18. Epilepsi Bukan Aib
"Lagi sibuk, jangan diganggu!"
"Bentar aja," Alfian mendekat memasang wajah lugunya.
"Nanti dulu ya, ini lagi ngisi formulir buat lomba modelling."
"Aku cuma mau tanya tiga soal aja," ucap Alfian menyodorkan buku tugasnya. "Please, bantuin dong, Kak Brenda!"
Kesabarannya melemah, Brenda mendorong pelan tubuh Alfian untuk menjauh darinya, tanpa disadari Alfian kehilangan keseimbangan. Ingin hati meraih tangan Brenda, tetapi apa daya tubuhnya terkena efek gravitasi bumi, dia segera menghantam lantai. Mungkin untuk orang sehat tidak begitu sakit, tapi untuk Alfian berbeda, hingga kejang hebat malah terjadi padanya. Brenda yang mengetahui segera memberikan pertolongan pertama, tetapi semua terlihat sia-sia. Buih putih terus keluar dari mulut Alfian, kejangnya semakin kuat, tangan Brenda tidak mampu menenangkannya. Semua terlambat, hanya tangis yang mampu Brenda persembahkan.
***
Sepanjang menemani Ale terbaring di UKS, Brenda terus mengengam erat jerami kekasihnya. Terlihat wajah penuh penyesalan, terlambat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Brenda mengingat kali pertama perjumpaannya dengan Ale, penuh kekonyolan hingga saat dia tidak sengaja menerima keinginan Ale untuk menjadikannya kekasihnya. Nyatanya sampai detik ini hubungan yang dilatarbelakangi insiden ketidaksengajaan tetap terjaga, sekalipun Brenda terus memanfaatkan ketulusan kekasihnya.
Kesalahannya terhadap Ale sudah terlampaui banyak, dalam hati kecilnya ada tekat yang kuat untuk mengubah cara pandang dan perlakuannya terhadap Ale. "Demi untukmu, aku akan mengubah semuanya, berusaha lebih baik lagi dalam segala hal, ini adalah caraku menebus kesalahanku dan semoga kamu bisa memaafkannya," gumamnya pelan, mencium punggung tangan kanan Ale.
"Tidak perlu meminta maaf, tidak ada yang salah," balas Ale dengan mata tertutupnya.
Brenda bangkit dari tempat duduknya, melihat lebih dekat kondisi kekasihnya. "Udah sadar?"
Ale perlahan membuka mata. "Masih sedikit nyeri."
"Aku takut, Le." Ada air mata yang mulai menetes.
"Jangan takut, nanti kamu akan semakin sering melihatku seperti ini."
Air mata itu dia hapus dengan kasar. "Kenapa nggak pernah cerita?"
Ale tersenyum tipis menaham nyeri yang masih tersisa. "Emang epilepsi harus dibanggakan?"
"Setidaknya, orang-orang terdekatmu bisa memberikan pertolongan pertama jika kejang terjadi, sebelum terlambat," jelas Brenda memberikan pemahaman.
"Nyatanya kamu orang terdekat yang sudah menolongku," Ucap Ale lirih dengan membenarkan posisinya. "Oh iya, kamu sudah telepon orang rumah?"
Brenda menggeleng, bahkan dalam otaknya tidak ada niatan untuk menghubungi wali dari Ale lantaran ketakutannya berlebih.
"Jadi semua anak sudah tahu kalau aku ODE?"
"Sudah, mereka banyak yang memandang salah. Mereka takut, bahkan jijik tidak berani mendekat waktu busa putih terus keluar dari mulutmu. Aku benci mereka, mengapa harus mendiskriminasi ODE yang tidak bersalah?"
Ale sedikit bingung dengan apa yang baru saja dia dengar. Ini tidak seperti Brenda yang lalu, ada yang tidak biasa, namun belum bisa dia ungkapkan. "Kamu sendiri emang enggak jijik melihat kondisiku saat kejang?"
Brenda terdiam sejenak.
"Brenda yang mengelap busa itu, terus di sampingmu hingga kejangmu berhenti, lalu Brenda yang mengendongmu ke UKS, dia kekasih terhebat," sela Rado yang masuk ruang UKS tanpa permisi. "Ketika yang lain tidak bisa memberikan pertolongan, dengan cepat Brenda melakukannya."
Ale memandang Brenda dengan seribu tanya yang tidak bisa diungkapkan satu per satu. "Thanks, ya, Bren."
