25. Secerca Harapan

Pintu terbuka paksa, kaget bukan kepalang, Ale melemparkan mangkuk bekas masker jeruk yang baru dia pakai. Wajah Ale tertutup oleh kuasan masker jeruk pemberian Aqila sebelum mereka berpisah. Ale tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan oleh Brenda dan Mamanya yang mendobrak pintu kamar mandi tanpa alasan yang jelas.

"Kalian nggak apa-apakan?"

"Sori, kukira kamu tertidur di kamar mandi," Brenda membuat alasan yang tak masuk akal.

"Aduh, Mama sampai panik, eh ternyata kamu malah asyik maskeran di dalam."

"Jangan berlebihan, Brenda!"

"Habis kamu ngilang gitu aja, ya aku jadi mikir yang macem-macem."

"Ya udah kamu bersihin dulu maskermu, kami tunggu di meja makan," ucap Safira menggandeng putrinya menuju meja makan.

"Beres," sahut Ale mengambil mangkuk plastik yang tadi dia lemparkan saking kagetnya. "Pakai masker jeruk biar wajah makin glowing, biar enggak kelihatan pucat lagi."

Acara makan malam berjalan lancar layaknya seperti makan malam yang lain. Ale cukup cepat beradaptasi dengan keluarga barunya, tidak ada dendam dalam hatinya, menerima Safira sebagai Ibu kandungnya memanglah hal yang harus dia terima. Brenda terlihat bersikap wajar, mengambilkan beberapa menu yang tidak bisa dijangkau oleh Ale. Semua tersenyum dalam nuansa kali pertama perjumpaan di meja makan. Terlebih Safira tidak ingin jauh dari putranya, dia duduk di samping Ale memberikan semua yang Ale ingin nikmati dalam jamuan ini.
Brenda mengambil ponselnya yang berdering, terlihat di layar ponsel nama Aqila tertera di sana, buru-buru dia mengangkatnya. "Hai, apa kabar?"

"Hai, baik kok, ngomong-ngomong lagi ngapain, nih?"

"Makan malam, ada Ale juga nih, mau ngomong sama dia?" Brenda mencoba memberikan kesempatan pada Aqila untuk menyapa mantan sahabatnya.

"Boleh," sahut Aqila ragu.

"Siapa?" Tanya Ale sambil meraih ponsel yang Brenda berikan.

Brenda hanya mengedipkan satu matanya tanpa ingin berucap lebih banyak.

Ale melihat nama yang tertera di layar ponsel itu lalu segera memulai pembicaraan. "Qil, apa kabar? Gimana kabar tante dan om?" Tanya Ale santai seakan tidak terjadi permasalahan besar.

"Baik, besok aku mau ke sana bawa sate ayam dan lontong kesukaanmu," sahut Aqila datar tanpa basa-basi.

"Asyik dong, emang nggak sekolah?"

"Sekolah bisa besok-besok lagi, tapi ketemu denganmu nggak bisa ditunda-tunda lagi."

"Lagi kesurupan, ya?" ledek Ale tertawa puas.

"Beneran tahu, ya udah, ya gitu aja." Aqila ingin segera mengakhiri panggilan.

"Lha, ini bocah aneh deh. Oh iya, kenapa nomormu nggak bisa dihubungi?" Ale cukup heran sejak di rumah sakit nomor Aqila tidak bisa dihubungi lagi.

"Sengaja, nomormu emang aku blokir."

Klik.

Panggilan itu terputus sebelum Ale mengetahui dengan pasti kenapa Aqila memblokir nomornya. Suara Aqila tidak seperti biasanya, ada sesuatu yang membuatnya terasa berat untuk mengungkapkan sesuatu. Tidak mau ambil pusing, Ale mengembalikan ponsel Brenda lalu kembali menikmati santapan makan malam. Suasana sedikit dingin, maklumlah karena mereka memang baru berjumpa setelah sekian lama berpisah, terlebih Brenda dulu adalah sosok yang Ale kagumi, namun karena kesalahpahaman semua berakhir sia-sia. Sekarang mereka bersikap sewajarnya saudara tiri.

Ruang kamar Ale masih tetap sama seperti terakhir kali dia mengunakannya. Sejak Ale pergi ke rumah Brenda, kamar itu menjadi milik Aqila. Semua yang berbau Ale tetap dia simpan, selalu dia peluk, berharap Ale tetap berada di sampingnya. Aqila membuka almari mengambil satu kardigan hitam kesukaan Ale lalu memakainya, terasa hangat layaknya Ale dipeluknya.

Masih jelas terngiang di benak Aqila apa yang terjadi pada keluarganya juga keluarga Brenda yang satu sama lain saling berhubungan dengan Ale. Aqila mencoba memahami, tetapi sulit dan mungkin membutuhkan banyak waktu. Tidak mudah untuk Aqila bahagia dan bersedih dalam waktu yang sama. Aqila meraih bantal untuk memeluknya, mendadak semua mimpinya yang telah dia rancang sirna dalam hitungan hari tanpa tersisa.

