12. Cemburu

Sejak kejadian di mobil Aqila semakin ingin segera mengakhiri perjanjian gelapnya dengan lelaki plontos itu. Minggu pagi Aqila terlihat kerepotan menyiapkan segala keperluan untuk Ale sebelum pergi menikmati nonton film, jalan-jalan, makan, ke toko buku, dan melakukan hal menarik lainnya sebelum Ale bertemu Brenda. Orang tua Aqila sedang ada urusan bisnis ke luar kota menjadikan mereka memiliki alasan untuk dapat pergi-pergi sesuai apa yang mereka inginkan. Sejujurnya Aqila merasa bersalah sebab dua kali secara tidak langsung membuat Ale dalam bahaya, sebagai penebus dia memutuskan menghabiskan dua puluh empat jam dalam sehari bersamanya.

"Kita akan menghabiskan hari ini bersama!" seru Aqila setelah selesai sarapan.

"Bersama Marvel juga? Brenda boleh diajak?"

"Tidak!"

"Karena hari ini milik kita," sahut Ale antusias mengimbangi Aqila.

Aqila mengambil lalu menenteng tas cokelat berisi segala yang Ale butuhkan kalau saja kejangnya tiba-tiba kambuh. "Sudah siap?"

"Ayo!"

Ayla putih melaju dengan kecepatan sedang. Semua jendela mobil sengaja dibuka untuk membiarkan udara luar masuk menyapa mereka, juga agar mereka dapat lebih menikmati pelbagai pemandangan yang menyejukkan mata. Aqila yang menyetir berusaha berhati-hati dan menghindari tempat-tempat yang mungkin terdapat operasi kelengkapan kendaraan juga surat izin mengemudi lantaran dia baru tujuh belas tahun, KTP dalam proses dan SIM belum didapat. Ini merupakan tantangan dalam hidup Aqila setelah usianya tujuh belas tahun, nyatanya di kehidupan masa depan usianya dua puluh empat tahun, lebih dari cukup untuk ngebut di jalan. Ale hanya bisa pasrah mengikuti apa yang Aqila mau, Ale tak seberani sahabatnya, bahkan dia tidak bisa menyetir dengan alasan takut membahayakan orang lain jikalau kondisinya memburuk di jalan.

"Le, tolong telepon Marvel dong!"

Ale segera merogoh saku jaket Aqila, meraih ponselnya, mencari kontak Marvel dan segera menghubunginya. Ale menempelkan ponsel di telinga Aqila, tak butuh waktu hingga sepuluh detik, Marvel mengangkatnya.

"Hai," sapa Marvel dari seberang.

"Hai, aku mau bilang hari ini tunda dulu yang ke toko bukunya, lagi ngantar Ale nonton."

"Gitu ya, Qil?" Terdengar nada kecewa dari Marvel.

"Maaf, ini inisiatif yang mendadak sebagai penebusan karena kemarin-kemarin aku terlalu sibuk dengan kegiatanku sendiri," papar Aqila sedikit menjelaskan alasannya tidak bisa memenuhi janji bersama Marvel.

"Oke, salam buat Ale," Marvel mengakhiri percakapan.

Ale merasa tak enak mendengarkan percakapan mereka karena Aqila membatalkan janji dengan kekasihnya itu. "Yakin Marvel nggak marah?"

"Tadi kamu dengar sendirikan kalau Marvel nggak keberatan malah dia titip salam padamu," ucap Aqila enteng tanpa beban.

"Aku tetap nggak enak."

"Udah biarin aja tahu, gitu aja kok dipikir."

Aqila tak menghiraukan apa yang menjadi beban pikiran Ale. Fokusnya hanya ingin membuat Ale kembali tersenyum ceria seperti hari-hari lalu sebelum banyak tuntutan dari Brenda. Aqila memegang teguh jika statusnya dengan Marvel hanya sepasang kekasih tidak lebih kuat dari hubungannya bersama Ale karena di situ cinta pertamanya tumbuh, bahkan sampai sekarang, sangat sulit untuk menomor duakan sang calon suami.

Tiba di bioskop, Ale memesan tiket, membeli banyak cemilan untuk mereka nikmati saat film berlangsung. Guratan kebahagiaan terpancar jelas di wajah Ale kala merasakan kebebasannya tak terenggut oleh banyak tuntutan yang membuatnya tak nyaman. Aqila mengikuti semua yang Ale inginkan tanpa memberontak.

"Kelar juga, maraton tiga film sekaligus," ujar Ale menunjukan enam tiket nonton di tangannya.