"Semua orang yang paham akan epilepsi akan melakukan hal yang sama. Seandainya tadi guru-guru dan staf sedang tidak rapat di lantai tiga, mungkin aku tidak mengendongmu ke UKS. Kamu berat banget, punggungku sampai sakit," ujar Brenda mencairkan suasana.
"Maaf, ya, tapi kamu kok sepertinya paham banget ya tentang epilepsi?"
Brenda menampilkan wajah datar tanpa ekspresi. "Dua tahu yang lalu, adikku meninggal."
"Meninggal?" Tanya Ale ingin memeperjelas pernyataan Brenda.
"Karena dia ODE yang terlambat mendapatkan penangganan medis setelah tidak sengaja terjatuh."
"Kami turut berbela sungkawa, ya," sahut Rado dan Ale kompak.
"Inilah yang membuat aku takut jika ada ODE yang kejang dan terlambat mendapatkan penanganan, aku selalu teringat tentang Alfian." Brenda berusaha menahan tangis yang akhirnya kembali terjatuh tanpa mampu dia bendung.
Seisi UKS hening, merasakan sesak teramat dalam seperti yang Brenda rasakan. Ale terdiam tidak ingin mengulik banyak pertanyaan. Rado terlihat terus berusaha menghubungi Aqila untuk bersiap di rumah menyambut kedatangan teman-temannya mengantar kepulangan Ale.
Perihal Ale yang menderita epilepsi tersebar liar di sekolah dalam hitungan menit. Semua mengetahui kondisi Ale yang sebenarnya, jika dia tidak sehat dan cenderung memiliki penyakit yang mengerikan. Sejak kejadian itu banyak siswa yang mungkin, jika nanti bertemu dengan Ale akan memilih menjauh darinya.
***
Brenda, Sava, Rado, dan Marvel mengantar Ale untuk pulang mengunakan mobil Mervel. Sebenarnya Brenda menyarankan Ale untuk dibawa ke rumah sakit sesuai dengan anjuran beberapa guru juga perawat penjaga UKS, tetapi Ale yakin kondisinya telah baik-baik saja. Terlebih jika dia masuk rumah sakit dan Mama Renata tahu, Aqila akan kena sasaran kemarahan mamanya, Ale tidak ingin melihat sahabatnya kembali menangis seperti saat itu.
Tok ... tok ... tok ....
Ketukan tiga kali sukses membuat pintu itu terbuka, dari baliknya Aqila keluar dengan wajah cemas penuh ketakutan. Tidak ada sepatah kata pun, dia meraih tubuh Ale untuk memapahnya masuk ke dalam rumah. Brenda, Sava, Rado, dan Marvel meyesuaikan kedaan, mereka memutuskan untuk duduk di ruang tamu sembari menunggu Aqila mengantar Ale ke kamaranya. Aqila tidak bisa berkompromi, dia segera menyuruh Ale untuk istirahat di kamarnya, dengan telaten Aqila memberikan obat untuk sahabatnya.
"Istirahat, jangan bikin banyak orang khawatir," pesan Aqila sambil menyelimuti sahabatnya.
"Maaf ya, Qil."
"Ternyata aku tidak bisa jauh darimu." Aqila tersenyum tipis, membiarkan Ale terlelap oleh obatnya.
"Sudah diperingatkan, waktumu tidak banyak jangan sia-siakan begitu saja!" Terdengar suara lelaki plontos dari balik tirai.
Aqila kaget bukan kepalang, "Kok bisa aja di sini?"
"Dasar manusia! Sudah diperingatkan malah dilanggar! Ingat Aqila segera selesaikan misimu sebelum waktumu habis atau takdir tidak akan pernah bisa berubah!"
Tanpa basa-basi lelaki plontos itu menghilang dari balik tirai. Aqila seperti bermimpi, tetapi apa yang dikatakan lelaki itu benar adanya. Waktunya tidak lama lagi, sebelum semuanya terlambat dan perjalanan kembali ke masa lalu sia-sia, dia harus bertindak dengan cerdas.
Aqila menutup pintu kamar dengan sangat pelan, berjalan dengan wajah gelisah menuju teman-temannya. Aqila mencoba menerima keadaan, duduk dan diam sejenak berpikir apa yang harus dia utarakan untuk menjelaskan kondisi Ale yang sebenarnya. Sava yang melihat kecemasan Aqila segera mendekat dan duduk di samping Aqila untuk menggenggam tangannya, memberikan kekuatan untuk sahabatnya.
