23. Terungkap

Renata terus meneteskan air mata. Entah air mata kebahagiaan atau air mata kehilangan, hanya samar-samat terlihat. Ia paham benar kondisi Ale yang berangsur membaik, paska operasi tulang hidungnya patut untuk disyukuri. Namun, ada hal yang membelenggu hatinya, cepat atau lambat Ale akan pergi darinya. Ini sulit, tapi memang jalannya.

Aqila terjaga sepanjang malam di rumah sakit, tidak ada niatan untuk memejamkan mata biar hanya beberapa menit saja. berdiri di tepi jendela ruang rawat Ale, terus mengawasi sahabatnya dari luar. Doanya terus terucap sekalipun ia paham operasi sahabatnya berjalan lancar, nuraninya tidak bisa dibohongi, ada rahasia besar yang akan terungkap.

"Mbak Renata, saya sudah mendonorkan darah untuk Ale. Sekarang pahamkan jika Ale tidak dapat hidup tanpa saya." Wanita itu terus mengulas, jika tanpa dirinya Ale tidak bisa melewati operasi dengan lancar.

"Cukup, ini bukan saatnya untuk berdebat," sahut Renata menatapnya tajam.

"Saya hanya mengingatkan, setelah pulang dari rumah sakit, biarkan Ale ikut saya."

"Haruskah setelah pulang dari rumah sakit?" tanya Renata berusaha mengelak.

"Kapan lagi, menunggu Ale sekarat untuk kesekian kalinya baru Mbak Renata menyerahkan Ale kepada saya?" Desak wanita itu tak ingin kalah.

"Ada ibunya Ale di sini?" tanya seorang suster keluar dari ruang rawat.

"Saya!" itu mengancungkan tangan.

"Mari ikut saya," ajak suster ramah.

Aqila hanya terdiam menyaksikan apa yang terjadi di depan matanya. Kejanggalan demi kejanggalan mulai terkuak. Aqila seakan menyusun puzzle yang tidak bisa memprediksi seperti apa akhir dari susunan itu. Seribu tanya terus hadir setelah wanita bernama Safira mulai ikut campur dalam kehidupan sahabatnya. Ingin hati bertanya siapakah dirinya sebenarnya, tetapi Aqila tidak memiliki keberanian yang tinggi, jika jawabannya memiliki dua mata sisi.

Ruang rawat terlihat rapi dan bersih. Bau karbol tercium di mana-mana. Ale terbaring di atas ranjang rawatnya dengan bantuan selang oksigen terpasang untuk membantunya bernapas. Renata segera menghampiri, mencium punggung tangan kanannya yang tidak terpasang infus. Renata menatap Ale dengan tatapan nelangsa. Tiap detiknya sangat berarti untuknya.

"Tante, ada apa?" tanya Ale lemah melihat air mata Renata terus terurai.

"Nggak, Sayang," dia menghapus air matanya. "Ini air mata bahagia, bisa melihatmu baik-baik saja."

"Terima kasih, Tante telah menyelamatkan hidupku, merawatku sejak mama meninggal, merelakan banyak waktu untukku. Terima kasih sudah mendonorkan darah untukku."

Tangis Renata semakin menjadi, tidak mampu terus menyembunyikan rahasia ini dari Ale. Dia juga tidak ingin kehilangan Ale dengan cepat. "Bukan," ucapnya berat, seberat beban perjanjian yang dia jaga selama ini.

"Lantas siapa?"

Renata kembali menggeleng, tidak ada jawaban yang sesuai, ingin menjelaskan yang sebenarnya. Namun dirasa ini bukan waktu yang tepat. Nyatanya memang tidak ada waktu yang tepat untuk menjelaskan semuanya.

Pintu kamar rawat terbuka tanpa diketuk, "Aku yang mendonorkannya."

Ale tidak paham dengan situasi ini. dia tidak mengerti maksud dari wanita yang tiba-tiba datang dan mengaku telah mendonorkan darahnya untuk dirinya. Tatapannya kaku melihat Safira, mendeskripsikan wanita yang sebelumnya tidak pernah dia kenal, tiba-tiba datang dan membuatnya terkejut.

"Anda siapa?"

"Saya Safira, Ibumu," ucapnya tanpa menunggu waktu lebih lama lagi.

Bibir Ale terkunci, hatinya meronta, jantungnya berdegup lima kali lebih cepat. Napasnya mulai terasa berat, walau selang oksigen terpasang. Semua terasa semu, masa lalunya mulai dipertanyakan dan masa depannya semakin menjadi rahasia yang sulit untuk dijelaskan.

