5. Misi Aqila
"Ale, kamu kok pucat?" tanya Pak Cahyo melihat wajah Ale.
"Hanya kelelahan Pak," sahut Ale lesu.
Pak Cahyo tak percaya begitu saja, segera dia menempelkan punggung telapak tangan kananya ke dahi Ale. Hanya beberapa detik, punggung tangan itu mampu merasakan suhu tubuh yang cukup tinggi. Tak ingin terjadi masalah guru olah raga mempersilakan Bayu untuk tidak mengikuti pelajarannya dan pergi ke UKS.
"Ale, kamu ke UKS saja, ya, istirahat di sana, kondisi kamu tidak memungkinkan untuk mengikuti pelajaran olah raga Bapak," pinta Pak Cahyo menepuk pelan punggung Ale.
Ale tak bisa berkilah, wajahnya tidak bisa berbohong. Terlihat jelas wajah pucatnya yang membuat siapa saja yang melihatnya akan bersimpati padanya. Tak ingin menambah masalah untuk dirinya, Ale menyetujui saja anjuran dari guru olah raganya.
"Iya, Pak, saya ke UKS saja."
Ale meninggalkan lapanagan voli, berjalan gontai menuju UKS. Langkahnya tak pasti, gemetar di sana-sini. Kepalanya mulai berat, berat sekali hingga tangannya mencari pertolongan, meraih apa yang mampu dia raih. Namun, tubuhnya mulai tak mampu diajak kompromi, hampir terjatuh hingga dua tangan tegap dengan cepat meraih tubuh itu.
"Ale, kamu nggak apa-apa?"
Bibirnya terasa sulit untuk dibuka, giginya mengunci, lidahnya kaku. Pandangannya tak jelas, siapa yang membantunya, hingga kedua matanya benar-benar terpejam. Gelap tak ada lagi cahaya, hanya riuh suara memanggil namanya. "Ale ... Ale ... Ale ....!"
"Aku di UKS, ya?" tanya Ale yang mulai tersadar.
"Iya, Ale, kamu sempat pingsan," kata Brenda sambil membenarkan selimut yang membalut Ale.
"Terima kasih Brenda, kamu nggak masuk kelas?"
"Buat apa aku masuk kelas jika pikiranku terus ada di sini."
Alasan dari Brenda yang setia menemani Ale saat tak sadarkan diri membuat Ale benar-benar merasa memiliki energi yang membuat tubuhnya lebih kuat bahkan panas di tubuhnya mendadak lenyap. Senyum Ale terus dia tampilkan untuk mendapatkan simpati dari Brenda.
"Sudah cantik, baik, penyayang lagi, enak, ya, yang jadi pacar kamu."
"Pacar?" Brenda tersenyum tipis. "Aku masih jomblo tahu."
"Yes, ini peluang besar, aku harus bisa menangin hatinya," gumam Ale penuh harap.
"Le, kok senyum-senyum sendiri sih?" tanya Brenda sambil menggoyang-goyang tubuh Ale.
"Sorry, nggak apa-apa kok."
"Ya, sudah, aku ke kelas dulu, bye ...."
Hampir meninggalkan ruang UKS, Brenda memutar arah. "Aku lupa, ada tugas sejarah, nanti aku kirim lewat chat, ya?"
"Dengan senang hati," sahut Ale mengembangkan senyumnya.
***
Sejak beberapa hari terakhir sikap Aqila ke Ale menjadi dingin. Tidak ada lagi canda tawa yang selalu Aqila tampilkan untuk Ale. Semua menjadi asing dan diam, tetapi kalau di rumah mereka berakting baik-baik saja seperti tidak terjadi sesuatu. Hal itu yang membuat Aqila tak mengetahui jika kondisi Ale melemah, bahkan pingsan hanya gara-gara terlalu lama terkena panas matahari. Sejujurnya hati Aqila tidak seutuhnya percaya Brenda karena di masa lalunya Brenda tidak sebaik masa sekarang.
Rencana Aqila dan Sava beberapa waktu lalu akan menemui titik temu yang memuaskan. Apa yang Aqila inginkan akan segera terbayar dengan cepat, mungkin jika Aqila dapat memuaskan hatinya, kekecewannya akan sedikit menghilang.
"Sav, kapan dia datang?"
"Sebentar lagi, sabar dong."
"Aku udah lumutan nih, bentar lagi mau jadi batu."
"Batu kali apa batu apung?" sahut Sava mengoda.
