8. Kepalsuan Hati
"Tanya hatimu, di situ jawabannya," ucap Ale sambil memejamkan mata untuk memberikan kesempatan Brenda berpikir sejenak.
Cukup lama Brenda mempertimbangkan dengan berbagai hal yang nantinya bisa terjadi setelah keputusan besar ini. Jangan sampai salah pilih, jangan sampai ada penyesalan kemudian hari hanya karena keputusan mendadak.
Pintu perpustakaan terbuka, seorang gadis dengan rambut terurai sebahu keluar dan tak sengaja mendorong tubuh Brenda. "Maaf, ya," pinta gadis itu terburu-buru.
"Ya," sahut Brenda cepat.
Ale membuka mata. "Jadi kamu terima aku?"
Ale melonjak-lonjak kegirangan tak menyangka Brenda memberikan jawaban yang sangat dia nantikan. Lebih dari apapun Ale sangat bahagia. Namun, wajah Brenda terlihat memucat bukan itu yang ingin dia sampaikan, semuanya terlambat.
"Le, maksud aku," kalimat Brenda terhenti secara paksa.
"Maksud kamu, kamu bahagiakan kita sudah pacaran sekarang, kamu yang terbaik!"
Ale tak hentinya berteriak, meluapkan segala rasa bahagia dalam dirinya. Hari-hari ke depan pastinya akan lebih sempurna setelah Brenda melengkapinya. Dia ingin segera mengabarkan berita bahagia ini pada Aqila, adiknya yang beberapa waktu lalu memberinya semangat untuk mengungkapkan isi hatinya pada Brenda.
Terlihat jelas wajah bingung Brenda yang bisa ditebak siapa saja yang melihatnya, kecuali Ale yang sedang dimabuk asmara. Brenda ingin mengatakan jika semuanya hanya salah paham, tetapi melihat Ale yang terlampaui bahagia membuat Brenda tak tega. Terlebih jika Ale marah atau kecewa padanya, dipastikan semua tugas-tugasnya akan terbengkalai dan dia akan kembali dipusingkan oleh berbagai omelan guru. Jadi, menjadi pacar Ale bukan sebuah kesalahan besar untuknya.
"Le, aku mau masuk kelas dulu ya?"
"Boleh aku antar?"
"Nggak usah, Le, nanti pulang sekolah saja temani aku pemotretan sambil bantu aku ngerjain tugas kimia," ujar Brenda memasang senyum tipis.
"Beres!"
***
Aqila juga mulai dekat dengan Fredi, terbukti beberapa kali mereka keluar bersama. Ada banyak yang Aqila suka dari Fredi, mulai dari sikap Fredi yang sopan, baik, sabar, juga pintar di beberapa mata pelajaran. Hal itu menjadi poin plus untuk Aqila, terlepas dari misinya kembali ke masa lalu untuk membuat Ale tidak menyukainya dan menyelamatkan hidupnya.
"Jadi, kamu pernah ikut olimpiade fisika?" tanya Aya dengan wajah kagumnya.
"Iya, satu tim ada tiga anak."
"Menang nggak?"
"Masuk lima besar saja, sih, tapi itu pengalaman sangat berharga."
Aqila mengangguk puas sambil terus memasang senyum di wajahnya.
Semua berjalan sangat cepat, waktu terus berputar hubungan Aqila dan Fredi semakin dekat. Kebaikan-kebaikan Fredi membuat hati Aqila tersentuh. Tetapi, belum tampak Fredi memberikan isyarat untuk segera mengungkapkan isi hatinya kepada Aqila. Di sisi lain Aqila tanpa putus asa memberikan banyak sinyal positif agar Fredi segera bertindak untuk mengeksekusi hati yang menunggu.
Ale semakin intens untuk menemani Brenda dalam sesi pemotretan. Membawa banyak tumpukan buku, Ale tetap sabar membuka satu per satu buku-buku tersebut sebagai referensi dalam mengerjakan tugas miliknya juga milik Brenda. Dibantu Google, Ale semakin semangat untuk menyelesaikan tugas-tugas itu sebelum Brenda selesai pemotretan. Tak lupa sebagai ODE, Ale taat meminum obat agar penyakitnya tidak kambuh di depan Brenda, jika hal itu terjadi mungkin Brenda akan menjauhinya untuk selamanya.