Safira berjalan mendekat, semakin dekat dengan Ale dan Renata yang terus terisak melihat kenyataan yang begitu memilukan. Safira mencoba menyentuh rambut Ale, tetapi dia menepisnya. Ini terasa sangat cepat dan mendadak, belum ada persiapan yang matang untuk menerima wanita yang tiba-tiba datang dan mengaku sebagai ibunya.

"Aku tidak pernah mengenalmu sebelumnya," ujar Ale menyimpan tangis.

Safira hanya wanita biasa, tangisnya tidak bisa dia bendung setelah melihat anaknya tidak bisa menerima kehadirannya. "Tolong, Mbak Renata jelaskan yang sebenar-benarnya apa yang terjadi selama ini."

Renata menggelengkan kepala, tidak ada kata terucap.

Dua wanita yang sama-sama ingin mendapatkan pengakuan dari Ale. Ibu yang telah melahirkannya atau Tante Renata yang telah merawatnya sejak kecil, hanya waktu yang bisa menjelaskannya dengan caranya sendiri.

***

Aqila duduk di kursi teras rumah sakit menikmati sinar mentari di hari Minggu, melihat sekitar guna menunggu giliran dapat masuk ruang rawat Ale untuk menghiburnya. Tidak ada niatan untuk melakukan aktifitas lain, selain menunggu kesempatan untuk bisa bertemu Ale. Penantiannya mulai terganggu, saat ponselnya terus berdering, dia segera melihat siapa yang melakukan panggilan kepadanya.

Marvel, nama yang tertera di lAqilar ponselnya, segera Aqila menggeser tanda panah merah pada layar ponselnya. Panggilan itu terus terulang hingga beberapa kali, Aqila tidak bisa menghindar, dia harus memperjelas keadaan.

"Apa Vel?" Tanpa salam pembuka Aqila menyergap panggilan dari mantan kekasihnya.

"Aku pengen ngomong sesuatu, aku mau minta maaf padamu juga pada Ale," ucapnya pelan tak ingin menyulut emosi Aqila.

"Sudahlah, semua sudah terjadi, perbaiki saja sikap dan tingkah lakumu. Apa yang kamu lakukan pada Ale kemarin, tidak pantas untuk seorang ketua OSIS yang selalu menjadi panutan untuk para siswa." Aqila tidak ingin ada pertengkaran lebih lanjut, secara tidak langsung dia tahu itu akan membahayakan Ale.

"Pemikiranmu sangat dewasa, tapi lebih dari itu aku ingin kita kembali-" ucapannya terhenti.

"Tidak ada kata kembali setelah kamu berhasil memasukan Ale ke dalam ruang operasi," sahut Aqila cepat tidak ingin mendengarkan ucapan Marvel yang semakin tidak jelas untuknya.

"Maksudmu?"

Tidak ada jawaban yang dapat Marvel terima, panggilannya telah terputus. Aqila tidak mau permasalahan ini semakin melebar dan membuat Ale semakin terancam. Aqila mematikan ponselnya, tidak ingin ada panggilan masuk untuk mengusik hidupnya saat ini.

"Aqila?" Ada yang menepuk pundaknya dengan lembut.

Aqila membalikan badannya, "Brenda, ngapain di sini?"

Brenda tersenyum, "Aku mau jenguk adikku, dia sakit dirawat di sini, kamu sendiri?"

Aqila bingung harus menjelaskan apa, seandainya dia memberitahu kalau Ale sedang dirawat pasti Brenda akan khawatir dan ingin menjenguknya. Semua usahanya untuk memisahkan mereka hingga masalah sabotase makalah cerdas cermat akan sia-sia, jika mereka bertemu kembali.

"Qil, siapa yang sakit?" Brenda kembali mengulangi pertanyaannya.

Aqila meringis, sulit untuk berucap.

"Aqila, Qil!" Teriak Iwan sambil melambaikan tangan.

Ini alasan yang tepat pikirnya. "Maaf ya Brenda, aku dipanggil, aku duluan ya," ucap Aqila meminta izin pada Brenda.

"Oke," sahutnya cepat sambil tersenyum ke arah Om Iwan yang berdiri di dekat tangga naik.

Aqila berlari untuk segera sampai pada pusat suara yang memanggilnya. Aqila sangat bersyukur ada Papanya yang menyelamatkan hidupnya, bisa dibayangkan jika Brenda kembali bertemu Ale akan sulit bagi sahabatnya untuk move on.

"Qil, kamu harus melapangkan dada."

"Kenapa, Pa?"