"Batu ginjal," ucap Aqila ketus.
"Sabar kali Qil, jangan marah, hitung-hitung di sini kita berjemur."
"Yang ada kita gosong Sava, ini jam satu siang bukan jam sembilan pagi yang kaya akan vitamin D, mending kalau dia enggak jadi datang kita pulang aja." Aqila mulai putus asa.
Sava mencoba mendinginkan suasana hati Aqila yang gampang panas dan termakan emosi. Sava memang sahabat sejati Aqila, terhitung sudah sepuluh tahun mereka bersahabat sejak kelas satu SD. Baik buruknya Aqila, Sava hafal benar, Aqila juga mengetahui semua tentang Sava tanpa terkecuali. Sava yang sabar, baik, polos, lembut cocok sesuai dengan Aqila yang ceria, tempramental, emsosional, dan tak sabaran.
Sava menarik napas panjang sambil memutar otak untuk membuat Aqila lebih sabar menunggu. Nyatanya Dewi Fortuna berpihak pada Sava, yang ditunggu telah datang dengan wajah merona, alis tebas, rambut ikal, tersenyum tanpa dosa.
"Hai, Sav!" sapanya turun dari motor.
Aqila nyeletuk, "Kamu nggak pakai helm?"
Cowok itu terlihat kebingungan. "Aku?"
"Iya, kamu, emang siapa lagi dong?"
"Udah, ya, Qil," mengedipkan mata ke arah Aqila. "Sekolahannya di belakang sekolah kita, nggak perlu pakai helm nggak ada polisi kok."
"Tapi Sav, kita pakai helm untuk keselamatan bukan gara-gara ada polisi."
Cowok itu terpaku, aneh melihat tingkah Aqila yang sok tahu akan banyak hal. Sava yang melihat teman lesnya merasa tak nyaman segera menyeret Aqila untuk diajaknya berkompromi.
"Qil, please hargai dia, buat kesan yang baik, aku capek lo meyakinkan dia jika kamu adalah orang yang menyenangkan," bisik Sava pelan. "Katanya mau ngelupain Ale."
Mendengar kata ngelupain Ale, Aqila semakin semangat dan ingat misi pertamanya malam itu menelepon Sava untuk memintanya mencarikan pacar. "Oke, Sav, aku ingat rencana itu, ayo kita esksekusi."
"Siap!"
Aqila dan Sava kembali menghampiri cowok yang dari tadi telah mereka anggurin.
"Kalian sudah selesai?"
"Sudah," jawab lembut Aqila dengan senyum manisnya. "Kenalin, aku Aqila."
"Fredi Rahardi, panggil saja Fredi, sorry ya nunggu lama, sorry juga nggak pakai helm."
"Nggak apa-apa, lagi pula kita nunggu di bawa pohon mangga yang rimbun jadi enggak kepanasan."
"Qil, ini pohon pinus lo, sejak kapan jadi pohon mangga," sahut Fredi melihat sekitar.
Aqila merasa bodoh dalam memahami macam-macam jenis pohon. "Iya, sejak kapan ya jadi pohon pinus? Kayaknya tadi pohon mangga deh."
"Ah kamu bisa aja bercandanya, kamu asyik juga ya ternyata."
"Iya dong Fre, Aqila gitu loh."
"Oh, iya, kalau besok ada waktu, yuk, kita keluar!"
"Yuk, untuk waktunya nanti aku chat, ya?"
"Beres."
Sava ikut senang walau hanya jadi obat nyamuk, hatinya puas bisa melihat Aqila akrab dengan teman bimbelnya. Waktu berjalan cepat hingga obrolan mereka menemui ujungnya. Mereka berpisah dengan hati berbunga, pada kenyatannya walau hanya untuk memutar takdir, tetapi Aqila merasa nyaman berada di sisi Fredi. Ini adalah sinyal yang baik untuk Aqila dalam melancarkan misinya.
***
Plak ....
"Maaf, Ma, maafin Aqila," pinta Aqila menitihkan air mata sambil memegangi pipi kanannya yang memerah karena tampran dari mamanya.
"Sudah Ma, sabar," Papa menyaut tangan isterinya.
"Kamu tahu, bagaiamana khawatirnya mama dan bingungnya papa?"
"Aqila nggak tahu, Ma."
"Terus apa yang kamu tahu, Qil? Jangan bikin Mama merasa bersalah gini dong!"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top