2 || Sebelum Bertemu
| 2 |
SEBELUM BERTEMU
KEJADIAN SEMALAM TERASA seperti mimpi.
Mungkin, Jihan akan berpikir begitu jika dia tak melihat sepatu hak tinggi yang dia kenakan tadi malam di ujung ruangan, juga tak melihat adiknya tidur di sisinya. Adiknya, Juno, tak bisa tidur semalaman dan baru bisa tidur pukul tiga dini hari. Beberapa kali, Jihan merasa tangannya dipeluk oleh adiknya. Sekarang, gadis itu terlihat masih pulas di sisi ranjang yang lain.
Jihan melirik jam dinding. Jarum jam menunjukkan ke arah sembilan. Syukurnya, dia sudah memberikan kunci kafe yang dia kelola kepada Nariswari, salah satu karyawannya. Jadi dia tak perlu berangkat pagi untuk membuka kafe. Persephone, kafe yang dia kelola itu buka pukul sepuluh pagi. Karena ini akhir pekan, Persephone pasti ramai. Mungkin dia akan ke sana sambil membawa Juno ikut. Juno suka dengan Strawberry Croissant Persephone.
Sambil memejam, Jihan mengingat-ingat lagi apa yang dia alami.
Jihan terlahir sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Abangnya bernama Jefri, dan adiknya bernama Juno. Kemarin, dia mendapat informasi bahwa Jefri membawa Juno pergi ke hotel untuk menginap dua malam. Empat hari sebelumnya, Juno sudah mengabari bahwa abang mereka akan membawa Juno pergi berlibur ke sebuah hotel bintang lima dalam kota. Juno juga berkata bahwa Jefri memintanya untuk tidak memberi tahu Jihan soal liburan ini dengan alasan tak mau Jihan jadi iri.
Rencana liburan ini tentu sangat mencurigakan untuk Jihan. Pasalnya, Jefri bukan tipe abang yang fungsional. Momen-momen ketika Jefri mengajak liburan pasti ada saja yang tak beres, mulai dari mengajak keluarga liburan tapi nanti berkata bahwa Jihan saja yang membayar liburannya, atau berkata dia meminjam uang Jihan sementara untuk membayar biaya tertentu saat liburan, padahal Jefri sendiri masih ada uang yang disimpan untuk berjudi.
Kendati mencurigakan, Jihan bahwa Juno berkata, abang mereka bisa membayar liburan ini karena dapat harga teman, dan kebetulan dapat kamar untuk dua orang, jadi dia mengajak Juno, beralasan karena Juno belum pernah menginap di hotel bintang lima. Jefri bahkan sudah menunjukkan bukti pelunasannya.
Juno sebagai adik cenderung lebih dekat dengan kakak perempuannya ketimbang abangnya. Jadi ketika abangnya memintanya untuk tidak memberi tahu Jihan agar Jihan tidak iri (padahal Jihan takkan iri, dia bisa membayar hotel atau liburannya sendiri), Juno hanya mengiyakan tapi tidak mengikuti, sebab Juno lebih dekat dengan Jihan dan Jihan sudah mengimbaunya untuk melaporkan sesuatu jika ada hal mencurigakan.
Juno pun melaporkan rencana liburan Jefri di hotel bintang lima selama dua hari. Juno juga meminta Jihan untuk pura-pura tidak tahu informasi ini di depan orang lain. Jihan bersedia, asal Juno memberikan satu kartu akses kamar hotel kepadanya. Adiknya itu mengiyakan.
Jadi kemarin, pada hari-H Juno check-in ke hotel bersama Jefri, Jihan berada di dalam kafe yang terletak di gedung sebelah gedung hotel tempat Juno mengingap. Dia mengerjakan konten promosi bersama sahabat sekaligus rekan kerjanya, Djahayu. Sambil bekerja membuat konten di laptopnya, Jihan sesekali mengecek ponsel untuk mengetahui kabar yang diberikan adiknya. Juno sudah check-in sejak sore, menikmati kolam renang di hotel, berjalan-jalan ke sekitar hotel, lalu menemui Jihan diam-diam di kafe untuk memberikan kartu akses kamar. Setelah itu, Juno kembali ke kamar untuk dengan makanan yang dipesan Jefri. Pukul 21.35, Juno bersiap tidur ketika Jefri sedang pergi keluar untuk membeli sesuatu.
Saat itu, Jihan sempat berpikir bahwa semua sudah aman, bahwa dia bisa merapikan barangnya untuk pulang. Sesaat, dia sempat berpikir bahwa dia bisa memercayai Jefri. Hanya sesaat sebelum Juno meneleponnya, lalu mendadak dimatikan dari seberang sambungan, dan ketika Jihan meneleponnya balik, panggilannya tak bisa menjangkau ponsel Juno.
