24. Ada yang Hilang

Segera setelah sampai di rumah, Aqila turun dari mobil lalu berlari menuju kamar Ale. Tidak menyangka kebersamaannya bersama Ale akan berakhir dengan cepat. Tiap sudut memberikan kenangan yang indah untuk dirinya, tidak akan bisa begitu saja terhapus oleh waktu. Aqila merebahkan tubuhnya dalam balutan selimut tebal yang selalu Ale pakai. Meremasnya, mencium aroma tubuh sahabatnya yang masih tersisa. Semua telah berbeda, semua tidak akan sama lagi.

"Le, bukan ini yang aku mau, aku mencintaimu lebih dari apapun. Aku kembali ke masa ini untuk mengubah takdir, tapi–" gumam Aqila lirih memeluk bantal orang yang sangat dia cintai.

"Tapi kita harus mengikhlaskan yang bukan menjadi milik kita. Harus dikembalikan kepada pemiliknya," sahut Iwan masuk kamar Ale tanpa mengetuk pintu, melihat putrinya terisak, dia mendekatinya.

"Pa, kenapa semua ini terjadi begitu cepat, seperti mimpi buruk yang ingin segera ku akhiri."

"Papa pikir juga seperti itu, semua telah digariskan Tuhan, apa daya manusia selain menjalaninya?"

"Ini seperti bianglala untukku, Ale sahabatku, kami tinggal bersama sejak kecil dan sekarang menjadi adik tiri Brenda, dari sekian banyak manusia, kenapa harus Brenda?"

"Kita tidak dapat memilih seperti apa jalan hidup kita, bagaimana nasibnya nanti, seperti apa kelanjutan hidup yang harus kita jalani," ujar Iwan memberikan pemahaman untuk putrinya.

"Tapi ini terlalu sulit untukku," sela Aqila tak terima dengan keadaan ini.

"Bukan hanya untukmu, tapi untuk Mamamu, Papa, Ale, Brenda, juga Tante Safira dan keluarganya." Iwan segera memeluk putrinya untuk memberikan semangat menjalani hari yang menjadi semakin mencekam untuk mereka.

Tangis Aqila terus mengalir, tidak pernah dia sesedih ini, merasa kehilangan, tetapi tidak hilang seutuhnya. Masih tetap ada dan selalu dapat dilihat meski bukan menjadi miliknya lagi. Semua menjadi gelap, masa depannya tidak lagi bisa terlihat cerah. Kepergian Ale membuat seisi rumah menjadi sendu. Terlalu banyak duka yang hadir tanpa mampu dicegah, menjalani dengan pasrah cukuplah sulit.

Di rumah yang lain, Ale mulai menyesuaikan diri, Brenda membantu Ale membawakan dua kopernya ke kamar. Terlihat sangat banyak perbedaan terasa, cukup lama Ale mengamati seisi rumah sebelum dia masuk ke dalam kamarnya.

"Semoga kamu betah tinggal di sini," sambut Brenda seraya menyalakan lampu kamar. "Dulu ini kamar Alfian, tapi setelah dia meninggal seperti terlupakan."

"Alfian?"

"Iya, aku berharap kamu bisa merawat kamar ini sebaik Alfian merawatnya," pinta Brenda pada adik tirinya.

"Aku tidak bisa memberikan banyak janji, takut tidak mampu menepati."

Brenda tersenyum tipis, "Terasa aneh, dulu kita pacaran, lalu putus, terus jadi mantan, sekarang kita malah jadi saudara tiri, hidup ini memang lucu."

"Seperti terjebak dalam dimensi yang berbeda dengan tokoh yang sama."

Mereka hanyalah korban keadaan yang tidak bisa dielak. Brenda berharap Ale dapat cepat beradaptasi dengan keluarga barunya, tanpa melupakan keluarga lamanya yang telah mengurusnya. Sangat sulit terus melihat mantan kekasihnya yang sekarang tinggal dalam satu atap. Dulu ada niatan untuk Brenda meminta kembali pada Ale, tetapi setelah Mama Safira menjelaskan perihal apa yang akan terjadi ke depannya, Brenda memutuskan mundur dan menerima Ale sebagai adik tirinya.

"Haruskah aku memanggilmu kakak?"

"Nggak perlu, usia kita hanya berbeda enam bulan bukan enam tahun."

"Syukurlah, pasti canggung memanggil mantan dengan sebutan kakak," Ale mencoba menggoda Brenda untuk mencairkan suasana.

"Untung udah jadi mantan," tambah Brenda ikut menggoda.

***

Setelah beberapa hari Ale merasa rindu dengan rumah lamanya. "Aku mau pulang, Ma."

"Inikan rumahmu."

"Bukan."

Ale melihat sekeliling. Dia merindukan suasana di rumah Aqila. Rumah yang telah memberikannya banyak cerita. Tidak mudah untuk Ale melupakan tiap sudut dari rumah itu. Namun, semua telah berubah semenjak rahasia dirinya mulai terungkap.

