TUKAR JIWA

Barangkali hitamku dengan hitam yang lain berbeda. Hitam mereka mampu melukis kanvas dengan warna putih, mencampurkannya pula dengan warna-warna yang lain. Barangkali pula, gelapku dengan gelap ruangan yang tak berlampu juga sangat berbeda. Saat ruangan tidak berlampu, tangan-tangan manusia mengenggam ribuan lilin, mencari sekelebat cahaya untuk menerangi ruangan itu. But, I just see black on my shaped room.

Entah gue harus bersyukur atau menyesali melihat beberapa lansia sedang meraba papan membentuk titik-titik timbul. Bersyukur, karena mata gua sehat walafiat, nggak ada satu cacatpun, dan masih bisa melihat para perempuan di luar sana menontonkan their legs and their Boob's. Oh come on, That's why god created He and She, right? Menyesalnya yang gue rasa saat ini, terjebak dengan perempuan. This is not what you thought, They are women with wrinkled skin.

Disini. Di bagian depan rumah utama, aku mendongakkan wajahku ke atas, menikmati hangat matahari, mencium aroma dedaunan, dan menyelisik suara teriakan bahagia dari dalam. Derap langkah menaungi kedua telingaku. Aku bisa menebaknya, walaupun mataku hanya bisa melihat satu warna, hitam. Tapi, aku menikmatinya. Menebak-nebak apapun hanya dengan indra perasa, pendengar, peraba, dan pembau. I can see within different ways.

"Siapa yang mau Mas Redo nyanyi?" Gua mencoba menarik senyum ke kiri dan ke kanan. Sebenarnya, gue tersenyum atau nggak, mereka juga nggak akan ngeh gua lagi apa. Oh but, there is something made myself gasp involuntarily. Were you thinking to kiss her so instead, Jerk?

Telingaku menyelisik suara itu, keras dan sangat gamang. Suara yang begitu merdu tertangkap oleh pendengaranku. Kata Ibu di rumah tamu, suara perempuan dan pria sangat begitu berbeda. Bahkan saat kedua mata terpejam, kamu dengan mudah mampu mengenali suara itu. Dan, aku begitu sangat gamang melihatnya. Suara merdu dari seorang pria.

Kata manager gue, loe jangan pernah mikir buat jatuh cinta. Loe cuma Redo dengan segala rupa kejelekan. Dan gue juga nggak ada niatan bermenye-menye dengan makhluk perempuan. Tapi gue bertemu makhluk serupa dewi dengan kedua lesung pipit yang mengapit di wajahnya. Senyum yang membuat gue jadi pria se oon-oonya gue.

"Heh, Do. Do. Do." Aku tertawa tergelak, memegang dadaku. Beberapa orang di dalam rumah tamu juga tergelak.

"Edo! Loe kenapa sih, huh?" Tangan gue di tarik. Mata gue telah mengerjap heran, menatap ke sekitar gue. Mereka semua tergelak. Dia sama dengan mereka. Tapi, tawanya begitu renyah, sangat renyah. Menarik gue jadi yakin, perempuan ini adalah salah satu alasan gua untuk narik ucapan tentang tempat ini, tentang this shitty place yang bikin gue punya angan buat nyesel stuck di tempat dengan para lansia keriput ini.

Namanya Redo. Salah satu penyanyi dan pembisnis yang lagi di gandrungi para kalangan ibu-ibu. Ibu tamu yang mengatakan semenit lalu di dekat telingaku.

Setelah gue was doing stupidity things cause of her laugh, gua minta izin untuk sedikit merehatkan kepala gue dari bayang-bayang perempuan tadi. Toh, sudah waktunya gue buat istirahat. Gue memutuskan melangkah ke belakang ruangan, ke tempat yang telah mereka siapkan khusus untuk gue.

Kata Ibu Tamu, pria itu sudah tidak ada di depan. Mungkin dia sedikit malu karena ulah melongonya tadi di depan kami. Ibu tamu megantarkanku kembali ke kamar. Aku melangkah dengan di bantu tongkat dan apitan lengan dari Ibu Tamu.

"Hai... Gua Redo. Boleh tahu nama loe?"

Aku menolehkan kepalaku ke belakang. Suara yang pernah aku dengar sebelumnya, tentang pria yang membuat aku dan penghuni rumah tamu tergelak. Aku mengulum senyum lagi. Entah untuk berapa kalinya kedua sudut bibirku terangkat tanpa beban.

