10. Kejutan Penuh Haru
Aqila menulis pesan untuk sahabatnya, "Sav, aku mau curhat nih." Niat hati Aqila ingin bercerita jika dia berasal dari masa depan dan kembali ke masa lalu hanya untuk mengubah takdir Ale.
"Sori, aku lagi sibuk bantu lahiran," isi pesan Sava cukup mencengangkan membuat Aqila kaget membacanya.
"Sejak kapan jadi dukun beranak?" Balas Aqila cepat.
"Dua jam yang lalu."
"Astaga naga, aku kok jadi seram, ya."
"Iya ibu kucing dan empat anak kucing lahir dengan selamat ke dunia ini," seakan Sava sangat bahagia dengan apa yang baru saja dia lakukan melalui tulisan dalam pesannya.
"Ya udah Sav, fokus aja dengan ibu dan bayinya, lain waktu kita bahas lagi. Oke."
Isi chat Sava bisa sedikit menghibur Aqila yang sedang galau maksimal. Namun, semua itu hanya sesaat, setelah kembali mengingat segala permasalahan yang mungkin akan menghadangnya, hatinya kembali meronta tak karuan. Aqila berjalan keluar kamar dan melihat pintu kamar Ale sedikit terbuka, dia segera melancarkan rencananya. "Sibuk nggak, Le?"
"Masuk aja, Qil," sahut Ale sambil membaca komik.
Tanpa permisi Aqila naik ke atas tempat tidur Ale dan memasukan tubuhnya dalam selimut. "Kenapa ya hari ini aku sial banget?" gumamnya memelas.
Ale meletakkan komik di bawa bantalnya. "Rasain, mungkin itu balasan untukmu yang sering berbuat jahil padaku juga Brenda," ucap Ale enteng tanpa bedan.
"Maksudmu?"
"Sok polos banget sih, udah pernah nyiram Brenda di kantin pakai es teh berlagak pikun."
Aqila membenarkan posisi duduknya. "Waktu itu aku nggak sengaja, serius deh!"
"Ya, udah kalau gitu, ini balasan atas segala yang sudah kamu lakukan, Qil. Sabar, ya, hidup itu kayak roller coaster ada naik ada turun."
Aqila menggeleng, "Males, niatnya curhat malah kena omel," Aqila turun dari tempat tidur Ale.
"Mau ke mana, Qil?"
"Bukan urusanmu!"
"Gitu aja ngambek, dasar cewek manja," goda Ale spontan.
Aqila mengambil novel yang ada di meja di samping tempat tidur Ale lalu melemparkan ke wajah sahabatnya. "Rasain!"
"Aduh!" teriak Ale tak dapat menghindar. "Aduh, sakit banget, nih."
Aqila mendekat, cukup khawatir mendengar teriakan dari sahabatnya. "Mana yang sakit, Le? Maafin aku, ya, tadi cuma bercanda kok." Aqila melihat kondisi Ale dengan perasaan khawatir.
Ale tersenyum, "Aku juga lagi bercanda."
"Dasar!" Teriak Aqila berlari meninggalkan kamar Ale.
Semua terlihat kacau, mulai dari bangun tidur hingga di pengujung malam berantakan. Seperti musibah yang datang beruntun tanpa ada celah untuk tersenyum. Hari yang melelahkan untuk Aqila, tetapi membahagiakan untuk beberapa orang yang bisa melihat kesialan itu. Mengambil selimut tebal, Aqila merelakan tubuhnya ditelan tanpa meninggalkan secuil potongan tubuh yang terlihat. Malam dingin, beku, juga penuh kesedihan.
Malam berlalu lambat, tepat tengah malam saat semua terlelap, teriakan tajam membangunkan Aqila dalam mimpi sendunya. "Tolong aku, Qil!"
Segera mata Aqila terbuka, tak menghiraukan sekitar tanpa mengenakan alas kaki, Aqila lari tunggang langgang mencari sumber suara yang tak asing untuknya.
Aqila berlari mencari sumber suara, dengan wajah panik dan tangan gemetar tanpa menyalakan lampu, dia berlari menembus kegelapan. Tepat di depan pintu kamar Ale, segera Aqila mendobraknya tanpa permisi. Pikirannya kacau hingga Aqila tak bisa menemukan Ale di sana. Dari arah punggung Aqila, Ale dan yang lainnya menyerbu.
