11. Penipu Ulung
Kondisi Ale tidak lagi kejang, segera Aqila membawa Ale ke rumah sakit dibantu Marvel dengan telaten mengikuti semua arahan Aqila. Sepanjang perjalanan Aqila hanya bisa meratapi wajah pucat calon suaminya dengan ingatan yang melayang entah ke mana. Teringat akan janjinya untuk selalu menjaga Ale walau kenyatannya dia malah asyik dengan Marvel yang menyita banyak waktunya.
Tiap lekuk wajah Ale menggambarkan kesakitan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata. Aqila menyentuhnya dengan lembut berharap bisa merasakan sakit yang menderanya. Marvel menyetir sambil sesekali melihat jok penumpang untuk memastikan kondisi Ale baik-baik saja. Terlihat jelas ada air mata yang terus menetes tanpa mampu dicegah oleh kelopak mata Aqila. Tetap tenang merupakan langkah yang tepat untuk menjaga Ale dalam keadaannya saat ini.
"Qil, gimana kondisi Ale?"
"Dia nggak sadarkan diri, aku takut," ucap Aqila tak mampu menyembunyikan kegelisahannya.
"Kamu genggam tangannya, berikan dia kekuatan," balas Marvel menenangkan Aqila.
Sesuai dengan arahan Marvel, dia segera menggenggam tangan dingin Ale untuk memberikan sedikit kehangatan tubuhnya. Tak butuh waktu lama, mobil mereka telah sampai di depan UGD, langsung saja dengan cekatan Marvel turun dari tempat kemudinya membuka pintu penumpang dan membopong Ale untuk memindahkannya pada brankar di dekat pintu UGD. Aqila mengekor dari arah belakang, berdoa agar kondisi Ale baik-baik saja.
Ale segera mendapatkan pertolongan, melalui celah jendela ruang UGD tampak jelas seorang dokter memeriksa tubuh rinkihnya dengan dibantu suster yang memasangkan infus pada tangan kanan Ale. Hati Aqila tak karuan menyaksikan Ale kembali terkapar karena keteledorannya.
"Qil," ajak Marvel meraih tangan kanan Aqila untuk diajaknya duduk di kursi tunggu.
"Dokter akan melakukan hal yang terbaik, aku pikir Ale orang yang kuat," ujar Marvel mencoba menenangkan Aqila yang terlihat kacau. "Minum dulu," membuka sebotol air mineral, memasukan sedotan, dan memberikannya pada Aqila.
Belum sempat Aqila meminumnya, seorang dokter dengan jubah putih kebanggaannya keluar dari ruang UGD. Aqila dan Marvel menghampirinya untuk mendapatkan informasi mengenai kondisi Ale. Cukup jelas terlihat wajah resah Aqila ketika mendengarkan pemaparan dari dokter tersebut.
"Dia terlalu lelah, seharusnya itu tidak boleh terjadi," paparnya singkat mengambil jeda untuk kembali menjelaskan secara keseluruhan. "Dia sudah saya beri obat untuk selanjutnya hanya menunggu siuman dan menghabiskan satu botol infus, dia bisa dibawa pulang."
"Terima kasih," sahut Aqila mencoba melihat kondisi Ale.
"Kalau begitu saya permisi dulu, jangan lupa tolong jaga kondisinya jangan sampai terlalu lelah itu akan memicu kejangnya."
"Iya, akan kami usahakan, Dok," balas Marvel memegang tangan Aqila yang terlihat gemetar.
"Vel, aku mau masuk," izin Aqila untuk melihat kondisi Ale.
"Iya, aku tunggu di sini."
Aqila memasuki ruang UGD dengan hati tak karuan, melihat kondisi orang yang sangat dia cintai lemah tak berdaya. Langkahnya pelan tidak ingin membuat Ale terbangun dengan cepat. "Maafkan aku, Le," ucapnya pelan meraih tangan Ale yang terpasang selang infus.
"Apaan, sih, Qil," sahut Ale lirih membuka matanya.
"Le, istirahat aja dulu dokter bilang kamu terlalu lelah."
"Aku udah lebih baik," ujar Ale memberikan senyuman untuk Aqila. "Jangan telepon mamamu, pasti nanti panik."
"Aku sengaja nggak telepon mama ataupun papa, takut kena omel mereka."
Ale tertawa pelan mendengarkan kepolosan Aqila yang takut kena marah mamanya karena tidak bisa menjaga dirinya dengan baik. Dari luar ruang UGD Marvel dengan tenang melihat Ale sudah sadarkan diri. Melihat kedekatan Aqila dan Ale yang kuat seakan lebih dari sekadar sahabat, dari situ Marvel yakin Aqila adalah sosok gadis yang kuat dan tangguh penuh kasih sayang untuk semua yang dekat dengannya.