When that laugh comes, i may secretly feel insecure. Gue cuma nggak nyangka pengaruh dia ke gue, bikin gue jadi pria mewek-mewek dengan harga diri yang mulai menguar. Ketika gue harusnya dingin ngehadapin makhluk sejenis perempuan. Di hadapan dia, gua jadi pria terperangkap dalam twilight zone. Oh come on, i don't like Edward and Jacob so melancholy with their romance. Apalagi, tentang sifat Edward yang sok ke-aliman. How come Edward can bear up his body without having sex with Bella? And then, gua benar-benar ngelakuin itu. Nyapa dia duluan, malu-malu pengecut, ngeluarin segala keberanian gue buat kenalan sama perempuan dengan senyum lesung pipit ini. It's ain't me.

"Saya Chandra Aulia."

"Loe tinggal di tempat ini?" Tanya gue, kikuk. Bodohnya tangan gue, bisa-bisanya ada di tengkuk, sedang menggaruk. Padahal gue tahu, gua nggak ngerasa gatal.

Aku mengangguk pelan. "Sudah lima tahun saya tinggal di tempat ini. Omong-omong..."

Gue mengangkat sebelah alis, menatapnya dengan guratan wajah penasaran.

"Terima kasih sudah datang ke acara kami." Tambahku dengan mengulurkan tangan ke depan.

Tipe perempuan gue nggak pernah muluk-muluk. Dia harus cantik di luar, meskipun mereka nggak memiliki inner beauty. Gue tahu selera gue aneh. Gue paling suka ngelihat perempuan dengan sifat manjanya, want to cuddle with me anytime. Tapi, gue tidak sama sekali melihat dia pantas untuk gue. Like i was thought before about this shity place, I was truly agreed about this place is shity.

Pernah mendengar seseorang akan segera berubah haluan saat hitam itu menyergap siapapun. Mereka akan melakukan apapun, dari memenjarakan dirinya sendiri, hingga membunuh diri sendiri saat mengetahui indera penglihatannya hanya menampilkan warna hitam memenuhi kehidupannya. Saat ibu Tamu membenarkan arah tanganku ke samping kiri, kemudian dia menjabat uluran tanganku, aku tidak merasakan genggaman hangat dari tangannya.

I give her chance to look for somebody loves her in the ways I couldn't.

---------

Gue menghela nafas."loe harus bisa beradaptasi sama lingkungan gue."

"Mas Redo juga harus bisa beradaptasi dengan lingkungan saya."

Gue tahu karma does exist. Tapi, gue punya pilihan untuk menentukan who i can choose. Gue tahu Redo Alrasyid, adalah pria bastard se-Jakarta Raya, atau mungkin seluruh dunia. Gue tahu Tuhan berhak nyimpulin hidup gue buat mati kapanpun, dan dimanapun, memanggil malaikat Izrail --gue pernah sekolah di swasta islami-- buat narik atma gue. Tapi, gue sadar Tuhan punya cara lain buat hukum gue. The ways that make me stuck on this body.

Tuhan punya cara lain untuk memberikan sejuta hadiah kepada umatnya. Hadiah itu adalah aku bisa melihat seperti kalian, seperti Ibu Rumah Tamu, seperti pak Ibas, --sebagai satpam rumah tamu, dan seperti perempuan lain yang bisa membedakan bagaimana pria itu tampan, biasa, atau jelek. Aku tergelak dalam hati. Bukan. Bukan itu maksudku. Aku bahagia bisa mengerjapkan kedua mataku. Gelap, saat aku menutupnya. Dan terang, saat aku membuka kedua mataku.

"Saya akan bantu Mas Redo. Saya yakin ini nggak akan lama, Mas."
Gue menghela nafas pasrah. Tangan gue meraba ke atas meja, mencari cangkir yang gue yakin ada di depan gue. Damn, i didn't know this blind made myself being useless. Tanpa gue sadari, sebuah tangan menuntun tangan gue ke depan, membiarkan genggaman gue mengikuti arah tangannya.

"Saya tahu Mas Redo benci dengan kegelapan ini. Saya juga."

Gue menoleh kearahnya. Entah dia ada di kanan atau di kiri gue. Hanya mendengar kalimatnya barusan, membuat gue tercenung. Nampaknya gue telah kehabisan kata-kata.

Aku termasuk orang yang mengurung diri dan menyalahkan Tuhan akan segala tragedi yang Ia setir dalam hidupku. Lalu apa yang aku lakukan selanjutnya? Menyalahkan tragedi ini, atau menjadi orang-orang putus asa dengan mengakhiri hidup? Nggak. Jika aku melakukan itu, mungkin aku tidak sekalipun mencicipi bagaimana perbedaan ketika mataku sedang tertutup dan terbuka. Seperti ini.

"Tapi... Saya nggak sekalipun menyesalinya Mas. Barangkali Tuhan sedang membuat konflik dengan jarinya di dalam kehidupan saya." Dia melanjutkan kalimatnya. Gue cuma diam di atas kursi dengan berbagai pemikiran, tepatnya tentang dia.