Sontak, Jihan segera menitipkan laptop ke kafe dan berlari ke dalam hotel. Djahayu sebelumnya dia minta mendatangi resepsionis untuk menelepon kamar hotel Juno. Sedangkan Jihan langsung naik lift hingga tiba di lantai kamar Juno menggunakan kartu akses yang sudah dia minta.
Apa yang dia lihat membuat seluruh darah di tubuhnya membeku.
Dia tak ingin mengingat-ingat lagi. Tapi jika dia berusaha melupakan, rasanya tak adil kepada adiknya yang mengalami langsung kejadian traumatis itu.
Pria paruh baya yang sedang menggerayangi adiknya di kasur adalah sosok yang Jihan kenal. Namanya Hutomo, pria yang sering meminjamkan uang untuk Jefri. Dia pernah melihat pria ini mendatangi rumah orangtuanya untuk bertemu Jefri. Pada saat itu, Hutomo memandangi tubuh Jihan dengan pandangan tertarik, tapi Jihan tak memberikan reaksi apa-apa. Satu-satunya kemungkinan yang membuat pria itu bisa menemui Juno adalah lewat Jefri.
Hutomo bangkit dari kasur mendengar suara pintu terbuka. Pakaiannya berantakan, sedangkan pakaian Juno sudah terlepas sebagian. Jihan bergidik karena sempat melihat pria itu memaksakan dirinya untuk mencium bibir Juno. Dia ingin muntah.
Sebelum Jihan sempat berpikir lebih jauh, Hutomo lebih dulu mengeluarkan revolver dan memiting leher Juno dengan tangannya yang lain.
"Jangan bergerak!" seru Hutomo. "Atau kutembak kepala adikmu ini."
Jihan terkesiap. Bagaimana bisa Hutomo masuk ke hotel ini membawa senjata berapi? Apa pria ini benar-benar segegabah itu sampai mau menembak orang di dalam hotel bintang lima?
"Mundur lima langkah ke ujung ruangan, atau kutembak anak ini," ujar Hutomo. Dan Jihan pun mengikuti ucapannya dengan perlahan, mundur dan menyingkir dari arah pintu. Hutomo pelan berjalan mendekati pintu.
Setelah Hutomo berhenti berjalan, tanpa disangka, Juno menggigit tangan Hutomo yang mendekap lehernya, membuat Hutomo menjerit kesakitan hingga melepaskan Juno, dan Jihan mengambil kesempatan itu untuk menendang tangan Hutomo yang memegang revolver.
Revolver jatuh ke sisi Jihan dan Jihan gesit meraihnya, langsung mengacungkannya ke arah Hutomo.
Tak membuang waktu, Hutomo langsung kabur. Jihan keluar kamar dan melihat Djahayu datang bersama staf hotel, dan dia pun menitipkan Juno kepada mereka selagi dia mengejar Hutomo. Dia juga melepas sepatu hak tingginya sebelum berlari. Sejak dua tahun belakangan, dia rajin mengikuti lari marathon. Dia yakin dia akan cepat mengejar dan menangkap Hutomo.
Sosok Hutomo dia temukan dengan segera, sedang berlari ke tangga darurat. Jihan menyusul dengan cepat. Setibanya di dalam ruang tangga darurat, Jihan melihat Hutomo sudah lewat dua lantai di atasnya.
Jarak dua lantai darinya dan Hutomo membuat Hutomo lebih duluan keluar melewati pintu di lantai teratas. Pintu tersebut menjeblak terbuka setelah Hutomo menginjak lantai rooftop hotel.
Ketika Jihan melewati anak tangga terakhir, dari pintu yang terbuka, dia agak syok melihat helikopter terparkir di sana. Dia tak mau Hutomo lari.
Langkahnya pun segera masuk ke rooftop gedung. Tangannya terangkat mengacungkan revolver dengan pandangan mengawasi sekitar. Dia terkejut melihat tiga pria dewasa terlihat terbaring tanpa pergerakan di lantai. Entah mati atau pingsan. Apa ini ulah Hutomo? Jihan tak tahu pasti. Dia harus segera menemukan pria itu.
