21b. Kecewa
Ada kecewa yang membekas di hati Ale. Sepanjang perjalanan pulang dari cerdas cermat, pandangan Ale terus menerawang ke jendela, mengingat segala kebaikan Brenda untuk dijadikan pertimbangan dia tidak memutuskannya. Namun, apa yang dia dapat kali ini cukup membuatnya sangat sedih, tidak ada juara yang dapat diraih, pikiran kacau menembus awan hitam berselimut air mata.
Di taman sekolah Aqila telah menunggunya dengan segala kemungkinan, biar menang atau kalah, Ale tetap yang terhebat. Benar saja tim cerdas cermat SMA Nusantara telah tiba di halaman sekolah, buru-buru Aqila menyambut Ale yang dari tadi tidak membalas pesannya. Hanya butuh hitungan detik, Aqila telah mengetahui jika sahabatnya, Rama, dan Sheril tidak dapat meraih apa yang dia impikan.
"Le, tetap semangat, ya! Di mataku kamu tetap yang terbaik," ucap Aqila memberikan energi positif untuk sahabatnya yang terlihat tidak memiliki semangat.
"Belum pulang?"
"Aku sengaja nunggu kamu, tadi ada Brenda juga?"
"Jangan sebut nama itu!"
Mimik kesal terlihat jelas dari bibir Ale yang tidak menginginkan keberadaan Brenda. Aqila dapat dengan cepat membaca situasi, segera dia menyeret Ale untuk duduk di bangku taman utuk menunggu jemputan mereka. Aqila mulai berhati-hati dalam berucap, dia tidak mau Ale terlalu banyak pikiran yang nanti bisa membuatnya kembali kejang lagi.
"Masih ada kesempatan tahun depan untuk kembali ikut cerdas cermat."
"Aku udah nggak ada harapan ke sana," ujar Ale asal.
"Maafkan aku, Le."
Brenda ternyata cukup lama telah menguping di belakang pohon yang jaraknya tidak begitu jauh dari kursi pohon tempat Aqila dan Ale duduk. Ada penyesalan yang mendalam di hati Brenda, dia merasa bersalah dengan apa yang terjadi pada Ale dan kawan-kawannya. Semua terlambat, tidak ada yang bisa disesali lagi. Brenda berjalan ke arah mereka, berharap Ale dapat memaafkan kesalahpahaman itu.
"Brenda? Kamu udah balik dari kamar mandi?" Aqila kaget melihat Brenda ternyata sedari tadi menguping pembicaraan mereka.
Brenda mengangguk, "Ale, tolong maafkan segala kesalahanku, tapi aku yakin bukan aku yang membawa makalah itu ke lokerku."
Aqila menyenggol siku sahabatnya. "Jawab, jangan diam aja!"
"Lihatlah sedikit sisi baikku, kalau memang kesalahanku telah menggores kepercayaanku," ujar Brenda terus meyakinkan kekasihnya.
"Le, jawab dong jangan jadi pecundang!" Perintah Aqila cukup membuat Ale mulai membuka suara.
"Sudahlah, semua sudah terjadi, lupakanlah jangan diingat lagi!"
"Aku nggak bisa gitu aja, Le."
"Kamu harus tahu selama ini aku selalu menyimpan rasa percaya padamu hingga saat foto kemarin beredar, aku terus mencoba percaya pada ucapanmu, tapi sekarang semua sudah sia-sia."
"Le?"
"Aku mau kita mengakhiri hubungan ini, percuma jika dipaksakan. Kamu terlihat tidak bahagia dengan keadaanku." Ale mengungkap segala alasan yang selama ini mengganjal di hatinya.
Brenda tidak bisa percaya begitu saja, semudah itu Ale mengucap kata putus setelah turun naiknya kehidupan percintaan mereka. Aqila yang menjadi saksi bisu kandasnya hubungan sahabatnya merasa sedih, namun di sisi lain bukankah ini yang Aqila inginkan, agar Ale dapat kembali kepadanya. Entahlah yang jelas hati Aqila ikut hancur melihat sahabatnya menyimpan air mata dalam pelupuk matanya.
"Aku nggak bisa terima, Le!" Brenda terus memberontak tidak ingin semuanya hancur hanya karena sebuah kesalahpahaman.
"Apa yang harus dipertahankan?" emosinya mulai menguasai dirinya. "Asal kamu tahu selama ini aku diam setelah mengetahui kenyataannya, kamu mau menerimaku karena sebuah ketidaksengajaan dan karena kamu ingin tugas-tugasmu selesai tepat waktu."
Brenda tersudut, apa yang dikatakan Ale benar adanya. "Awalnya iya, tapi ke sininya aku benar-benar menyukaimu," bela Brenda tidak ingin semua hancur begitu saja.
"Bukan karena Alfian?"
Brenda terdiam tidak mampu berucap sepatah kata pun.
"Sudah jelas, kamu tidak bisa menjawab, untuk apa hubungan yang dilandasi rasa kasihan harus dipertahankan?"
