17. Terjadilan
Berseragam lengkap, Aqila masuk kamar Ale tanpa mengetuknya. Melihat akhir-akhir ini Ale banyak kesibukan, Aqila ingin meminta sahabatnya untuk tidak masuk sekolah. Dia sabar menunggu Ale yang sedang di kamar mandi. Sesaat kemudian sahabatnya keluar dengan berpakaian seragam lengkap. Tidak begitu kaget dengan keberadaan Aqila yang selalu mendadak masuk kamarnya tanpa permisi. Di sana terlihat jelas wajah Ale sedikit pucat dengan mata panda yang semakin menghitam membuat Ale layak untuk beristirahat di rumah.
"Nggak usah masuk deh kalau emang lagi sakit," saran Aqila khawatir.
"Hari ini bersejarah banget, pemilihan ketua OSIS."
"Itu nggak lebih penting dari kesehatanmu." Aqila mencoba memahamkan sahabatnya jika apa yang dia lakukan bukanlah hal yang sepenuhnya penting.
"Menang kalahnya Marvel tidak berdasarkan kehadiranmu," gertak Aqila terus memahamkan Ale.
"Terserah, Qil."
Ale keluar kamar tanpa menghiraukan apa yang Aqila khawatirkan. Tanpa sarapan, dia berlari keluar rumah untuk segera pergi ke sekolah dengan ojek online yang telah dipesan. Ale merasa lelah harus diperlakukan seperti anak kecil, setiap waktu, sepanjang hari, Aqila selalu ada untuknya. Ini bukan masanya Aqila harus terus bersamanya, Aqila harus berpikir kehidupannya juga bukan hanya memikirkan dirinya yang tak sama dengan yang lain.
"Qil, Ale udah berangkat?"
"Udah, barusan," jawab Aqila tak bersemangat.
Terlihat wajah Mama Renata menjadi kesal mendengarkan jawaban dari putrinya. "Kenapa sepertinya kamu nggak peduli ya dengan Ale?"
Aqila tidak paham dengan apa yang dituduhkan oleh mamanya. "Ma, aku itu peduli banget dengan Ale, tapi akhir-akhir ini banyak kejadian di sekolah yang membuat kami sama-sama lelah dengan sendirinya."
"Itu bukan alasan, Qil." Renata menaruh dua piring nasi goreng di atas meja makan.
Emosi Aqila mulai tidak stabil, mengingat perangnya tadi pagi ditambah mamanya yang tidak sepaham dengannya membuat Aqila memberontak. "Kenapa Mama selalu nyalain Aqila di segala hal, semua yang menyangkut Ale, Aqila yang salah. Aqila capek, Ma."
Renata terlihat bingung ingin menjelaskan dari mana dan bagaimana. "Kamu nggak tahu yang sebenarnya, Qil."
"Kalau begitu beri tahu aku yang sebenarnya, Ma!" perintah Aqila terus memburu, ada rasa curiga akan suatu hal yang masih menjadi misteri.
***
Ale yang datang lebih awal langsung berbaur dengan tim sukses Marvel yang lain. Skenario akan kemenangan atau kekalahan yang akan dia terima telah Marvel persiapkan dengan lapang dada, walau sejujurnya dia sangat optimis dapat memenangkannya. Marvel memasang wajah wibawa yang sungguh membuatnya semakin tampan. Siapa saja yang dia temui selalu Marvel sapa, sekadar menanyakan kabar dan basa-basi ringan. Ini merupakan langkah terakhirnya sebelum pemilihan ketua OSIS dimulai.
Marvel menghampiri Ale yang ikut menata bangku-bangku kelas untuk dijadikan kursi tunggu selama masa pemilihan ketua OSIS berlangsung. "Le, mana Aqila? Tumben kalian nggak barengan?"
Ale mencari alasan masuk akal, tidak mungin dia menceritakan yang sebenarnya terjadi kepada Marvel. "Dia tadi bangkong karena terlalu capek, jadi aku tinggal duluan."
Marvel hanya menganggukkan kepala, dia yakin ada yang tidak beres antara Aqila dan Ale. "Ya udah, aku siap-siap dulu sebentar lagi acara dimulai, standby aja di sini kalau aku butuh sesuatu, cepat nyari kamunya."