Di tengah pencariannya, Jihan melihat sosok bergerak dari sudut matanya. Revolvernya teracung. Jihan mengamati langkah kaki yang perlahan keluar dari balik bayangan tangki air besar. Bayangan sosok itu semakin jelas semakin langkahnya mendekat. Siluet membentuk sosok pria berkacamata dengan tubuh agak tinggi dan memakai pakaian serbahitam yang menutupi seluruh tubuh kecuali kepala. Sebuah masker buff menutupi setengah wajahnya. Kombinasi tampilan itu membuat sosok itu terkesan menarik dan misterius.
"Siapa kamu?" tanya Jihan saat itu. Dia melihat pria itu mengangkat tangan. Tanpa Jihan duga, pria itu berlanjut dengan menurunkan masker buff-nya.
Sebagian orang terkesan lebih tampan dan misterius saat memakai masker, tapi itu hanya kesan saja, belum tentu keseluruhan wajahnya terlihat sesuai dengan kesan menarik yang diberikan saat pakai masker. Jika melihat seluruh wajah tanpa masker, belum tentu wajahnya sama tampannya seperti bayangannya. Bisa jadi, justru lebih tidak menarik. Karena itulah Jihan tak terlalu berekspektasi apa-apa saat pria di depannya membuka masker.
Nyatanya, pria di hadapannya ini memiliki wajah yang sesuai dengan kesan tampan dan misterius yang diberikan ketika sebelumnya dia menggunakan masker buff itu.
"Gue Rendra," ujar pria itu, mengangkat dua tangan sekilas. Wajahnya terlihat bersih tanpa facial hair, mengingatkan Jihan dengan wajah tokoh lelaki di komik romansa josei yang pandai mencuri hati wanita. Siluet tubuhnya terlihat bagus, berisi tapi ramping, ditopang dengan postur yang baik dan tinggi badan yang agak jangkung, mungkin sepuluh senti lebih tinggi dari Jihan.
Sorot mata Rendra terlihat tenang, seolah revolver ini tak mengancam nyawanya. Jika memang Rendra berasumsi demikian, Jihan tak menyalahkan. Jihan memang tak ingin membunuh pihak lain yang tak ada sangkut paut dengan masalah Hutomo dan dirinya.
Rendra lalu bertanya, "Lo nyari siapa?"
Jihan sempat menurunkan revolvernya, ragu. "Saya cari bapak-bapak pakai kemeja hijau. Tadi dia lari ke sini. Sembunyi di mana si Hutomo?"
Setelah bertukar percakapan yang tak pernah Jihan bayangkan seumur hidup, dia akhirnya tahu nama panjang pria itu. Birendra Janardana. Nama yang mengesankan dan misterius, cocok dengan wajah dan aksinya.
Dan lagi-lagi, tanpa Jihan duga, pria itu menyerahkan senjatanya ke lantai, meminta nama lengkapnya, lalu mengajaknya kencan.
Jihan ingat dia menyetujui tawaran Rendra. Dia juga ingat waktu dan lokasi kencannya, karena Rendra menunjuk sebuah kafe yang seharian ini ditempati Jihan sebagai lokasi kencan mereka lusa. Butter & Sugar Café, hari Minggu pukul satu siang. Rendra meminta nama lengkap dan mengajaknya kencan sebagai bayaran atas usahanya nanti menyiksa dan membunuh Hutomo untuk Jihan.
Kemudian, pria itu menghilang secepat angin.
Bagian ketika Rendra muncul rasanya seperti mimpi ketika demam.
Karena tak melihat orang lain—selain tiga pria yang pingsan—di rooftop hotel ini, Jihan pun kembali ke kamar hotel Juno.
Di kasur hotel, Djahayu sedang duduk bersama adiknya. Pakaian Juno sudah kembali dikancingkan, tetapi air muka Juno gelisah. Dia dan Djahayu terlihat lega saat melihat Jihan kembali. Jihan memeluk adiknya, meminta maaf karena dia telat. Juno balas memeluknya dan berkata dia mau pulang.
Juno harusnya tinggal bersama orangtua, di rumah yang dekat dengan sekolah Juno. Tapi dengan adanya kejadian ini, Juno tak ingin pulang dan menjelaskan segalanya kepada sang ibu. Dia ingin menginap di kos Jihan.
Mereka pun turun ke lobi. Resepsionis yang tadi datang bersama Djahayu ke kamar Juno itu bilang, dia sudah melaporkan masalah ini ke Kapolsek setempat. Mereka juga meminta revolver Hutomo untuk mereka amankan sebagai barang bukti.
Jihan sebetulnya lebih mau menyimpan barang bukti itu sendiri. Tapi karena ditekan oleh pihak hotel, dia pun memberikan revolvernya.
Akhirnya, mereka pulang bersama ke kos Jihan, sedangkan Djahayu pulang ke rumahnya sendiri.
