Terungkap
Suara burung gagak terdengar jelas di telinga Jidan. Ia membuka matanya dengan perlahan, samar-samar di lihatnya sosol Bhuvi tengah berdiri di hadapannya. Pandangan Bhuvi tertuju ke arah lain, ia menunjuk arah pandangannya tersebut. Jidan mengikuti arah yang ditunjukan Bhuvi.
Jidan menajamkan penglihatannya, tubuhnya seketika bergetar, ia menutup mulutnya dengan kedua tangan. Tak percaya denga apa yang dilihatnya.
Dua tubuh anak laki-laki tanpa pakaian terbujur kaku. Tiga ekor burung gagak tak berhenti berkicau, sesekali mereka mereka mematuk tubuh yang tak bernyawa itu. Bahkan salah satu perut anak itu kini telah robek, ususnya terlihat berantakan.
Jidan masih menutup mulutnya, ia menahan segala rasa yang ada. Perutnya mulai terpelintir, pusing, mual, air matanya mengalir begitu saja. Ia kembali bersembunyi di balik sumur ketika mendengar suara ibu panti yang mendekat.
“Huss-huss, kalian nggak kenyang apa setiap minggu makan daging, pergi sana.”
“Sudah Nyai, ayo angkat mayatnya, masukan ke dalam sumur, nanti juga burungnya pergi.” Nenek tua memegangi kaki mayat itu, menunggu ibu panti membantunya.
Bunyi tubuh mayat yang dilempar ke dalam sumur masih terdengar meski tak begitu keras, pertanda bahwa sumur tersebut tak lagi dalam dan tak ada air di dalamnya.
“Taburkan bunga saja, jangan aliri air. Kita masih punya satu gadis cantik untuk ritual malam ini. Ini cukup untuk mengembalikan masa mudaku.”
Nenek tua itu pergi lebih dulu, ia membiarkan ibu panti mengerjakan apa yang diperintahkannya. Ibu panti menuruti semua titah dari nenek tua rekan kerjanya, namun dalam hatinya ia memaki, tak rela nenek tua yang mendapatkan hadiah dari bunda untuk ritual selanjutnya.
Meski begitu, ibu panti tetap melakukan apa yang diperintahkan nenek tua, ia terlalu takut untuk memberontak, karena jika sekali saja dia menolak, maka bunda akan menjadi malaikat mautnya di esok hari.
Di sisi lain, Jidan akhirnya bisa bernapas lega setelah ia memuntahkan hampir semua makanan yang sudah dicerna sedari pagi dari perutnya.
Ia menyeka mulutnya, menatap tajam dengan sedikit kebencian bercampur amarah pada Bhuvi yang hanya diam mematung. Jidan mengepalkan tangannya, tubuhnya tiba-tiba terjatuh ketika hendak mendorong Bhuvi.
Jidan bangkit, ia kembali mendekati Bhuvi, meninjunya, tapi tak mengenai apapun. Tubuh Bhuvi berbalik, kini menghadap pada Jidan.
Jidan mengibaskan tanganya, tetapi badannya masih sama, Ia tidak bisa menyentuh tubuh Bhuvi.
“Kamu tidak akan bisa menyentuhku Jidan, aku salah satu dari mereka, tubuhku ada di dalam sana.”
“Apa, kenapa kamu nggak bisa aku sentuh, Bhuvi?
“Aku dan mereka adalah Tumbal sinar Bunda, jika kamu masih selamat setelah hari ini, jadilah saksi dan selamatkan orang yang masih bisa kamu selamatkan.” Bhuvi berbisik di telinga Jidan. Lalu dia menghilang.
Di sisi lain, tubuh seorang gadis terbaring di meja. Ia dibalut dengan kain putih dari kaki sampai dada. Hijab yang menutupi kepalanya dilepas, memperlihatkan rambut hitam berkilau meski hanya terkena cahaya lilin. Kening, alis tebal, kelopak mata, hidung mancung serasi dengan pipi chabi, bibir indah dengan warna merah muda, semua bagian wajahnya disentuh satu persatu oleh nenek tua. Sementara ibu panti hanya melihat penuh iri sembari memegangi baki berisi bunga.
