6. Janji Aqila
Ale mencari kotak obat kecilnya di dalam tas, tetapi sekian lama mencari tak kunjung dia dapatkan. Pandangannya mulai kabur tidak bisa melihat sekitar dengan jelas. Tubuhnya juga terasa kaku, Ale mulai dihantui rasa takut jika saja penyakitnya kambuh pasti orang-orang akan melihatnya jijik dan meninggalkannya begitu saja.
Brak ....
Sebuah motor dengan kecepatan tinggi sukses menyerempet Ale hingga tersungkur ke aspal. Tanpa rasa bersalah, si pengendara pergi tanpa bagai tertelan bumi.
***
"Mama tidak perlu mengulangi lagi, kamu tahu benar bagaimana kondisi Ale. Kenapa kamu tak acuh?"
"Aqila minta maaf Ma, Qila janji akan selalu ada di samping Ale dan Qila enggak akan membiarkan hal seperti ini terjadi lagi," pinta Aqila sambil menangis.
Mama Renata tidak bergeming. Masih teringat jelas bagaimana janji Renata kepada almarhum mama Ale jika akan menjaga anaknya dengan baik seperti anaknya sendiri. Nyatanya sekarang Ale celaka gara-gara Aqila, hal ini membuat Renata gelap mata seakan tidak lagi melihat Aqila sebagai sang putri lantaran janjinya dan kondisi Ale yang tidak sama seperti remaja pada umumnya.
Aqila bingung dengan kembali ke masa lalu ternyata tidak bisa mencegah Ale tidak celaka. Buktinya dia malah kecelakaan, padahal di masa lalu tidak ada adegan buruk ini. Pikiran Aqila menjadi tak karuan, dia takut tidak bisa menyelesaikan misi dan tumbal berbalik kembali kepada Ale, mengakibatkan pergi dengan lebih cepat.
"Ma, ini semua musibah bukan salah Ale maupun Aqila. Tidak ada yang ingin mengalami kejadian buruk seperti ini."
"Kalau Aqila tidak pergi semaunya dan selalu bersama Ale, ini memang nggak akan terjadi, Pa."
Aqila mencoba memahami keadaan. Menahan emosi merupakan cara paling aman untuk meredam amarah sang mama. Jika ditelisik ini murni kecelakan, tetapi salahnya Aqila tidak bersama Ale. Seandainya tidak ada janji bertemu dengan Fredi pasti perkara ini tidak terjadi dan semua akan baik-baik saja.
"Maaf, keluarga dari Ale?" tanya seorang dokter keluar dari ruang UGD.
Mama Renata cepat-cepat menghampirinya. "Iya, kami keluarganya, bagaimana kondisinya?"
Aqila hanya mampu berdoa semoga kondisi Ale tidak begitu mengkhawatirkan.
"Kondisinya sudah mulai stabil setelah ini akan kami pindahkan ke kamar rawat," jelas dokter yang memiliki beberapa uban di rambutnya. "Terlebih tidak ada luka serius, tetapi karena kondisinya sebagai ODE, kita berusaha memberikan penanganan terbaik."
"Terima kasih, Dok."
"Iya Nyonya, saya permisi dulu."
Kesedihan terhapus senyum tipis yang terhias manis di bibir Renata. Ale, lelaki muda kesayangannya bisa melalui masa kritis dengan cepat. Berjalan ke arah suami dan putrinya, Renata mencoba berdamai dengan hatinya. Mungkin memaafkan kesalahpahamannya dengan sang putri akan menjadikan hatinya lebih tenang.
Renata menyentuh pipi kanan putrinya, Aqila segera memejamkan mata. Takut adegan beberapa menit lalu terulang kembali.
"Sakit, ya?"
Aqila menggeleng.
"Maafkan mama, ya, Mama panik, Mama takut terjadi sesuatu yang buruk pada Ale. Mama takut tidak bisa menepati janji pada almarhum mama Ale."
"Bagaimana denganku?" tanya Aqila lirih.
"Kamu segalanya untuk Mama, tapi kamu lebih kuat dari Ale, tidak ada alasan untuk Mama khawatir padamu."
Tanpa diundang air mata itu menetes membasahi pipi memar Aqila. Hatinya harus sekuat baja karena telah memutuskan kembali ke masa lalu, berarti mau mengambil risiko yang terjadi mungkin tidak sesuai ekspektasinya. Jika ingin melihat Ale dan orang di sekitarnya dapat tersenyum bahagia.
"Papa urus administrasi dulu, ya," ucap Iwan sambil menyentuh pundak Aqila.
"Iya, Pa, Mama temani Ale di kamar rawatnya dulu, ya, kalau Ale sadar biar nggak kesepian."
"Aku ikut, Pa!" Aqila berjalan mengikuti papanya pergi.