Aku menatap cangkir di genggaman Mas Reno. Di dalam nampak warna hitam, seperti penglihatanku, dan kini menjadi penglihatan Mas Redo. Aku tahu, hitam adalah hal yang paling di benci manusia. Hitam banyak sekali di umpamakan sebagai makna-makna tersirat yang mengarah pada hal negatif. Tapi, hitam menjadi salah satu warna pertama dalam hidup manusia, bersanding dengan warna putih.

Pelan-pelan, gue sesap wangi kopi di dalam cangkir ini, kemudian meneguknya. Gue bisa merasakan tangan gue berada di atas tangan milik perempuan ini, menuntun bibir cangkir ini mendekat pelan ke bibir bawah gue. "Loe benci, tapi loe nggak menyesal sama sekali. Aneh. Gua nggak paham sama sekali."

Aku membantu meletakkan kembali cangkirnya di atas meja. Lalu mengukir senyum, "Jari Tuhan itu nggak akan pernah ngecewain Mas. Sama kayak sekarang. Ini semua dari jari yang Tuhan miliki."

Gua nggak tahu terbuat dari apa perempuan ini. Gua yang ada di dalam tubuhnya saja telah menyumpah kehendak Tuhan buat gue. Dia dengan seribu kekuatannya, terlihat sekalipun tak terbebani.

Mataku menangkap wajahku, yang di dalamnya terdapat jiwa Mas Redo, nampak sedang berkalut pada pemikirannya sendiri.

"By the way, how can I learn that shitty code?"

Aku mengerutkan keningku,"Shitty code? Maksudnya Mas Redo, Braille?"

Gue mengangguk. Lagi-lagi meraba meja, mencari pegangan untuk membuat gue bisa mengganti posisi duduk.

Aku meliriknya heran. Hanya kurang paham dengan istilah braille berubah menjadi shitty code. Dia ini penyanyi yang pernah di undang di Rumah Tamu, kan? Dia juga yang sukarela mau menginjakkan kaki dan menjadi donatur di Rumah Tamu, kan? Bukan berniat untuk nggak percaya, aku sedikit kurang gamang dengan pria yang masuk ke dalam tubuhku ini. Dia begitu sangat berbeda.

"Besok loe harus ke studio TV Metra. Gue ada pemotretan disana." Sahut gue kearahnya.

Pandanganku kembali kearahnya,"Mas Redo mau ya nemenin saya. Saya masih nggak hafal sama Jakarta sekarang. Beda. Lebih rapi dan indah."

Gue mengangguk. Iya, gue tahu. Jakarta selalu berubah seiringnya waktu. Dan dia benar, gue mengakui kotaku begitu indah saat ini.
-------

Kami berbagi tugas. Gue harus belajar mengenai kode Braille, memacangkan tongkat di atas tanah, menerka-nerka suara di sekitar gue, dan menunjukkan sifat anggun selayaknya seorang perempuan baik-baik. Sedangkan dia belajar apapun tentang semuanya. Gue inget apa yang pernah ia katakan ke gue,"Mas Redo. Jadi Mas Redo enak ya? Banyak teman. Cantik sama ganteng semua."

Aku menatap Mas Redo yang sedang bergeming diam. Aku menyikutnya pelan."Mas Redo melamun apa?"

Gue tersentak, karena Ia menggugah gue dari alam bawah sadar. Kemudian, gue meliriknya sekilas dan menggeleng dengan mengangkat kedua bahuku, sebagai jawaban gue atas pertanyaannya.

"Mas Redo pernah berdoa untuk bertukar jiwa?"

Gue mengerutkan kening, berpikir mengenai pertanyaannya,"Pernah."

"Bertukar dengan tunanetra, Mas?" Tanyaku penasaran dengan mencondongkan tubuh ke depannya.

Gue menggeleng tegas. Gila aja. "Bukan. Bertukar sama Bruno Mars, penyanyi favorit gue."

Mulutku membulat kecewa kepadanya.

"Jangan-jangan loe yang minta kayak gini lagi." Selidik gue, mengacungkan jari telunjuk kearahnya.

"Saya nggak akan setega itu, Mas. Siapa yang mau berada di posisi saya. Bahkan saya sendiri nggak mau, Mas."

Gua terhenyak dengan kalimatnya, tampak agak kesulitan menguasai diri gue untuk menjawab. Pernah gue ngerasa, gue memang pantas terjebak di dalam tubuh ini. Perilaku gue yang bejatnya nggak ketulungan ini, sedikit demi sedikit, gue bisa menahannya jadi orang sedikit benar. Apalagi, merasakan hangatnya selalu di temani, di sayang, dan di cintai penuh kasih. Gue tahu perempuan di samping gue sedang tersenyum dengan bibir gue. Senyum yang pernah menjadi hal paling gue sukai. Cuma dia, perempuan yang paling gue suka saat tertawa dengan suara gue. Tawa yang sangat indah dan lepas yang pernah gue dengar.