Jihan tiba di kosnya dalam keadaan kelelahan. Dia langsung berganti baju, menyeka riasan, lalu mengaplikasikan rangkaian perawatan wajah malam hari.
Tak lama setelah itu, Jihan berbaring di samping adiknya. Juno hanya diam saja sepanjang perjalanan pulang, dan itu membuat Jihan khawatir. Dia tak ingin menekan atau memaksa Juno bercerita. Tapi, dia takut jika Juno memendam hal traumatis sendirian.
Sampai mereka hendak tidur, Juno belum mau mengatakan apa-apa. Jihan yang lelah pun memejamkan mata, lalu jatuh ke dalam mimpi.
Semua yang dia alami terkait adiknya terjadi dalam satu malam.
Saat mata Jihan terbuka, Pagi sudah menyapa lewat berkas-berkas cahaya yang mengintip masuk lewat gorden.
Jihan pun beranjak perlahan, berusaha agar Juno tak perlu terbangun, kemudian pergi ke kamar mandi untuk sikat gigi.
Apa yang dia alami tadi malam benar-benar terasa seperti mimpi. Mimpi yang buruk. Getir masih dia rasakan di pangkal lidah ketika melihat Juno, mengingat apa yang Hutomo lakukan ke adiknya itu. Juno sudah kelas 12 SMA. Jihan tahu Hutomo kaya, jadi harusnya Hutomo bisa membeli wanita yang memang bersedia dibeli tubuhnya. Tapi seringkali, pria-pria macam Hutomo melihat kepolosan perempuan sebagai undangan untuk melecehkan. Karena itulah pria-pria seperti Hutomo menginginkan perempuan-perempuan di bawah umur, yang terkesan masih lugu, minim pengalaman seksual, lalu menganggap pria sepertinya adalah pria pertama yang dapat memuaskan atau menguasai tubuh seorang gadis.
Gagasan yang menyedihkan, tapi sering ditemukan.
Jihan menarik napas. Kejadian tadi malam agak membuatnya linglung dengan apa yang harus dia lakukan hari ini. Dia lalu ingat bahwa dia harus mencari Jefri. Tapi abangnya itu tak bisa dihubungi sejak semalam. Sungguh tidak bertanggung jawab.
Kemudian, Jihan memilih membuka jadwal kegiatannya di ponsel untuk menyegarkan pikiran.
Hari ini hari Sabtu. Dia akan ke Persephone, kafe yang dia kelola, mengecek keadaan disana sekaligus bekerja membuat konten promosi. Sementara di hari Minggu....
Ingatan Jihan kembali memutar sosok pria berkacamata tadi malam.
Rendra mengajaknya kencan para hari Minggu, pukul satu siang. Lokasinya di Butter & Sugar Café yang terletak di dekat hotel kemarin.
Kejadian yang sangat absurd. Mungkin bagian itu hanyalah mimpi aneh.
Pandangan Jihan pun kembali menatap layar ponselnya yang menampilkan jadwal kegiatannya bulan ini. Kegiatan hari Minggu akan diisi dengan beres-beres dan berkemas untuk pindah ke apartemen yang baru dia sewa. Dia bisa meluangkan waktu sejak jam makan siang untuk kencan dengan Rendra.
Tapi, apa itu sungguhan terjadi?
Apa dia memang pernah bertemu Rendra? Apa dia benar-benar diajak kencan oleh pria yang muncul dan menghilang secara tiba-tiba dengan pakaian serbahitam? Rasanya seperti tidak nyata. Tak ada juga barang bukti bahwa dia pernah bertemu Rendra.
Kecuali, jika dia mengingat beberapa pria lain yang tak sadarkan diri tadi malam di atap hotel, sama seperti Hutomo. Apa itu tindakan Rendra juga?
Pikirannya tadi malam pasti sangat kacau sampai dia kurang mampu berpikir jernih. Karena setelah dia ingat-ingat lagi, dia jadi bertanya-tanya: bagaimana cara Rendra membawa pergi Hutomo dari atap gedung puluhan lantai? Dia tak melihat Rendra turun menggunakan tangga darurat. Apa ada tangga darurat lain yang Rendra gunakan? Sebab, tidak mungkin Rendra naik dengan memanjat gedung puluhan lantai, bukan? Dia pun sedang membawa Hutomo yang bobotnya mungkin sekitar 80 kilogram. Bagaimana mungkin Rendra bisa memanjat turun dari dinding gedung sambil membawa Hutomo? Tidak masuk akal.
