13. (Tidak) Satu Frekuensi

Marvel menunggu Aqila di depan gerbang sekolah, ingin mengetahui alasan Aqila yang tak bisa pergi dengannya ke toko buku, tetapi dapat pergi dengan Ale ke sana. Beberapa menit berlalu, Aqila datang dengan senyum tiga jarinya. Melihat Marvel berdiri di tepi gerbang sekolah, Aqila langsung menghampirinya.

“Vel, nunggu siapa?” tanya Aqila dengan ramah.

“Nunggu kamu, aku mau tanya sesuatu.”

Sebelum Marvel sempat bertanya, Aqila malah melontarkan pertanyaan terlebih dahulu. “Perihal ke toko buku, ya?

“Kok, tahu?”

“Soalnya Ale lihat kamu, mau kita hampiri,” Aqila memberi jeda, “tapi, kamu keburu pulang, maaf juga nggak sempat chat juga, ponselku habis batrei dari rumah aku cas terus tertidur.”

Mendengarkan penjelasan dari sang kekasih yang masuk akal, Marvel berubah pikiran. Emosinya mereda dan memiliki rencana lain untuk menebus rencana awal yang gagal. Marvel mengandeng tangan Aqila untuk masuk ke halaman sekolah, tanpa menolak Aqila menggenggam tangan Marvel erat.

“Oh iya, nanti sore ada waktu?”

“Iya Vel, kenapa?”

“Kita ke mana gitu, cuci mata.”

“Ke toko buku aja, ya,” sahut Aqila penuh semangat.

Sore hari tiba, Marvel datang sengaja mengendarai Scoopy hitam kesayangannya untuk membonceng Aqila keliling kota. Marvel berencana untuk pergi ke tempat romantis agar bisa menciptakan memori yang tak terlupakan. Aqila telah bersiap di depan pintu rumah dengan wajah ceria senyum tiga jari. Mengenakan jaket Nevada kuning kebanggaannya dengan sabar menunggu sang pangeran.

“Ini pakai!” Ale memasangkan wig kuning kado ulang tahunnya.

“Apaan sih? Kayak badut tahu.”

“Giliran hadiah dari Marvel dipakai terus,” ledek Ale memaksa memasukan kepala Aqila pada wig kuning hadiahnya.

Tanpa protes Aqila lunak mendengarkan ucapan dari Ale, dengan pasrah rela rambut hitamnya tertutupi wig kuning mencolok kado dari yang tercinta. Wig itu telah terpasang dengan sempurna, penampilan Aqila berubah total, semakin terlihat absurd. Ale tak hentinya tertawa bahagia melihat adiknya terlihat seperti badut Ancol.

“Puas?”

Ale memutar tubuh Aqila untuk sejenak melihat wajah dirinya di kaca jendela rumah. “Noh, lihat wajah cantikmu!”

Aqila tak bisa menahan tawanya, terasa aneh melihat wajahnya dalam pantulan kaca jendela. “Emang aku cantik, baru sadar, ya?”

Tawa Ale pecah mendengarkan perkataan Aqila yang dirasa terlalu percaya diri. Tak lama kemudian Marvel datang mengendarai motornya dengan wajah terheran-heran Marvel mematikan motor dan turun dari motornya, mendekat ke arah Aqila dan Ale yang tak hentinya tertawa melihat penampilan Aqila ala wig kuning.

“Qil, kamu sehat?”

Aqila cukup kaget dengan kedatangan Marvel. “Hai, udah lama datangnya?”

“Barusan,” sahut Marvel sambil melepas helmnya. “Kita jadi keluarkan?”

“Jadi dong,” ucap Aqila antusias.

“Ayo, sekarang aja,” Marvel mengambil helm yang ada  di bagasi jok motornya.

“Kok pakai helm?”

“Biar aman, kitakan naik motor,” Marvel memukul ringan Scoopi hitamnya.

“Vel, kita naik mobil aja, ya?”

“Enak naik motor, Qil,” nego Marvel.

Aqila menggeleng lalu menarik tangan Ale. “Kitakan bertiga.”

Ale terlihat bingung dengan apa yang Aqila lakukan.

Marvel pun tak percaya dengan apa yang Aqila pikirkan. “Harus, ya, besama Ale?”

“Harus dong, Ale di rumah sendirian, Mbok Minah lagi pergi ke rumah kerabatnya,” ucap Aqila memasang wajah melas.

“Qil, aku nggak usah ikut,” sela Ale merasa tak enak pada Marvel.

Aqila memasang wajah jutek. “Iya, udah kita semua di rumah aja kalau gitu.”

Tak butuh waktu lama untuk Marvel berpikir, jika Ale tidak ikut pasti Aqila membatalkan rencana pergi dengannya. Mau tidak mau Marvel mengiyakan apa yang menjadi kehendak Aqila. Tanpa perdebatan panjang lebar Marvel mengembalikan helm itu ke dalam bagasi jok motornya dan dengan hati pasrah memasukan motor itu dalam garasi rumah Aqila.