"Terus mau ke mana lagi bos?"

"Kita makan terus ke toko buku terus beli cemilan terus pulang."

"Banyak banget maunya, tapi apa sih yang nggak buat kamu, Le," goda Aqila berlari santai meninggalkannya.

"Eh, tungguin dong!"

Tiga film romantis telah mereka lahap dengan menyisakan senyum di wajah masing-masing. Membayangkan betapa bahagianya perjalanan cinta seperti di film, naik turun berakhir membahagiakan, semua teramu apik lewat tangan lembut sang sutradara. Aqila berharap kisah cintanya juga sekeren kisah dalam film, berharap sang sutradara kehidupan memiliki rencana terbaik untuk tetap membuat Ale hidup di masa depan walau tidak bersama dengannya.

Ale lebih memilih nasi goreng kaki lima dari pada kafe lantaran rasa yang tak jauh beda, tetapi harga berbeda sangat jauh. Menikmati sepiring nasi goreng dan es teh membuat Ale kenyang, melihat Aqila yang masih memakan bakminya, pikiran nakal Ale mulai tumbuh. Mengambil es batu tube dari gelas es teh lalu menaruhnya di atas bakmi milik Aqila, dipastikan sensasinya membuat Aqila marah-marah tak karuan.

Aqila menyendok bakminya dengan lahap, saat mi itu masuk mulutnya, mengunyah sesuatu yang asing terasa sangat dingin di mulutnya. "Apaan nih?"

Ale yang ada di sampingnya tertawa bukan kepalang melihat Aqila kaget dengan apa yang dia makan. "Kenapa?"

Aqila segera mencari tahu sebab permasalahanya di dalam mangkuk bakminya. "Pantesan, dingin banget lo, Le."

"Enak dong makan mi sambil minum es," goda Ale tertawa tiada henti.

"Ini namanya nggak minum es, tapi ngunyah es," sahut Aqila dengan ketus sambil berusaha mengeluarkan sisa es batu dalam mangkuk bakminya.

Sejatinya sejahil apapun Ale terhadapnya, pasti Aqila menerima dengan lapang dada, bukankah hal receh inilah yang membuat Ale bahagia dan itu harus terus dia lakukan agar keceriaan Ale terus terjaga. "Nggak apa-apa aku dijahili mulu yang terpenting kamu bahagia, Le."

"So sweet," ledek Ale membantu mengeluarkan beberapa es batu tube dari mangkuk Aqila.

"Kebahagiaan kamu segalanya untukku, Le," gumam Aqila lirih menatap orang yang sangat Aqila cintai.

Acara mengisi bahan bakar perut telah usai, Ale mengajak Aqila ke toko buku langganan mereka untuk mencari komik kesukaannya. Hati Aqila berbunga mengiyakan segala yang Ale inginkan. Seakan hari Minggu ini jangan berlalu dengan cepat, ingin rasanya menghentikan waktu dan terus bersama Ale hingga waktu yang tak terhingga.

Tanpa Aqila ketahui Marvel ternyata juga sedang ada toko buku itu lantaran seperti janji awal mereka ingin pergi ke sana untuk mencari beberapa buku referensi untuk tugas Marvel. Sedikit terkejut Marvel yang melihat Aqila dan Ale memasuki toko buku, mereka terlihat seperti pasangan kekasih, Aqila terus mengandeng tangan Ale tanpa rasa malu, pun Ale tak risih digandeng sahabatnya karena selama ini juga seperti itu hal yang sering mereka lakukan.

"Pilih buku yang banyak biar aku yang bayar," rasa sombong Aqila menggoda Ale.

"Ciye, habis kerja minta belas kasihan orang tua pasti dapat uang banyak, nih."

"Jangan ditanya lagi, sekadar cuma beli komik dua belas seri, kecil buat aku," kesombongan Aqila semakin menjadi.

Tanpa diperintah lebih lanjut, Ale segera berlari mencari komik yang menjadi incarannya. Aqila mengikuti tiap langkah Ale tanpa protes, membawakan semua buku dan komik pilihan kakaknya tanpa diperintah.

Beberapa saat kemudian, jam di pergelangan tangan kiri Ale bergetar, Aqila yang mengetahuinya segera menyeret Ale mencari tempat duduk. Mengeluarkan sebotol air mineral dan kotak obat saku dari dalam tasnya dan dengan cepat Ale menelan pil itu dibantu air mineral.

Melihat adegan itu Marvel semakin dibuat bingung. "Kenapa sedekat itu dengan Ale?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top