"Oke, Vel. Good luck, ya!"
"Jangan lupa, coblos nomor satu!" Perintah Marvel mengingatkan Ale untuk mencoblos nomornya.
Di sisi lain, setelah Renata dan Iwan pergi kerja, Aqila masuk kamar dan melepas seragamnya, memasukannya pada keranjang pakaian kotor. Berganti kaos obong dan celana jeans, dia bersantai di atas tempat tidurnya tidak peduli akan segala hal yang menerpa, Aqila memiliki pendiannya sendiri. Mengotak-atik ponsel kesayangannya malah membuatnya semakin sebal tidak karuan, mematikannya adalah langkah terbaik.
Melihat luar jendela dengan pemandangan matahari menyinari bunga-bunga di taman di samping kamarnya membuat Aqila ingin menjadi matahari, lantaran tidak perlu berpikir banyak hal, hanya memiliki satu tujuan menyediakan sinarnya untuk dinikmati semua makluk yang ada di bumi, dapat hidup mandiri tanpa bantuan yang lain.
"Bukankah ini yang Ale inginkan, aku tidak membuntutinya lagi sepanjang waktu? Seandainya dia tahu apa yang aku rasakan, semoga Ale baik-baik saja tanpa aku di sampingnya," pekik Aqila lirih menenggelamkan tibuhnya dalam selimut.
Tanpa ada intruksi lebih lanjut dari Marvel, Brenda datang dengan segerombol teman-teman perempuannya, menghampiri Ale yang terlihat duduk santai sambil memainkan ponselnya. "Hai, Le," sapanya ramah.
"Hai, duduk aja dulu, pemilihannya belum dimulai. Kamu bawa banyak cewek buat kasih suara ke Marvel gitu?"
"Benar sekali, aku juga ingin berkontribusi untuk kemajuan sekolah kita," ucap Brenda seakan memiliki keinginan kuat untuk membuat Marvel bisa menang.
Ale menyambutnya dengan bahagia. "Syukurlah, aku senang dengarnya, Bren."
Pesta demokrasi SMA Nusantara resmi dibuka dengan ketuk palu dari kepala sekolah. Semua siswa berhambur untuk mengumpulkan kartu coblos guna dikumpulkan untuk dipanggil satu per satu masuk bilik coblos. Jantung Marvel berdebar tak karuan, melihat banyak siswa yang datang dengan banyak harapan yang mereka bawa. Namun, ada satu yang kurang menurut Marvel, kekasihnya tidak memunculkan batang hidungnya. Hati Marvel mulai tak karuan, tetapi dia berusaha tetap fokus untuk pesta demokrasi ini.
Harap-harap cemas Marvel mulai dikuasai ketakutan, hal ini wajar adanya. Terbayang, jika nanti dia tidak menjadi ketua OSIS pasti ada rasa kecewa yang mengeliat di dirinya. Menampilkan senyum sepanjang waktu hingga proses pencoblosan selesai cukup membuat lelah Marvel. Ada rasa sedikit lega lantaran tinggal satu langkah lagi yag harus dilampaui, yaitu perhitungan suara.
Sejenak ada waktu istirahat, Marvel segera menghubungi Aqila ingin menanyakan alasannya tidak masuk sekolah, satu suara dari Aqila sangat berarti untuknya. Berkali-laki memanggil tetapi tidak ada yang terhubung satu pun, Marvel sangat meyakini Aqila sengaja mematikan ponselnya. Tidak mau dibuat pusing, Marvel segera kembali ke tempat pemungutan suara.
Ale, sava, Brenda, juga Rado duduk santai sambil menunggu perhitungan suara. Ale terus menatap Brenda dengan tatapan kagum lantaran sejauh ini telah menjalin hubungan dengannya tanpa adanya permasalahan yang bearti walau sesekali cekcok hadir mewarnai kisah mereka.
"Bren, kamu haus?"
"Nggak, tadi waktu istirahat habis minum di kantin."
"Kenapa sih kamu cuek amat denganku?" Ale mulai mengoda.
"Bukankah hari-hari juga seperti ini, sudahlah yang terpenting kita tetap baik-baik aja sesuai dengan porsinya."