"Kenapa kamu sembunyikan semuanya, Qil?" Tanya Marvel membuka percakapan.
"Jika kita tahu lebih awal, kita akan selalu menjaga Ale dengan baik," tambah Rado yang sangat khawatir melihat kondisi teman sebangkunya.
"Aku tahu ini akan terjadi, sejujurnya aku takut jika semua mengetahui kondisi Ale yang sebenarnya, mereka tidak akan bersikap normal terhadap Ale," papar Aqila mencoba memberikan pemahaman sederhana.
"Tapi ini salah," sela Brenda menatap Aqila tajam. "Apa orang tuamu juga menyembunyikan epilepsinya?"
Aqila menggeleng.
"Kenapa malah kamu yang membuat Ale seakan memliki bom waktu yang orang lain tidak boleh mengetahuinya?" Brenda terus memburu Aqila dengan berbagai pertanyaan.
Aqila menganggap Brenda terlalu jauh ingin mengetahui tentang kehidupan Ale. "Kamu tahu apa tentang epilepsi?"
Raut wajah Brenda terlihat lebih serius ketika Aqila balik bertanya padanya."Aku paham benar, tanpa kamu beri tahu."
"Jangan sok tahu!" Emosi Aqila tidak bisa dikendalikan, semua seakan menyudutkannya atas apa yang terjadi pada sahabatnya.
"Seandainya, waktu bisa diputar dan Ale berterus terang dengan kondisinya, ini tidak akan pernah terjadi, Qil."
"Nyalahin aku?" Aqila terus tersulut emosi.
"Nggak," tungkas Brenda cepat.
Situasi memanas antara Brenda dan Aqila memiliki pandangan tentang kondisi yang saat ini mereka alami. Sava, Rado, dan Marvel hanya bisa mengikuti alur cerita tanpa ikut berargumen. Aqila merasa Brenda terlalu jauh mencampuri urusan sahabatnya, dirasa Brenda adalah pahlawan yang mengerti tentang segala sesuatunya tanpa bisa dibantah. Brenda terus bersuara demi orang yang ada di hatinya.
"Qil, jangan kayak gitu, niatnya Brenda baik," sela Marvel mendukung Brenda. "Brenda yang memberikan pertolongan pertama, dia paham benar tentang kondisi yang terjadi pada Ale di sekolah."
"Iya, jika tadi aku memutuskan untuk tetap sekolah, Ale tidak akan kejang serta masalah ini tidak akan serumit saat ini," ujar Aqila terus menyalahkan dirinya sendiri.
Sava sebagai sahabat paham benar apa yang sedang berkecamuk di hati Aqila. "Nggak ada yang nyalahin kamu, Qil."
"Di sini bukan waktunya menyalahkan, kita harus bersikap cerdas, menerima dan menjalani apa yang sudah terjadi. Semua anak sudah tahu tentang kondisi Ale yang sebenarnya, bukan saatnya kita menutupi lagi, tapi memberikan pemahaman jika apa yang terjadi pada Ale bukan salahnya, itu bukan aib yang harus terus ditutupi." Panjang lebar Rado menjelaskan untuk membuat suasana lebih kondusif, berharap agar semua mampu merangkul dan saling menguatkan, bukan saling menyalahkan.
Rado pernah di posisi Ale, di mana dia harus berjuang dengan sedikit kekuatan yang dimiliki. Banyak stigma negatif yang dulu pernah menyapanya saat awal-awal kecelakaan dan mengharuskan kakinya cacat hingga saat ini, bahkan lebih parah lagi Rado harus mengubur mimpinya untuk menjadi pemain basket profesional dengan kondisi kakinya yang tidak lagi prima. Beruntung Ale masih memiliki banyak kawan yang bisa merangkulnya dan keluarga yang sangat menyayanginya, tidak ada alasan untuk Ale menyerah.
"Tugas kita saat ini, bersama-sama menjaga Ale, sebisa mungkin membuat dia tetap dalam kondisi aman jangan sampai memicu epilepsinya," ucap Brenda tulus dari hatinya.
"Benar kata Brenda, kita sama-sama jaga Ale," tambah Sava meyakinkan.
"Nggak akan kami meninggalkan Ale, apapun yang terjadi. Kamu adalah sahabat yang hebat, sejauh ini ingin terus melindungi sahabatnya agar terlihat tampak normal dan baik-baik saja." Marvel mencoba menguatkan kekasihnya untuk terus berpihak kepadanya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top