"Mas Redo suka banget ngelamun, ya?" Tanyaku lagi, ketika memergokinya berkalut dengan pemikirannya, dengan tawa pelan.

Tangan gue meraba, kemudian mengamit tangannya, maksudku mungkin tangannya mengamit tangan gue. Jari jempolku mengusap punggung tangannya dengan tubuh yang sudah miring ke depannya.

"Kenapa, Mas?" Tanyaku sedikit heran, menatap tangan kami saling bertautan.

"Loe tahu nggak kenapa Tuhan menggunakan jarinya buat nukar kita?"

Aku menggeleng ragu, masih menatap kedua tangan kami yang saling bertaut.

"Kalau nanti gue sama loe udah kembali ke raga masing-masing. Gue bakal kasih jawabannya." Jawab gue mengeratkan genggaman tangan gue kepadanya.

Seperti apa yang Mas Redo katakan seminggu lalu, aku kembali ke tubuhku semula. Dengan kegelapan yang tak ada sekelebat cahaya. Hanya setitik hitam yang melebar luas. Aku tersenyum menatap diriku di depan kaca. Menatap tubuhku dengan menerka bayangan yang berada di dalam kaca itu. Ini rasanya kembali dari terang menjadi gelap.

"Kita mau ngapain sih? Rapi banget gini." Gue menatap pantulan tubuh gue yang terpantul dari cermin setinggi setengah badan gue. Tenang aja, gue bakal buat loe kena serangan stroke tiba-tiba. Gue cuma berani ngomong di dalam hati. Cause i still need him.

"Nak Redo nggak kesini lagi ya?" Tanya Ibu Tamu menyisir rambutku ketika kami telah duduk di atas ranjang. Pertanyaan itulah yang menjadi alasan mengapa kedua bahuku bergemetar hebat.

"Loe udah kirim barangnya, Eza?" Tanya gue ketus, ketika kami sudah berada di dalam mobil. Pria paruh baya ini mengangguk sekilas, lalu menatap mata gue lagi, "Loe kok balik jadi bastard lagi sih, Do?"

Aku meraba kotak yang sudah di antar Pak Ibas semenit lalu. "Ini...."

"Mas Redo? Yampun. Saya kira Mas Redo sudah lupa sama Rumah Tamu ini." Sahut Ibu Tamu memeluk tubuh gue. Lupa? I never think about that.

Kalian tahu apa yang jari tuhan lakukan padaku dan Mas Redo? Kayak kode braille yang jadi alat bantuku. Iya. Kayak itu gunanya jari Tuhan untuk menarikku memahami seberapa hitamnya hidupku saat ini. Ahhh... Begini rasanya saat pria itu menjadikan warna lain tercampur dalam putih dan hitamku.

Come on, gue masih bastard man yang sedang beruntung mendapat dewi dengan tambahan lesung pipit, yang sangat begitu manis saat tersenyum.  Gue bisa memahami kenapa Jacob dan Edward begitu bodohnya dalam percintaan mereka. Karena, Romance has many different way to close with any body. Its mutual in divine love. Ohhh i have to thanks for Jacob and Edward within watching their drama tonight. With my future blind wife.

"When I say I love you, i really do." Aku merasakannya dalam tanganku. Meraba setiap titik-titik timbul di atas papan, kemudian bergerak ke bawah.

"Redo Alrasyid Bagaskara to be Chandra Aulia husband."

-------

Saya pengen jadi member karena :

1. Saya pernah baca salah satu finalis yang pernah ikut The WWG member, yang ngadain kontes buat cerita tanpa ada percakapan. Dan itu bikin saya jadi yakin kalau masuk member ini, saya bisa merasa tertantang. dan bergerak ke hal yang lebih maju. Sama kayak nulis Hybrid Multiple POV ini.

2. Mungkin, saya pengen jadi penulis beneran. Yang bisa buat tulisan yang nggak cuma di kenang, tapi di terapkan dalam kehidupan gitu. Lebih bagus bisa di buat resensi skripsi anak sastra. HeheApalagi The WWG punya cara, kayak bikin masa training, jadi kan saya yakin banget kalau The WWG keren pakai kebangetan.

3. Karena saya masih baru banget ama dunia penulisan dan wattpad ini. Jadi berharap banget bisa di ajarin sama tetua The WWG's member.

4. Jadi punya banyak teman di wattpad.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top