***
Menata hati, Aqila menunggu Brenda di depan pintu kelasnya. Memasang wajah ramah berusaha membuat Brenda nyaman berbicara singkat dengannya. Penuh kesabaran dia terus menunggu Brenda hingga datang. Tak sampai bel berbunyi, Brenda telah tiba di sekolah, berjalan santai sambil membawa majalah yang bersampul foto dirinya, Brenda terlihat anggun nan memesona, semua mata akan tertuju padanya.
"Brenda tunggu, aku pengen ngomong sesuatu," ucap Aqila menghentikan langkah Brenda yang akan masuk kelas.
"Apa?"
"Kamu tahu kondisi Ale sekarang?"
Brenda menggeleng tanpa berucap.
"Dia sakit gara-gara terlalu capek ngerjain tugas-tugasmu dan juga lelah nemenin kamu pemotretan," papar Aqila mencoba menahan amarah.
"Fisiknya aja yang lemah, selama ini dengan jadwalku yang super padat, aku baik-baik aja kok," ejek Brenda melakukan pembelaan.
"Egois banget, ya." Aqila tidak menyangka jika Brenda di kehidupan ini bersikap arogan dan egois.
"Ini nggak egois, tapi realistis."
"Nyesel aku udah berbaik sangka padamu," Aqila melirik tajam ke arah Brenda. "Oh iya, jadi waktu kamu merencanakan kejutan ulang tahunku, itu hanya kamuflase belaka agar aku berpikir jika kamu sudah menjadi Brenda yang lebih baik dan pengertian terhadap Ale," ungkap Aqila menjelaskan sedetail mungkin tentang apa yang dia rasakan.
"Yapz, benar sekali," Brenda tertawa ringan. "Aku tidak mau melakukan sesuatu yang tidak menguntungkan diriku," tambah Brenda berlalu meninggalkan Aqila.
"Please, Ale butuh kamu," Aqila memelas menghapus segala sakit hati yang bercokol di dadanya demi kakaknya.
Brenda memutar tubuh sambil mengibaskan rambutnya. "Waktuku terlalu padat hanya untuk menjenguk Ale, jadi aku titip salam aja. Semoga cepat sembuh," kembali melangkah tanpa memedulikan Aqila yang kecewa dengan jawaban yang dia ucapkan.
"Dasar nenek lampir!" teriak Aqila dengan wajah kesal. "Nyesel aku berusaha mendekatkan kalian dan restuin Ale pacaran dengan manusia tak punya hati!" pekiknya penuh emosi.
Pulang sekolah sambil menunggu jemputan, mengenakan jaket Nevada kuning pemberian Marvel, Aqila duduk di halte depan sekolah. Marvel yang saat itu mengunakan Scoopy hitam berhenti, turun, duduk di samping Aqila. Marvel masih melihat kesedihan di wajah Aqila, tetapi dia tak ingin menguliknya. Marvel malah berpendapat ini waktu yang tepat untuk mengungkapkan isi hatinya yang sudah lama terpendam.
"Lihat kamu pakai jaket yang aku kasih rasanya senang banget deh, kamu juga terlihat lebih cantik," ungkap Marvel memuji Aqila.
"Ah, basi deh gombalnya," sahut Aqila tanpa basa-basi.
"Aku lagi nggak ngegombal lo, Qil."
"Jadi serius, nih, mujinya?" goda Aqila memainkan resleting jaketnya.
"Apa aku pernah bercanda?"
"Nggak pernah."
Marvel mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan rasa dalam hatinya. "Aku tahu ini mungkin bukan waktu yang tepat untuk mengungkapkan sesuatu, terlebih setelah kejadian semalam."
"Maksudmu apa, Vel?"
Marvel meraih tangan Aqila, "Sebelum terlambat, maukah kamu menjadi kekasihku?"
Aqila bingung dengan apa yang Marvel ungkapkan, terasa sangat mendadak dan terburu-buru. "Harus aku jawab sekarang?"
Udara seakan berhenti berhembus, dedaunan membisu mendengar pengakuan dari Marvel. Keringat dingin mengalir dari pelipis Aqila tak paham apa yang terjadi. Percaya diri tinggi Marvel yakin apa yang menjadi kehendaknya akan terpenuhi oleh Aqila, gadis polos nan ceria incarannya.
"Qil, sejak kali pertama kita berjumpa di car free day, aku telah menaruh hati padamu."
"Secepat itu?"
"Iya, aku harus jujur sebelum kita melangkah lebih lanjut," Marvel menghentikan kalimatnya dengan paksa.