"Mama yakin kamu bisa menyesuaikan diri. Memang berat, tapi Mama percaya Ale bisa melalui semua ini."

Ale hanya mengangguk. Dia tidak ingin melanjutkan perbincangan itu. Terasa kaku, seperti dipaksakan. Ke depannya Ale akan terus berusaha menjadi Ale yang lebih kuat tanpa Aqila di sisinya.

***

Sepanjang malam Aqila hanya mampu mengenang masa terindahnya bersama Ale. Melihat tiap jengkal, semua memiliki makna yang mendalam. Lebih dari sepuluh tahun mereka hidup bersama, sekarang semua berubah. Tidak ada lagi canda, tawa, juga jerit milik Ale yang terdengar lagi. Beberapa botol obat masih terdiam di atas meja di samping ranjang orang yang sangat dia cintai, seperti mengaca pada masa lalu, masa sulit Ale bertahan menjadi ODE.

Di ruang keluarga, kesedihan Renata cukup dalam, dia hanya menangis dan terus menangis. Memeluk erat kaos terakhir milik Ale yang dikenakan saat menuju rumah sakit, bercampur darah kering yang berbau anyir membuat Renata merasakan jiwa Ale tertinggal di sana. Sepuluh tahun lebih merawat Ale bukan waktu yang singkat, terlalu banyak kenangan manis yang terukir. Tidak mampu dijelaskan oleh kata, hanya tangis yang mampu menggambarkan suasana hati Renata saat ini.

"Ma, aku besok mau ke rumah Ale, mau ikut?"

Aqila sudah tidak mampu memendam rasa rindunya pada Ale. Masih lima hari setelah kepergiannya, tetapi menurut Aqila sudah ribuan hari dia tidak berjumpa dengannya. Terlebih Ale belum masuk sekolah, sebab Safira berwacana jika Ale harus pindah sekolah setelah mengetahui anaknya celaka karena ulah dari ketua OSIS SMA Nusantara. Ini semakin membuat Aqila terpuruk akan keadaan yang terus menghimpitnya.

"Mama belum siap melihat wajah Ale, Mama masih sulit untuk menerima kenyataanya."

Aqila menghampiri Mamanya, memeluknya dengan erat. "Aku juga, tapi ini enggak bisa terus kita pelihara, harus move on dan menerima semua hal yang berbeda, keadaan yang tidak sama lagi."

Renata kembali menangis, berat memang, wanita mana yang tega melihat anak yang dirawatnya sedari kecil pergi ke rumah yang lain hanya dengan hitungan hari setelah sepuluh tahun merawat dan menjaganya dengan sepenuh hati. Sakit ini teramat dalam, walau tidak ada luka yang mengeluarkan darah, tetapi ini sakit yang tepat menusuk dada menembus jantung. Tidak ada yang mampu menahan sakit yang tak kasat mata.

"Besok Mama akan masak sate ayam dan lontong kesukaannya. Kasihkan dia, temani dia makan kalau sulit suapi dia, pastikan Ale makan sampai habis," pinta Renata mencoba menghapus air matanya.

"Aku janji, Ale akan memakannya, Ma."

***

Safira menyiapkan makan malam dengan hati berbunga. Ini kali pertama kalinya makan satu meja bersama anak kandung yang belasan tahun lamanya tidak pernah dia jumpai secara langsung. Melalui Brenda, Safira mencari tahu segala makanan yang Ale sukai untuk dijadikan menu makan malam sebagai sambutan atas kedatangannya. Safira meyakini ini berat untuk Ale, tapi tetap harus dijalani. Ini takdirnya yang tidak bisa dia tolak.

"Mama masak banyak banget," ucap Brenda melihat aneka menu yang mama tirinya sediakan.

"Spesial untuk Ale, dia mana?"

Brenda bingung, "Aku pikir dia sudah turun, di kamarnya nggak ada."

"Belum, Mama belum lihat Ale sama sekali," elak Safira merasa belum melihat Ale di area dapur.

Brenda teringat, jika tadi siang Ale sempat mengeluh kalau kamar mandi di kamarnya tidak bisa mengeluarkan air, buru-buru Brenda menuju kamar mandi di lantai dasar. Ada rasa yang berbeda, dia takut jika tiba-tiba adik tirinya kejang saat di kamar mandi mengingat kondisinya belum sehat benar, tetapi Brenda mencoba berdamai dengan pikiran negatifnya. Melihat Brenda berlari ke kamar mandi yang berdekatan dengan ruang keluarga, segera Safira juga mengikuti ke mana anak tirinya pergi. Tanpa Brenda berucap, Safira dapat memahami mungkin terjadi hal buruk pada putranya.

Setiba di depan pintu kamar mandi, Brenda segera mendobraknya tanpa mencoba mengetuknya. Pintu terbuka paksa, kondisi Ale tidak bisa dijelaskan dengan kata. "Ale!" Teriak Brenda tak karuan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top