Ayla putih telah keluar dari kandangnya, Marvel menjadi pengemudi dan Aqila serta Ale duduk di jok belakang, tepat seperti saat kejang Ale kambuh beberapa waktu yang lalu. Hati Marvel mulai tak karuan melihat kedekatan Aqila dan Ale yang sepertinya lebih dari sekadar sahabat, tetapi mengingat kondisi Ale yang pernah kejang dan cukup membuat Aqila ketakutan wajarlah jika Aqila memperlakukan Ale dengan spesial.

“Qil, duduk depan dong!” pinta Marvel saat berada di lampu merah.

“Nyaman duduk belakang, Vel.”

Ale yang memposisikan diri sebagai Marvel yang mungkin merasa cemburu ketika melihat kekasihnya malah asyik dengan orang lain. “Iya, duduk aja di depan, temani Marvel biar nggak tegang,” ucap Ale mencoba memahami situasi.

“Oke.” Tanpa berdebat Aqila menyetujui usulan dari Ale.

Klik.

Ponsel Ale meneripa pesan WhatsApp dari Brenda. "Maaf, aku nggak sempat balas pesan-pesanmu. Ini jadwalku padat banget nggak sempat ngabari juga. Oh iya, beberapa hari ini aku juga nggak masuk sekolah karena ada jadwal syuting web series."

Hanya butuh waktu tiga detik untuk menjawabnya. "Iya Brenda, nggak masalah. Ini aku lagi keluar dengan Aqila dan Marvel."

Brenda membalasnya cukup antusias. "Syukurlah, ada Aqila dan Marvel yang pengertian mengajakmu jalan."

Ale tersenyum membaca pesan dari kekasihnya. "Ya, udah kamu jaga kesehatan, jangan capek-capek nanti sakit lo."

Brenda membalas sekaligus mengakhiri pesan itu. "Oke, sampai jumpa lagi."

“Oh iya, kita mau ke mana nih?” tanya Ale iseng setelah membalas pesan dari Brenda.

“Enaknya ke mana, ya?” Aqila malah balik bertanya mengoda Marvel, padahal dia tahu dengan jelas tujuan itu ke toko buku.

Secepat sambaran kilat Ale menyahut, “Gimana kalau ke pasar malam, lama nih nggak ke sana.”

“Oke, sepertinya menarik,” Marvel pasrah mendengarkan jawaban dari Ale.

“Asyik, ke pasar malam nih!” seru Aqila kegirangan.

Tujuan awal mereka ingin ke toko buku namun karena Bayu ingin melihat indahnya pasar malam membuat Aya dan Marvel membatalkan rencana untuk ke toko buku. Marvel memasang wajah masam terlihat dari bibir yang dia tekuk membentuk huruf  U terbalik. Aya mencoba meyakinkan Marvel jika pergi ke pasar malam tak kalah mengasyikannya dari pergi ke toko buku.

“Di sana ada bianglala lo, nanti kita naik, ya?”

“Kamu suka naik bianglala?”

“Iya, soalnya bisa melihat banyak pemandangan indah lampu kelap-kelip dari atas ketinggian. Kita nanti naik ya, Vel?”

Marvel menangguk setuju dengan apa yang Aqila inginkan, senyumnya kembali terlihat. “Beli kembang gula juga, ya?”

“Wajib dong,” sela Ale cepat.

Turun dari mobil, Aqila mendapatkan banyak perhatian lantaran wig kuning yang dia kenakan. Penuh percaya diri berlapis Aqila berjalan tanpa rasa malu. Marvel yang berada di sampingnya sedikit malu, tetapi jika Aqila bersikap santai, Marvel juga ikut seperti apa yang Aya lakukan.

Saat Marvel memarkirkan mobil, Ale membisikan sesuatu ke telinga Aqila.
“Qil, aku suka deh sama Marvel.”

“Apa?” Aqila kaget mendengarkan pengakuan dari Alen. “Jangan jeruk makan jeruk, ya,” pesan Aqila mencubit pipi Ale.

“Pikirannya!" membalas cubitan gadis berwig kuning.“Maksudku, dia itu baik dan pengertian cocok untukmu yang terlalu santai,” kembali membisikan di telinga Aqila sambil berlari secepat kelinci.

Yapz, ternyata pilihanku tepat,” sahut Aqila berlari mengejar Ale yang ingin lebih dulu tiba di loket masuk pasar malam.

“Ternyata tutup?” raut kecewa terlihat di wajah Ale.

“Beneran tutup?” Aqila tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Marvel yang datang paling akhir ikut kecewa. “Tutupkan? Nybelin banget.” Hati Marvel mulai dongkol, seharusnya jika sesuai tujuan awal pergi ke toko buku pasti tidak kecewa seperti ini. “Pakai wig nggak jelas lagi, bikin malu aja.”

Aqila sedikit emosi kala mendengarkan ucapan dari Marvel. “Jadi kamu sebal?” Malu jalan sama aku?”

Ale merasa posisinya serba salah, karenanya Aqila dan Marvel terlibat salah paham. Ingin hati menjelaskan agar semua kembali normal seperti apa yang menjadi angannya, melihat Aqila dan Marvel menikmati pasar malam dan mengabadikannya dalam foto-foto keren. Saat Ale melangkah untuk meminta maaf pada Marvel, tubuh Ale gemetar hebat, nyeri-nyeri mulai muncul di persendiannya.

“Qil, tolong!” ucap Ale terdengar tercekik.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top