Tot! Tot! Tot!
Suara terompet memecah keheningan malam tanpa bintang. Mereka kompak berteriak, "Selamat hari menetas!"
Aqila yang tak menyangka segera memeluk Ale, meneteskan air mata sejadi-jadinya. Rentetan kejadian menyebalkan ternyata memiliki makna di baliknya. Tak menyangka semua menyayanginya, walau terlihat cuek nyatanya semua dipersiapkan untuk menyambut senyum Aqila yang mulai pudar lantaran masalah yang bertubi-tubi menghantamnya.
Semua dipersiapkan penuh perjuangan tanpa ada yang terlewat satu pun. Tart berlapis krim pisang berada tenang di tangan Ale. Mama Renata, Papa Iwan, Sava, dan Brenda, juga Bik Minah berada tepat di belakang Ale, mereka mengunakan piyama dengan topi kerucut bernuansa kuning juga terompet warna-warni khas ulang tahun.
"Awas kuenya jatuh, Qil!"
Aqila memasang wajah cemberut. "Nggak lucu, Le."
"Kejutan ini sengaja Ale dan Brenda siapkan spesial untukmu," sela Renata memberikan informasi.
"Selamat sayang, anak papa sudah delapan belas tahun," tambah Iwan sambil memeluk putrinya.
Mama Renata, Sava, dan Brenda ikut memeluk Aqila secara bersamaan, kecuali Ale yang masih bingung memegang tart. Beberapa menit berlalu dengan pelukan yang masih menempel untuk Aqila, serasa hari ini sungguh hari yang luar biasa bersama orang-orang terdekat.
"Yuk, kuenya dipotong!" seru Ale meletakan tart di atas meja makan.
"Sebelum kuenya dipotong, harus buat permintaan dong," ujar Brenda memberikan secarik kertas untuk Aqila.
"Untuk apa?" tanya Aqila tak paham.
"Tulis harapanmu di sini," tunjuk Brenda pada kertas kosong yang Aqila bawa.
"Ini bolpoinnya," Sava memberikan pada sahabatnya.
Tidak butuh waktu lama Aqila telah menulis satu permintaannya, segera Aqila melipat kertas itu dengan lipatan yang tidak cukup rapi. Aqila lari menuju kamarnya untuk menyimpan permintaannya di bawah kasur tempat tidurnya.
"Semoga apa yang menjadi pintaku menjadi nyata, mengubah takdir Ale untuk tetap hidup, sekalipun tidak bersamaku, aamiin ..." gumamnya lirih seperti berbisik.
Aqila segera bergabung kembali di tengah-tengah pesta kecilnya dengan senyum yang selalu tergurat di wajah manisnya. Tart telah dipotong sesuai selera, tart pertama langsung diberikan pada mamanya lalu papanya, Ale, Sava, Brenda, dan juga Bik Minah yang telah membuatkan tart cantik dengan krim pisang kesukaannya.
"Terima kasih Sayang, makin dewasa semoga semua doamu terkabul," kecup Mama Renata sambil mengambil potongan kue pemberian putrinya.
Semua berbaur penuh canda tawa tak ada duka terlintas. Aqila sudah banyak salah paham mengenai Brenda yang dikira jahat dan egois ternyata malah menyiapkan kejutan ulang tahun untuknya. Ale terlihat seperti yang lain, menikmati tiap detik pesta mini malam ulang tahun dengan suka cita.
"Masih ada yang kamu tunggu?" tanya Brenda yang sedari tadi melihat ada sesuatu yang Aqila sembunyikan.
"Emang terlihat?"
"Jelas banget, Qil," sahut Brenda cepat. "Qil, lihat luar jendela!" perintah Brenda sambil memutar tubuh Aqila tepat menghadap jendela yang gelap.
Samar-samar ada kilauan cahaya yang muncul. Aqila mulai penasaran, berjalan mendekat untuk lebih mengetahui apa yang ada di balik gelapnya jendela hitam. Perlahan Aqila membuka kelambu tipis sebagai pemanis jendela dan apa yang tak pernah dia bayangkan hadir tepat di depannya.