"Karena yang berlebih memang tidak baik," sahut Ale melengkapi.
Ale dan Brenda terlihat saling melempar tersenyum. Sesekali bercanda akan hal yang sepele, tetapi cukup membuat mereka terhibur.
Perhitungan suara dimulai, semua dibuat berharap cemas akan hasil yang akan diperoleh. Mulai awal hingga menuju akhir perhitungan suara mereka saling berkejar-kejaran, tidak ada yang sangat menonjol. Raut cemas dari dua kadidat calon ketua OSIS terpampang nyata, meskipun senyum selalu mereka tampilkan, pikiran mereka berkata lain.
"Satu sah, satu sah, dua sah." Terdengar sangat keras dari pelantang yang dipakai oleh panitia pemungutan suara.
"Marvel pasti menang! Hanya Marvel pemenangnya! Nomor satu pasti juara!" Teriakan-teriakan semangat dari pendukungnya menjadikan nyali Marvel yang sempat menciut kembali berbesar hati.
Tidak butuh waktu lama perolehan suara milik Marvel cukup tinggi melampaui lawannya, membuat dirinya dinyatakan sebagai pemenang. saat semua siswa riuh dan tertawa lepas menyambut kemengan Marvel. Hiruk pikuk sorak-sorak terus menggema di halaman SMA Nusantara sebagai bukti kemengan Marvel di pemilihan ketua OSIS tahun ini.
Tidak sejalan dengan Marvel, Ale mulai terlihat linglung, napasnya mulai terasa berat, pandangannya tidak lagi awas, kepalanya mulai pening, nyeri-nyeri mulai menyerang kaki dan tangannya. Rado sejenak melihat Ale merasa ada yang aneh, dia beberapa kali meregangkan tangannya hingga tiba-tiba Ale tersungsur ke lantai dengan selurug tubuhnya seperti kaku lalu kejang berulang dengan mata melolot menakutkan.
Melihat kondisi Ale, semua siswa merasa bingung apa yang harus mereka lakukan. Tidak untuk Brenda yang segera mendekat ke Ale, dengan cekatan melonggarkan kancing seragamnya, lalu melepas kardigan putihnya untuk dijadikan alas kepala Ale.
Rado mendekat mencoba membantu, tetapi busa putih keluar dari mulut kawannya membuat Rado bingung apa yang harus dia lakukan. "Bren, Ale kenapa?"
Brenda memberikan perintah, "Kasih ruang kosong untuk Ale, kalian jangan mengepungnya." Melihat kondisi yang dialami Ale, Brenda menarik sebuah kesimpulan. "Ale itu ODE, panggil guru!"
"Permisi, ada apa?" Marvel datang dengan menyela kerumunan para siswa.
Sava terus menghubungi Aqila, tetapi hasilnya nihil. Sava putus asa, dia berlari ke ruang guru untuk mencari pertolongan. Berdiri di belakang Brenda, Marvel terpaku di tempatnya berdiri tanpa berbuat sesuatu.
"ODE itu apa?" Rado penasaran dengan apa yang Brenda ungkapkan.
"Orang Dengan Epilepsi," sahut Brenda sambil terus mengawasi Ale.
"Maksudnya ayan?" sahut siswa yang berdiri tepat di belakang Brenda.
Siswa yang lain ikut berteriak, "Awas nanti kamu bisa tertular!"
"Ayan itu menular melalui busa yang keluar dari mulutnya," sahut seorang siswa menarik temannya untuk menjauh.
Semua siwa saling berpandangan, ini kali pertama mereka melihat kejadian tidak biasa di depan mereka secara langsung. Brenda terus mengelap busa yang keluar dari mulut Ale dengan tisu. Brenda tidak merasa takut sedikitpun, terlihat dari ketegarannya terus berada di samping Ale. Ini sangat berbeda dengan Brenda yang lalu, arogan juga cuek dengan sekitar.
"Asal kalian tahu ini bukan penyakit menular," sela Rado terpancing emosi.
Ada air mata yang menetes tanpa seizing pemiliknya, wajah sendu yang tidak pernah terlihat. "Alfian, kamu harus kuat!" gumam Brenda lirih.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top