"Nanti kamu tahu sendiri," ucap Iwan dengan senyum hambarnya.

Semakin rumit dan sulit ditebak, Aqila tidak memahami semua yang terjadi. Udara pagi cukup sejuk untuk memulai banyak aktivitas, tetapi mereka sedari malam masih setia di rumah sakit untuk menemani Ale dalam menjalani tiap detiknya. Aqila berusaha tetap tenang untuk segala hal yang akan terjadi.

Langkah mereka terhenti di depan kamar rawat VIP nomor enam puluh tiga, Aqila tercengang melihat sosok yang ada di depan kamar rawat sahabatnya. Tidak mungkin dia mengetahui tanpa Aqila beri tahu. Semua terasa sulit untuk dicerna.

Aqila mempercepat langkahnya dan berhenti tepat di belakang rivalnya. "Brenda, ngapain di sini?"

"Ini kamar adikku," ucapnya menunjuk angka enam puluh tiga sebelum memasukinya.

"Ini kamar Ale," ucap Aqila meraih gagang pintu.

Brenda dan Aqila saling bertukar pandang, tidak dapat memahami keadaan yang dirasanya cukup pelik untuk diuraikan. Iwan menepuk pundak Aqila, menyadarkan putrinya untuk segera membuka pintu kamar rawat sahabatnya. Tidak ada senyum, semua seakan membeku dalam pagi hangat di hari Minggu.

"Ale?" Aqila membuka mulut dengan pelan.

"Iya," sahut Brenda cepat.

"Aku nggak paham. Bukannya kalian mantan?"

"Ini rumit, aku juga bingung harus menjelaskan dari mana."

Aqila semakin dibuat penasaran dengan keadaan ini. Masa lalunya tidak sesuai dengan yang pernah dia lalui dahulu. Dua keluarga yang ternyata saling memiliki keterkaitan satu sama lain. Usianya masih terlalu dini di masa ini untuk menguak rahasia besar yang selama ini tersimpan rapat. Brenda menatap Aqila dengan tatapan nelangsa, mereka harus terjerat dalam sebuah cerita yang sulit terurai.

***

Setelah kondisi Ale lebih baik, Safira, Renata, Iwan, Brenda, serta Aqila duduk bersama untuk meluruskan segala salah paham yang terjadi. Safira mengeluarkan surat pernyataan bermaterai yang ditanda tangani oleh dirinya, Alm. Firman, Renata, dan Iwan. Tertulis dengan jelas jika Aleandra adalah anak kandung Safira dan Firman. Dalam surat perjanjian itu Ale dititipkan pada Renata lantaran Safira dan Firman harus bekerja ke luar negeri untuk membayar semua hutang perusahaan. Renata menerima Ale dengan penuh cinta hingga sebuah kecelakaan membuat Firman harus pergi selamanya dan Safira hilang kabar.

"Maafkan kami sebagai orang dewasa tidak bisa menjadi contoh yang baik," ucap Renata meneteskan air matanya.

"Ini bukan salah Tante Renata, ini takdir. Selama ini aku pikir ibu kandungku sudah meninggal seperti ayah kandungku. Aku tidak bertanya karena menjaga perasaan Tante Renata." Ale mulai terbawa suasana hingga menyembuhkan tangisnya.

"Saat berada di luar negeri, saya menikah dengan Pak Johan, papa kandung Brenda dan sejak saat itu saya menjadi manusia baru. Namun, ikatan darah tidak bisa terhapus begitu saja." Safira menjelaskan sedetail mungkin.

"Lantas apa yang sekarang ingin kamu lakukan padaku?"

"Kembalilah pada ibu yang telah melahirkanmu. Saya ingin mengubah segalanya, menebus kesalahan di sama lalu dan ingin merawatmu dengan baik sesuai perjanjian yang telah saya buat bersama Mbak Renata, Mas Iwan, dan Alm. Mas Firman, jika sekembali dari luar negeri akan mengambil Ale kembali " Safira menceritakan masa lalu guna bernegosiasi dengan sang putra.

Renata meremas tangan kanan Iwan, lelaki yang sangat dia cintai, wanita itu seakan tidak terima dengan apa yang terjadi. Aqila dan Brenda hanya bisa terdiam melihat rumitnya perjanjian masa lalu yang harus mereka jalani. Teringat jelas di masa lalu, dulu, sebelum membuat perjanjian dengan lelaki plontos tidak ada adegan semenyedihkan ini. Namun, sekarang semua terungkap alasan Ale tinggal di rumah Aqila sedari kecil.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top