***
Suasana sekolah seperti biasanya riuh banyak siswa dengan berbagai tingkah polahnya. Aqila bersama Sava berjalan cepat mencari Brenda. Ada sesuatu yang ingin Aqila sampaikan, ini sangat penting untuk kehidupan Ale di masa depan. Mengumpulkan niat dan mental, Aqila datang ke kelas Brenda.
"Hai, Brenda!" sapa Aqila ramah.
Seluruh siswa dalam kelas menatap tajam ke arah Aqila. Seakan pandangannya penuh dengan selidik. Aqila yang memasang wajah tegas tidak gentar melihat tatapan sinis mereka.
"Ngapain ke sini?" tanpa basa-basi Brenda melontarkan pertanyaan.
"Aku mau ngomong sesuatu."
Brenda yang duduk di bangku mulai was-was, mengingat kejadian penyiraman es teh di kantin waktu itu. "Apa?"
"Aku minta maaf, ya, atas segala kesalahpahaman selama ini, oh, iya, tolong terus bersama Ale, dia suka kamu. Jangan buat dia kecewa."
"Apa-apaan sih?"
"Aku cuma minta maaf, terserah dimaafin atau tidak," ucap Aqila mengambil langkah untuk pergi dari kelas Brenda. "Terpenting niatku untuk meminta maaf telah tersampaikan."
Aqila berlalu meminggalkan kelas Brenda, diikuti Sava yang mengekor dari belakang. Beban dalam hati Aqila terasa berkurang, tetapi ada satu lagi yang menganjal di hatinya. Ale. Aqila takut jika Ale membencinya yang akan membuat misi kembali ke masa lalunya sia-sia belaka.
"Pasti kemarin Mama marah dengan Aqila, ya?" tanya Ale membuka percakapan.
"Nggak, Mama nggak marah kok, hanya kecewa kenapa Aqila nggak bersama Ale."
"Ale ingin mandiri tanpa Aqila."
"Aqila ada untuk menjadi teman Ale lo, jadi jangan sampai Ale berpikir untuk melakukan semuanya sendiri."
"Aqila juga punya kehidupan yang lain."
"Iya, kita semua punya kehidupan yang lain, tetapi selama masih bisa bersama kenapa harus sendiri?"
Obrolan Renata dan Ale terasa hangat dibalut kasih sayang saling melengkapi. Ruang putih menjadi saksi bisu cinta Renata terhadap Ale. Sesekali Renata memeluk anak sahabatnya yang terlihat lebih sehat dari awal masuk rumah sakit walau selang infus masih tertancap di pergelangan tangan kiri Ale.
Dari balik jendela Aqila merekam semuanya, tersenyum masam mengingat tamparan kemarin yang sampai hari ini nyerinya masih terasa. Namun, jika itu bisa membuat Renata tersenyum apa pun akan Aqila lakukan. Dia terlihat sangat kuat bagaikan karang laut, sayangnya tidak ada yang tahu hatinya rapuh serapuh sayap kupu-kupu musim semi.
Iwan menepuk pundak Aqila. "Kok nggak masuk, Qil?"
Aqila kaget berusaha memasang senyum manis. "Iya Pa, ini mau masuk."
"Ayo!" Iwan membuka pintu kamar rawat. "Selamat siang Ale."
"Om Iwan," sahut Ale antusias.
"Hai, Ale," sapa Aqila keluar dari balik punggung papanya.
"Qil, kemana aja? Kok nggak jengguk-jengguk sih," ucap Ale mengerutu.
"Jangan salah ini, aku bawakan bolu coklat kesukaanku," goda Aqila berjalan menuju ranjang Ale.
"Kok kesukaanmu, sih?"
"Iya dong, biar aku yang lebih banyak makannya," jawab Aqila sambil membuka bolu coklat yang dia bawa.
"Idih kedoknya bawa buah tangan, tapi aslinya pengen makan sendiri."
"Ale pintar banget sih, tahu aja yang Aqila pikirkan."
Renata tersenyum melihat kedua remaja itu akur dan saling melempar candaan. Tidak ada kesedihan terlintas, bahkan berharap ini kali terakhir mereka mengunjungi rumah sakit. Ale dan Aqila harta yang tidak bisa ditukar dengan apapun, tetapi Ale adalah harta yang istimewa di mata Renata, harus dijaga dan dirawat dengan baik.
***
"Waktu itu semakin dekat, Ma."
"Teruslah bersikap wajar, selama tidak ada yang mengetahui, kita aman," jawaban yang mencoba menenangkan kerisauan suaminya.
"Tapi,"
"Jangan ada tapi, optimis semua akan baik-baik saja walau kita tidak tahu waktu berpihak kepada siapa."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top