"Surprise!" teriaknya sambil mengangkat kado yang dia bawa.
Aqila menutup mulut dengan kedua telapak tangannya, tak menyangka apa yang dia nantikan ada di depan matanya. "Marvel!" teriaknya antusias melompat-lompat kegirangan.
Marvel masuk ke dalam rumah memberikan kado ulang tahun untuk Aqila. Senyum Aqila terus tersungging di wajahnya. Ale memeluk Marvel sebagai tanda terima kasih telah bersedia memenuhi undangan pesta malam ulang tahun. Ini juga bagian ide dari Brenda yang ingin melihat Aqila bahagia tanpa mengganggunya seperti hari-hari yang lalu.
Acara buka kado dimulai, kali pertama Aqila membuka kado dari mama dan papanya yang berisi kalung berlian berbentuk bunga matahari. "Terima kasih, cantik banget," Aqila memeluk mama dan papanya sebagai tanda terima kasih.
"Iya sayang, semoga kamu suka," ucap Renata berbahagia.
Kado kedua dibuka, isinya sungguh luar biasa apa yang Aqila sukai. "Jaket kuning, makasih, Le."
"Salah, itu bukan dari aku," Ale memberikan kadonya yang ternyata bersampul sama dengan sampul kado milik Marvel. "Ini baru dari aku."
Aqila sedikit malu, tersenyum kecut. "Makasih, Vel."
"Sama-sama, semoga kamu suka, aku sengaja kasih kamu jaket kuning karena kamu suka banget dengan warna itu."
Aqila tersenyum sambil membuka kado dari sahabatnya. "What?"
Seisi ruangan kaget melihat apa yang Ale berikan pada Aqila. Ikut tertawa kala Aqila mengambil kado Ale dari kotaknya. Sedikit aneh dan mencolok, tatapi percayalah ini kado terindah yang Aqila nantikan dan yang paling Aqila sukai walau dalam kenyataan Aqila bersikap kaget dan tak percaya, hatinya berkata lain.
"Wig kuning? Kamu sehat nggak sih, Le?"
Ale mengangguk, "Sehat banget, cari sesuatu yang anti mainstream biar selalu diingat."
"Nyebelin!" teriak Aqila mengacak-acak rambut Ale.
Pesta kejutan ulang tahun ditutup dengan sesi foto bersama dengan Aqila memakai kalung berlian pemberian mama dan papa, jaket kuning dari Marvel, sepatu kets dari Brenda, jam tangan dari Sava, dan wig kuning dari yang tersayang. Niatan utama berfoto sebagai kenang-kenangan. Semua berjalan sesuai rencana Ale dan Brenda, tertawa dan bahagia bersama, banyak cerita yang terukir dan terkenang di sana.
***
Pesta kejutan ulang tahun telah mengubah segalanya, Marvel semakin dekat dengan Aqila. Mereka seperti langit dan bumi, Marvel yang tampan rupawan juga pandai tak merasa malu jika berjalan bersama Aqila yang terkesan ceria tanpa aturan. Marvel mulai menyukai apa yang Aqila tampilkan, mulai dari pakaiannya yang serba santai dengan kaos oblong dan jeans juga gaya makan Aqila yang lebih menyukai kaki lima dari pada kafe seperti anak muda kebanyakan.
Hubungan Aqila dan Marvel semakin dekat, banyak kecocokan yang mereka rasakan. Sejujurnya dalam hati terdalam Aqila, dia merasa bersalah lantaran niat awalnya mendekati Marvel untuk menjadikan dia misi untuk menyelamatkan Ale. Seiring berjalannya waktu hati Aqila mulai bisa menerima Marvel walau masih ada satu nama yang tidak akan pernah terhapus seumur hidupnya.
Di sisi lain, Ale tertarik untuk mengikuti lomba cerdas cermat antar sekolah. Berbekal kemampuan yang dia miliki, Ale percaya diri dapat lolos ke tahap selanjutnya. Tahap seleksi awal cukup ketat, namun dengan semangat empat lima Ale melangkah penuh percaya diri. Tidak sepemahaman dengan Ale, Brenda mengarahkan kekasihnya di dunia model lantaran dengan sedikit polesan, wajah rupawan Ale sudah memiliki nilai jual.
