27. Tumbal Tetap Tumbal

"Aku pasti datang," ucap Ale dari balik tubuh Aqila. "Sorry, tadi mobil Marvel bannya bocor jadi aku ke sini naik ojek online."

Aqila memutar tubuhnya, melihat sosok yang telah lama dia nantikan. "Aku takut kalau hal buruk itu terjadi lagi," balasnya menahan tangis.

Ale segera memeluk Aqila, menenangkan guna memberikan rasa nyaman bukan hanya sebagai sahabat. "Ini rencana Brenda membuat kejutan untukmu."

"Brenda? sorry banget tadi udah mikir yang nggak-nggak."

“Oke, melihat kalian bahagia itu udah lebih dari cukup untukku."

“Qil, katanya kamu mau ajak aku naik bianglala, ucap Ale menagih janjinya. Bren, kamu juga ikut, ya?

“Nggak usah, aku di sini aja ya, sambil nunggu Marvel."

"Ayo!" Aqila tak sabar, dia meraih tangan Ale untuk diajaknya berlari menyuri lampu kerlap-kerlip pasar malam.

Wajah bahagia Aqila tidak bisa digambarkankan dengan meriahnya nuansa pasar malam. Lampu aneka warna memberikan keceriaan yang membuat siapa saja akan hanyut dalam nuansa malam yang penuh dengan kebahagiaan. Setiba di sana, mereka segera menaiki bianglala.

"Aku sudah lama menantikan ini sejak jauh hari, selalu berdoa agar segera terwujud."

Ale merogoh kantong celana mengambil amplop yang selalu dia bawa sejak kali pertama menemukannya. "Aku udah baca semuanya, selamat, ya, doamu terkabul."

Aqila tidak pernah menyadari jika Ale telah membawa amplop tersebut. "Itu doaku dalam kehidupan masa depan, bukan saat ini," ucap Aqila menyembunyikan tangisnya.

"Aku tidak yakin dalam kehidupan selanjutnya kita bisa bertemu kembali." Ale meraih tubuh Aqila untuk memeluknya. "Terima kasih sudah tulus memberikan rasa itu untukku."

Bianglala mereka terhenti, ada jeda seakan memebrikan kesempatan untuk mereka saling mengungkapkan isi hati yang selama ini terus mereka pendam. Aqila bingung harus bahagia atau seperti apa dalam situasi ini. Tidak ingin menyiakan, Aqila segera mengungkapkan isi hatinya, sebelum itu dia ingin memblas pelukan Ale lebih dalam, lebih hangat, juga lebih nyaman. Aqila merasakan ada sesuatu yang asing menyentuh kaos hitamnya, basah dan kental tepat di atas pinggul kanan Ale.

Brenda tetap berdiri di dekat area parkir untuk menunggu Marvel, sepertinya rencana mereka tidak bisa berjalan mulus. Namun, Brenda sudah senang bisa melihat Ale datang tepat waktu untuk menemui Aqila, mengungkapkan apa yang saling mereka pendam. Brenda mengecek ponselnya untuk melihat seberapa lama lagi dia harus menunggu, layaknya memiliki ikatan batin, Marvel lebih dulu menelepon Brenda, buru-buru dia mengangkatnya.

"Aku puas bisa melakukan apa yang aku inginkan," ucapnya lirih sedikit merintih.

"Maksudnya?" Brenda cuku bingung, tanpa salam pembukaan marvel begitu saja berucap yang tidak dapat Brenda pahami.

"Sampai kapan pun aku tidak akan rela Ale dicintai oleh dua perempuan hebat seperti kalian!" Teriak Marvel mulai tak karuan.

"Lagi mabuk, ya, Vel? Kalau ngomong jangan ngaco!"

"Penderitaannya, kepuasan untukku."

"Psikopat, ya!" Teriak Brenda segera mematikan ponselnya.

Dia segera berlari menuju bianglala yang mereka naiki. Brenda cukup paham dengan apa yang Marvel ucapkan, berusaha bersikap tenang untuk membuatnya tetap berpikir normal. Brenda terus berlari tidak peduli seberapa banyak orang yang dia tambrak, tujuannya hanya ingin segera bertemu Ale untuk melihat bagaimana kondisinya. Brenda menyesal dengan apa yang dia lakukan, bekerjasama dengan orang yang salah.

"Tolong!" Teriak Aqila mencoba meminta pertolongan. "Cepat turunkan kami!" Aqila hampir kehabisan tenaga meminta bianglalanya untuk kembali berjalan dan menurunkan mereka.