***

Kedatangan Aqila disambut hangat oleh Ale. Sudah lama mereka tidak bersua bersama. Ale mempersilakan Aqila untuk masuk ke dalam rumah lantaran Brenda sedang sekolah dan Safira bekerja. Sengaja Ale berkaos kuning untuk menyambut kedatangan Aqila yang ternyata tanpa diduga juga mengenakan kemeja kuning lengan pendek dengan celana jeans kesayangannya.

"Seneng banget, akhirnya kamu datang juga."

"Iyalah, entah kenapa setelah kamu nggak tinggal di rumahku , kok aku ada rasa deg-degan tiap kali aku memikirkanmu."

"Dasar aneh!" Ale mengacak-acak rambut Aqila seperti yang dulu sering dia lakukan.

"Berantakan nih, jadi nggak cantik lagi."

"Iya kali GR banget sih, selalu menganggap dirimu cantik," ejek Ale semakin mengacak-ngacak rambut Aqila.

"Udah-udah, nggak asyik banget, sih." Aqila menampilkan wajah cemberutnya.

"Yang nggak asyik kayak gini yang bikin kangen," goda Ale bangkit dari sofa untuk mengambil piring.

"Oh iya, gimana hidungmu, udah baikan?"

"Besok cek up, sejauh ini baik-baik aja sih," jawab Ale berjalan menuju ruang tamu.

"Syukurlah, sini aku bantuin," ucap Aqila meraih piring yang dibawa oleh Ale. "Kata Mama harus dihabiskan, buatnya susah jadi harus dihargai."

"Kok tante nggak ikut?"

"Mama pengen ikut, tapi tahulah Mama itu sayang banget sama kamu, belum siap aja kalau harus melihat anak yang dia rawat sejak kecil harus pergi ke keluarga yang lain."

Ale berpikir sejenak, apa yang Aqila ucapkan memang benar adanya. Renata sangat menyayanginya melebihi apa pun, tidak sepantasnya dia begitu saja melupakan jasa Renata setelah sekian lama merawat tanpa pamrih. Teringat jelas bagaimana Renata dengan telaten merawat Ale kala sakit, menjaga tiap apa saja yang Ale makan agar dia tetap sehat, bahkan sering memarahi Aqila hanya gara-gara hal sepele yang menurut Renata cukup membahayakan keadaannya.

Mengingat hal itu, membuat Ale merasa ada sesak dalam dadanya. Buru-buru Ale memakan makanan yang dibawa oleh Aqila untuk selanjutnya dia mendadak memiliki rencana untuk menebus rasa bersalahnya pada Renata. Sate ayam dan lontong kesukaannya mendadak terasa hambar lantaran rasa rindunya pada Renata terlampaui besar.

"Cepat banget habisnya, doyan apa kelaparan?"

"Enak banget, udah lama nggak makan masakan Tante Renata." Ale berusaha menyembunyikan tangis yang hampir tumpah mengingat segala kenangan bersama Renata. "Eh, aku masih penasaran kenapa kamu blokir aku dari segala sosial mediamu? Sedendam itukah?"

Aqila menggeleng, "Berikan sedikit waktu untuk hatiku bernapas menerima segala yang terjadi, rasanya seperti terkena serangan jantung tiap kali membaca chat darimu yang berisi rintihan," ucap Aqila sedikit menyindir Ale.

"Nggak mungkin aku curhat dengan Brenda, secara dia mantanku," sahut Ale membela diri. "Emang sih hampir semua isi chat itu galau, sedih, bingung mau ngapain, semua masih terasa asing untukku," ujarnya seraya menceritakan isi hatinya.

"Dari pada aku benar-benar kena serangan jantung terus meninggal padahal aku jomblo, ya untuk sementara aku blokir aja. Kalau hatiku sudah siap akan aku buka lagi."

"Iya, ya, yang jomblo nggak usah terlalu digembar-gemborkan, baru beberapa waktu jumbo kayaknya udah pengen aja punya pacar lagi," goda Ale sambil bangkit dari tempatnya terduduk untuk mengambil minum.

"Emang kenapa? Kalau kamu tembak aku sekarang, pasti aku terima," ucap Aqila memberikan sinyal positif.

"Apa, Qil?" Ale kurang jelas mendengarkan apa yang Aqila ucapkan lantaran dia berada di ruang keluarga yang jaraknya sepuluh meter dari tempat Aqila.

"Maksudku biar jomblo asal banyak yang suka!" Teriak Aqila tidak ingin mengulangi ucapannya beberapa menit yang lalu.

"Udah jomblo sok jual mahal!" sahut Ale dari arah ruang keluarga.

Mereka terlihat hangat layaknya sahabat seperti saat itu. Aqila dan Ale saling menejek juga menggoda untuk menghapus rindu yang tertimbun di hati mereka. Tidak ada sendu terlintas, semua tersenyum bahagia saling melengkapi. Hari ini memang indah untuk mereka, bolosnya Aqila ternyata sangat bermanfaat untuk mengisi energi semangat dalam dirinya untuk membuatnya kembali bersemangat seperti hari-hari lalu.

"Aku kangen Tante Renata, anterin aku, yuk!"