Jihan menarik napas, menatapi lagi jadwal di ponsel. Tak ada salahnya menambahkan kegiatan baru pukul satu siang besok.
Dia tidak takut. Karena toh, lokasi pertemuan mereka adalah tempat publik yang cukup ramai.
Usai menambahkan kegiatan pada jadwalnya besok, Jihan sikat gigi, mandi, dan memakai baju, lalu Jihan keluar kamar mandi dan melihat Juno sudah terbangun. Anak itu sudah bangun, tapi terlihat masih ingin bermalas-malasan di kasur.
Jihan pun tersenyum dan bertanya, "Sekarang udah hampir jam sepuluh. Kamu masih mau tidur atau udah mulai laper?"
Juno bergumam panjang, lalu membuka mata ke arah Jihan. "Nggak laper."
"Oke." Jihan duduk di depan meja rias untuk melakukan serangkaian perawatan wajah. "Aku mau ke kafe nanti, sekalian makan. Kamu mau ikut, nggak?" tanya Jihan, sebab dia tahu Juno suka dengan suasana dan makanan Persephone.
Juno tak langsung menjawab. Dia terlihat berkontemplasi. "Masih ada croissant stroberinya, nggak?"
Strawberry Croissant di Persephone merupakan salah satu menu favorit pelanggan, termasuk menu favorit Jihan dan Juno juga. Croissant diisi potongan stroberi dan krim custard manis yang lembut dan dingin, lalu ditaburi gula bubuk. Jika dimakan tak lama setelah croissant masih hangat dan ditambahkan isiannya yang dingin, rasanya luarbiasa; manis dengan rasa sedikit asam buah yang menyegarkan, tekstur renyah dari croissant berpadu isian yang lembut dan potongan stroberi yang juicy. Membayangkannya saja sudah membuat Jihan ingin pergi ke kafenya sekarang untuk mencicipinya.
"Kamu mau berapa banyak?" tanya Jihan. "Biar aku chat Nari buat sisain kalau memang tinggal dikit. Tapi, harusnya belum habis kalau masih siang."
"Aku mau dua—eh, enggak. Empat! Dua dimakan di sana, dua lagi buat disimpan di kulkas."
"Kamu nggak mau coba menu yang lain?"
"Ntar aku pikir-pikir lagi kalau udah sampai sana."
"Oke, jadi kamu ikut ke Persephone, ya." Jihan selesai memakai serum, menunggunya kering dulu sebelum memakai pelembap. Dia senang melihat Juno sudah kembali semangat. Sama seperti dirinya, Juno mudah puas diimingi makanan enak.
"Iya. Kak Jihan mau ke sana jam berapa?"
"Sejam lagi. Ini lagi siap-siap. Kamu mau mandi dulu atau enggak?"
"Mandi lah!" Juno langsung duduk di kasur. Kemudian dia melangkah ke koper yang harusnya dia gunakan untuk menginap di hotel. "Aku pakai handuk yang mana?"
"Buka lemari kiri, itu ada handuk baru warna putih. Pakai aja." Jihan lanjut mengaplikasikan tabir surya ke wajahnya.
Sejauh ini, Juno tak mengatakan apa-apa lagi soal apa yang terjadi semalam. Jihan sebenarnya sudah khawatir. Dia bahkan sudah mencari tahu psikolog yang bisa dihubungi seandainya Juno membutuhkannya. Jihan paham kejadian ini traumatis. Dia senang melihat Juno terlihat masih bisa menikmati hidup dengan hal-hal yang biasa membuatnya senang. Tapi di sisi lain, dia juga khawatir karena Juno tak mengatakan apa-apa soal Hutomo. Bukan berarti Jihan merasa Juno harus bercerita kepadanya. Dia hanya khawatir jika Juno merasakan sesuatu yang traumatis dan memendamnya sendirian.
Menarik napas, Jihan mengecek ponsel, melihat ada notifikasi pesan dari Djahayu. Isi pesannya bertanya bagaimana keadaan Juno dan Jihan sekarang. Jihan mengabari bahwa mereka baik-baik saja, juga memberi tahu bahwa dia dan Juno akan pergi ke Persephone satu jam lagi.
Jihan menimang-nimang, lalu meminta Djahayu ikut datang ke Persephone karena dia ingin bercerita soal apa yang terjadi semalam. Dia juga ingin bercerita soal Rendra. Bersama Djahayu, dia bisa crosscheck latar belakang pria itu.
Jihan pun berdiri untuk berganti baju. Dia simpan dulu kegelisahannya untuk menikmati kegiatan yang paling dia sukai bersama Juno: makan.
[ ].
2,6k words
13/04/2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top