"Jujur perihal apa?"
"Sebenarnya aku baru putus lebih kurang dua bulan dari anak SMA Taruna Tiga, tapi percayalah aku memilihmu bukan sebagai pelampiasan," ucap Marvel meyakinkan.
Pikiran Aqila melayang entah ke mana, harus bahagia atau sedih mendengarkan pengakuan dari Marvel. Namun, ini hal yang dia tunggu untuk mengubah takdir Ale dimasa depan, secara sengaja Aqila mencoba memahami apa yang Marvel inginkan. "Aku pikir juga demikian, kejujuran itu penting, aku nggak mau tahu perihal masa lalumu."
"Terus sekarang?"
"Iya, maaf," Aqila memberi jeda sesaat, "Nggak ada alasan untuk menolakmu." Aqila berpikir lebih cepat menerima Marvel akan lebih cepat pula untuk mengakhiri penderitaan Ale dengan epilepsinya dan pastinya dapat mengubah takdir masa depan Ale.
Mimik bahagia terpancar jelas di wajah tampan Marvel tanpa aba-aba segera dia memeluk Aqila. "Love you, Qil!" teriaknya kegirangan.
"Udah-udah aku nggak bisa napas," ucap Aqila merasa tak nyaman.
Marvel melepaskan pelukannya yang membuat Aqila sesak. "Sorry, saking senangnya."
Aqila tak butuh alasan mengapa Marvel memilihnya dari sekian banyak gadis cantik yang dia kenal. "It's okay, nggak masalah."
Mobil jemputan Aqila telah tiba, perpisahan sesaat dengan Marvel tak bisa dicegah. Marvel berusaha menjadi kekasih yang baik, dia membukakan pintu mobil untuk kekasih barunya. Aqila tersenyum manis melihat tingkah Marvel yang lucu menurutnya.
"Hati-hati, kalau udah sampai rumah, chat, ya!" perintah Marvel ingin memastikan kondisi Aqila baik-baik saja.
Aqila mengedipkan satu mata tanda setuju.
Sejak hari itu hubungan mereka telah tersebar seantero sekolah. Banyak yang mendukung hubungan mereka tak sedikit yang menentangnya. Pasalnya Marvel terlalu sempurna untuk Aqila yang sedikit psikopat, melakukan apa saja demi kepuasannya. Aqila tak gentar, dianggapnya mereka hanya iri dengan apa yang dia miliki.
Tiba-tiba di dalam mobil lelaki plontos itu muncul dan waktu berhenti berputar. "Halo, Aqila, apa kabar?"
"Kamu?" Aqila kaget bukan kepalang lelaki plontos itu hadir di depan matanya.
"Lupa, ya? ini sudah tiga puluh hari, menjadi kewajibanku untuk memantau tiap clien yang aku handel."
Aqila tidak menyangka ternyata sudah tiga puluh hari dia kembali ke masa lalu. Berarti dapat diartikan waktunya semakin singkat sebelum perjanjian itu habis. "Terus apa yang kamu mau?"
"Ale akan semakin menderita jika rasa cinta dalam hatimu masih ada. Menerima Marvel akan membuat jalan ke depannya semakin penuh tantangan."
"Kenapa harus Ale yang semakin menderita?"
"Karena dia yang kamu tumbalkan untuk mengubah takdirnya lebih baik di masa depan. Jadi, di masa lalu ini dia yang akan menderita, enak banget dong kalau tumbalmu selalu hidup bahagia," papar lelaki plontos tersebut sambil tersenyum sinis.
"Ini tidak sesuai kesepakatan awal!" Aqila kesal mendengarkan pengakua lelaki plontos iitu.
"Terserah! Mempercayakan takdir selain takdir Tuhan, iru saja sudah salah besar, kamu malah melakukan perjanjian gelap. Ingat tidak ada yang gratis dalam dunia fana ini!"
Aqila membisu, dia terlalu kaget dengan apa yang baru saja didengar.
"Non Aqila nggak apa-apa? Kenapa melamun, Non?" tanya pak supir sambil melihat Aqila dari kaca kemudi.
Dengan kaget Aqila membelalakkan kedua matanya mendengarkan pertanyaan dari pak supir. Waktu kembali berputar, lelaki plontos itu telah menghilang. "Nggak apa-apa, Pak, banyak tugas bikin nggak fokus," alibinya sambil membuka jendela mobil untuk memastikan apa yang terjadi barusan mungkin khayalannya semata. Hatinya semakin resah mengingat tiap ucapan lelaki plontos itu. Semua sudah terlambat, tidak ingin semakin tenggelam dalam penyesalan, Aqila ingin segera menyelesaikan misi-misinya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top