Aqila terus menekan bagian atas pinggul Ale yang terus mengeluarkan cairan kental merah segar. Kondisi Ale mulai tak stabis, napasnya mulai berat, matanya sulit untuk terbuka, terlebih beberapa kali Ale mengalami kejang ringan yang membuat Aqila semakin ketakutan.

Bianglala pun turun dan dibuka tepat segara Brenda yang mengetahui ada darah di tangan Aqila segera membantu Ale dan Aqila keluar dari bianglala dibantu beberapa kru yang lain. Ale segera mereka rebahkan di atas rerumputan yang hanya mereka alasi dengan koran bekas. Sungguh semua menjadi mencekam, panik, juga tak percaya dengan apa yang terjadi. Aqila hanya menangis, dia sulit untuk menjelaskan apa yang terjadi, Brenda tidak mau membuang waktu dia menghubungi ambulans untuk menyelamatkan nyama adik tirinya.

"Tolong kasih ruang, jangan bergerombol!" Pinta Aqila berusaha membuat Ale dalam kondisi yang nyaman sebelum bantuan datang.

Sebelum Brenda sempat menghubungi ambulans untuk meminta bantuan, ponselnya terpental. Ada yang menampiknya dengan kasar. "Gila loe, ya!" Emosi Brenda tidak dapat tertahan melihat sosok yang ada di depannya dengan gampang menampik ponselnya.

"Kenapa?"

Brenda tidak bisa berpikir rasional, segera dia menampar marvel di depan banyak pasang mata yang melihat. "Aku pastikan kamu akan membayar mahal akan apa yang telah kamu lakukan malam ini!" Ancam Brenda berusaha mencari ponselnya yang terpental.

Seperti pemandangan yang tidak biasa, pengunjung pasar malam seperti menikmati teater dadakan dari tiga anak remaja yang berusaha mengasah keterampilan akting mereka. Aqila berdiri dari samping Ale tergeletak, dia menjambak rambut Marvel untuk memberikan pelajaran. Ini tidak ada apa-apanya dari pada melihat Ale yang terkapar tak berdAqila.

"Apa-apaan sih, Qil?"

"Ini masalah nyawa, bisa, ya, sesantai ini?"

"Terus aku harus gimana? Sekarang kamu tahukan aku seperti apa?"

Aqila semakin kuat menjambak rambut Marvel tanpa ampun. "Qil, sakit!"

Brenda telah menemukan ponselnya, tetapi naas ponselnya mati mungkin karena kehabisan bateri. "Sial!" Brenda berlari menuju adik tirinya. "Ada yang bisa meminjami saya ponsel?" Tanya Brenda kepada siapa saja yang ada di dekatnya, nyatanya tidak satu pun memberikan jawaban, semua terdiam seakan ada yang mengunci mulut mereka.

"Aku sangat menyesal mengenal manusia busuk sepertimu!" Teriak Aqila tepat di telinga kanan Marvel sebelum dia meninggalkan Marvel.

Waktu berhenti, lelaki plontos berjalan mendekati Aqila. "Aku sudah bilang segera selesaikan misimu, bukan malah kembali jatuh cinta pada Ale!"

"Ini semua rencamu?" Tanya Aqila mulai putus asa. "Kenapa harus sekarang?"

"Karena waktumu sudah habis," tegas lelaki plontos sembari menunjuk langit. "Janji harus ditepati, tumbal harus terbayar dengan tuntas "

"Cukup!" Teriak Aqila frustasi. "A)8 tidak ingin melihat Ale meninggal untuk kedua kalinya." Tangis Aqila pecah tak karuan.

"Ini sesuai dengan apa yang kita sepakati."

"Tapi tolong kali ini saja kabulkan apa pintaku. Jangan biarkan Ale pergi di usia ini. Aku mohon!" Pinta Aqila mulai kehilangan akal pikirnya. "Aku ingin Ale tetap hidup, ya, aku tidak akan memilikinya sekarang ataupun di masa depan."

"Aku tidak percaya!" Tungkas lelaki plontos sambil tersenyum tipis.

Aqila lebih dekat sambil menarik jas hitam milik lelaki asing tersebut. "Sungguh aku tidak akan mengingkarinya. Biarkan Ale hidup."

"Kita lihat nanti! Tumbal tetap tumbal!" Lelaki plontos itu menghilang dan waktu kembali berjalan.

"Tidak!!!" Teriak Aqila menghampiri tubuh Ale sambil memeluknya. "Aku mohon sekali ini saja!"

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top