"Coba dulu, lumayan uangnya bisa nambah uang jajan kita dan yang terpenting jadi terkenal karena foto kita majang di mana-mana."
"Aku nggak ada bakat di situ," balas Ale tak tertarik dengan dunia Brenda.
"Coba dulu, ya, nanti pulang sekolah kita langsung ke tempat pemotretan," desak Brenda tak memberikan Ale kesempatan berargumen. "Lagi pula kegiatan ini enggak mengganggu kegiatan sekolah kita."
"Oke, aku ikut kamu aja deh."
"Gitu dong, kita harus satu frekuensi."
Tidak seperti yang Ale bayangkan, ini memang bukan dunianya. Cukup sulit Ale menyesuaikan dengan apa yang kru dan Brenda inginkan, pemotretan berkali-kali hingga menemukan sisi komersil memang tidak mudah. Berhari-hari setelah pulang sekolah, Ale mulai terjun mengikuti apa yang Brenda inginkan tanpa sepengetahuan orang tua Aqila juga sahabatnya. Susah payah Ale berusaha membagi waktu antara pemotretan, belajar untuk cerdas cermat, juga untuk pelajaran harian di sekolah.
Wajah Ale tak lagi terlihat segar, sedikit pucat dengan kantung mata yang mulai terlihat. Memakai foundation dan bedak juga lipstik, mereka menyamarkan warna pucat kulit wajah Ale agar terlihat tetap segar dan cerah. Kondisi Ale tidak bisa dibohongi, staminanya menurun cukup cepat membuatnya menjadi mudah lelah, tak bersemangat.
"Besok lagi, ya?"
"Nggak bisa, aku capek banget," Ale terus menempelkan kepalanya pada jendela kaca mobil Brenda.
"Ini belum apa-apa, Ale. Jangan menyerah dong!"
"Aku nggak menyerah, tapi aku nggak kuat dengan sistem kerja yang kamu jalani. Setiap hari aku harus berbohong ikut pelajaran tambahan untuk cerdas cermat tapi aku malah ikut pemotretan, kalau mama Renata tahu pasti marah besar," jelas Ale panjang lebar.
Brenda mulai tak nyaman dengan apa yang Ale ungkapkan. "Terserah kamu, aku kok jadi capek, ya, jalani hubungan ini."
Ale mengangkat kepalanya berusaha duduk tegak. "Aku minta maaf, akan aku coba seperti yang kamu inginkan."
Brenda menampilkan senyum tipis. "Thanks, ya, kamu memang yang terbaik."
Agya merah melaju dengan kecepatan rata-rata membelah langit sore untuk mengantar sang tuan sesuai tempat tujuan. Di dalam mobil Brenda asyik memainkan smart phone kesayangannya, sedangkan Ale dengan wajah pucatnya menahan nyeri yang mulai menyerang, sekuat tenaga berusaha bersikap wajar tak ingin Brenda mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya walau kejang ringan mulai menyerang jari-jari tangannya.
Ale turun dari mobil dengan kaki gemetar, tanpa salam perpisahan Brenda menyuruh supirnya untuk melajukan tunggangannya dengan kecepatan di atas rata-rata. Ale berjalan memasuki pekarangan rumah dengan sempoyongan. Tepat di depan pintu utaman yang terbuka, terlihat samar Aqila dan Marvel sedang asyik memainkan Uno. Ale tak dapat berucap, pandangannya mulai kabur, kakinya kaku, jari tangannya kaku, matanya melotot menakutkan.
"Qil, Ale kenapa?" tanya Marvel yang kaget melihat kondisinya.
Aqila bangkit dari sofa menyerbu Ale diikuti Marvel yang tak kalah paniknya, beberapa detik setelah itu Ale kejang seakan segala persendiannya kaku dengan mata melotot dan gigi mengunci, terlebih tubuhnya bergetar hebat membuat siapa saja yang melihat bingung apa yang akan diperbuat.
"Vel, bantu aku lepaskan tasnya dan longgarkan bajunya," ucap Aqila sambil memberikan bantal sofa untuk alas kepalanya. "Jangan panik," Aqila mencoba menenangkan situasi, pasalnya hal seperti ini di masa lalu sering terjadi pada dirinya sendiri.
"Apa yang terjadi, Qil?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top