9. Memutar Kenyataan
"Jangan pernah datang lagi!" ancam Aqila penuh emosi.
"Apa salahku?"
"Masih tanya apa salahmu?"
Aqila berjalan menjauh dari Fredi yang otomatis membuat Fredi mengejarnya. Dia tidak paham dengan apa yang Aqila maksud, begitu saja meninggalkannya tanpa memberikan pemahaman. Cukup cepat Aqila berjalan membuat Fredi dibuat ngos-ngosan mengejarnya.
"Ini prank, ya, Qil?" tanya Fredi dengan wajah polosnya.
Aqila melipat lengan kemejanya. "Kamu pikir nyerempet orang itu prank?"
Fredi semakin dibuat bingung, wajahnya seperti kucing yang baru kehilangan tikus buruannya, terlihat kuyu dan lesu. "Jadi hanya gara-gara nyerempet orang, kamu begini?"
Seketika Aqila menghentikan langkahnya. "Enteng banget ngomong 'hanya gara-gara nyerempet orang' asal kamu tahu, ya, dari hal ini aku bisa melihat bagaimana tanggung jawabmu atas suatu hal."
"Qil, aku bisa jelasin," pinta Fredi hampir meraih tangan Aqila.
"Yang kamu serempet cowok berseragam sekolahku, memakai tas ransel merah, juga memakai kardigan coklat yang dia ikat di pinggangnya?" tanya Aqila mempertegas.
Fredi menganggukkan kepala tanpa berucap.
Aqila membelalakkan kedua matanya. "Jangan pernah menampakan diri di depanku lagi!" perintah Aqila berlari menjauh dari Fredi. "Aku janji ini terakhir kali berhubungan denganmu lagi, Fredi!"
"Qil, aku bisa jelasin!" teriak Fredi tak terima dengan perlakuan calon pacarnya itu. "Brengsek!" teriaknya menggelegar saat Aqila tak menggubrisnya.
Aqila tak tahu harus berbahagia atau bersedih setelah mengetahui sedikit hal tentang Fredi. Hatinya tak terima, tetapi tingkah Fredi benar-benar membuat dirinya semakin sadar jika cowok yang akan menjadi kekasihnya bukanlah orang yang dapat dipegang kejujurannya. Tanggung jawabnya nol besar, bahkan terkesan dia menyelakai seseorang yang tanpa dia kenal hanya demi janji temu dengan seseorang. Picik rasanya jika Aqila mengingat kejadian Ale terserempet dan itu gara-gara Fredi yang ingin menemuinya, secara tidak langsung, Aqilalah penyebabnya.
"Jadi kecelakaan ini yang dimaksud lelaki plontos itu, Fredilah penyebab Ale celaka," gumam Aqila sembari berjalan dengan penuh kekecewaan, "Satu per satu rahasia mulai terungkap, semakin ke sini misiku semakin dekat."
***
"Qil, aku minta maaf, ya," sesal Sava sambil memberikan teh kotak lass sugar.
Aqila menerima teh kotak itu lalu menusukan sedotan pada tempatnya. "Apa sih Sav, itu bukan salahmu."
"Fredi itu temanku, sayangnya aku enggak paham jika perilakunya buruk."
"Sudahlah lupakan," ucap Aqila menampilkan senyum tiga jarinya untuk menghibur Sava agar tidak terlarut dalam penyesalan. "Emang nggak ada stok cowok lain apa?"
Sava menempelkan jaketnya ke jaket sahabatnya. "Secepat itu move on?" tanya Sava tak percaya.
"Lebih cepat lebih baik," sahut Aqila sambil menyedot teh lass sugar miliknya.
Minggu pagi rutinitas seperti biasanya, car free day bersama Ale yang masin nyebelin. Benar saja kali ini Ale pergi bersama Brenda, pacar barunya. Perhatian Ale tersita hanya untuk Brenda. Semua-semua hanya untuk Brenda.
"Aku ngajak Brenda nggak apa-apakan, Ay?"
"Bebas kok, ini aku juga ngajak Sava," menarik lengan baju Sava untuk lebih dekat dengannya.
"Hai, Le!" sapa Sava renyah.
"Hai, Sav!" Ale membalasnya dengan senyum manisnya. "Oke kalau gitu, aku jalan duluan, ya!"
"Bye!" Brenda ikut pamit memasang wajah ramah.
Aqila dan Sava tidak benar-benar menjauh dari sepasang kekasih yang berlagak sok romantis itu. Mengintai agak dekat Aqila mulai muak melihat Brenda yang banyak maunya. Delapan belas tahun kurang sepuluh hari Aqila hidup, dia tidak pernah semanja itu dengan kedua orang tuanya maupun dengan sahabatnya. Rasanya perutnya mual, tapi tak ingin muntah.
