tadi malam! Gue nggak setega itulah sama Juno. Kita kan keluarga."

"Aku ulangi, Jefri. Kamu bersedia membuat Juno disentuh sama pria lain, benar?"

"Iya, tapi harusnya cuma pelukan biasa, ngajakin makan bareng. Gue udah bilang jangan kejauhan karena Juno masih perawan."

"Dasar sinting," Jihan tak kuasa menghina. "Dan kamu dengan nggak tahu malunya malah pinjam lima puluh juta ke aku? Setelah bikin adikmu sendiri hampir diperkosa?"

"Gue kan udah bilang, gue udah minta maaf. Iya, gue salah. Terus mau lo apa? Hutomo udah hilang. Yang udah terjadi, ya udah terjadi. Gue juga udah minta maaf. Lo mau ngapain lagi emangnya?"

Sejak bertahun-tahun lalu, Jihan tahu bahwa kata maaf takkan menenangkan murka, terutama jika maaf itu keluar hanya karena ingin lepas dari rasa bersalah, atau ingin cepat-cepat menutup konflik.

Murka yang Jihan rasakan sudah mendingin. Sebab dia sudah hafal kelakuan sang kakak.

Jihan pun memutar tumitnya dan melangkah pergi meninggalkan Jefri. Pengabaian adalah tanggapan terbaik untuk orang seperti abangnya.

"Jihan, hei!" seru Jefri. "Duit lo tuh banyak ya. Gue tahu lo habis foya-foya sama temen lo. Gue tahu lo habis beli apartemen. Nggak usah sombong lo mentang-mentang udah sukses sekarang."

Jihan terdiam, menoleh sedikit. "Dari seringnya kamu pinjam duitku, berapa kali kamu mengembalikannya?"

Jefri mendecak. "Gini lo sekarang? Egois lo kalau hitung-hitungan gini sama keluarga sendiri."

Amarah Jihan merambat naik. Ingin rasanya dia berteriak. Tapi dia tahu bahwa menaikkan volume ssuara takkan menyelesaikan masalah, dan kakaknya ini takkan pernah menyesal meski sudah dimarahi, meski sudah menyakiti.

"Kalau memang cara supaya aku bisa terlepas dari masalah utang kamu adalah dengan jadi hitung-hitungan ke keluarga, then so be it," ujar Jihan dengan tenang. Dia mempelajari bahwa dalam konflik, orang yang terlihat lebih tenang biasa dianggap sebagai pihak yang benar, meskipun orang yang tenang bisa jadi adalah pihak yang salah atau yang jahat. "Kamu sendiri juga hitung-hitungan kok. Nggak bisa bayar utang ke Hutomo, jadi jual adik sendiri. Kalau memang kamu anggap adik-adikmu sebagai keluarga, Juno nggak perlu sampai nyaris diperkosa karena kamu serahin dia ke Hutomo."

Sejenak, Jefri tak bisa membalas apa-apa. Tapi kemudian dia berkata, "Gue kayak gitu karena lo terus-terusan nggak kasih duitnya. Kalau lo kasih duitnya, Juno nggak perlu ngalamin itu semua."

Jihan membeliak. Belum sempat marah, dia justru merutuki diri sendiri. Bagaimana dia bisa lupa?

Tentu saja Jefri akan melemparkan kesalahan kepadanya, meski seluruh bukti menunjukkan bahwa Jefri sendirilah yang salah. Jefri selalu menggunakan trik seperti ini jika sudah terpojok. Lebih dari satu dekade Jihan melihatnya, bagaimana dia bisa lupa?

Tak ada gunanya untuk menyadarkan Jefri bahwa dia salah. Hal itu hanya membuang-buang waktu. Harusnya dari awal, dia langsung masuk kos saja tanpa menanggapi Jefri.

Tapi kadang, Jihan tak kuasa ingin bersuara.

"Aku memang harus hitung-hitungan sama kamu biar aku nggak melarat," ujar Jihan. "Kalau aku terus-terusan minjemin duit ke kamu, terus aku jadi dapat masalah dan hidupku kesulitan, semisal aku meminta tolong ke orang lain, orang lain akan melihat aku sebagai orang naif yang mudah dibodoh-bodohi. Kurangnya respect mereka ke aku bakal bikin mereka makin enggan menolong aku." Jihan menatapnya dingin. "Sebagai orang yang hitung-hitungan, berurusan sama kamu cuma akan merugikan aku. Aku permisi."

"Eh, Jihan!" seru Jefri, menahan tangan Jihan agar tidak pergi. "Jihan, ngapain sih lo pergi dan bikin keributan?"

Jihan menarik napas panjang, mengarahkan wajah ke pos satpam kosnya, lalu berteriak, "Pak Khidmat! Tolong saya! Ini ada orang yang bikin adiknya diperkosa!"

Pak Khidmat, sang penjaga kos Jihan, keluar dari pos mereka lalu segera mendatangi Jihan dan Jefri. Mau tak mau, Jefri melepaskan cengekeramannya di tangan Jihan.

"Ada apa ini, Mbak Jihan?" tanya Pak Khidmat, terlihat waspada mengamati Jihan dan Jefri. "Siapa yang diperkosa?"

"Adik saya, Pak. Tolong jangan biarkan orang ini berkeliaran di sekitar kos lagi. Dia penjahat," ujar Jihan, dan Jefri langsung membelalah menatapnya.

"Eh, enggak lho, Pak. Nggak bener itu," balas Jefri. "Masa iya, ada yang setega itu sama adik sendiri? Nggak mungkin, kan. Ini cuma kesalahpahaman kok." Jefri menatap adiknya dengan tatapan jengkel. "Jihan nih, emang deh. Lo jangan bikin ribut begini dong. Kasihan itu bapaknya tadi lagi makan, malah lo panggil pakai teriak-teriak."

Pak Khidmat terlihat kebingungan, tapi dia memilih untuk percaya ke Jihan. "Mbak, ini udah dilaporkan ke polisi?" tanya Pak Khidmat.

"Udah kok, Pak. Saya udah kirim laporannya. Lagi diproses." Jihan melirik Jefri. "Tolong ya, Pak. Jangan sampai orang ini berkeliaran lagi. Maaf saya ganggu waktu makan Bapak."

Pak Khidmat mengangguk, lalu membawa Jefri untuk segera menjauh dari kos itu. Jihan pun masuk ke dalam kosnya tanpa menoleh lagi.

[ ].

17/04/2024
3,4k words



A/N

BAP: Berita Acara Pemeriksaan

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top