"Le, kenapa kamu setega ini padaku setelah aku rela meninggalkan modelling untuk fokus sekolah dan ingin selalu bersamamu."
"Itu keinginanmu, aku tidak pernah menyuruhmu melakukan semua itu."
"Le," pekik Brenda mulai putus asa.
Ale terus menyudutkan Brenda dengan berbagai fakta yang dia pendam selama ini. Ale merasa dirinya telah dibohongi mentah-mentah oleh orang yang dia sukai. Kini kesabarannya telah habis, memutuskan sebuah hubungan bukanlah sesuatu yang perlu disesali, ini jalan yang terbaik.
"Ayo kita pulang, mobilnya sudah nunggu," ajak Ale yang melihat jemputan mereka telah tiba.
Aqila terus memandang Brenda dengan tatapan nelangsa, ini tidak seperti yang dia inginkan.
***
Beberapa harinya setelahnya, kabar putusnya Brenda dan Ale telah tersebar luas seluruh sudut sekolah. Ada yang mendukungnya, ada pula yang menyalahkan Ale yang tidak bisa bersyukur memiliki bidadari secantik Brenda. Aqila tahu hal ini akan terjadi, sebisa mungkin Aqila terus bersama sahabatnya, mendung semua langkahnya tanpa menghakimi. Aqila meminta Ale untuk tidak perlu menghiraukan ocehan teman-temannya, tetap bersikap wajar agar segala gosip miring yang menimpanya segera berlalu.
"Qil, aku pengen ngobrol sebentar."
"Apa sih, Vel?"
Melihat Aqila dihadang Marvel dan sepertinya ada sesuatu yang ingin Marvel sampaikan, Ale tahu diri untuk menjauh dari mereka. "Kalau gitu aku masuk kelas dulu ya!" izin Ale sambil melambaikan tangan pada mereka.
Marvel membalasnya dengan senyum tipis. Berbeda dengan Aqila membalas lambaian tangan Ale dengan senyum manis tiga jari.
"Kenapa akhir-akhir ini kamu sangat sulit dihubungi?"
"Aku lagi sibuk." Aqila melangkahkan kakinya.
"Sibuk apa?" Marvel terus memburu untuk alasan yang jelas.
"Harus ya aku beri tahu?" Langkah Aqila semakin cepat.
"Ini semua karena Ale," sahut Marvel membuat Aqila menghentikan langkahnya.
"Kalau 'iya' kenapa?"
"Sudah kuduga, kalian memang tidak wajar. Bukan seperti sahabat biasanya yang aku lihat hubungan kalian lebih dari itu."
"Jangan sok tahu!"
"Semua orang juga tahu, kamu terlalu posesif dengan Ale, itu tidak normal."
"Terserah, mungkin ini waktu yang tepat untuk kita mengakhiri hubungan yang mulai nggak sehat ini," begitu saja terucap dari mulut Aqila tanpa ada penyesalan yang berarti.
"Nggak bisa semudah itu, Qil!"
"Asal kamu tahu, bukan kamu satu-satunya orang yang aku sukai!"
Teriak Aqila membuat Marvel tak kuasa menahan emosinya, seakan selama ini dia telah dibohongi mentah-mentah oleh Aqila. Marvel mulai mengepalkan tangan kananya, ingin menghantamkan ke siapa saja yang telah mempermainkannya. Di waktu bersamaan, Ale kembali untuk memberikan bekal makan siang Aqila yang terbawa di tasnya. Langkah Ale cepat tidak ingin membuat Aqila datang kepadanya.
"Qil!" Teriak Ale mengangkat kotak bekal kuning miliknya.
Marvel berlari ke arah Ale, mengangkat kepalan tangan kanannya untuk dia hantamkan tepat di tulang hidung Ale, kotak bekal itu terjatuh, semua yang ada di dalamnya bercecer tidak terkendali. Ale tidak dapat mengelaknya, seketika darah segar terus mengucur dari sana. Aqila yang melihat tiap detiknya segera memeluk Ale, melepaskan jaket Nevada kuning pemberian Marvel untuk dia gunakan sebagai penghambat darah Ale yang terus mengucur keluar tidak terkendali.
"Marvel, Vel!" Teriak Aqila dengan wajah merah padamnya.
Terlintas penyesalan yang cukup dalam pada diri Marvel melihat Ale yang terus mengeluarkan cairan merah segar dari hidungnya. "Bukan maksudku," ucapan itu terhenti, tidak ada kalimat yang mampu dia rangkai.
"Benar adanya jika memutuskanmu adalah jalan terbaik."
Aqila cepat-cepat mengajak Ale untuk ke UKS sebelum kondisinya semakin parah. Dilihatnya tangan Ale mulai menunjukan tanda kejang, Aqila tidak ingin Ale kembali terluka hanya karenanya. Tangisnya pecah tanpa mampu dia cegah, membuat Ale merasa bersalah dalam kejadian ini.
Marvel terpaku hanya mampu menyaksikan semua pandangan siswa menyalahkannya akan kecerobohan yang telah terjadi dan membuat satu siswa terluka.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top