“Sebentar lagi wajah cantikmu akan menjadi miliku cah ayu.” Nenek tua bergumam dan diakhiri seringaian menyeramkan.
Diambilnya baki dari tangan ibu panti, bunga yang biasanya untuk ditabur pada tanah kuburan, namun saat ini dia taburkan pada gadis di hadapannya. Mulutnya komat kamit merapalkan mantra sembari menaburkan bunga. Lalu dia berbalik, meraih baki lainnya dari samping meja. Mengambil pisau berukuran kecil, sekilas nampak seperti pisau dapur, namun tidak tumpul. Bahkan ketika mata pisau itu menyentuh kulit telunjuk keriput dari nenek tua, langsung mengeluarkan darah.
Nenek tua berbalik kembali, senyuman terukir di wajah yang hampir tak terlihat tersenyum karena area kulit wajahnya yang sudah sangat mengendur. Baru satu langkah ia mendekat ke arah gadis itu, tiba-tiba pisaunya terjatuh ketika suara gerbrakan pintu mengalihkan pandangannya.
Tidak hanya si nenek tua, namun Ibu panti ikut terbelalak melihat sosok yang berdiri di ambang pintu. Bagaimana tidak, Anak laki-laki kesayangan Bunda telah kembali, bahkan dia sangat kuat, mampu mendobrak pintu kamar dan mengganggu ritual mereka.
“Bhuvi sayang, Bunda senang sekali melihatmu kembali, sini kita lakukan ritual bersama.” Mata ibu panti berubah memerah, suaranya terdengar berbeda, ia mengambil pisau di lantai, melangkah mendekati Bhuvi, melayangkan pisau tersebut ke arah Bhuvi bermaksud menikam dadanya. Namun, hantaman keras dari potongan kayu lebih dulu mengenai tangan ibu panti lalu berlanjut hantaman keras mendarat di kepalanya, sontak membuat tubuh ibu panti amruk ke lantai.
“Jangan sentuh adek gue, setan!” teriak Mia.
“Bocah Tengik, berani sekali kamu bilang begitu, dia juga bukan manusia.” Si Nenek tua berbicara sembari menunduk dengan tangan menunjuk ke arah Jidan.
Mia masih memegang potongan kayu yang ia dapat dari halaman, badannya melangkah maju, menutupi tubuh Jidan. Melirik sedetik ke arah Aurora yang terbaring di meja.
“Jidan, kamu bangunin teteh Ara ya, biar kakak yang hajar ni nenek reot.”
Mia tak tahu siapa yang dia hadapi, tanpa ragu ia maju dan melayangkan pukulan dengan kayu yang dipeganggnya, namun sayang, kekuatannya tak sebanding dengan sosok jin yang merasuki tubuh si nenek tua. Hanya dengan sebelah tangannya, si nenek tua menangkap potongan kayu dan berbalik menyerang, mendorong Mia hingga terlempar ke dinding kamar.
Mia meringis, menahan rasa nyeri di punggungnya, ia mencoba bangkit, namun tak mampu. Nenek tua itu berjalan dengan tanpa ragu, badannya tegak, langkahnya bak model yang berlenggok di karpet merah, menginjak tubuh Mia hingga tulang rusuknya patah.
Dengan mudahnya si nenek melewati Mia, ia mencengkram leher Jidan. Mia tak kuasa menahan air rasa sakitnya, ia menangis, melempar apapun yang bisa ia raih di lantai, bahkan lilin terjatuh, apinya menyambar kain di sekitar meja. Asap mulai mengepul, Aurora pun terbangun, ia melihat Mia berusaha bangkit dan berjalan untuk menghentikan si nenek tua yang mencengkram leher Jidan hingga tubuhnya terangkat.
Aurora melihat sekeliling, ia meraih golok yang berada di dindig, membuang sarungnya, berjalan dengan sempoyongan.
“Allahuakbar!”