"Le, kamu capek nggak?"
"Capek, tapi ini biar sehat."
"Tenggorokanku kering, Le," kata Brenda menyentuh tenggorokannya.
"Kalau begitu kamu mau minum apa, Bren?"
"Terserah, apa yang kamu beli pasti aku minum, Le."
"Kalau kopi panas?"
"Jangan kopi panas, bibir aku bisa rusak dan pecah-pecah, di kamera nggak bagus," ucap Brenda manja sambil memamerkan bibirnya.
"Terus apa, Bren?"
"Coklat hangat?" tanya Brenda meyakinkan.
"Biar cinta ini selalu hangat," sahut Ale cepat.
Brenda mengedipkan satu mata sambil mengangkat jempol tangan kanannya.
Aqila bersama Sava hanya mampu melihat tanpa bisa berbuat banyak. Rasanya ingin menjambak rambut pekat Brenda yang menjadikannya semakin cantik nan anggun. Aqila semakin muak dari pada dia muntah lebih baik segera menyeret Sava untuk menjauh dari pemandangan yang dapat merusak matanya.
"Mau minum aja ribet banget sih, tuh, orang, rasanya pengen nyiram pakai kopi panas seperti kejadian nggak sengaja waktu itu."
"Jangan kopi panas juga kali," Sava melirik ke arah Ale dan Brenda. "Ubun-ubunnya bisa meleleh, Qil."
Aqila tertawa kecil melihat ekspresi Sava yang sedikit jijik melihat kedekatan Ale dan Brenda. "Oh, iya, si cowok yang mau kamu kenalin ke aku kapan datangnya?" tanya Aqila menyerbu.
Sava melihat jam tangan di pergelangan tangan kirinya. "Lima menit lagi," jawabnya mantap.
Sambil menunggu mangsa selanjutnya, Aqila mengisi perut dengan menikmati soto ayam kampung, nikmat dan menggugah selera ditambah telur bebek dan koya serta krupuk udang, rasanya lezat luar biasa. Semangkuk habis hanya dalam hitungan menit. Hal itu wajar sebab energi Aqila dan Sava terkuras menyaksikan kedekatan Ale dan Brenda yang benar-benar membuat dada menjadi panas.
Seorang cowok mengenakan kaos hitam polos dengan Jogger pant kasual coklat datang menghampiri Sava yang sedang asyik menghabiskan kerupuk udangnya. Wajahnya yang rupawan mengalihkan dunia orang-orang yang asyik menikmati soto ayam kampung di area itu. Keringat yang jatuh dari pelipisnya menambah kegantengannya, rambutnya yang tertutup topi hitam membuatnya semakin tampan paripurna. Tanpa rasa risih, dia segera menyapa Sava yang masih asyik dengan krupuk udangnya.
"Sava!"
Sava segera mencari sumber suara itu. "Halo," meletakan krupuk udang di mangkuk bekas sotonya. "Qil, dia sudah datang," menarik kaos kuning sahabatnya.
Aqila membalikan tubuhnya, melihat sosok yang luar biasa, semacam bercahaya seperti malaikat. "Siapa, Sav?" tanya Aqila dengan mata kagumnya.
"Boleh aku duduk?" pintanya tersenyum tipis.
Aqila segera menyeret satu kursi plastik berkaki empat di sampingnya. "Silakan," ucapnya sedikit gemetar.
"Ini yang mau aku kenalin ke kamu, Qil."
Aqila tersenyum malu, wajahnya memerah seperti udang rebus. "Keren banget, namanya siapa?"
"Marvel," mengulurkan tangan untuk bersalaman.
Aqila segera meraih tangan itu. "Panggil aja Aqila."
"Sudah lama, ya, kalian nunggunya?"
"Nggak lama Vel," sahut Sava santai.
Marvel membenarkan posisi kursi plastiknya. "Kitakan satu sekolah, kenapa nggak pernah lihat, ya?" Marvel mencoba membuka percakapan.
Aqila cukup kaget mendengarkan pertanyaan dari Marvel, "Oh, iya?"
"Ke mana aja sih, Qil? Marvel ini XI MIPA-6," Sava ikut menambahi.
"Berarti dekatnya kelas Ale dong," ucap Aqila mencari titik terang.
"Kok kamu tahu Ale, yang pacarnya Brenda itukan?"
"Yapz, dia XI MIPA-5 dan Ale itu sahabatku."
Marvel dibuat kaget mendengarkan pengakuan dari Aqila yang mengaku sebagai sahabat Ale. Dirasa dunia ini begitu sempit, semua dapat terhubung dengan mudah dan cepat. Aqila cukup senang dapat berkenalan dengan Marvel yang humble nan keren. Kali pertama perjumpaan, Aqila dapat merasakan ada sesuatu yang berbeda dari Marvel. Semoga saja Marvel tak seperti Fredi yang ngasal dan tidak memiliki tanggung jawab.