"Le, kan belum izin sama Tante Safira, nanti dia cari kamu lo," sahut Aqila takut seandainya Tante Safira pulang, tetapi Ale belum berada di rumah.

"Bentar aja, kan nggak sampai berabad-abad, please!" Pinta Ale sambil memasang wajah sedih agar Aqila mengabulkan permintaannya. "Lagi pula Mama Safira nggak akan marah kalau aku pergi ke rumah Mama Renata."

Melihat Ale melas, Aqila tidak dapat berbuat banyak, kecuali menyetujui apa yang menjadi keinginan Ale. "Oke, tapi benatar aja, ya."

Perjalanan terasa sangat cepat, mereka telah sampai saja di depan rumah yang telah memberikan banyak kenangan indah yang sulit terhapus oleh masa. Ale cepat-cepat turun dari mobil, berlari menuju halaman, kebetulan Renata sedang asyik menata anggrek kesayangannya. Semakin dekat Ale berjalan mengendap-endap tidak ingin kejutan darinya cepat diketahui oleh Renata. Tidak mau mengganggu, Aqila hanya mengawasi mereka dari dalam kemudi mobil.

"Tante Renata!" Teriak Ale sambil memeluk wanita itu dari belakang punggungnya.

Betapa terkejutnya wanita empat puluh tahun ini setelah mengetahui anak yang pernah dia rawat datang untuk memberikannya kejutan. "Ale?" Renata memutar tubuhnya.

"Nggak kaget ya, Tan?"

"Kaget banget, jantung tante mau copot, nih. Kita masuk aja, ya, di sini panas," ajak Renata sambil meletakan pot anggrek di tempatnya. "Mau dibuatkan jus jeruk kesukanmu?"

Ale mengangguk, "Kasih banyak es biar makin seger."

"Pastinya, yuk, masuk!" Renata tidak sabar ingin bercerita banyak hal dengan Ale. "Qil, parkir mobilnya yang benar, bentar lagi Papa pulang!" Teriak Renata melihat Aqila yang baru turun dari mobil.

"Beres, Ma!" Aqila kembali masuk dalam mobil dan memarkirkan mobil sesuai arahan mamanya.

Suasana hangat rumah sangat terasa sejak kedatangan Ale ke rumah lamanya. Renata segera mempersiapkan apa yang manjadi keinginan Ale dengan penuh semangat. Pun Ale juga bersemangat untuk masuk dalam kamar, sejenak menikmati nuansa yang beberapa waktu ini telah dia tinggalkan. Dia merasa tidak ada yang berbeda, malah semakin bersih, maklumlah selama ini Aqila yang menjadi penghuninya, pasti akan dirawat dengan baik.

Ale membuka almari bukunya untuk mengambil beberapa buku yang belum sempat terbawa olehnya. Mengeluarkan satu per satu buku yang akan dibawa pasti cukup repot, ia memutuskan untuk menarik bukunya dari dalam untuk terjatuh di lantai barulah dia akan memasuknnya dalam tas miliknya. Apa yang menjadi rencanya nyatanya sukses, berjalan dengan lancar, semua buku terjatuh di lantai. Namun, ada sesuatu yang ikut terjatuh dari tumbukan bukunya yang mengulik rasa ingin tahunya, sebuah amplop yang tidak asing untuknya.

"Ini, milik Aqila, di dalamnya ada permintaan yang dia inginkan saat ulang tahun waktu itu. Apa ya isinya?" Gumam Ale bertanya pada dirinya sendiri.

"Le, jusmu udah siap!" Teriak Aqila dari arah dapur.

Ale segera memasukan amplop itu dalam saku celanya, meninggalkan bukuya yang masih berserahkan sebelum Aqila datang ke kamarnya dan mengacaukan semuanya.

***

Kantin sekolah ramai seperti biasanya, semua berbaur untuk saling menikmati jam istirahat guna makan, minum, atau sekadar ngobrol untuk membahas banyak hal yang terjadi setiap harinya di sekolah. Brenda sengaja meminta Marvel untuk menemuinya di kantin, ada hal serius yang harus mereka rencanakan untuk Ale dan Aqila.

"Udah lama nunggunya?"

"Lumayan, mau pesan apa, Vel?" Tawar Brenda yang lebih dulu memesan jus melon.

"Nggak usah," sahut Marvel sambil melihat jam di pergelangan tangan kirinya. "Habis ini mau ke ruang Kepala sekolah."

"Ngapain?"

"Ya, gara-gara nggak sengaja nonjok Ale waktu itu."

"Oke itu urusanmu," sela Brenda setelah meminum jus melonnya. "Sengaja aku ngajak ketemu karena ada rencana besar untuk Ale dan Aqila," ucap Brenda menampilkan senyum tipisnya.

"Rencana apa?" Tanya Marvel yang mulai tidak sabar mendengarkan apa yang akan menjadi rencana besar Brenda.

"Untuk membalas apa yang telah mereka lakukan selama ini," ujar Brenda mulai mengatur siasat.

"Gimana enaknya, aku ngikut kamu aja."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top