"Thanks, ya, Le," kata Brenda sambil duduk di samping Ale yang merapikan buku-buku untuk dimasukan dalam tas.
"Kita itu pacar jadi harus saling mendukung dan membantu," balas Ale dengan wajah lelahnya.
"Untung, ya, aku punya kamu yang pengertian dan pintar," puji Brenda sambil memeluk Ale sebagai tanda terima kasihnya.
Ale bahagia mendapatkan perlakuan dari Brenda sebagai kekasihnya. Lelah menurutnya tak jadi masalah, yang terpenting Brenda dapat bahagia. Apapun akan Ale lakukan demi melihat Brenda tersenyum tanpa beban tugas yang mencekiknya.
***
"Jujur aja kalau cemburu," goda Ale memberikan secangkir coklat hangat.
"Idih, nggak kali, ya, Brenda juga nggak cantik-cantik banget."
"Tapi, dia model," sela Ale sambil duduk di samping Aqila.
Aqila menyeruput coklat hangat buatan sahabatnya. "Baru jadi model majalah biasa aja sudah sombong banget."
"Biarin, yang penting model!" seru Ale tertawa puas melihat ekspresi Aqila yang terlihat kecewa. "Oh, iya, gimana tuh dengan Fredimu?"
Aqila melirik sekitar lalu meletakan secangkir coklat hangat di atas meja bundar. "Kita semakin dekat terus bentar lagi mau pacaran."
"What? jadi belum pacaran, Qil?"
"Ini menuju pacaran," ujar Aqila penuh kebanggaan. "Fredi itu yang terbaik untukku."
"Idih ini anak kenapa sih percaya dirinya kebangetan."
Ale ikut meletakan secangkir coklat hangat di atas meja bundar lalu bersiap-siap menggelitik pinggang Aqila. Gadis itu hafal dengan situasi segera mengamankan diri, bangkit dari tempatnya sofa bean bag untuk mencari tempat persembunyian. Namun, tangan panjang Ale mampu menjangkau tubuh Aqila, menariknya, menggelitiknya tanpa henti. Wajah Aqila memerah, perutnya kaku semacam kram, tapi tidak terlalu sakit, tubuh mungilnya semakin tenggelam dalam busa sofa bean bag.
"Tolong! Le, lepaskan!" teriaknya menggelegar.
"Tidak ada kata ampun untukmu!" seru Ale terus melancarkan serangan.
Tidak ada niatan Aqila untuk membalasnya. Aqila sangat ingat masa lalu, delapan tahun silam ketika membalas kelitikan itu mengakibatkan Ale masuk UGD dan semua orang menyalahkannya. Tak ingin hal serupa terjadi lagi, dia hanya pasrah dalam balutan kegembiraan melihat Ale tertawa lepas.
***
Hari yang dinanti tiba, Fredi dibantu Sava telah merencanakan sesuatu yang luar biasa untuk dapat selalu dikenang oleh Aqila. Semua didominasi warna kuning, kesukaan Aqila. Ada kue bolu coklat bertabur krim pisang, jus nanas, juga beberapa camilan kripik kesukaan Aqila.
"Ada acara apa sih, Fred?" tanya Aqila yang mulai tak sabar.
"Sejak perjumpaan pertama kita, aku yakin kamu itu dikirim untukku."
"Lantas?" Aqila terus memburu.
"Ingat nggak kali pertama kita berjumpa?"
"Panas, gerah, dan lama banget nunggu kamu," jawab Aqila penuh percaya diri.
"Benar, tetapi ada satu lagi," sahut Fredi cepat.
Aqila mulai tak sabar. "Apa?"
"Saking takutnya terlambat ketemu kamu, aku sampai nyerempet orang lo."
"Nyerempet?" ingatan Aqila mencari memori beberapa waktu lalu, dia meyakini ada sesuatu yang tidak beres. "Sialan!" teriaknya menampar pipi Fredi tanpa rasa takut.
Reflek Fredi memegangi pipinya yang terkena tamparan dari gadis yang disukainya. "Maksudnya apa, Qil?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top