Aurora menebas kaki si nenek tua, lalu menebas hingga putus tangan kirinya yang mencengkram leher jidan, Aurora pun menendang si nenek tua hingga tersungkur. Lalu ia segera melepaskan tangan itu dar leher jidan, melemparkannya jauh-jauh.
Si nenek tua menjerit tidak terima dengan kekalahannya, sementara sosok yang merasukinya tersenyum melihat kejadian penuh derama tebas menebas yang berakhir banyak air mata juga darah menggenang di kamar ritual tersebut. Begitupun sosok Bhuvi telah keluar dari tubuh Jidan, ia berada di samping Bunda dengan leher dirantai bak anjing peliharaan.
Sementara itu, Mata Jidan terpejam, ia masih bernapas, tetapi nadinya lemah. Aurora meletakan jidan di punggungnya dibantu oleh Mia, mereka membawa jidan keluar dari rumah panti. Dengan terseok-seok menuruni tangga teras rumah hingga keluar dari gerbang rumah panti.
Aurora membuka pintu belakang mobilnya, meletakan Jidan di kursi penumpang, diikuti Mia masuk, duduk di kursi penumpang depan. Dan Aurora duduk di kursi kemudi. Dia menyalakan mesin mobil, namun sebelum melaju pergi, ia mengambil obat asma miliknya, menyemprotkan ke mulutnya, bernapas, melirik ke pintu gerbang panti yang terbuka, melihat Sosok bunda dan Bhuvi serta puluhan anak kecil berdiri di sana, kepulan asap muncul dari atap karena api semakin besar membakar kamar ritual, juga matahari yang mulai terbit. Samar-samar sosok mereka menghilang, ia pun menatap lurus jalanan di depan, melajukan mobilnya menuju rumah sakit terdekat.
***
“Aku dan mereka adalah Tumbal sinar Bunda, jika kamu masih selamat setelah hari ini, jadilah saksi dan selamatkan orang yang masih bisa kamu selamatkan.”
Jidan membuka matanya, detak jantungnya berdegup kencang, beberapa saat kepalanya terasa nyeri, terngingan kata kata yang dikatakan Bhuvi pada malam itu. Namun tak lama, jidan tersadar, malam itu telah berlalu, ia menceritakan apa yang dialaminya selama di panti, begitupun sebaliknya dia juga mendengarkan cerita yang dialami Mia juga Aurora sehingga mereka bisa sampai ke panti tersebut hingga ikut serta terlibat dan menyelamatkan Jidan.
Ketika itu Aurora sudah sembuh dari sakitnya dan dia sengaja menjemput Jidan ke Panti seorang diri karena Mia tak dapat dihubungi, begitupun nomor telpon panti asuhan juga tidak bisa dihubungi, namun selalu ada telpon yang menghubunginya di setiap malam dan memintanya untuk datang ke panti tersebut. Naas di saat kedatangannya ke panti, itu adalah hari dimana ritual penumbalan terjadi. Aurora melihat mayat dua anak laki-laki itu, sialnya Aurora pun ketahuan, tentunya ibu panti dan nenek tua tidak ingin praktekk ritualnya yang sudah puluhan tahun terbongkar, mereka pun menangkap Aurora.
Bukan hal sulit untuk menangkap Aurora bagi mereka, karena sosok Bunda ada di sana, dengan satu tiupan ke wajah Aurora, dia langsuh jatuh tak sadarkan diri.
Di sisi lain, pada saat yang bersamaan Mia tersadar akan surat yang dia tanda tangani adalah perjanjian salah, karena disana tertera bahwa ketika anak-anak yang dititipkan di sana bebas dan menjadi hak milik Bunda, dalam artian memperbolehkan untuk menjadi tumbal selanjutnya.
Setelah mengantar Jidan Mia jatuh sakit, di setiap malam ia diteror mimpi buruk sampa orang tuanya merukiah Mia. Mia selalu bermimpi kembali ke panti mengantarkan anak-anak untuk di titipkan kesana, namun ia tidak mengingat bahwa pernah menitipkan Jidan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top