***
Kring! Kring! Kring!
Beker pizza telah berteriak sejak beberapa detik yang lalu, dengan mata tertutup Aqila mencari sumber suara itu. Mengucek-ucek mata dengan punggung tangan kirinya akhirnya dia dapat mengambil beker pizza yang terus menjerit. Sedetik setelah mematikan alarm, seketika itu pula mata dan mulutnya terbuka lebar. "Astaga!" Teriak Aqila melompat dari tempat tidurnya berhambur ke kamar mandi yang jaraknya hanya beberapa langkah dengan penuh kepanikan.
"Bekermu nggak nyala, kok bangunnya telat?" tanya Mama Renata sambil menyiapkan sarapan. "Ale sudah berangkat dari tadi, lo."
"Ya, udah Ma, aku sarapan di mobil aja," mengambil sepotong roti dan apel merah.
"Ets, lha mobilnya udah berangkat nganter papamu dan Ale."
"Ih, nyebelin banget," gerutu Aqila meletakan sepotong roti dan apelnya. "Aku naik ojol aja, Ma," ucap Aqila sambil bersalaman dengan Renata lalu memesan ojek online di aplikasi smart phone miliknya.
"Hati-hati, ya!" seru mama Renata memberikan semangat.
***
Aqila turun dari ojol dengan terburu-buru lantaran dia terlambat.
"Mbak, helmnya!" teriak abang ojek online membuat Aqila memutar arah.
"Nempel nih, sulit amat," ucap Aqila menarik kasar helm yang menyangkut di kepalanya.
Aqila memberikan helm yang telah terlepas dari kepalanya. Berlari sekuat tenaga untuk menjangkau pintu gerbang utama yang pastinya telah dikunci rapat. Aqila memutar otak, berlari menuju pintu rahasia di samping musala. Keringat bercucur deras tak membuat Aqila patah semangat, dia segera berlari untuk masuk kelas sekalipun dia sudah terlambat. Untungnya tidak bertemu guru BK membuatnya bisa bernapas lega lantaran bisa terhindar dari hukuman.
Melihat dari luar jendela ruang kelas, Aqila cukup tenang lantaran guru geografi belum mengajar. Aqila masuk kelas seperti maling yang sedang dikejar hansip dengan napas yang tersengal-sengal, duduk di bangku dengan wajah panik.
"Telat lagi ya, Qil?"
Aqila tak menggubris, dia ingat benar ada PR geografi yang belum dia kerjakan. "Sav, PR geografi udah selesai belum?"
Sava segera memberikan buku PR geografinya. "Ini, aku sudah selesai."
Kepanikan Aqila bertambah ketika tangannya yang dia masukan tas tidak kunjung mendapatkan buku yang dia cari. "Kok nggak ada buku?" Aqila segera mengangkat tasnya dan menuangkan isinya, muntahlah semua make up berceceran di meja dan lantai.
Bu Meli selaku guru geografi yang baru memasuki ruangan dan melihat tingkah Aqila segera menghampirinya. "Qil, apa yang kamu lakukan?"
Aqila kalut, memasang wajah sendu, segala alasan yang Aqila sampaikan sulit untuk diterima nalar. "Maaf Bu, saya tidak membawa buku pelajaran, tas ini isinya hanya make up," ucap Aqila gemetar.
"Pungut semua make up milikmu dan keluar kelas, tunggu hingga pelajaran usai!" Perintah Bu Meli membuat Aqila keder.
Seisi kelas menahan tawa dengan terdiam bagai patung selamat datang di depan gerbang sekolah melihat ekspresi wajah Bu Meli yang menakutkan, beliau berjalan ke tempat duduknya tanpa senyum menghiasi wajah keriputnya. Rasanya kelas sepi seperti tidak berpenghuni, gara-gara Aqila semua takut akan kemurkaan Bu Meli yang terkenal sadis. Hanya Savalah yang tenang membantu Aqila membersihkan make up dan beberapa uang receh yang ikut tertumpahkan.
Tak ada kata terucap, Aqila keluar kelas dengan ketakutan. Hal yang tidak pernah terjadi pada diri Aqila sebelumnya. Bahkan, dulu dia anak yang rajin, ini berbanding terbalik dengan kepribadiannya di masa lalu.
Dari balik jendela kelas XI MIPA-8 Brenda melihat Aqila tertunduk malu duduk di tepi lapangan basket di depan kelasnya. Hati Brenda tertawa puas bisa melihat Aqila semenderita itu dengan wajah lesu tanpa semangat. Tidak ingin melewatkan kesempatan, Brenda beberapa kali memotret Aqila untuk diabadikan dalam ponselnya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top